Langsung ke konten utama

Kontroversi Kebijakan Seragam Sekolah



Ki Darmaningtyas

Pengurus Persatuan Keluarga Besar Tamansiswa


Masalah seragam sekolah tiba-tiba menjadi kontroversi setelah keluarnya Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Menteri Agama, dan Menteri Dalam Negeri tentang Penggunaan Pakaian Seragam dan Atribut Peserta Didik, Pendidik, dan Tenaga Kependidikan di Lingkungan Sekolah yang Diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah pada Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah. Keputusan itu ditandatangani pada 3 Februari 2021. Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Cholil Nafis, misalnya, meminta pemerintah mencabut surat keputusan tersebut.


Sangat mungkin, kehebohan itu terjadi karena masyarakat tidak membaca secara cermat dan jernih bunyi SKB tersebut. Diktum Satu dalam surat itu dengan jelas menyatakan, "Peserta didik, pendidik, dan tenaga kependidikan di lingkungan sekolah yang diselenggarakan oleh pemerintah daerah pada jenjang pendidikan dasar dan menengah berhak memilih untuk menggunakan pakaian seragam dengan atribut: a) tanpa kekhasan agama tertentu, b) dengan kekhasan agama tertentu, sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan". Surat itu juga menggariskan bahwa, "Pemerintah daerah dan sekolah memberikan kebebasan kepada peserta didik, pendidik, dan tenaga kependidikan untuk memilih menggunakan pakaian seragam dan atribut sebagaimana dimaksud dalam Diktum Satu”.


Jadi, SKB tersebut sama sekali tidak melarang pemakaian jilbab di sekolah bagi pelajar putri, guru, ataupun tenaga kependidikan. Yang diatur adalah kebebasan untuk memilih. Ini sudah sesuai dengan hak asasi manusia. Dengan begitu, murid yang beragama Islam tidak dilarang menggunakan pakaian seragam jilbab. Tapi yang tidak memilih memakai jilbab juga tidak boleh dipaksa menggunakan jilbab.


Maka, SKB ini sudah tepat dan tidak perlu dicabut. Saya akan turut berteriak agar SKB ini dicabut andaikan ia berisi suatu pemaksaan tertentu. Tapi, karena yang diberikan adalah kebebasan, saya turut berteriak agar SKB ini tetap diterapkan.


Keputusan Politik

Persoalan pakaian seragam sekolah berkerudung ini sebetulnya bukan masalah baru. Sejak masa Orde Baru, hal ini sudah muncul dan selalu menimbulkan kehebohan. Hal itu diawali dengan kasus delapan siswi SMAN 3 Bandung yang diskors pada September 1984 karena menggunakan pakaian berkerudung. Kasus yang sama kemudian muncul di beberapa sekolah menengah atas lain di kota yang sama.


Pada masa itu, ketentuan mengenai pakaian seragam diatur dalam Surat Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Nomor 052/C/Kep/D.82 yang diteken oleh Dardji Darmodjo, yang disusul dengan Peraturan Pelaksanaan Nomor 1830/C/D.83 tentang Pedoman Pakaian Seragam Anak Sekolah. Salah satu poin dalam surat keputusan itu, yang menjadi dasar bagi kepala sekolah di sekolah-sekolah negeri dalam mengambil kebijakan mengenai seragam sekolah, berbunyi: “Pelaksanaan pengaturan pakaian seragam di sekolah-sekolah, bagi beberapa siswi yang melakukan penyimpangan karena keyakinan agamanya (bila ada) diperlakukan secara persuasif, edukatif, dan manusiawi”.


Seiring dengan perubahan iklim politik, menguatnya politik Islam dengan lahirnya Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) dan atas lobi MUI kepada Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Fuad Hassan, regulasi tersebut kemudian direvisi dengan Surat Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Nomor 100/C/Kep/D/1991 tentang seragam sekolah, yang di dalamnya memperbolehkan jilbab dipakai sebagai pakaian seragam sekolah. Namun pelaksanaannya baru efektif ketika Menteri Pendidikan dijabat oleh Wardiman Djojonegoro, yang juga Sekretaris Jenderal ICMI, dan Direktur Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Zainal Arifin Achmady, yang juga mantan Rektor Universitas Brawijaya Malang yang menjadi tuan rumah pendirian ICMI. Pada pertengahan September 1993, Zainal mengumumkan bentuk pakaian seragam sekolah untuk putri: ada yang memakai jilbab dan ada yang tidak memakai jilbab. Sejak itu, kontroversi pemakaian jilbab sebagai pakaian seragam sekolah untuk sementara tidak mengemuka karena keputusan politiknya telah menjadikan jilbab sebagai seragam sekolah yang sah.


Pepesan Kosong

Meski pada 1993 jilbab telah sah menjadi seragam sekolah, sampai akhir masa Orde Baru pada 1998, pelajar putri yang berjilbab, baik di sekolah negeri maupun swasta, tidak terlalu banyak. Pakaian seragam berjilbab baru mulai marak dan mendominasi sekolah-sekolah negeri setelah memasuki abad ke-21. Hal itu tidak lepas dari Surat Edaran Menteri Pendidikan Nasional Malik Fadjar yang ditujukan ke sekolah-sekolah dan mengimbau agar pada hari Jumat murid-murid yang beragama Islam mengenakan pakaian seragam yang mencirikan kekhasan agamanya. Sejak saat itu, jilbab mulai mendominasi sekolah dan pelajar laki-laki yang beragama Islam memakai baju koko.


Imbauan Malik Fadjar itu memperoleh penguatan dari para guru agama (Islam) yang memberikan nilai bagus kepada murid-murid perempuan yang sehari-harinya mengenakan jilbab. Sikap guru agama tersebut ada yang dinyatakan secara verbal di depan murid-muridnya dan ada yang diekspresikan melalui tindakan.


Setelah reformasi, muncul gelombang kesadaran beragama secara personal. Individu-individu yang sebelumnya tidak menjalankan rukun agamanya secara tertib kini menjadi semakin tertib, baik karena pengaruh lingkungan sekitar maupun kesadaran pribadi. Pada kelompok ini, memakai jilbab tidak semata-mata untuk memenuhi imbauan menteri atau instrumen mendapatkan nilai agama (Islam) yang bagus, melainkan telah menjadi keyakinan yang harus dijalankan.


Sikap personal para guru agama yang kemudian secara samar terlembagakan itu kemudian diperkuat dengan kehadiran Kurikulum 2013. Salah satu kompetensi inti pendidikan agama Islam untuk tingkat SMA/SMK dalam kurikulum itu adalah "Menganalisis ketentuan berpakaian sesuai syariat Islam". Kompetisi tersebut kemudian dijabarkan dalam kompetensi dasar berupa "Menyajikan keutamaan tata cara berpakaian sesuai syariat Islam".


Agar guru agama Islam dinilai tuntas melaksanakan Kurikulum 2013, kompetensi dasar tersebut harus diberikan dan murid dituntut untuk melaksanakannya. Bila hal itu yang terjadi, "Surat Keputusan Bersama Tiga Menteri" yang kini mengatur soal pakaian seragam sekolah tersebut akan menjadi pepesan kosong. Guru akan lebih mengacu pada pelaksanaan kurikulum. Sedangkan murid akan lebih mengacu pada perintah guru agama agar bisa mendapatkan nilai pelajaran agama yang bagus. Bila berharap surat keputusan bersama tersebut efektif, mau tidak mau diperlukan revisi terhadap Kurikulum 2013.



Dimuat di KORAN TEMPO 11 Februari 2021


https://koran.tempo.co/read/opini/462253/opini-kontroversi-kebijakan-seragam-sekolah-oleh-ki-darmaningtyas

Komentar

Postingan populer dari blog ini

BIODATA DARMANINGTYAS

BIODATA DARMANINGTYAS, menggeluti pendidikan sejak mulai menjadi mahasiswa baru di UGM, Agustus 1982 dengan menjadi guru di SMP Binamuda dan SMA Muhammadiyah Panggang, Gunungkidul, DIY. Pendidikan formalnya cukup Sarjana Filsafat Universitas Gadjah Mada (UGM) dan selebihnya otodidak. Gelar “Profesor Doktor” diperoleh dari undangan, sertifikat, piagam, spanduk, dan sejenisnya; sebagai bentuk pengakuan nyata dari masyarakat.

Masyarakat Diajak Adaptasi

Pemerintah, melalui lembaga dan kementerian, mengeluarkan peraturan dan edaran perihal protokol atau pedoman kesehatan. Protokol itu berlaku di tempat masyarakat, industri, sektor jasa, dan perdagangan.

REFLEKSI DARI PELATIHAN GURU SASARAN DI LAMPUNG

Berikut saya sampaikan refleksi saya tatkala mendapat tugas untuk membuka dan kasih pengarahan pada pelatihan guru sasaran di Lampung tanggal 9 Juli lalu. Semoga refleksi in dapat menjadi bahaperbaikan proses pelatihan guru yang akan dating sehingga menjadi lebih baik.