Darmaningtyas
Pengurus PKBTS (Persatuan Keluarga Besar Tamansiswa)
SEORANG guru SMPN bertutur tentang kondisi murid-muridnya yang diterima berdasarkan sistem zona. Selama puluhan tahun sekolah tersebut memang hanya menerima calon murid lulusan SD yang memiliki nilai bagus karena termasuk dalam kategori empat sekolah terbaik di kotanya. Namun, dengan adanya kebijakan zonasi 90%, yang masuk ke SMPN tersebut bukan lagi anak-anak yang memiliki nilai NEM sekolah dasar yang tinggi, tapi mereka yang tempat tinggalnya di sekitar sekolah. Kebetulan, lokasi sekolahnya berada di sekitar tepi sungai, dekat pasar, dan permukiman padat. Dapat dibayangkan tipologi murid-murid barunya dan karakter orang tua muridnya pun menjadi beragam.
Pada bulan pertama Tahun Ajaran 2018/2019, guru itu shock ketika melihat perbedaan nyata antara murid-murid yang diterima berdasarkan nilai dengan yang diterima berdasarkan sistem zona. Meski baru kelas I SMP (kelas VII), anak-anak yang diterima berdasarkan sistem zona itu sudah terbiasa mengumpat (misuh) dengan menggunakan kata-kata yang tidak pantas bagi seorang terpelajar, terlebih baru seorang murid kelas I SMP, yang notabene baru tamat SD. Bahkan nama-nama binatang pun muncul pada saat mengumpat kepada teman-teman sebaya. Sebelumnya, tidak pernah sekalipun didengarnya murid-murid mengumpat dengan menggunakan kata-kata tidak pantas seperti yang ada di kebun binatang.
Sebagai seorang guru yang memiliki tanggung jawab dan empati, ia terlibat dalam penanganan anak-anak yang selalu mengumpat dengan kata-kata tidak sopan tersebut yang dikategorikan sebagai anak-anak bermasalah. Dia memiliki keyakinan bahwa anak-anak tersebut berkata dan berperilaku seperti itu tentu ada sebabnya. Dalam arti, latar belakang keluarga dan lingkungan sekitar amat menentukan. Ternyata betul, dari penelusuran terhadap para murid yang sering berkata tidak sopan atau bahkan berperilaku cenderung memberontak itu latar belakang keluarganya kurang mendukung.
Ada murid yang tinggal di rumah sering sendirian karena sang ibu keluar beberapa hari entah ke mana atau keluar malam dan baru pulang pagi hari, kakaknya bekerja di tempat hiburan malam, sedangkan sang ayah tidak pernah diketahui rimbanya. Tidak jarang, pada tengah malam, saat anak-anak seusianya tidur nyenyak diapit kedua orang tuanya, dia keluar mencari makan (tidak jelas mencarinya, entah beli, minta-minta, atau bahkan mencari sisa-sisa makanan), akhirnya ketika pagi saat teman-temannya mengikuti pelajaran dengan penuh konsentrasi dia merasa pusing dan tidak bisa konsentrasi.
Cerita yang lain, anak tinggal bersama kakek-neneknya karena orang tuanya telah lama berpisah dan entah pada ke mana. Akhirnya, anak-anak dititipkan ke kakek-nenek dan hanya enam bulan sekali ibunya menengok, sementara ayahnya tidak pernah menengok lagi. Ada juga kisah serupa, ibunya pergi meninggalkan ayah dan ketiga anaknya, entah pergi ke mana tidak pernah diketahui. Ketiga anaknya tidak pernah mengenal sosok ibu lagi, sementara anak-anak hidup bersama nenek dari ayahnya yang sudah renta, karena ayahnya bekerja di lain daerah untuk mencari nafkah mereka.
Kisah lain yang lebih pilu lagi, ada seorang anak yang ayahnya telah meninggal sejak dia masih kecil, sementara sampai sekarang dia belum pernah tahu sosok ibunya seperti apa, karena ibunya pergi entah ke mana dan apa yang dikerjakan, tidak pernah ada kabar. Dia di rumah hanya bersama kakek-neneknya yang sudah renta dan tinggal di permukiman padat. Perilakunya lebih banyak dibentuk oleh teman-teman sepergaulan atau orang dewasa yang sudah terbiasa menggunakan kata-kata tidak senonoh saat mengumpat, sehingga si anak pun tertular.
Yatim Piatu Semu
Masih belasan cerita lain yang menyedihkan dan memilukan, yang akhirnya membuat guru tidak bisa marah pada murid yang bersikap tidak sopan, suka mengumpat dengan kata-kata kotor, mem-bully, bahkan cenderung berontak, tapi berbalik menjadi iba. Suatu pendekatan personal pun kemudian dilakukan untuk mengubah perilaku anak tersebut. Tugasnya bukan lagi agar anak-anak tersebut memiliki nilai bagus, tapi dapat berhenti mengumpat dengan kata-kata kotor dan tidak merisak sesama, dan hormat pada guru. Dia sampai pada kesimpulan bahwa anak-anak yang oleh guru maupun murid-murid lain disebut nakal sesungguhnya adalah korban dari orang tua yang tidak bertanggung jawab dan lingkungan yang kurang kondusif.
Pengalaman memiliki murid-murid bermasalah itu sekarang dialami oleh hampir semua yang sistem penerimaan murid barunya berdasarkan sistem zona. Banyak di antara mereka itu adalah yang masuk kategori anak-anak yatim (piatu) semu, yaitu mereka sebetulnya masih memiliki ayah dan/atau ibu, namun tidak tinggal bersama orang tua, entah karena perceraian, orang tua merantau ke kota/daerah lain, bahkan mungkin menjadi TKI ke Malaysia, Hong Kong, Taiwan, dll.
Anak-anak tersebut di rumah tinggal bersama kakek/nenek yang buta huruf atau tinggal bersama famili yang tidak peduli dengan pendidikan mereka. Hanya saja, ada guru yang memiliki passion untuk membantu anak-anak tersebut agar dapat tumbuh dan berkembang secara baik. Namun, banyak juga sekolah (kepala sekolah, guru, dan tata usaha) yang main pukul saja, langsung menghakimi bahwa anak tersebut bandel sehingga lebih baik dikeluarkan saja daripada mengganggu yang lain.
Kecenderungan meningkatnya jumlah angka perceraian di seluruh wilayah Indonesia yang berdampak pada meningkatnya jumlah anak-anak yatim (piatu) semu, sebetulnya merupakan persoalan besar karena akan berdampak luas terhadap ketahanan keluarga, masyarakat, bangsa dan negara. Seperti dikatakan oleh Francis Fukuyama (Gramedia, 2005:44), ada kaitan yang kuat antara keluarga dan modal sosial. Keluarga adalah unit kerja sama sosial yang paling mendasar. Ibu dan ayah harus bekerja sama untuk menghasilkan keturunan, menanamkan nilai-nilai, dan mendidik anak-anak. Jika, anak-anak pada akhirnya mengalami keterpisahan dari kedua orang tua mereka, maka anak-anak itu tidak memiliki lagi sosok yang mampu menyemai benih-benih kebaikan.
Studi Wallerstein di Amerika Serikat, seperti dikutip oleh Lawrence E Shapiro (Gramedia, 1998:88-89) mengungkapkan bahwa perceraian mempunyai efek berlanjut pada anak-anak yang dapat menimbulkan trauma lama setelah mereka dewasa, bahkan meskipun tampaknya tidak ada masalah serius pada saat perceraian itu sendiri. Studi itu juga melaporkan, bahwa 25% kaum ibu dan 20% kaum ayah tidak peduli lagi kepada anak-anak sesudah sepuluh tahun perceraian.
Sampai sekarang belum ada institusi yang memiliki kepedulian terhadap nasib anak-anak korban perceraian tersebut. Meskipun kita telah memiliki Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) maupun Kementerian Sosial, namun perhatian terhadap anak-anak yatim (piatu) semu ini belum ada. Praksis pendidikan yang mengabaikan tumbuh-kembangnya anak-anak korban perceraian atau ketidakharmonisan keluarga dapat menjerumuskan ketidakjelasan masa depan anak, karena mereka cenderung dipandang sebagai beban bagi para guru sehingga tidak difasilitasi untuk tumbuh menjadi manusia yang berkarakter dan memiliki kompetensi dalam bidang yang mereka minati.
Hanya seorang guru yang memiliki empati dan tanggung jawablah yang mampu membawa anak-anak bermasalah itu keluar dari persoalan diri dan keluarganya. Sayang, sosok guru seperti itu amat langka, karena guru lebih sibuk mengurusi hal-hal yang terkait dengan kesejahteraan dirinya saja, bukan muridnya.
Dimuat di Koran sindo Rabu 3 Oktober 2018
https://nasional.sindonews.com/read/1343123/18/anak-anak-bermasalah-di-sekolah-1538506853/26
Kontennya bagus
BalasHapusici