Langsung ke konten utama

PERATURAN MENTERI (PM) ITU PRODUK HUKUM YANG SAH


Menanggapi aksi demo sejumlah driver Ojol yang berlangsung di Medan Merdeka Barat (5/1 2022) yang menuntut adanya kejelasan payung hukum dan menganggap payung hukum versi Menhub (PM No. 12 Tahun 2019 tentang Perlindungan Keselamatan Pengguna Sepeda Motor yang digunakan untuk Kepentingan Masyarakat) tidak jelas, maka ijinkan saya sebagai orang yang selama ini concern mengamati dinamika angkutan online dan terlibat dalam pembahasan PM No. 12/2019 tersebut memberikan tanggapan secara obyektif. 

Kalau kita mengacu pada regulasi yang ada, yaitu PM No. 12/2019, maka maka tuntutan tersebut sebetulnya terlalu mengada-ada dan ahistoris. Mengapa? 

Proses penyusunan PM No. 12/2019 tersebut melibatkan perwakilan aplikator, driver Ojol, dan para pemerhati transportasi yang ada di ibu kota. 

Rumusan pasal-pasal dalam PM tersebut, termasuk pasal mengenai tarif, merupakan hasil perdebatan bersama, termasuk perwakilan apliator dan driver Ojol yang sama sekali tidak ada intervensi dari Kemenhub, karena fasiitator pembahasan RPM (Rancangan Peraturan Menteri) tersebut adalah orang independen, yaitu Azas Tigor Nainggolan. Saya termasuk salah seorang pemerhati transportasi yang turut hadir dalam pembahasan RPM tersebut. Jadi formula tarif maupun formula kenaikan tarif Ojol itu disusun bersama-sama dengan para perwakilan aplikator dan driver Ojol yang turut pembahasan RPM.

Sebelum ditanda tangani oleh Menteri Perhubungan dilakukan uji publik ke sejumlah kota di Indonesia, juga melibatkan para perwakilan driver yang terlibat dalam pembahasan RPM.  Tidak ada Peraturan Menteri mana pun yang proses penyusunannya amat egaliter dan terbuka sekaligus mengalami uji publik yang begitu massif, kecuali Peraturan Menteri (PM) Perhubungan mengenai angkutan onine, baik untuk roda empat maupun roda dua (Ojol) atau PM No. 12/2019 ini. 

Jadi secara historis, keberadaan dilahirkan bersama-sama antara Kemenhub, pemerhati transportasi, perwakilan aplikator, dan perwakilan Ojol. Maka kalau ada driver Ojol yang menganggap paying hukum untuk Ojol tidak jelas, tentu yang bersangkutan tidak mengenal sejarah lahirnya PM No. 12/2019 tersebut.

PM tersebut merupakan dekresi dari Menteri Perhubungan, mengingat penggunaan sepeda motor untuk angkutan umum belum diatur dalam UU No. 22/2009 tentang LLAJ. Namun Menteri Perhubungan sesuai tupoksinya memiliki kewenangan untuk mengatur hal tersebut sehingga dibuatlah PM tersebut. PM itu ditandangani di atas kertas berkop Garuda Pancasila, sehingga secara legal formal PM tersebut sah dan sudah cukup menjadi payung hukum bagi operasional Ojol. Dan selama ini juga tidak ada persoalan hukum di lapangan yang ditimbukan oleh keberadaan PM No. 12/2019 tersebut. Lalu payung hukum seperti apa lagi yang diharapkan oleh para driver ojol? 

Jika para driver Ojol memaksakan bahwa Ojol harus diatur dalam UU LLAJ, maka pertanyaannya adalah perubahan seperti apa yang diharapkan kelak bila Ojol telah diatur dalam UU LLAJ dibandingkan dengan perlindung di PM No. 12/2019? Kalau ternyata tidak ada bedanya, mengapa harus memaksakan masuk ke dalam UU LLAJ? Salah satu keuntungannya diatur dalam PM Perhubungan adalah apabila dirasakan perlu ada penyesuaikan prosesnya jauh lebih mudah dibandingkan dengan, misalnya diatur dalam UU LLAJ yang memerlukan proses politik cukup panjang dan mahal.

Mengenai soal tariff, Kementerian Perhubungan tidak memiliki hak untuk turut menentukan tariff Ojol karena itu domain dari operator. Justru salah besar kalau Kementerian Perhubungan diminta intervensi dalam penentuan tariff Ojol. Formula tariff itulah yang menjadi dasar penentuan tariff Ojol. 

Jadi usul saya untuk teman-teman driver Ojol, kalau memang PM No. 12/2019 tersebut perlu direvisi, mending melakukan revisi PM tersebut daripada memaksakan diatur dalam UU LLAJ.


Ki Darmaningtyas, pengamat transportasi, Ketua INSTRAN

Komentar

Postingan populer dari blog ini

BIODATA DARMANINGTYAS

BIODATA DARMANINGTYAS, menggeluti pendidikan sejak mulai menjadi mahasiswa baru di UGM, Agustus 1982 dengan menjadi guru di SMP Binamuda dan SMA Muhammadiyah Panggang, Gunungkidul, DIY. Pendidikan formalnya cukup Sarjana Filsafat Universitas Gadjah Mada (UGM) dan selebihnya otodidak. Gelar “Profesor Doktor” diperoleh dari undangan, sertifikat, piagam, spanduk, dan sejenisnya; sebagai bentuk pengakuan nyata dari masyarakat.

Masyarakat Diajak Adaptasi

Pemerintah, melalui lembaga dan kementerian, mengeluarkan peraturan dan edaran perihal protokol atau pedoman kesehatan. Protokol itu berlaku di tempat masyarakat, industri, sektor jasa, dan perdagangan.

REFLEKSI DARI PELATIHAN GURU SASARAN DI LAMPUNG

Berikut saya sampaikan refleksi saya tatkala mendapat tugas untuk membuka dan kasih pengarahan pada pelatihan guru sasaran di Lampung tanggal 9 Juli lalu. Semoga refleksi in dapat menjadi bahaperbaikan proses pelatihan guru yang akan dating sehingga menjadi lebih baik.