Langsung ke konten utama

Kebijakan Buka - Tutup Sekolah


Ki Darmaningtyas Pengurus Persatuan Keluarga Besar Tamansiswa, Yogyakarta

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim tampaknya gagap dalam mengambil keputusan pada situasi pandemi Coronavirus Disease 2019 (Covid-19). Pada Juli lalu, Mas Menteri sempat mengatakan pembelajaran jarak jauh (PJJ) ada kemungkinan akan menjadi permanen. Namun, pada 7 Agustus lalu, ia mengumumkan sekolah-sekolah di zona kuning atau oranye boleh menjalankan pembelajaran tatap muka. Salah satu alasannya adalah pembelajaran daring dirasa kurang efektif dan banyak kendala.

Sebetulnya, pengumuman itu sangat jelas. Meskipun pemerintah sudah mempersilakan sekolah melaksanakan pembelajaran tatap muka, keputusannya sangat bergantung pada pemerintah daerah, kepala sekolah, dan komite sekolah, serta orang tua murid. Jika pemerintah daerah tidak mengizinkan, kegiatan itu tidak dapat dilakukan. Bila pemerintah daerah mengizinkan tapi komite sekolah keberatan, sekolah juga tidak bisa dibuka. Artinya, kunci utama pembukaan bukan pada pemerintah.


Meskipun demikian, pengumuman ini langsung ditolak oleh sejumlah aktivis yang peduli terhadap Covid-19. Menurut mereka, pembukaan sekolah dapat menjadi kluster baru penyebaran Covid-19. Reaksi penolakan semakin kencang ketika sejumlah daerah yang menyelenggarakan pembelajaran tatap muka lalu menutupnya lagi karena ditemukan kasus Covid-19, baik pada anak maupun guru. Hal ini seperti yang terjadi di Sigli, Aceh; Pariaman, Sumatera Barat; Serang dan Pandeglang di Banten; serta Pontianak, Kalimantan Barat.


Ketua Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Aman Pulungan menolak pembukaan sekolah tatap muka dengan sejumlah alasan. Pertama, sampai sekarang belum semua pemerintah daerah melaksanakan tes reverse transcription polymerase chain reaction (RT-PCR) atau metode PCR dengan tes usap yang dapat menjadi basis data untuk mengetahui berapa banyak orang yang terinfeksi Covid-19. Jika suatu daerah dinyatakan sebagai zona hijau, belum tentu tidak ada warganya yang terkena Covid-19 karena tidak ada tes. Dengan kata lain, penentuan zona (hijau, kuning, merah, atau hitam) tidak didasari data ilmiah, tapi hanya didasari asumsi. Ini bisa membahayakan warga.


Kedua, Indonesia memiliki angka kasus anak meninggal tertinggi di Asia selama pandemi ini dan persentase yang tertinggi di dunia. Menunda anak masuk sekolah dapat menyelamatkan nyawa puluhan juta anak. Menurut Aman, sampai saat ini belum ada satu cabang pun dari Ikatan Dokter Anak Indonesia yang berani merekomendasikan pembukaan sekolah baru.


Ketiga, apa urgensinya anak-anak ini harus segera kembali ke sekolah? Jika sekadar mengejar target pembelajaran, sudah pasti tidak akan tercapai karena pembelajaran selama PJJ memang tidak maksimal. Yang mengalami ketertinggalan itu bukan hanya sektor pendidikan, sektor ekonomi pun mengalami pertumbuhan negatif. Selain itu, pendidikan di seluruh dunia mengalami hal yang sama sehingga tidak perlu terlalu dirisaukan.


Keempat, jika memaksakan pembukaan sekolah, seberapa banyak sekolah yang telah mampu memenuhi protokol kesehatan? Apakah di sekolah tersedia ruang isolasi bila tiba-tiba ada murid yang terkena Covid-19? Apakah guru juga sudah dilatih untuk menangani murid yang ditemukan memiliki gejala Covid-19? Pertanyaan-pertanyaan tersebut perlu dijawab sebelum Kementerian Pendidikan dan pemerintah daerah membuka sekolah untuk pembelajaran tatap muka.


Masyarakat mengapresiasi kebijakan Menteri Nadiem yang cepat memutuskan agar semua murid/mahasiswa belajar di rumah selama dua pekan (16-29 Maret) mengikuti keputusan Gugus Tugas yang menerapkan kebijakan bekerja dari rumah (WFH), dan akhirnya diperpanjang sampai sekarang. Kebijakan tersebut tepat karena dapat menyelamatkan puluhan juta anak dari serangan Covid-19. Kementerian perlu ekstra hati-hati membuka kembali sekolah karena dapat berisiko besar terhadap keselamatan anak. Semestinya, jika PJJ dinilai tidak efektif, perlu dicarikan solusi yang tepat.


Pertama, mengingat belum semua wilayah tersambung dengan saluran listrik dan Internet, Kementerian dapat berkoordinasi dengan kementerian terkait yang bertanggung jawab dalam pembangunan infrastruktur listrik dan jaringan Internet. Memang ini membutuhkan waktu, tapi upaya pemenuhan kebutuhan tersebut harus dilakukan.


Kedua, Kementerian dapat mengecek kembali di mana buntunya regulasi yang mereka buat sehingga tidak terwujud di lapangan. Sebagai contoh, kebijakan penggunaan dana bantuan operasional sekolah (BOS) kini dapat dimanfaatkan untuk pembelian kuota bagi guru dan murid. Tapi, pada kenyataannya, sampai sekarang banyak kepala sekolah yang tidak berani mengeksekusinya. Dengan demikian, perlu dicari masalah apa yang membuat kepala sekolah takut menjalankannya.


Ketiga, pada masa lalu, di setiap kampung biasanya ada kelompok belajar untuk program paket A, B, dan C. Kelompok tersebut biasanya memiliki tutor untuk setiap bidang pelajaran. Tutor itu semestinya diberdayakan untuk mendampingi anak-anak dalam belajar, sehingga mereka tidak hanya mendasarkan pada penjelasan guru melalui daring, tapi juga dari orang yang sudah lebih paham. Karena tingkatnya di kampung, potensi kerumunan anak dapat dikendalikan sehingga risikonya tidak terlalu tinggi. Hal ini berbeda, misalnya, bila harus masuk sekolah.



Dimuat di Koran Tempo 26 Agustus 2020



Komentar

  1. Saya Bayu dari Riau. Saya mau bertanya: apakah dana bos bisa utk membantu kesejahteraan guru swasta di bawah yayasan?
    Memang kami dah digaji oleh yayasan tapi dirasa kurang sejak covid 19 jg berdampak ke bid ekonomi, harga barang naik, dll. Mohon penjelasannya. Matur nuwun pak.

    BalasHapus
  2. sangat bisa, kan sudah ada penjelasan dari mendikbud

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

BIODATA DARMANINGTYAS

BIODATA DARMANINGTYAS, menggeluti pendidikan sejak mulai menjadi mahasiswa baru di UGM, Agustus 1982 dengan menjadi guru di SMP Binamuda dan SMA Muhammadiyah Panggang, Gunungkidul, DIY. Pendidikan formalnya cukup Sarjana Filsafat Universitas Gadjah Mada (UGM) dan selebihnya otodidak. Gelar “Profesor Doktor” diperoleh dari undangan, sertifikat, piagam, spanduk, dan sejenisnya; sebagai bentuk pengakuan nyata dari masyarakat.

Masyarakat Diajak Adaptasi

Pemerintah, melalui lembaga dan kementerian, mengeluarkan peraturan dan edaran perihal protokol atau pedoman kesehatan. Protokol itu berlaku di tempat masyarakat, industri, sektor jasa, dan perdagangan.

REFLEKSI DARI PELATIHAN GURU SASARAN DI LAMPUNG

Berikut saya sampaikan refleksi saya tatkala mendapat tugas untuk membuka dan kasih pengarahan pada pelatihan guru sasaran di Lampung tanggal 9 Juli lalu. Semoga refleksi in dapat menjadi bahaperbaikan proses pelatihan guru yang akan dating sehingga menjadi lebih baik.