Langsung ke konten utama

Pencegahan Radikalisme melalui Satuan Pendidikan Mesti Menyeluruh


Pencegahan penyebaran paham radikalisme dapat dilakukan melalui satuan pendidikan. Namun, upaya yang ditempuh harus menyeluruh bukan hanya melalui pendidikan agama.

Aktivis pendidikan dari Taman Siswa, Darmaningtyas, Selasa (6/4/2021), di Jakarta mengatakan, kesesatan berpikir yang umumnya terjadi adalah ketika menghadapi persoalan-persoalan sosial budaya, lalu mencari jawaban atas masalah itu pada agama. Oleh karena itu, pendidikan di Indonesia semestinya memperkuat logika berpikir anak-anak agar sejak kecil terbiasa berpikir rasional.

”Apabila mereka terbiasa berpikir rasional, mereka tidak mudah terpapar oleh pengaruh ataupun ajaran yang bersifat radikal dan menyesatkan. Sebab, mereka dengan daya kritis akan mempertanyakan kebenaran pengaruh ataupun ajaran,” ujarnya.

Darmaningtyas memandang, agama cenderung dogmatis dan individu bisa terperosok pada paham radikalisme ketika memperoleh pelajaran agama yang cenderung bersifat dogmatis itu. Ini akan diperparah jika guru pengampu mata pelajaran menganut paham radikal.

”Kurikulum 2013 memberikan alokasi waktu pelajaran pendidikan agama sebanyak 4 jam bagi jenjang sekolah dasar. Itu menurut saya sudah terlalu banyak. Apalagi, kalau ditambah waktu, (anak-anak) kita bisa semakin tidak cerdas,” katanya.

Kepala Bidang Kajian Guru Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) Agus Setiawan secara terpisah menyampaikan, permasalahan radikalisme yang diperkirakan banyak muncul di satuan pendidikan bukan lagi terletak pada materi ataupun pembelajaran pendidikan agama. Di semua mata pelajaran, potensi kemunculan radikalisme juga mesti menjadi perhatian.

Agus menjelaskan, Kurikulum 2013 telah mengadopsi pendekatan ”4C”, yakni kolaborasi, komunikasi, berpikir kritis (critical thinking), dan kreativitas. Namun, pelaksanaan pendekatan itu belum dijalankan dengan tepat.

Di kalangan sejumlah guru, dia mengamati masih sering terjadi kebiasaan suka menyebarluaskan hoaks ataupun disinformasi. Mereka tidak terlebih dulu membaca dengan saksama isi konten ataupun memeriksa ada tidaknya substansi radikal.

”Butuh kesadaran bersama bahwa pendekatan 4C bukan sebatas tuntutan kurikulum. Pendekatan 4C semestinya telah menjadi sebuah aktivitas yang alamiah,” kata Agus yang juga tergabung di Asosiasi Guru Pendidikan Agama Islam Indonesia (AGPAII).

Di kalangan guru pendidikan agama Islam, menurut dia, rata-rata guru telah memiliki cara pandang luas dan obyektif. Kalaupun ada yang kaku, jumlahnya hanya sedikit.


Menyeluruh 

Dosen Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya, Ahmad Zainul Hamdi, memandang, pendidikan agama sebagai salah satu mata pelajaran harus diberikan secara proporsional. Dalam konteks nilai-nilai keagamaan, mata pelajaran pendidikan agama semestinya mengajarkan nilai-nilai keagamaan yang universal, seperti kejujuran, toleransi, dan saling menghormati.

Mata pelajaran pendidikan agama tidak boleh semata-mata membahas teologi yang eksklusif. Selain itu, penambahan alokasi waktu pelajaran agama berpotensi akan jadi bumerang.

”Permasalahan saat ini, ideologi radikal dimiliki anak muda, semestinya diatasi dengan mengarusutamakan nilai-nilai agama yang universal,” kata Ahmad.

Menurut dia, merombak kurikulum mata pelajaran pendidikan agama sah-sah saja. Namun, itu akan menjadi percuma jika substansinya hanya nilai-nilai teologi. Generasi muda tetap mudah terpapar dan terpengaruh paham radikal.

Peneliti di Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) Universitas Islam Negeri Jakarta, Abdallah Sy, memandang, persoalan berkembangnya ideologi radikal di kalangan anak muda harus didudukkan hulu-hilir. Dari sisi hulu, persoalan itu mesti ditelaah akar penyebabnya hingga ke hal-hal teknis, seperti literatur atau buku bacaan pendukung belajar di sekolah.

PPIM Universitas Islam Negeri Jakarta bersama Pascasarjana Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, Pusat Pengkajian Islam Demokrasi dan Perdamaian Yogyakarta, dan UNDP Indonesia pernah merilis laporan ”Peta Literatur Keislaman Generasi Milenial: Ideologi dan Jaringan” pada 2018. Penelitian itu dilaksanakan di 16 kota, yaitu Medan, Pekanbaru, Padang, Bogor, Bandung, Surakarta, Yogyakarta, Surabaya, Jember, Pontianak, Banjarmasin, Makasar, Palu, Mataram, Ambon, dan Denpasar.

Selain observasi tren, penelitian itu juga melangsungkan wawancara mendalam dengan 1.300 informan berlatar belakang pelajar, mahasiswa, guru, dosen, kepala sekolah, penjual buku, penulis, dan penerbit. Untuk konfirmasi data wawancara ataupun observasi, studi itu juga menggelar dua kali diskusi kelompok terfokus di setiap kota dengan menghadirkan 10 pelajar dan 10 mahasiswa. Gunanya adalah mengkaji penerimaan dan preferensi mereka terhadap literatur keislaman.

Salah satu temuan penelitian menunjukkan secara umum kurikulum pendidikan agama Islam bersifat inklusif, tetapi tidak sepenuhnya solid. Contoh yang menonjol yang dipaparkan dalam penelitian itu adalah pembahasan toleransi di literatur buku sekolah elektronik Kementerian Agama tahun 2016 mata pelajaran Al Quran Hadis untuk Madrasah Aliyah kelas XI yang berbicara tentang ”Indahnya Hidupku dengan Menjaga Toleransi dan Etika dalam Pergaulan”. Dalam literatur itu masih ditemukan seruan kewaspadaan saat bergaul antaragama.

”Pencegahan paham radikal melalui pendidikan tidak bisa dilihat dari satu sisi. Harus holistik. Pengalaman perjumpaan terhadap keberagaman dan wawasan kebangsaan perlu selalu ditonjolkan di satuan pendidikan,” ujar Abdallah.



Dimuat di Kompas 6 April 2021

Komentar

Postingan populer dari blog ini

BIODATA DARMANINGTYAS

BIODATA DARMANINGTYAS, menggeluti pendidikan sejak mulai menjadi mahasiswa baru di UGM, Agustus 1982 dengan menjadi guru di SMP Binamuda dan SMA Muhammadiyah Panggang, Gunungkidul, DIY. Pendidikan formalnya cukup Sarjana Filsafat Universitas Gadjah Mada (UGM) dan selebihnya otodidak. Gelar “Profesor Doktor” diperoleh dari undangan, sertifikat, piagam, spanduk, dan sejenisnya; sebagai bentuk pengakuan nyata dari masyarakat.

Masyarakat Diajak Adaptasi

Pemerintah, melalui lembaga dan kementerian, mengeluarkan peraturan dan edaran perihal protokol atau pedoman kesehatan. Protokol itu berlaku di tempat masyarakat, industri, sektor jasa, dan perdagangan.

REFLEKSI DARI PELATIHAN GURU SASARAN DI LAMPUNG

Berikut saya sampaikan refleksi saya tatkala mendapat tugas untuk membuka dan kasih pengarahan pada pelatihan guru sasaran di Lampung tanggal 9 Juli lalu. Semoga refleksi in dapat menjadi bahaperbaikan proses pelatihan guru yang akan dating sehingga menjadi lebih baik.