Langsung ke konten utama

HORE…MENDIKBUD NADIEM MAKARIM MENGHAPUS UJIAN NASIONAL (UN)

Bagi saya sebagai orang yang sejak awal menolak pemberlakuan Ujian Nasional (UN), kebijakan Mendikbud Nadiem Makarim menghapus UN bukan hal yang mengagetkan, tapi memang seharusnya begitu. Saya gembira mendengar kebijakan tersebut karena itu berarti membenarkan pendapat saya dan kawan-kawan yang sama-sama menolak UN dengan alasan hanya buang-buang anggaran tapi tidak memiliki korelasi positip dengan peningkatan kualitas pendidikan lantaran sering terjadi manipulasi dalam pelaksanaan UN. Manipulasi dalam pelaksanaan UN terjadi disebabkan para pemimpin daerah ingin agar daerahnya memiliki nilai UN tinggi. Keinginan Kepala Daerah untuk memiliki nilai UN yang tinggi dapat dipahami karena Pemerintah selalu memberikan reward kepada daerah yang meraih nilai UN tertinggi. Jadi wajar bila para Pemimpin Daerah selalu berusaha untuk mendapatkan nilai UN yang tinggi.


Bagi anak-anak yang bersekolah dan orang tua, penghapusan UN berarti akan mengurangi beban ekonomis mereka karena tidak perlu bimbel lagi sekadar untuk mendapatkan nilai UN yang tinggi.Anak-anak juga tidak perlu mengalami stress tahunan untuk menghadapi UN. Bimbel-bimbel juga tidak perlu masuk sekolah, sehingga sekolah betul-betul menjadi proses belajar yang menyenangkan. Selama masih ada UN, sekolah hanyalah tempat berlatih menjawab soal-soal sehingga kurang mengembangkan daya pikir, kreativitas, rasa seni, dan inovasi.

Dengan adanya penerimaan murid baru memakai system zonasi, UN itu tidak relevan lagi, karena untuk apa UN wong saat penerimaan murid baru nilai UN tidak terpakai?. Lebih baik UN dihapuskan, lalu dana untuk UN yang rata-rata sebesar Rp. 500 miliar setiap tahun itu dialihkan untuk peningkatan prasarana dan sarana pendidikan, terutama untuk sekolah-sekolah di pinggiran kota dan pedesaan atau pedalaman, juga untuk membayar guru-guru honorer agar memiliki gaji yang layak. Dengan menghapus UN dan mengalihkan dananya untuk pengembangan pendidikan di sekolah-sekolah/daerah-daerah yang masih tertinggal, dalam kurun waktu tertentu akan tercapai pemerataan mutu pendidikan di seluruh wilayah Indonesia. Sebaliknya, mempertahankan UN tidak ada jaminan akan mampu menciptakan pemerataan kualitas pendidikan di Indonesia.

Bagaimana mengevaluasi kemampuan murid? Yang tahu kemampuan murid itu guru. Sekarang yang diperlukan adalah gurunya yang ditingkatkan kompetensinya melalui berbagai kegiatan Diklat dan mengikuti kegiatan-kegiatan diskusi dengan menggunakan sebagian dana dari anggaran yang untuk UN tersebut. Sedangkan untuk menciptakan standarisasi mutu pendidikan dapat dilakukan tes diagnostic yang tidak harus dilakukan setiap tahun, tapi bisa setahun sekali untuk semua jenjang. Tes ini bukan untuk menentukan kenaikan/kelulusan, tapi hanya untuk mendiaknosis kemampuan murid saja, dari sini Pemerintah dapat mengetahui kemampuan murid, sekolah, dan daerah. Juga dapat mengetahui bidang-bidang studi apa saja yang masih kurang dan perlu ditingkatkan. Berdasarkan hasil tes diagnostic atau assessment tersebut, Pemerintah bisa melakukan pembinaan kepada guru bidang studi yang lemah tadi, juga kepada daerah yang capaiannya rendah, agar pada saat dicek lagi tiga tahun kemudian hasilnya sudah meningkat. Atau kalau perlu evaluasinya ditumpangkan pada tes PISA (Program for International Student Assessment), yaitu penilaian tingkat dunia yang diselenggarakan tiga-tahunan, untuk menguji performa akademis anak-anak sekolah yang berusia 15 tahun dan TIMSS (Trends in International Mathematics and Science Study), yaitu studi internasional tentang prestasi matematika dan sains siswa sekolah lanjutan tingkat pertama. Kedua tes tersebut diselenggarakan oleh Organisasi untuk Kerjasama dan Pengembangan Ekonomi (OECD) dengan cara memperbanyak cakupan respondennya, sampai ke daerah-daerah kepulauan. Dengan cara itu, evaluasinya memiliki kredibilitas yang tinggi, tapi juga hemat biaya. SELAMAT TINGGAL UJIAN NASIONAL (UN).



Ki Darmaningtyas, Pengurus PKBTS (Persatuan Keluarga Besar Tamansiswa


Komentar

Postingan populer dari blog ini

BIODATA DARMANINGTYAS

BIODATA DARMANINGTYAS, menggeluti pendidikan sejak mulai menjadi mahasiswa baru di UGM, Agustus 1982 dengan menjadi guru di SMP Binamuda dan SMA Muhammadiyah Panggang, Gunungkidul, DIY. Pendidikan formalnya cukup Sarjana Filsafat Universitas Gadjah Mada (UGM) dan selebihnya otodidak. Gelar “Profesor Doktor” diperoleh dari undangan, sertifikat, piagam, spanduk, dan sejenisnya; sebagai bentuk pengakuan nyata dari masyarakat.

Masyarakat Diajak Adaptasi

Pemerintah, melalui lembaga dan kementerian, mengeluarkan peraturan dan edaran perihal protokol atau pedoman kesehatan. Protokol itu berlaku di tempat masyarakat, industri, sektor jasa, dan perdagangan.

REFLEKSI DARI PELATIHAN GURU SASARAN DI LAMPUNG

Berikut saya sampaikan refleksi saya tatkala mendapat tugas untuk membuka dan kasih pengarahan pada pelatihan guru sasaran di Lampung tanggal 9 Juli lalu. Semoga refleksi in dapat menjadi bahaperbaikan proses pelatihan guru yang akan dating sehingga menjadi lebih baik.