Langsung ke konten utama

Ganti Kurikulum Lagi

Kemendikbudristek diam-diam telah membuat kurikulum baru yang implementasinya secara bertahap mulai Tahun Ajaran 2021/ 2022 ini di 2.500 Sekolah Penggerak (SP). Amat mungkin Kurikulum PSP ini tak akan bertahan lama.


Pameo “ganti menteri ganti kurikulum” betul-betul terjadi di negeri ini. Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi diam-diam telah membuat kurikulum baru yang implementasinya secara bertahap mulai Tahun Ajaran 2021/ 2022 ini di 2.500 Sekolah Penggerak (SP), sehingga kurikulum ini kami sebut kurikulum Program Sekolah Penggerak (PSP).


Diharapkan setiap tahun jumlah SP akan bertambah terus sehingga makin banyak sekolah yang menerapkan PSP. Dasar pertimbangan perubahan adalah penyederhanaan kurikulum agar lebih fleksibel dan selaras dengan semangat merdeka belajar karena memberikan otonomi sekolah dan guru, dan mudah diterapkan.


Pemerintah hanya menetapkan struktur kurikulum minimum serta prinsip pembelajaran dan asesmen, satuan pendidikan bisa mengembangkan program dan kegiatan tambahan sesuai visi misi dan sumber daya tersedia. Dalam kurikulum PSP, satuan pendidikan dan pendidik leluasa mengorganisasikan pembelajaran sesuai kebutuhan siswa dan konteks lokal.


Apa yang berubah dari Kurikulum 2013 ke Kurikulum PSP? Tampaknya bukan pada tataran paradigmatik, tapi lebih ke teknis. Kurikulum ini meneruskan proses peningkatan kualitas pembelajaran yang telah diinisiasi kurikulum-kurikulum sebelumnya, yaitu berbasis kompetensi, yang menjadikan pengetahuan, keterampilan, dan sikap dirangkaikan sebagai satu kesatuan proses yang berkelanjutan sehingga membangun kompetensi yang utuh.


Dalam Kurikulum 2013 kompetensi itu disebut Kompetensi Dasar (KD), sedangkan pada Kurikulum PSP dinyatakan sebagai Capaian Pembelajaran (CP). Hal teknis yang berbeda, antara lain, pertama, jumlah jam pelajaran (JP) tak berubah dari Kurikulum 2013, namun sekitar 20-30 persen JP per tahun dialokasikan untuk pembelajaran melalui proyek yang ditujukan untuk mencapai profil Pelajar Pancasila.


Kedua, pemberian otonomi kepada satuan pendidikan untuk mengatur jam pelajaran per minggunya, Kemdikbudristek hanya menetapkan jumlah JP per tahun saja. Sebagai contoh, pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn) lima JP seminggu (180 jam/tahun).


Yang terjadi saat ini adalah setiap minggu selama setahun murid mendapatkan materi PPKn lima JP secara rutin. Kurikulum PSP ini menyerahkan kepada sekolah untuk mengatur waktunya sendiri, akan diberikan satu semester saja boleh, yang penting 180 jam per tahun.


Ketiga, kurikulum PSP ini juga memberikan otonomi kepada sekolah mengenai pendekatan yang akan dipakai dalam pembelajaran: berbasis mata pelajaran atau tematik, atau kombinasi antar keduanya? Keempat, mata pelajaran seni rupa dipelajari secara intensif dalam semester ganjil dan asesmen sumatifnya berupa pameran karya. Sebaliknya pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam dan Sosial (IPAS) di semester ganjil dikurangi jam pelajarannya, namun pada semester genap dipelajari secara intensif.


Perubahan per jenjang

Secara rinci perubahan yang terjadi pada Kurikulum PSP ini dapat dilihat pada masing-masing jenjang pendidikan. Pada jenjang SD, dalam Kurikulum 2013, materi IPA dan IPS menjadi mata pelajaran yang berdiri sendiri-sendiri, namun dalam PSP ini IPA dan IPS digabung menjadi IPAS (Ilmu Pengetahuan Alam dan Sosial) sebagai fondasi sebelum anak belajar IPA dan IPS terpisah di jenjang SMP.


Dalam Kurikulum 2013 pembelajaran di SD menggunakan pendekatan tematik, dalam kurikulum PSP ini diserahkan kepada guru, akan menggunakan tematik atau berbasis mata pelajaran. Guru memiliki otonomi untuk menentukan pendekatan yang akan dipakainya.


Sekolah-sekolah yang sekarang sudah menggunakan pendekatan tematik dapat melanjutkan dengan tematik, tetapi yang akan beralih ke basis mata pelajaran juga dipersilahkan. Pada Kelas VI terjadi pengurangan total JP, antara 16-28 jam pelajaran per tahun.


Pada jenjang SMP, dalam Kurikulum 2013 informatika sebagai mata pelajaran pilihan dengan pertimbangan ketersediaan guru, pada Kurikulum PSP menjadi pelajaran wajib karena guru yang mengajar tidak harus berlatar belakang pendidikan informatika. Bila di SMP ini akan digunakan, pendekatan tematik juga diizinkan, meski dalam Kurikulum 2013 berbasis mata pelajaran. Pada Kelas IX (III SMP) terjadi pengurangan total JP antara 12-24 JP per tahun.


Pada jenjang SMA, dalam Kurikulum 2013, begitu anak masuk SMA langsung diarahkan ke penjurusan/peminatan IPA, IPS, atau Bahasa dan Budaya. Namun dalam Kurikulum PSP ini penjurusan baru dilakukan di Kelas IX (II SMA). Dengan demikian, murid Kelas I SMA wajib mengambil semua mata pelajaran yang telah ditentukan.


Mata pelajaran kelompok IPA terdiri dari Fisika, Kimia, Biologi (enam JP) per minggu, dan IPS terdiri dari Sosiologi, Ekonomi, Sejarah, Geografi (delapan JP per minggu). Sejarah Indonesia dan Sejarah Dunia digabung menjadi “Sejarah” dengan alokasi waktu masing-masing dua JP per minggu untuk mata pelajaran dalam kelompok IPA dan IPS.


Ada lima kelompok mata pelajaran yang direkomendasikan untuk penjurusan/peminatan, yaitu MIPA (Matematika peminatan, Fisika, Kimia, Biologi, Informatika); IPS (Ekonomi, Sosiologi, Geografi, Antropologi); Bahasa dan Budaya (Bahasa dan Sastra Indonesia, Bahasa dan Sastra Inggris, Bahasa Asing lainnya); Vokasi/Karya Kreatif (Budidaya, Rekayasa, dan sebagainya); dan Seni dan Olahraga (khusus untuk sekolah-sekolah yang ditetapkan pemerintah). Sekolah membuka minimum dua kelompok mata pelajaran.


Mata pelajaran dalam IPA dan IPS dapat diajarkan dengan metode: a) Sistem blok — team teaching dalam perencanaan namun guru Fisika, Kimia, Biologi mengajar bergantian; b). Terintegrasi — team teaching dalam perencanaan dan pembelajaran; c). Paralel — ketujuh mata pelajaran diajarkan bersamaan secara reguler tiap minggunya


"Kurikulum Senyap"

Meskipun Kurikulum PSP ini akan membawa perubahan mendasar di lapangan, terutama untuk tingkat SMA, baik menyangkut kesiapan para guru, orangtua, murid, infrastruktur sekolah, dan kualitas pendidikan itu sendiri; namun tidak menimbulkan kehebohan di masyarakat. Hal ini sangat mungkin disebabkan kurikulum dibuat dan disosialisasikan secara diam-diam, hanya pada lingkungan terbatas, sehingga tidak diketahui oleh publik. Bahkan media massa pun tidak menciumnya.


Hanya mereka yang terlibat dalam proses saja, termasuk para guru Sekolah Penggerak sajalah yang mengetahui adanya Kurikulum PSP ini. Andaikan tidak ada guru Sekolah Penggerak yang mengikuti diklat dan menyampaikan info tersebut kepada kami para pemerhati pendidikan, jelas kami tidak mengetahui kalau ada desain kurikulum baru.


Itulah sebabnya kami menyebut ini sebagai Kurikulum Senyap, karena dibuat secara diam-diam dan disosialisasikan secara terbatas, serta diimplementasikan secara tergesa.


Kurikulum apapun yang akan diterapkan oleh suatu negara itu amat terkait dengan nasib anak bangsa. Oleh karena itulah pembuatan kurikulum memerlukan kajian yang serius, perlu uji publik, dan penerapannya perlu kehati-hatian karena kalau sampai sembarangan dampaknya akan mengena ke satu generasi. Kurikulum PSP ini kapan disusun dan kapan diuji publikkan; kami para pemerhati pendidikan tidak ada yang tahu sama sekali.


Tiba-tiba saja langsung diterapkan di 2.500 Sekolah Penggerak mulai Tahun Ajaran 2021/2022 ini. Dan ironisnya, dalam dokumen-dokumen yang berupa power point sebagai materi sosialisasi kepada para guru Sekolah Penggerak ditulis “Bahan diskusi internal, tidak untuk disebarluaskan”.


Sungguh aneh, tapi nyata terjadi. Bagaimana kurikulum yang menyangkut nasib anak bangsa kok dibuat secara diam-diam dan dilaksanakan secara terburu-buru? Kurikulum itu bagian dari kebijakan publik, seharusnya dibuka ke publik agar publik mengetahuinya dan memberikan masukan.


Banyak masalah

Meskipun pada tingkat paradigmatik tidak ada perubahan dari Kurikulum 2013, kecuali hanya perubahan teknis, bukan berarti tanpa ada masalah ketika dilaksanakan secara nasional.


Masalah pertama akan muncul dari kesiapan para guru ketika diberi otonomi untuk mengatur jam pelajaran per minggu, mereka belum tentu mampu. Andaikan mampu, belum tentu disetujui pengawas atau kepala Dinas Pendidikan setempat. Pengawas belum tentu setuju karena akan menambah repot kerjanya bila jadwal setiap sekolah beda-beda. Ujung-ujungnya akan terjadi penyeragaman dalam satu daerah, sehingga otonomi satuan pendidikan tak terwujud.


Kedua, pemberian otonomi kepada satuan pendidikan pada tingkat SD dan SMP untuk menentukan model pendekatan yang akan dipakai dalam pembelajaran, apakah akan berbasis mata pelajaran atau tematik, juga belum tentu terwujud, lagi-lagi sangat dipengaruhi oleh arahan dari pengawas dan kepala Dinas Pendidikan serta ketersediaan buku ajarnya. Kecuali itu, pilihan tersebut juga akan membuka peluang bisnis buku pelajaran yang lebih ramai lagi, karena satu penerbit akan membuat dua jenis buku sekaligus: berbasis mata pelajaran dan tematik.


Masalah ketiga, problem kualitas pendidikan muncul terkait dengan adanya penggabungan pelajaran IPA dan IPS di SD. SD itu merupakan fondasi untuk meletakkan landasan berpikir keilmuan, dan salah satu alat untuk menanamkan berpikir keilmuan adalah pelajaran IPA. Kalau pelajaran IPA digabung dengan IPS apa tidak makin tumpul?


Lagi pula pelajaran IPA itu memiliki kegunaan praktis dalam kehidupan sehari-hari termasuk bagi anak-anak SD. Pengetahuan mengenai massa jenis, pemuaian, suhu dan kalor, energi, cahaya, getaran, gelombang, dan bunyi itu merupakan pengetahuan dasar yang perlu diketahui oleh anak-anak guna menjalani kehidupan sehari-hari agar tidak celaka karena ketidak-tahuannya. Kalau IPA digabung dengan IPS, sejauh mana pengenalan pengetahuan dasar tersebut dapat diberikan kepada murid SD?


Pada tingkat SMA, ketika penjurusan/peminatan dilaksanakan di Kelas XI, maka belajar di SMA semakin tidak fokus. Murid yang tidak suka pelajaran Matematika, Fisika, Kimia, atau Sejarah akan tersiksa selama setahun. Adanya penjurusan/peminatan Vokasi/Karya Kreatif serta Seni dan Budaya di SMA juga menjadikan arah SMA semakin tak fokus: menyiapkan calon-calon masuk ke universitas atau pesaing SMK?


Dengan banyaknya masalah yang bakal muncul tersebut, amat mungkin Kurikulum PSP ini hanya akan bertahan selama Nadiem Makarim menjadi mendikbud, setelah itu akan balik kanan lagi, kembali ke Kurikulum 2013 yang disempurnakan. Hanya saja, sayang mereka yang sudah terlanjur menjadi kelinci percobaan Mas Menteri Nadiem Makarim, terlanjut sesat.


Ki Darmaningtyas Pengurus Persatuan Keluarga Besar Tamansiswa (PKTBTS)



Sumber : Kompas, 4 September 2021


Komentar

Postingan populer dari blog ini

BIODATA DARMANINGTYAS

BIODATA DARMANINGTYAS, menggeluti pendidikan sejak mulai menjadi mahasiswa baru di UGM, Agustus 1982 dengan menjadi guru di SMP Binamuda dan SMA Muhammadiyah Panggang, Gunungkidul, DIY. Pendidikan formalnya cukup Sarjana Filsafat Universitas Gadjah Mada (UGM) dan selebihnya otodidak. Gelar “Profesor Doktor” diperoleh dari undangan, sertifikat, piagam, spanduk, dan sejenisnya; sebagai bentuk pengakuan nyata dari masyarakat.

Masyarakat Diajak Adaptasi

Pemerintah, melalui lembaga dan kementerian, mengeluarkan peraturan dan edaran perihal protokol atau pedoman kesehatan. Protokol itu berlaku di tempat masyarakat, industri, sektor jasa, dan perdagangan.

REFLEKSI DARI PELATIHAN GURU SASARAN DI LAMPUNG

Berikut saya sampaikan refleksi saya tatkala mendapat tugas untuk membuka dan kasih pengarahan pada pelatihan guru sasaran di Lampung tanggal 9 Juli lalu. Semoga refleksi in dapat menjadi bahaperbaikan proses pelatihan guru yang akan dating sehingga menjadi lebih baik.