Langsung ke konten utama

Masalah Penerimaan Murid Baru


Ki Darmaningtyas

Pengurus Persatuan Keluarga Besar Tamansiswa


Menjelang periode penerimaan murid baru, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Anwar Makarim mengeluarkan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 1 Tahun 2021 tentang penerimaan peserta didik baru (PPDB) bagi taman kanak-kanak hingga sekolah menengah atas dan kejuruan. Sejumlah pasal dalam peraturan itu sama dengan peraturan menteri untuk penerimaan siswa baru tahun lalu. Namun ada beberapa pasal yang implementasinya dapat menimbulkan persoalan di lapangan.


Penerimaan murid tahun ini masih melalui jalur zonasi, afirmasi, perpindahan orang tua/wali, atau prestasi. Persentasenya sama dengan peraturan menteri tahun 2019, yaitu jalur zonasi SD paling sedikit 70 persen; jalur zonasi SMP dan SMA paling sedikit 50 persen; jalur afirmasi paling sedikit 15 persen; dan perpindahan orang tua/wali paling banyak 5 persen. Apabila masih tersisa kuota dari jalur pendaftaran zonasi, afirmasi, dan perpindahan orang tua/wali murid, pemerintah daerah dapat membuka jalur prestasi. Ketentuan terakhir inilah yang sejak tahun lalu menimbulkan polemik.


Polemik muncul karena ketentuan itu bertentangan dengan semangat peraturan menteri tahun 2018, yang menjadi dasar peraturan tahun 2019. Pada peraturan tahun 2018, jalur prestasi dibatasi maksimal 5 persen, sedangkan pada peraturan tahun 2019 dan 2020 mencapai 30 persen. Semangat peraturan lama adalah memberikan ruang yang lebih luas kepada anak-anak yang lokasi tempat tinggalnya di dekat sekolah agar dapat diterima di sekolah negeri terdekat, sedangkan semangat peraturan tahun 2019 dan 2020 ialah memberikan ruang yang lebih luas kepada jalur prestasi.


Saya setuju pada perimbangan antar-jalur tersebut, mengingat kalau hanya didasarkan pada jalur zonasi, dapat berefek buruk pada semangat belajar anak-anak. Mereka bisa berdalih bahwa untuk apa belajar serius kalau pada akhirnya jaraklah yang menentukan mereka dapat diterima di sekolah negeri. Banyak pelajar yang memiliki semangat belajar tinggi menjadi frustrasi akibat kebijakan zonasi sampai 90 persen ini. Hanya, memang semangat ini bertolak belakang dengan semangat peraturan tahun 2018 yang berupaya menghapuskan predikat sekolah favorit dan non-favorit guna mencapai pemerataan mutu pendidikan. Keberadaan predikat sekolah favorit, dari aspek transportasi, menyumbang terjadinya kemacetan lalu lintas karena orang dari berbagai penjuru akan mengarah ke sekolah tertentu yang kebetulan berada di pusat kota.


Adapun pasal dalam peraturan tahun 2021 yang akan menimbulkan kegaduhan bagi orang tua murid adalah Pasal 19. Pasal itu mengatur bahwa calon murid hanya dapat memilih satu jalur dalam satu wilayah zonasi. Namun, selain melalui jalur zonasi, calon murid dapat mendaftar melalui jalur afirmasi atau prestasi. Pasal ini sebetulnya memberikan pilihan yang lebih banyak kepada calon murid, tapi sekaligus "pertaruhan"-nya lebih banyak. Banyak orang tua "senam jantung" karena bingung mau memilih jalur mana yang kira-kira tepat. Apalagi Pasal 21 menjelaskan bahwa, ketika jumlah pendaftar jalur afirmasi lebih banyak daripada daya tampung yang tersedia, prioritasnya diberikan kepada mereka yang memiliki jarak terdekat dengan sekolah. Artinya, mereka yang kurang mampu dan kebetulan tempat tinggalnya agak jauh dari sekolah akan terlempar dari sekolah negeri yang dianggap paling dekat dengan tempat tinggalnya.


Pasal 24 juga bermasalah karena jalur prestasi tersebut dibuktikan dengan nilai rapor dan keterangan dari sekolah serta jalur akademik dan non-akademik, padahal semangat Kurikulum 2013 tidak mengenal pemeringkatan. Lantas bagaimana model seleksinya?


Mematikan Sekolah Swasta


Pasal yang agak lucu sekaligus multitafsir adalah Pasal 16 ayat 1 yang menyatakan bahwa pemerintah daerah dapat "melibatkan" sekolah yang diselenggarakan oleh masyarakat dalam pelaksanaan penerimaan siswa baru. Apa makna kata "melibatkan" di sini? Bukankah sekolah yang diselenggarakan oleh masyarakat (sekolah swasta) adalah pihak yang diatur dalam peraturan ini? Jika maksudnya adalah pelibatan dalam membuat pedoman penerimaan siswa baru, pelibatan itu tidak hanya sekolah swasta, tapi juga sekolah-sekolah negeri agar peraturan tersebut berlaku umum. Yang perlu dijaga adalah pedoman tersebut tidak perlu masuk ke wilayah otonomi penyelenggara sekolah (yayasan).


Keberatan penyelenggara sekolah swasta adalah amanat Pasal 27 yang melarang sekolah swasta yang telah menerima bantuan operasional sekolah (BOS) memungut biaya. Ayat ini sangat multitafsir. Apakah biaya yang dimaksudkan itu uang pendaftaran atau termasuk uang pangkal? Apabila hanya uang pendaftaran, tentu tak bermasalah. Tapi, kalau yang dimaksudkan adalah uang pangkal, regulasi ini akan mematikan sekolah swasta secara sistemis. Sumber pendanaan sekolah swasta selama ini adalah dari murid dan pemerintah, tapi bantuan pemerintah hanya sebatas BOS yang besarannya bergantung pada jumlah murid. Demikian pula dengan Pasal 36 yang melarang sekolah melakukan pungutan pada saat pendaftaran ulang untuk murid-murid lama. Pasal ini akan menimbulkan reaksi pada penyelenggara sekolah swasta karena selama ini pendaftaran ulang murid lama diikuti dengan kewajiban membayar uang daftar ulang.


Semangat kedua pasal tersebut adalah mengurangi komersialisasi di sekolah-sekolah swasta yang menjadikan tahun ajaran baru sebagai tambang emas. Saya setuju pada semangat ini. Masalahnya, aturan tersebut tidak disertai dengan besarnya dukungan pendanaan dari pemerintah terhadap sekolah-sekolah swasta. Bantuan BOS yang didasarkan pada jumlah murid jelas amat terbatas, terutama bagi sekolah yang memiliki sedikit murid. Bila diterapkan, regulasi tersebut akan mematikan sekolah swasta secara sistemis. Boleh jadi Menteri Pendidikan memang kurang memahami sistem pengelolaan sekolah swasta, sehingga kebijakan yang dibuatnya hanya didasarkan pada satu sisi (melindungi masyarakat) dengan mematikan sekolah-sekolah swasta.


Hal positif yang patut diapresiasi dari peraturan menteri ini adalah larangan bagi sekolah-sekolah negeri mengadakan pungutan biaya yang berhubungan dengan penerimaan siswa baru dan pungutan untuk membeli seragam sekolah. Hal ini dapat menghilangkan bisnis pakaian seragam di sekolah yang sudah berlangsung puluhan tahun. Biarkanlah murid-murid membeli pakaian seragam sendiri di pasar atau toko pakaian.


Yang perlu dikoreksi adalah Pasal 29, yang mengatur pendaftaran siswa baru yang menggunakan mekanisme daring dengan mengunggah dokumen yang diperlukan ke laman pendaftaran. Ketentuan ini semestinya bersifat pilihan, mengingat tidak semua wilayah dan masyarakat memiliki akses daring yang memadai. Kalau ini satu-satunya cara, aturan ini tentu hanya menguntungkan mereka yang tinggal di perkotaan dan orang-orang mampu, sedangkan mereka yang tinggal di pedalaman akan mengalami masalah besar.


Dengan berbagai pertimbangan di atas, maka Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 1 Tahun 2021 tentang penerimaan siswa baru harus ditinjau ulang. Beberapa pasal yang bermasalah perlu diperbaiki dan ketentuan yang sudah baik haruslah dipertahankan.



Dimuat di Koran Tempo 19 Maret 2021


https://koran.tempo.co/read/opini/463168/opini-masalah-penerimaan-murid-baru-oleh-ki-darmaningtyas

Komentar

Postingan populer dari blog ini

BIODATA DARMANINGTYAS

BIODATA DARMANINGTYAS, menggeluti pendidikan sejak mulai menjadi mahasiswa baru di UGM, Agustus 1982 dengan menjadi guru di SMP Binamuda dan SMA Muhammadiyah Panggang, Gunungkidul, DIY. Pendidikan formalnya cukup Sarjana Filsafat Universitas Gadjah Mada (UGM) dan selebihnya otodidak. Gelar “Profesor Doktor” diperoleh dari undangan, sertifikat, piagam, spanduk, dan sejenisnya; sebagai bentuk pengakuan nyata dari masyarakat.

Masyarakat Diajak Adaptasi

Pemerintah, melalui lembaga dan kementerian, mengeluarkan peraturan dan edaran perihal protokol atau pedoman kesehatan. Protokol itu berlaku di tempat masyarakat, industri, sektor jasa, dan perdagangan.

REFLEKSI DARI PELATIHAN GURU SASARAN DI LAMPUNG

Berikut saya sampaikan refleksi saya tatkala mendapat tugas untuk membuka dan kasih pengarahan pada pelatihan guru sasaran di Lampung tanggal 9 Juli lalu. Semoga refleksi in dapat menjadi bahaperbaikan proses pelatihan guru yang akan dating sehingga menjadi lebih baik.