Langsung ke konten utama

EVALUASI ANGKUTAN MUDIK LEBARAN 2021


KI DARMANINGTYAS

 

Penyelenggaraan angkutan mudik lebaran (Idul Fitri) selalu menarik perhatian publik dengan berbagai permasalahannya yang khas. Bila selama berpuluh tahun permasalahan angkutan mudik lebaran yang menonjol adalah kemacetan dan mahalnya tiket angkutan umum (bus, kereta api, dan pesawat udara), maka selama pandemi Covid 19 (2020 dan 2021) persoalan yang muncul lebih terkait dengan kebijakan larangan mudik yang dikeluarkan Pemerintah guna menghindari terjadinya penyebaran Covid 19. Larangan ini kemudian disikapi beragam di masyarakat: ada yang patuh, tapi banyak pula yang tidak patuh. Yang tidak patuh itulah  yang kemudian menimbulkan persoalan di lapangan dan dikhawatirkan pula akan menimbulkan tsunami Covid 19.

Suasana mudik lebaran 2021 lebih heboh dibandingkan dengan mudik Lebaran 2020 lalu, karena tidak terlepas dari ambiguitas Pemerintah antara melarang mudik atau tidak demi mendorong bangkitan ekonomi. Pada tahun 2020 lalu karena baru mulai pandemi, maka kebijakannya sejak awal tegas, tidak boleh mudik Lebaran. Meskpun libur Idul Fitri 1441 H baru tanggal 24-25 Mei 2020 dan blum ada pengumuman resmi dari Presiden Jokowi mengenai larangan mudik, namun Dirjen Perhubungan Darat Kementerian Perhubungan (Dirjen Hubdar Kemenhub) Budi Setyadi (23/3 2020) telah mengumumkan bahwa Program Mudik Gratis Lebaran 2020, baik yang diselenggarakan oleh Kemenhub, BUMN, maupun swasta dibatalkan dengan maksud untuk mengantisipasi merebaknya penyebaran wabah Covid 19 ke daerah-daerah.

Pengumuman pembatalan program mudik gratis tersebut memberikan sinyal kepada masyarakat bahwa Pemerintah tidak mengizinkan mudik lebaran (24-25 Mei 2020), sehingga ketika muncul pengumuman resmi dari Presiden Jokowi bahwa masyarakat dilarang mudik, itu dianggap sebagai penegasan saja terhadap apa yang sudah diputuskan oleh Dirjen Perhubungan Darat. Sementara yang terjadi pada tahun 2021 agak berbeda. Pemerintah sepertinya ambigu.

Inkonsistensi Kebijakan

Semula Menteri Perhubungan (Menhub) Budi Karya Sumadi pada saat Rapat Kerja dengan Komisi V DPR (16/3 2020) menyatakan, pada prinsipnya Kemenhub tidak melarang masyarakat untuk mudik, namun tetap diwajibkan melakukan protokol kesehatan yang ketat. Atas dasar pernyataan tersebut banyak masyarakat yang mulai berburu tiket mudik leabran, dan para operator angkutan umum pun kemudian menyiapkan armadanya untuk melayani para pemudik. Bagi operator, pernyataan Menhub tersebut sebagai sinar terang yang akan menjadi dewa penolong bagi bisnis mereka yang terpuruk selama satu tahun lebih. Namun pada hari yang sama  (16/3/2021), Juru Bicara Satgas Covid-19 Wiku Adisasmito, mengatakan bahwa sejauh ini kebijakan mudik lebaran masih dalam tahab pembahasan kementerian dan lembaga terkait. Satgas Covid 19 juga masih mengatur beberapa kebijakan teknis mengenai libur Hari Idul Fitri 1442 H mengingat kegiatan tersebut berpotensi menimbulkan mobilitas penduduk yang tinggi.

Teka teki boleh mudik lebaran atau tidak itu akhirnya terjawab ketika Menteri Koordinator bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Muhadjir Effendy (26/3 2021) mengatakan, bahwa cuti bersama tetap diberikan kepada masyarakat, yakni satu hari saja, namun masyarakat tetap tidak diperbolehkan untuk melakukan aktivitas mudik. Sejak munculnya pernyataan Menko PMK itulah suara Pemerintah seakan bulat: masyarakat dilarang melakukan mudik lebaran. Suara Pemerintah semakin bulat ketika melihat terjadinya tsunami Covid 19 di India yang terjadi usai adanya perayaan hari besar keagamaan di Sungai Gangga.

Ada yang kecewa dengan pengumuman yang disampaikan oleh Menko PMK mengenai larangan mudik itu, yaitu para operator angkutan umum dan masyarakat yang sudah kebelet ingin mudik, namun karena suara Pemerintah sudah bulat, maka kepetutusan tersebut tetap dijalankan. Pemerintah sendiri langsung melakukan koordinasi antar kementerian/lembaga terkait dan menentukan strategi untuk menghalau kemungkinan adanya warga yang tetap nekat ingin mudik. Salah satu langkah itu adalah akan melakukan penyekatan pada sejumlah titik yang menjadi akses warga untuk mudik. Pada awalnya hanya teridentifikasi 333 titik saja, namun kemudian berkembang menjadi 381 titik. Penyekatan tersebut diyakini akan mampu menghalau pemudik.

Permasalahan muncul di masyarakat ketika Pemerintah secara massif melakukan sosialisasi dilarang mudik, tapi di sisi lain mengizinkan datangnya TKA dari China dengan alasan pergantian waktu kerja. Momentum ini amat tidak tepat karena bertepatan dengan larangan mudik bagi warga. Masyarakat pun memandang ada inkonsistensi kebijakan dari Pemerintah, wajar kemudian kedatangan rombongan TKA dari China tersebut menimbulkan polemik di masyarakat dan sekaligus bullying terhadap Pemerintah. Apalagi ketika dua dari 85 TKA yang masuk awal Mei itu ditemukan positip Covid-19, ini dapat memicu timbulnya reaksi keberanian masyarakat untuk melawan kebijakan larangan mudik, seperti yang terjadi di Aceh yang dilakukan oleh seorang tokoh agama yang secara terang-terangan mengajak masyarakat untuk mudik.

Inkonsistensi kebijakan juga terlihat dari diizinkannya pembukaan tempat-tempat wisata untuk dikunjungi selama masa liburan dengan pembatasan kapasitas dan tetap menerapkan protokol kesehatan yang ketat. Mudik dilarang guna menghindari terjadinya kerumunan, tapi tempat-tempat wisata yang secara otomatis menciptakan kerumunan justru dibuka.


Jebolnya Penyekatan

Jebolnya penyekatan akses mudik yang dilakukan oleh petugas gabungan dari berbagai instansi tampaknya bersumber dari sikap perlawanan yang dimiliki oleh masyarakat dengan tetap berkeinginan untuk mudik. Keinginan untuk tetep mudik tersebut didorong oleh perbagai faktor, seperti rasa rindu pada orang tua, rasa bosan berada di rumah selama masa pandemi, atau tidak ada lagi kegiatan di kota dan ingin pulang ke kampung. Di sisi lain daya tahan aparat untuk menjaga titik-titik penyekatan amat terbatas, sehingga ketika berhadapan dengan puluhan atau bahkan ratusan ribu pengendara motor dan mobil yang antre di pintu akses mudik, mereka tidak berkutik. Para calon pemudik ini memanfaatkan psikologi massa, ketika mereka bertahan beramai-ramai di titik penyekatan selama berjam-jam dan menimbulkan dampak kemacetan yang panjang, maka pasti aparat akan melonggarkan penyekatan, karena mereka tidak mau mengambil resiko yang lebih besar lagi bila situasi yang crowded itu berlangsung lama. Bila diperhatikan, jebolnya pagar penyekatan tersebut terjadi pada saat aparat berada dalam titik lelah, yaitu pada dini hari.

Bentuk perlawanan warga terhadap larangan mudik itu tidak hanya dengan menjebol pagar penyekatan saja, tapi juga mengelabui petugas dengan berbagai cara, seperti numpang di truk yang membawa sayuran atau barang lainnya, numpang di alat penggilingan semen, naik ambulan, dan sejenisnya. Semua taktik tersebut menguras energi aparat untuk menertibkannya, sehingga saat dikepung dengan barisan kendaraan bermotor yang ingin menerobos barisan, mereka tidak berkutik lagi.

Agar pengalaman dua tahun terakhir ini tidak terulang di masa yang akan datang (bila masih pandemic atau situasi sejenis), maka pertama, penting bagi pemerintah untuk menjaga konsistensi kebijakan guna menghindari reaksi perlawanan dari masyarakat. Kedua, apapun kebijakan yang akan diambil, sudah diumumkan kepada publik tiga bulan sebelumnya sehingga ada waktu cukup bagi masyarakat untuk ancang-ancang mengambil keputusan. Ketiga, perlu ada koordinasi yang baik antar kementerian/lembaga dan cukup satu pintu untuk mengumumkannya ke publik guna menghindari terjadinya kebingungan masyarakat: mana yang harus diikuti.

 

Ki Darmaningtyas, Ketua INSTRAN (Institut Studi Transportasi) di Jakarta


Dimuat di Bisnis Indonesia 22 Mei 2021




Komentar

Postingan populer dari blog ini

BIODATA DARMANINGTYAS

BIODATA DARMANINGTYAS, menggeluti pendidikan sejak mulai menjadi mahasiswa baru di UGM, Agustus 1982 dengan menjadi guru di SMP Binamuda dan SMA Muhammadiyah Panggang, Gunungkidul, DIY. Pendidikan formalnya cukup Sarjana Filsafat Universitas Gadjah Mada (UGM) dan selebihnya otodidak. Gelar “Profesor Doktor” diperoleh dari undangan, sertifikat, piagam, spanduk, dan sejenisnya; sebagai bentuk pengakuan nyata dari masyarakat.

Masyarakat Diajak Adaptasi

Pemerintah, melalui lembaga dan kementerian, mengeluarkan peraturan dan edaran perihal protokol atau pedoman kesehatan. Protokol itu berlaku di tempat masyarakat, industri, sektor jasa, dan perdagangan.

REFLEKSI DARI PELATIHAN GURU SASARAN DI LAMPUNG

Berikut saya sampaikan refleksi saya tatkala mendapat tugas untuk membuka dan kasih pengarahan pada pelatihan guru sasaran di Lampung tanggal 9 Juli lalu. Semoga refleksi in dapat menjadi bahaperbaikan proses pelatihan guru yang akan dating sehingga menjadi lebih baik.