Langsung ke konten utama

MELAMPAUI INDUSTRI 4.0, MENCEGAH KORPORATISASI PENDIDIKAN

Oleh: Darmaningtyas


Pengantar

Sebelum membahas tantangan pendidikan dalam era industri 4.0, saya terlebih dahulu menyampaikan kondisi pertumbuhan dan perkembangan pendidikan kita. Kita terlebih dahulu harus mengetahui kondisi yang sebenarnya dari tubuh pendidikan kita sebelum lebih jauh membahas dan terbang dalam arus revolusi industri yang kini sedang menjadi kajian seksi dalam ruang-ruang akademik, para praktisi dan utama dunia industri. 


Menurut data Bank Dunia tahun 2018, Human Capital Index (HCI) atau Indeks Modal Manu­sia Indonesia masih tertinggal dengan negara lain, seperti negara ASEAN. Saat ini HCI In­donesia berada di peringkat 87 dari 157 ne­gara. Posisi RI itu lebih rendah dibandingkan dengan Singapura (peringkat 1), Vietnam (48), Malaysia (55), dan Thailand (65). Peringkat In­donesia hanya lebih tinggi dari Kamboja (99). Ketika HKI rendah, maka daya saing pun juga menjadi rendah dan tertinggal dari negara lain. Berdasarkan indeks daya saing global 2018 yang dirilis World Economic Forum (WEF), peringkat daya saing Indonesia masih jauh tertinggal dengan Singapura, Malaysia, dan Thailand yang masing-masing menduduki peringkat 2, peringkat 25, dan urutan 38. 

Peringkat Indeks Daya Saing Global dan Indeks Modal Manusia Negara ASEAN 2018
NEGARA
INDEKS DAYA SAING
INDEKS MODAL MANUSIA
Singapura
2
1
Malaysia
25
57
Thailand
38
68
Filipina
45
87
Brunei
56
82
Darussalam
62
-
Vietnam
77
48
Kamboja
110
99
Laos
112
112
Sumber : WEF, World Bank – Litbang KJ/and

Indeks modal manusia yang rendah serta daya saing yang juga masih tertinggal, menunjukkan bahwa kondisi pendidikan kita masih perlu pembenahan. Problem pendidikan kita bukan hanya tertinggal secara kualitas, tapi juga kuantitas. Produktivitas tenaga kerja Indonesia rendah karena 60% dari angkatan tenaga kerja kita lulusan SLTA ke bawah. Kondisi ini sulit untuk beradaptasi, apalagi berinovasi dengan perubahan yang kian kencang karena skill mereka sangat terbatas. Alih-alih berinovasi, mereka terancam bisa kehilangan pekerjaan apabila keterampilan sudah bisa digantikan oleh mesin. 



Data tersebut menunjukkan hanya 5% atau 12.230.910 penduduk yang menempuh perguruan tinggi. Selebihnya adalah lulusan SLTA/MA sederajat berjumlah 36.375.380 atau sekitar 17%, angkatan kerja lulusan SD/MI sederajat mendominasi dengan jumlah fantastis 65.661.314 atau 31% dan mereka yang tidak atau belum tamat SD berjumlah 41.451.552 atau sekitar 19%. Kalau secara kuantitas angkatan kerja masih didominasi oleh lulusan SLTA dengan skill dan kemampuan teknis saja, bagaimana kita bisa mampu berlari kencang menyambut revolusi industri. 

Di tengah pincangnya fokus pengembangan sumber daya manusia melalui pendidikan, kita selalu dihadapkan dengan khotbah-khotbah fiktif ihwal peningkatan kualitas anggaran pendidikan dalam setiap tahun. Padahal kalau kita telusuri anggaran pendidikan yang kian tahun kian naik tidak menyentuh aspek-aspek prioritas yang menyentuh langsung kualitas pendidikan. Sebagian besar anggaran pendidikan habis untuk menggaji guru dan dosen serta belanja tak langsung. 

Pada tahun 2017, anggaran pendidikan mencapai Rp. 419 triliun. Tetapi dari Rp. 419 triliun tadi, Rp. 261 triliun adalah untuk transfer ke daerah, Rp. 155 triliun digunakan untuk Kementerian/Lembaga seperti Kemenristekdikti dan Kemenag, dan Kementerian/Lembaga lain yang menyelenggarakan juga fungsi pendidikan. Ironisnya, dari Rp. 261 triliun tadi, Rp. 247 triliun itu untuk gaji dan tunjangan guru. Porsi belanja modal untuk pembangunan, renovasi dan rehabilitasi gedung sekolah hanya Rp. 7,7 triliun (detik, 22 November 2017).

Pada tahun 2018, Yayasan Penguatan Partisipatif, Inisiatif, dan Kemitraan Masyarakat Indonesia (YAPPIKA) melakukan penelitian terkait dengan penggunaan anggaran pendidikan Penelitian itu dilakukan sepanjang tahun 2018 di Kabupaten Sambas (Kalimantan Barat), Sumba Barat (Nusa Tenggara Timur), dan Bima (Nusa Tenggara Barat). Berdasarkan penelitian, anggaran pendidikan mayoritas digunakan untuk gaji pegawai negeri dan honorer. Persentase APBD yang habis untuk belanja tidak langsung di Bima sebesar 54 persen, di Sumba Barat 35 persen, dan di Sambas 58 persen. Ironisnya, anggaran untuk belanja langsung pendidikan terungkap tidak tepat sasaran, seperti pembangunan infrastruktur yang lebih condong ke keindahan tampilan gedung sekolah dibandingkan memastikan pemenuhan sarana langsung untuk pembelajaran seperti perpustakaan yang layak, kamar mandi yang bersih, dan alat bantu pembelajaran (Kompas, 28 Februari 2019).

Masalah klasik yang hingga kini belum terpecahkan adalah pemerataan pendidikan. Saya yang sering ke luar Jawa merasakan betul betapa harus bersukur mereka yang tinggal di Jawa yang dengan nyaman bisa memilih sekolah dengan kualitas pendidikan yang mumpuni. Di luar Jawa, terutama di Papua masih banyak anak usia sekolah yang belum terjangkau pendidikan. Beberapa sekolah berdiri tapi dengan gedung seadanya dan guru yang pas-pasan. 

Data Kementerian Kesehatan tahun 2017 menunjukkan, jumlah penduduk berusia kurang dari 15 tahun, yang dapat dijangkau pendidikan usia dini dan pendidikan dasar, di Papua sekitar 971.000 orang. Angka partisipasi kasar pendidikan dasar, menurut Badan Pusat Statistik (BPS) Papua tahun 2017, adalah 92,94 persen. Angka partisipasi kasar pendidikan dasar di tiga kabupaten yang dikunjungi, yaitu antara 62,87 persen (Tolikara) hingga 106,19 persen (Boven Digoel) (Kompas, 1 Maret 2019).  

Itu segelintir kondisi pendidikan kita. Berdasarkan kajian masalah klasik pendidikan itu kita kini sudah dihadapkan dengan tantangan baru yang mengajak dan menuntut kita untuk bergerak cepat dalam mengantisipasi perubahan, yakni revolusi Industri 4.0. Di beberapa negara, dalam rangka merespons revolusi industri 4.0 telah melakukan beberapa perubahan dalam pendidikan, seperti Singapura, Malaysia dan Jepang sesuai konteks sosial budaya negara masing-masing. Kita sebagai bangsa besar yang masih menyimpan segudang masalah pendidikan juga harus merespon revolusi industri 4.0 secara kontekstual, sesuai dengan kekayaan kultur dan budaya indonesia, apalagi kita akan menghadapi bonus demografi 2045, respons yang tepat terhadap revolusi industri akan membawa perubahan besar bagi bangsa Indonesia. 

Revolusi Industri 4.0

Revolusi industri dimulai sekitar tahun 2011. Jarak antara revolusi industri 4.0 dengan revolusi industri 3.0 hanya 12 tahun. Ini jarak yang paling pendek kalau kita bandingkan dengan perpindahan revolusi industri 1.0 ke revolusi industri 2.0 yang membutuhkan waktu waktu 100 tahun, begitu juga perpindahan revolusi industri 2.0 ke 3.0 juga 100 tahun. 

Setiap revolusi industri ditandai oleh beberapa hal. Revolusi industri 1.0 (periode 1784) ditandai dengan penemuan mesin uap sehingga mendorong munculnya kapal uap, kereta api dan lainnya. Revolusi industri 2.0 (periode 1900) ditandai dengan penemuan listrik yang memungkinkan terjadinya produksi massal serta pembagian tenaga kerja berdasarkan divisi. Revolusi industri 3.0 (periode 2000) yang ditandai dengan inovasi teknologi informasi dalam lini produksi; dan Revolusi industri 4.0 (periode 2011) yang ditandai dengan Cyber physical sistem, Internet of Things, Internet of people sehingga kegiatan manufaktur terintegrasi melalui penggunaan teknologi, big data secara massif. Revolusi ini membawa konsekuensi bagi kehidupan. Kombinasi globalisasi dan teknologi membuat pekerjaan manusia menjadi semakin kompleks. Hal-hal yang teknis sederhana sudah bisa digantikan oleh mesin. Prof.Dr. Agus Cahyo mengutip Scwab (2017) menggambarkan tahab-tabah Revolusi Industri dari masa ke masa yang sekaligus memperlihatkan siklus masanya. 


Fase periode Revolusi Industri membutuhkan masa yang semakin singkat dari waktu ke waktu
Image


Prinsip-Prinsip dalam Revolusi Industri 4.0 dan Efeknya

Sejarah revolusi Industri 4.0 mulai dikenal publik pada tahun 2011, ketika asosiasi perwakilan dari bisnis, politik, dan akademisi - mempromosikan ide tersebut sebagai pendekatan untuk memperkuat daya saing industri manufaktur Jerman. Pemerintah federal Jerman mendukung gagasan itu dengan mengumumkan bahwa Industri 4.0 akan menjadi bagian integral dari "Strategi Teknologi Tinggi 2020 untuk Jerman". Kelompok Kerja Industry 4.0” mempunyai visi sebagai berikut:

“In the future, businesses will establish global networks that incorporate their machinery, warehousing systems and production facilities in the shape of Cyber Physical Systems (CPS). In the manufacturing environment, these Cyber-Physical Systems comprise smart machines, storage systems and production facilities capable of autonomously exchanging information, triggering actions and controlling each other independently. This facilitates fundamental improvements to the industrial processes involved in manufacturing, engineering, material usage and supply chain and life cycle management. The Smart Factories that are already beginning to appear employ a completely new approach to production. Smart products are uniquely identifiable, may be located at all times and know their own history, current status and alternative routes to achieving their target state. The embedded manufacturing systems are vertically networked with business processes within factories and enterprises and horizontally connected to dispersed value networks that can be managed in real time – from the moment an order is placed right through to outbound logistics. In addition, they both enable and require end-to-end engineering across the entire value chain.”

Industri 4.0 berangkat dari sprit dunia industri yang ingin membangun jaringan global melalui mesin pintar yang mampu bertukar informasi secara mandiri. Kini Industri 4.0 , bukan hanya ramai diperbincangkan di kalangan dunia industri, tapi juga menjadi perbincangan serius di kalangan akademisi dan praktisi pendidikan. Sejak menggema di Jerman tahun 2011, pelan-pelan perbincangan revolusi industri menjadi magnet utama karena ini dianggap membawa perubahan besar dalam kehidupan sosial, budaya dan bahkan pendidikan. Tapi hingga kini, belum ada definisi jelas tentang apa itu evolusi industri.

“Even though Industry 4.0 is one of the most frequently discussed topics these days, I could not explain to my son what it really means” itulah salah satu ungkapan manajer produksi otomotif di Jerman. Ungkapan itu menggambarkan bahwa meskipun Industri 4.0 seringkali dibicarakan oleh akademisi dan perusahaan, tapi sebagian besar perusahaan di Jerman tidak memiliki pemahaman yang jelas tentang Industri 4.0. dan akan seperti apa kelanjutannya di masa yang akan datang.

Hermann Dkk melakukan kajian literatur untuk mengidentifikasi istilah revolusi industri. Hasilnya ada empat komponen utama yang selalu muncul dalam istilah revolusi industri, yakni, Cyber Physical Systems, Internet of Things (IoT), Smart Factory dan internet of services. Lihat tabel berikut: 


Hermann Dkk, 2015

Berdasarkan kajian literatur tersebut, Hermann Dkk kemudian memberikan definisi bahwa Industri 4.0 adalah istilah kolektif untuk teknologi dan konsep nilai sebuah organisasi. Revolusi industri melalui CPS mampu membuat salinan virtual dari dunia fisik dan membuat keputusan yang terdesentralisasi. Melalui IoT, CPS berkomunikasi dan bekerja sama satu sama lain secara real time. Melalui IoS, layanan internal dan lintas organisasi ditawarkan dan digunakan oleh setiap orang. Berdasarkan dari beberapa komponen itu, teridentifikasi enam prinsip-prinsip dasar dari Revolusi Industri 4.0. 

Ada beberapa prinsip dasar dalam Industri 4.0
No
Prinsip
Cyber-Physical Systems
Internet of Things
Internet of Services
Smart Factory
1
Interoperability
X
x
x
x
2
Virtualization
X
-
-
x
3
Desentralisasi
X
-
-
x
4
Real-Time Capability
-
-
-
x
5
Service Orientation
-
-
x
-
6
Modularity
-
-
x
-
(Sumber: Hermann, 2015)

Prinsip pertama adalah Interoperability. Kata "interoperability" terdiri dari tiga kata, yaitu: "inter" yang bermakna antar, "operate" yang berarti bekerja, dan "ability" yang berarti kemampuan/kebisaan. Interoperability adalah kemampuan saling bekerja dalam banyak hal. Salah satu contoh aplikasi yang punya interoperability adalah aplikasi Web Services, SOA, XML-RPC. Objek, mesin, dan manusia harus dapat berkomunikasi melalui Internet of Things dan Internet of People. Ini adalah prinsip paling esensial yang benar-benar membuat pabrik menjadi cerdas.

Sementara virtualization adalah CPS yang dapat memonitor proses fisik. Data sensor ini dihubungkan dengan model pabrik virtual dan model simulasi. Teknologi mampu memonitor fisik secara cerdas. Semua yang ada dalam kehidupan nyata harus ada salinan virtualnya. 

Desentralisasi adalah pengurangan perencanaan dan pengendalian secara terpusat. Komputer melalui CPS mampu membuat keputusan otonom dan pengaturan tersendiri, kecuali ada masalah yang saling bertentangan, maka itu nantinya akan didelegasikan ke pusat. 

Real-Time Capability adalah kemampuan sebuah perangkat atau sistem untuk merespon secara cepat perintah. Perangkat itu mempunyai kecepatan yang tinggi untuk mengumpulkan dari data lapangan, menghimpun, menganalisis, serta membuat keputusan-keputusan sesuai dengan temuannya.

Service Orientation adalah kemampuan untuk memberikan layanan pada semua orang yang terhubung dengan teknologi. Prinsip Industri 4.0 adalah memberikan layanan yang sebaik-baiknya pada setiap pelanggan sesuai dengan spesifikasi kebutuhan pelanggan. Kesalahan dalam membuat produk yang tidak sesuai dengan pelanggan bisa diminimilisir seiring dengan keakuratan data yang dihimpun melalui perangkat pintar yang terukur dan juga cepat.  

Modularitas adalah kemampuan secara cepat dan tepat untuk beradaptasi dengan perubahan yang terjadi di pasar. Di tengah perubahan pasar yang sangat pesat, kemampuan perusahaan untuk merespon dengan cepat adalah keharusan. Untuk itulah, perusahaan harus mempunyai mesin cerdas untuk mempelajari dan membaca pasar sebagai input untuk mengubah produksinya. 

Itulah beberapa prinsip dasar dari revolusi Industri 4.0. Revolusi industri memungkinkan semua orang terhubung, berkomunikasi dan berkolaborasi seiring dengan Kemampuan mesin, perangkat dan sensor yang canggih. Revolusi industri juga membuat informasi menjadi terbuka yang memungkinkan operator untuk mengumpulkan sejumlah data dan informasi secara akurat. Dan revolusi Industri 4.0, melalui CPC membuat keputusan secara mandiri dan otonom. 

Pendeknya, revolusi Industri 4.0 telah membuat gejolak dalam semua aspek kehidupan; dari yang sebelumnya stabil, kini dengan perubahan yang cepat menjadi serba tidak bisa diprediksi, dari yang sebelumnya penuh kepastian, kini beralih pada ketidakpastian, dari yang dulunya berkelindan dalam persoalan yang sederhana beralih menjadi kompleks serta dari yang dulunya penuh dengan kejelasan, kini dunia dilanda dengan ambiguitas dan makna yang ganda. 

Para pakar menyebut dengan VUCA, sebuah akronim dari VUCA, volatile (perubahan yang cepat), uncertainty (ketidakpastian), complexity (kompleksitas), ambiguity (makna ganda). Istilah VUCA pada dasarnya muncul setelah berakhirnya perang dingin, sekitar tahun 1990-an untuk menggambarkan situasi perubahan yang cepat dan penuh ketidakpastian dalam dunia militer yang pelan-pelan mulai diadopsi dalam dunia kepemimpinan dalam menghadapi tantangan masa depan. Kini VUCA kian akrab di tengah revolusi industri yang membawa banyak perubahan. 

Table-1
VUCA
Volatility
Uncertainty
Complexity
Ambiguity


Karakteristik

Berkaitan dengan peristiwa tidak stabil yang tidak terduga / Mungkin untuk durasi / waktu yang tidak diketahui
Berkaitan dengan kurangnya informasi lain meskipun penyebab dan efek dasarnya diketahui
Berhadapan dengan masalah rumit yang saling berhubungan dengan banyak pengaruh.
Menghadapi situasi tsunami informasi dengan bagian variabel yang saling berhubungan sehingga sulit untuk membedakan mana yang benar dan salah


Keadaan

Perubahan lingkungan yang dinamis, cepat dan intens. Tantangannya tidak terduga atau tidak stabil dan mungkin durasinya tidak diketahui.

Kurangnya prediktabilitas terhadap masalah dan peristiwa
Masalah dan kekacauan bisa mengelilingi organisasi mana pun. Situasi ini memiliki banyak bagian dan variabel yang saling berhubungan. Beberapa informasi mungkin tersedia atau dapat diprediksi, tetapi ada yang susah diprediksi

Kekaburan realitas dan beragamnya makna kondisi. Hubungan sebab akibat sama sekali tidak jelas.
Contohnya
Terobosan teknologi, fluktuasi pasar, perubahan peraturan pemerintah.
Akhir dari krisis keuangan, keputusan pesaing, tren pasar di masa depan.
Pendekatan global untuk masalah legislatif lokal, proses adaptasi budaya, menyeimbangkan dan meningkatkan kebutuhan individu.
Masalah tanpa preseden historis, pindah ke pasar baru, bekerja di organisasi baru.
Arup Barman dan Chandibai Potsangbam, 2017


EFEK VUCA  BAGI KEHIDUPAN
Aspek
Volatility
Uncertainty
Complexity
Ambiguity
Domain total
Political
4
4
3
5
14
Cultural
3
5
5
5
18
Economic
3
5
5
4
17
Ecological
2
3
2
2
9
Vuca Total
10
17
15
16

Sumber, Brian Stewart Dkk, 2016

Dari tabel tersebut, aspek budaya dan ekonomi paling tinggi nilainya. Itu artinya dua aspek itu akan banyak dipengaruhi oleh anak kandung Industri 4.0, terutama karena ketidakpastian masa perubahan yang sulit diprediksi serta munculnya reorganisasi di banyak sektor kelembagaan seiring dengan perubahan yang kian cepat dan masalah yang kian kompleks. 

Efek VUCA ini telah melahirkan banyak pengangguran. Henrietta H. Fore, Executive Director UNICEF, melalui laporan di World Economic Forum (WEF), menyampaikan ada 1,8 miliar orang berusia antara 10 -24 di planet ini.  Setiap bulan setidaknya 10 juta anak muda mencapai usia kerja dan siap memasuki masa produktif. Beberapa akan melanjutkan pendidikan, yang lain akan memasuki dunia kerja. Namun, yang mereka temukan adalah dunia tidak menciptakan 10 juta pekerjaan baru setiap bulan. Ia menyampaikan, setidaknya ada 71 juta orang muda menganggur di seluruh dunia, dan lebih lanjut lagi ada 156 juta orang muda yang bekerja hidup namun dengan penghasilan kurang dari 3 dollar per hari. Ia menilai salah satu sebab adalah adanya ketidakcocokan dramatis antara keterampilan yang orang muda miliki dengan pekerjaan yang tersedia. 

Derasnya perkembangan teknologi informasi di era Industri 4.0 juga menimbulkan tsunami tersendiri yang merampas kedalaman dalam berpikir dan munculnya hoax dan akun palsu. Tom Nichols menyebut era ini sebagai matinya kepakaran. Menurut Tom Nichols era teknologi dan informasi tidak hanya menciptakan lompatan pengetahuan, tapi juga memberi jalan untuk menyerang pengetahuan yang sudah mapan. Tsunami teknologi informasi bagi Tom Nichols bisa menjadi sumber yang akurat dan juga sumber kebohongan. Tom Nichols berkata, “Internet mengizinkan satu miliar bunga mekar, namun sebagian besarnya berbau busuk, mulai dari pikiran iseng para penulis blog, teori konspirasi orang-orang aneh, hingga penyebaran informasi bohong oleh berbagai kelompok.”

Dengan demikian, untuk menghadapi era VUCA ini, menurut KS Preveen harus juga dihadapi dengan strategi VUCA, vision (visi), understanding (memahami apa yang terjadi), clarity (pembelajaran) dan awareness (kesadaran akan nilai atau makna). 

TANTANGAN VUCA STRATEGI VUCA
No
Masa Lalu
Tantangan VUCA
Strategi VUCA
1
Stability (Stabilitas)
Volatile (perubahan yang cepat)
vision (visi)
2
Certainty (Kepastian)
uncertainty (ketidakpastian)
understanding (memahami apa yang terjadi)
3
Simplicity (Sederhana)
complexity (kompleksitas)
clarity (pembelajaran)
4
Clarity (Kejelasan)
ambiguity (makna ganda)
awareness (kesadaran akan nilai atau makna)

Efek dalam Dunia Pendidikan

Pendidikan menghadapi tantangan yang kompleks dan dialektis. Revolusi Industri 4.0 didukung oleh kecerdasan buatan yang banyak mengubah tatanan kerja. Konvergensi manusia dan mesin mengurangi jarak disiplin ilmu humaniora dan ilmu sosial serta ilmu pengetahuan dan teknologi. Ini tentu membutuhkan pengajaran, penelitian, dan inovasi interdisciplinar yang jauh lebih banyak. 

Kalau dalam revolusi industri 1.0, lembaga pendidikan berperan untuk mengeksplorasi ilmu dan pengetahuan, revolusi industri 2.0, lembaga pendidikan berkontribusi untuk menghasilkan teknologi, revolusi industri 3.0, lembaga pendidikan berperan untuk memproduksi pengetahuan, maka pada revolusi industri 4.0, setiap lembaga pendidikan berlomba-lomba untuk menciptakan kreativitas dan inovasi. Dengan kreativitas dan inovasi lembaga pendidikan akan mampu beradaptasi engan cepatnya perubahan dunia ini.   


Cahyono Agus, 2017. 

Setiap lembaga pendidikan yang tidak mampu melahirkan orang-orang kreatif dan inovatif, maka lulusannya bisa menjadi pengangguran karena keterampilan yang dipelajari di lembaga pendidikan sudah tidak lagi dibutuhkan dalam kehidupan nyata. Keterampilan sumber daya manusia cepat berubah dan pendidikan harus mampu menyesuaikan diri dengan perubahan itu untuk melahirkan lulusan yang berkontribusi dalam kehidupan. Menurut laporan World Economic Forum, kompetensi sumber daya manusia yang dibutuhkan tahun 2020 sungguh berbeda dengan kompetensi yang dibutuhkan tahun 2015. 

PERGESERAN KETERAMPILAN DARI TAHUN 2015 KE TAHUN 2020



No
Keterampilan 2015
Keterampilan 2020
1
Complex Problem Solving
Complex Problem Solving
2
Coordinating with Others
Critical Thinking
3
People Management
Creativity
4
Critical Thinking
People Management
5
Negotiation
Coordinating with Others
6
Quality Control
Emotional Intelligence
7
Service Orientation
Judgement and Decision Making
8
Judgement and Decision Making
Service Orientation
9
Active Listening
Negotiation
10
Creativity
Cognitive Flexibility
Sumber: Economic Forum, 2016

Kreativitas yang sebelumnya ada di nomor urut sepuluh terus naik ke posisi ketiga. Diprediksi ke depan kreativitas terus naik ke posisi ke satu menggeser keterampilan dalam memecahkan masalah yang kompleks dan keterampilan dalam berpikir kritis. Hal ini bisa terjadi apabila kecanggihan teknologi dan informasi yang saat ini sudah mampu menggeser pekerjaan-pekerjaan teknis manusia menjadi meningkat untuk memecahkan yang kompleks. Kreativitas dan inovasi akan menjadi keterampilan utama di masa yang akan datang.

Seiring dengan pergeseran keterampilan yang dibutuhkan, maka beberapa pekerjaan lama menghilang tergantikan oleh teknologi dan pekerjaan baru juga muncul dengan keterampilan baru yang dibutuhkan. Ragam pekerjaan yang hanya membutuhkan keterampilan teknis akan mudah tergantikan oleh mesin. Inilah tantangan terbesar dunia pendidikan, yakni melahirkan orang-orang yang inovatif, kreatif dan berpikir kritis. Itulah keterampilan masa depan dalam menghadapi era disrupsi. 

No
Pekerjaan yang akan Hilang
Pekerjaan yang akan bertahan
1
Pemasaran jarak jauh
Pekerja sosial yang menangani mereka yang mengalami gangguan kejiwaan atau kekerasan
2
Penyiapan dokumen pajak
Koreografer
3
Wasit-hakim garis-petugas olahraga lainnya
Dokter-dokter bedah
4
Sekretaris urusan peraturan
Psikolog
5
Perantara tanah-bangunan
Manajer sumber daya manusia
6
Kontraktor buruh tani
Analis sistem komputer
7
Kurir
Antropolog-arkeolog
8

ahli teknik perkapalan
9

manajer penjualan
10

direktur utama
Klaus Schwab, 2015

Dimana posisi pendidikan kita bangsa Indonesia? Di tengah zaman yang sudah bergerak menuju revolusi industri 4.0 atau bahkan 5.0, Indonesia masih terbirit-birit di era industri 1.0. Menurut Vincent Gaspersz, pendidikan di Indonesia masih berada dalam tahapan pendidikan 1.0. Memang internet di Indonesia sudah menyebar dan menjangkau banyak orang, tapi penggunaannya masih sekadar untuk media sosial, bukan untuk mengakses ilmu pengetahuan dan teknologi. Ada beberapa Indikator untuk mengukur  posisi pendidikan kita saat ini 

Aspek
Education 1.0
Educations 4.0
Guru dan dosen
Sumber utama ilmu pengetahuan/teknologi
Pemimpin/team leader
Materi Pembelajaran
Kaku pada Buku Teks
Dari Internet
Organisasi Pembelajaran
Di gedung, kelas
Proses pembelajaran terbuka
Siswa/Mahasiswa
Pasif
Aktif dan otonom menyusun rencana belajar
Alat Pembelajaran
E leraning tapi otoritas lembaga 100%
Terintegrasi dengan banyak aplikasi artifisial intelegence
Akreditasi
Institusi tunggal
Multi organisasi Internasional
Motivasi belajar
Motivasi ekstrinsik, ijazah dll
Motivasi intrinsik
Sumber: Vincent Gaspersz, 2019

Tabel tersebut menunjukkan posisi kita berada dimana saat ini. Tugas dan peran lembaga pendidikan di era industri 4.0 ini perlu ditata ulang. Kita harus mereposisi peran lembaga pendidikan dan redesain kurikulum pendidikan. Kita harus mereposisi pendidik kita di tengah-tengah dominasi spirit kooporasi yang menjungkirbalikkan dunia pendidikan. Antara ruh dunia pendidikan yang lebih mengarah pada pembentukan manusia seutuhnya dengan spirit industri 4.0 yang lebih mengarah pada pemenuhan kebutuhan pasar industri harus sama-sama berjalan.

Melampaui Industri 4.0, Mencegah Korporatisasi Pendidikan

Revolusi Industri 4.0 yang pada mulanya memang bermula dari letupan dunia korporasi membawa efek pada koporatisasi pendidikan. Banyak lembaga pendidikan berlomba-lomba untuk merespon proses perubahan yang berlangsung dengan cepat itu dengan langsung mengadopsi manajemen sektor korporat di dalam lembaga pendidikan. Cara ini menghasilkan dominasi orentasi bisnis dalam dunia pendidikan yang sejatinya paradoks dengan semangat awal lembaga pendidikan itu sendiri. Tentu bukan berarti saya tidak setuju dengan pola lembaga pendidikan mengadopsi semangat revolusi industri karena itu adalah bagian dari tantangan zaman yang harus direspon oleh lembaga pendidikan. Tapi kita harus membangun keseimbangan antara revolusi industri dengan semangat pendidikan sebagai wadah memanusiakan manusia.

Kita perlu belajar pada negara Jepang dalam merespon revolusi industri 4.0. Kita tahu revolusi industri diidentikkan dengan kecanggihan ilmu pengetahuan dan teknologi. Tapi masyarakat Jepang tidak ingin teknologi itu mendegradasi nilai manusia. Untuk itulah Perdana Menteri Jepang meluncurkan konsep “Society 5.0”. Menurut Mayumi Fukuyama, Society 5.0 adalah konsep masyarakat yang berpusat pada manusia (human-centered) dan berbasis teknologi (technology based) yang dikembangkan oleh Jepang. Kecanggihan teknologi digital tetap berpusat ada kehidupan manusia. Pusat utama perkembangan teknologi tetap ada dalam kendali manusia sebagai pengendali.  Konsep Society 5.0 ingin mengedepankan keseimbangan hidup masyarakat jepang dalam merespon revolusi industri 4.0 yang berbasiskan pada filsafah hidup masyarakat Jepang. 

Saya kira Indonesia sejak awal adalah negara yang telah mempunyai strategi pendidikan dan kebudayaan untuk merespon segela bentuk perubahan dari luar. Ki Hadjar Dewantara telah membuat strategi pendidikan dan kebudayaan yang konferehensip dan holistik. Menurut Ki Hadjar Dewantara ada lima asas pendidikan yang bagi saya masih cukup relevan. 

(1) Asas kemerdekaan; memberikan kemerdekaan kepada anak didik, tetapi bukan kebebasan yang leluasa, melainkan kebebasan yang dituntun oleh kodrat alam. (2) Asas kodrat Alam; manusia itu sebagai makhluk yang menjadi satu dengan kodrat alam, tidak dapat lepas dari aturan main (Sunatullah), tiap orang diberi keleluasaan, berkembang secara wajar menurut kodratnya. (3) Asas kebudayaan; mengikuti kebudayaan luar yang telah maju, namun kebudayaan sendiri tetap menjadi acuan utama (jati diri). (4) Asas kebangsaan; perasaan satu dalam suka dan duka, dengan tetap membangun kerjasama dan menciptakan keharmonisan dengan bangsa lain. (5) Asas kemanusiaan; Mendidik anak lebih manusiawi sesuai dengan kodratnya sebagai makhluk Tuhan.

Meskipun sekarang kita telah berada di era industri 4.0, tapi pendidikan tetap mempunyai tugas tidak hanya makhluk yang terpelajar yang merdeka secara lahir, tapi juga mendidik manusia yang berbudaya. Dengan menjadi manusia yang berbudaya, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi tidak akan mereduksi nilai-nilai kemanusiaan. Pendidikan dan pengajaran harus disesuaikan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, tapi itu harus berasaskan pada aspek kemanusian dan kebudayaan bangsa Indonesia. 

Setelah kita merevitalisasi asas pendidikan Ki Hadjar Dewantara, langkah selanjutnya adalah mendesain ulang kurikulum pendidikan yang sesuai dengan perkembangan revolusi industri 4.0. Tentu kita tidak cukup hanya dengan mengedepankan model literasi lama, yakni membaca, menulis dan cerdas dalam matematika. Kita harus juga melakukan literasi data, literasi teknologi, dan literasi digital. Literasi data adalah kemampuan membaca, menganalisis, dan menggunakan informasi dalam big data dalam dunia digital. Literasi teknologi adalah kemampuan untuk memahami kerja mekanik dan kemampuan membuat aplikasi, coding serta kemampuan terkait. Sementara literasi digital adalah kemampuan untuk menggunakan teknologi tepat guna dan support untuk pengembangan pengetahuan, bukan hanya digunakan untuk sosial media. 

Pengembangan kemampuan literasi itu juga sudah dilakukan Singapura yang sangat responsip terhadap tantangan. Pada sebagian besar pendidikan di Singapura telah mendesain ulang kurikulumnya dengan membuat pelajaran wajib yang berkaitan dengan literasi digital dan teknologi. Para mahasiswa sudah diperkenalkan bahasa pemrograman serta mampu mengaplikasikan bahasa pemrograman itu sesuai dengan disiplin keilmuan tiap-tiap mahasiswa. Literasi teknologi seakan menjadi mata kuliah wajib bagi semua mahasiswa.  

Di samping itu, pendidikan saat ini juga harus menumbuhkan daya kreativitas, pemikiran kritis, ketahanan dan fleksibilitas di dunia di mana setiap orang harus beradaptasi dengan evolusi yang cepat dari pasar kerja, dan untuk memenuhi tantangan sosial dan perubahan di seluruh dunia.

Andreas Schleicher, Educating Students For The Fourth Industrial Revolution (2018) mengatakan bahwa untuk menghadapi era revolusi industri keempat pola pendidikan harus berubah. Bagi Andreas Schleicher sekolah masa depan harus mengedepankan agar siswa mampu berpikir secara mandiri, kritis, kreatif, inovatif serta mampu berkolaborasi dengan orang lain. Pendidikan harus berubah karena ke depan akan banyak pekerjaan yang tergantikan oleh mesin. Kita tidak mungkin mendidik anak-anak kita untuk bersaing dengan mesin kecuali berharap akan menjadi pengangguran. 

Revolusi industri keempat satu sisi memang melipat banyak pekerjaan, tapi pada sisi yang lain menjadi kesempatan untuk mengeluarkan potensi identitas kemanusiaan agar menjadi unggul dan tidak tergantikan oleh mesin-mesin. Artinya, revolusi ini menantang lembaga pendidikan kita melahirkan siswa unggul.

Kriteria minimal siswa unggul adalah mereka yang mempunyai keahlian yang itu tak tergantikan oleh mesin. Graham Brown-Martin, Education and the Fourth Industrial Revolution  (2017) mengatakan bahwa mesin dan robot tak akan menguasai bidang-bidang yang berkaitan dengan imajinasi, kreativitas, tanggung jawab manajerial serta kecerdasan emosional lainnya. Itulah kriteria minimal kompetensi yang harus dikedepankan. 

Untuk itu, sekolah harus menghargai keunikan tiap-tiap siswa karena setiap siswa mempunyai keunikan yang berbeda antara yang satu dengan yang lain. Beberapa negara sudah mulai personalisasi proses pembelajaran, seperti Jepang, Finlandia dan Estonia. Kita tidak bisa lagi menggunakan metode yang sama untuk mengajar para siswa yang mempunyai latar belakang yang berbeda-beda. 

Lama waktu belajar bukan lagi menjadi tolak ukur menuju proses pendidikan berkualitas. Finlandia yang kualitas pendidikannya menjadi percontohan, siswanya belajar banyak hal dalam waktu yang singkat. Tapi Uni Emirat Arab, para siswa belajar lebih sedikit di tengah menghabiskan waktu yang banyak. Kualitas pendidikan ke depan tidak lagi diukur seberapa lama kita belajar, tapi seberapa bermakna proses pembelajaran itu terinternalisasi dalam diri siswa. 

Di samping fokus pada kemampuan untuk berpikir kritis dan kemampuan memecahkan masalah yang rumit, lembaga pendidikan juga harus mengasah jiwa bisnis peserta didik dan membangun kolaborasi, baik antar mahasiswa atau kolaborasi lembaga dengan perusahaan berbagai perusahaan.

Pendidikan ke depan harus mengedepankan kemampuan untuk berkolaborasi antara satu dengan yang lain, bukan mengedepankan kompetisi sehingga melahirkan pemenang dan pecundang. Tantangan yang kompleks dan cepat harus dihadapi secara bersama-sama dengan mengedepankan kemampuan dan keunikan tiap-tiap orang. Dengan berkolaborasi tantangan-tantangan yang kompleks akah mudah dipecahkan. 


Kesimpulan
Di tengah arus revolusi industri 4.0 yang bergerak dengan cepat dan penuh ketidakpastian, pendidikan kita masih berada di era industri 1.0 dengan masalah klasik yang menyertainya, mulai dari relasi hubungan antara guru dan siswa atau guru dosen, konten dan materi pembelajaran, organisasi pembelajaran motivasi belajar hingga akreditasi pembelajaran yang berada di era industri 1.0. Masalah klasik lain yang terus menggelayut dalam perjalanan pendidikan kita adalah ketimpangan untuk mendapat akses pendidikan dan anggaran pendidikan yang manipulatif.

Revolusi Industri 4.0 menimbulkan gejolak dalam semua aspek kehidupan; dari yang sebelumnya stabil, kini dengan perubahan yang cepat menjadi serba tak bisa diprediksi, dari yang sebelumnya penuh kepastian, kini beralih pada ketidakpastian, dari yang dulunya berkelindan dalam persoalan yang sederhana beralih menjadi masalah komplek nan rumit serta dari yang dulunya penuh dengan kejelasan, kini dunia dilanda dengan ambiguitas dan makna yang ganda.  Para pakar menyebut dengan VUCA, sebuah akronim dari VUCA, volatile (perubahan yang cepat), uncertainty (ketidakpastian), complexity (kompleksitas), ambiguity (makna ganda). Sehingga lahirlah ragam hoax dan memudarnya kepakaran karena setiap orang bisa saling sahut dan komentar meskipun tanpa kedalaman pikiran dan nalar. Untuk menghadapi tantangan VUCA, strateginya juga dengan VUCA vision (visi), understanding (memahami apa yang terjadi), clarity (pembelajaran), awareness (kesadaran akan nilai atau makna).

Untuk itu, revolusi industri 4.0 menuntut lembaga pendidikan responsif karena banyak keterampilan lama yang diajarkan di sekolah kini sudah tergantikan oleh keterampilan baru yang tidak bisa digantikan mesin, seperti kemampuan memecahkan masalah secara kompleks, berpikir kritis serta kreativitas.Pendidikan juga harus memasukkan materi literasi digital, literasi teknologi hingga literasi data. Di saat pendidikan harus responsif terhadap perubahan dengan mendesain kurikulum baru, pendidikan juga harus tetap mempunyai tugas untuk memanusiakan manusia dengan tetap berpijak pada asas kemanusiaan dan kebudayaan sesuai dengan ajaran Ki Hadjar Dewantara.   


DAFTAR PUSTAKA

Mayumi Fukuyama, Society 5.0: Aiming for a New Human-Centered Society.https://www.jef.or.jp/journal/  Japan spotlight * Juli/Agustus 2018

Klaus Schwab, The Fourth Industrial Revolution, (New York: Crown Business, 2017)

Hermann, Design Principles for Industrie 4.0 Scenarios: A Literature Review, Technische Universität (Dortmund Working Paper No. 01 / 2015)

Industry 4.0: Definition, Design Principles, Challenges, and the Future of Employment (https://www.cleverism.com/industry-4-0/)

Brian Stewart, Volatility, Uncertainty, Complexity and Ambiguity in Higher Education,https://www.researchgate.net/publication/294470076, 2016)
Tom Nichols, Matinya Kepakaran, (Jakarta: KPG, 2018), hlm. 130
Lihat KS Preveen, HR in VUCA World : A Viewpoint & Insight, (Notion Pres, December 2018)

Xing and Tshilidzi Marwala, Implications of the Fourth Industrial Age on Higher Education

Cahyono Agus, Revitalisasi Ajaran Luhur Ki Hadjar Dewantara Pendidikan Karakter Bagi Generasi Emas Indonesia (Jurnal Sejarah Dan Pendidikan Karakter Bangsa Volume 1, Nomor 1 Juni, 2017).

Vincent Gaspersz, Aplikasi Design Thinking for Education 4.0 untuk Menghadapi Era Industri 4.0 (Makalah ini telah terdaftar pada Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia dengan No. Registrasi: 000131798) 

Ki Hadjar Dewantara, Azaz-Azaz dan dasar-Dasar Taman Siswa (Jogjakarta: Majelis Luhur Taman Siswa. 1961)
Manistry of Esducation Singapura, 2018

McKinsey Global Institute. (2017). A Future That Works: Automation, Employment, and Productivity - Executive summary. Page 19. Traduction libre
https://thehill.com/opinion/education/390565-educating-students-for-the-fourth-industrial-revolution

https://medium.com/learning-re-imagined/education-and-the-fourth-industrial-revolution-cd6bcd7256a3

Kompas, 13 Januari 2019

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

BIODATA DARMANINGTYAS

BIODATA DARMANINGTYAS, menggeluti pendidikan sejak mulai menjadi mahasiswa baru di UGM, Agustus 1982 dengan menjadi guru di SMP Binamuda dan SMA Muhammadiyah Panggang, Gunungkidul, DIY. Pendidikan formalnya cukup Sarjana Filsafat Universitas Gadjah Mada (UGM) dan selebihnya otodidak. Gelar “Profesor Doktor” diperoleh dari undangan, sertifikat, piagam, spanduk, dan sejenisnya; sebagai bentuk pengakuan nyata dari masyarakat.

Masyarakat Diajak Adaptasi

Pemerintah, melalui lembaga dan kementerian, mengeluarkan peraturan dan edaran perihal protokol atau pedoman kesehatan. Protokol itu berlaku di tempat masyarakat, industri, sektor jasa, dan perdagangan.

REFLEKSI DARI PELATIHAN GURU SASARAN DI LAMPUNG

Berikut saya sampaikan refleksi saya tatkala mendapat tugas untuk membuka dan kasih pengarahan pada pelatihan guru sasaran di Lampung tanggal 9 Juli lalu. Semoga refleksi in dapat menjadi bahaperbaikan proses pelatihan guru yang akan dating sehingga menjadi lebih baik.