Langsung ke konten utama

Inkonsistensi Enam Ruas Tol di Jakarta

Isu pembangunan enam ruas tol dalam kota di Jakarta kembali mencuat setelah pemerintah memulai pengerjaannya sejak 2017 lalu. Pasangan Gubernur Anies Baswedan dan Sandiaga Uno (Anies-Sandi) saat kampanye dulu berkomitmen untuk menolak pembangunan enam ruas tol tersebut. Kini, setelah mereka terpilih mulai ingkar janji. Wakil Gubernur Sandi meminta agar polemik pembangunan enam ruas tol dalam kota itu dihentikan, sedangkan Gubernur Anies menyatakan akan mengikuti Pusat.


Rencana pembangunan enam ruas tol dalam kota itu sebetulnya gagasan lama, sudah diumumkan sejak 2005. Namun, selalu mendapat tentangan dari sebagian warga yang paham implikasi negatif dari kehadiran enam ruas tol dalam kota tersebut, baik secara ekonomis, traffic, pemborosan BBM, maupun polusi udara yang akan ditimbulkan. 

Pada masa awal (2012) kepemimpinannya sebagai Gubernur DKI Jakarta, Joko Widodo (Jokowi) pernah mengundang sejumlah aktivis yang selama itu keras menolak rencana pembangunan jalan tol, dan dipertemukan dengan perwakilan dari Jakpro (yang diwakili oleh Frans Sunito) sebagai pihak yang menginisiasi rencana pembangunan jalan tol tersebut. Tidak ada kata sepakat karena masing-masing bertahan pada argumennya sendiri-sendiri. Hanya saja, waktu itu Gubernur Jokowi mengingatkan bahwa jika mau dibangun, maka Japro perlu merevisi desainnya yang menyediakan lajur khusus untuk angkutan umum dan dipresentasikan kepada publik terlebih dahulu. 

Setelah itu tidak ada lagi pembahasan mengenai rencana pembangunan enam ruas tol dalam kota, sampai akhirnya Gubernur Jokowi menjadi Presiden. Namun, bukan berarti rencana pembangunan enam ruas tol dalam kota terlupakan; sebaliknya, justru diperkuat dengan dimasukkannya ke dalam Peraturan Presiden (Perpres) No. 3 Tahun 2016 tentang Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional (PSN), khususnya dalam lampiran No. 42-47. 

Ketika Perpres tersebut direvisi menjadi Perpres No. 58 Tahun 2017, ternyata keberadaan rencana pembangunan enam ruas tol dalam kota tidak hilang, hanya berubah nomor urut saja, yaitu menjadi nomor 40-45 (dalam lampirannya). Dengan dimasukkannya ke dalam PSN, otomatis proyek enam ruas tol dalam kota tersebut diwujudkan, apalagi tidak ada penolakan dari pemerintah daerah yang terkena lokasi proyek. 

Rencana pembangunan tol tengah kota di Surabaya oleh Kementerian PU dapat dibatalkan karena Pemerintah Kota Surabaya di bawah kepemimpinan Tri Rismaharini dan didukung oleh warga yang akan terkena dampak Tol Waru-Perak menolak keras. Sementara, Pemprov DKI Jakarta, baik Gubernur Anies maupun Wakil Gubernur Sandi sama-sama menerima rencana tersebut, sehingga rencana pembangunan enam ruas tol tengah kota tersebut otomatis jalan terus. 

Berdasarkan pemberitaan media massa kita mengetahui bahwa telah ada Perjanjian Pengusahaan Jalan Tol (PPJT) Tahun 2014, yang di antaranya berisi tentang tahapan pengerjaan proyek ini, yang dibagi menjadi tiga tahap. Tahap pertama meliputi Semanan-Sunter dan Sunter-Pulo Gebang sepanjang 30 km. Tahap kedua rute Duri Pulo-Kampung Melayu sepanjang 12,65 km dan Kemayoran-Kampung Melayu sepanjang 9,6 km. Sedangkan tahap ketiga terdiri dari Ulujami-Tanah Abang sepanjang 8,7 km dan Pasar Minggu-Casablanca sepanjang 9,16 km. Proyek ini dikerjakan oleh PT Jakarta Tollroad Development (JTD). 

Alasan Rasional

Penolakan terhadap rencana pembangunan enam ruas tol dalam kota didasarkan pada alasan yang rasional dan mengacu pada konsep Pola Transportasi Makro (PTM) yang asli (2003) yang belum memasukkan enam ruas tol dalam kota.

Pertama, pembangunan enam ruas tol dalam kota itu bertentangan dengan kebijakan pembatasan kendaraan pribadi, baik melalui sistem ganjil-genap, pajak progresif, maupun ERP (electronic road pricing). Semua kebijakan pembatasan kendaraan pribadi itu dimaksudkan untuk mengurangi penggunaan mobil pribadi. Namun, dengan membangun enam ruas tol dalam kota itu justru mengundang penggunaan mobil pribadi lebih banyak lagi. Untuk apa ada kebijakan pembatasan penggunaan mobil pribadi kalau pemerintah memperbanyak jalan tol di Jakarta? 

Kedua, pembangunan enam ruas tol dalam kota bertentangan dengan filosofi pembangunan infrastruktur angkutan umum massal seperti BRT, LRT, dan MRT. Semua infrastruktur angkutan umum massal itu dimaksudkan untuk memindahkan pergerakan orang dalam kota dari kendaraan pribadi ke angkutan umum. Bila pemerintah kemudian memperbanyak pembangunan jalan tol, siapa yang disuruh pindah naik angkutan umum massal? Dikhawatirkan pembangunan BRT, LRT, dan MRT itu nanti akan sia-sia karena tidak ada penumpangnya. Pengendara mobil pribadi yang diharapkan pindah ke BRT, LRT, dan MRT ternyata tidak mau pindah lantaran naik mobil pribadi lebih nyaman dan lancar karena banyak jalan tol yang dapat dilewati.

Argumen ketiga yang mendasari penolakan adalah pembangunan enam ruas tol dalam kota itu akan meningkatkan konsumsi BBM dan meningkatkan polusi udara di Jakarta. Dengan adanya enam ruas tol baru secara otomatis akan meningkatkan penggunaan mobil pribadi dan sekaligus juga peningkatan konsumsi BBM. Ini kontradiktif dengan arahan Presiden Jokowi dalam Rapat Terbatas di Kantor Presiden (20/7/18) yang mengingatkan bahwa kita tidak boleh hanya tergantung kepada energi fosil karena suatu saat energi fosil akan habis. Presiden juga mengingatkan bahwa kita ingin mengurangi impor minyak guna menghemat devisa. 

Arahan Presiden Jokowi itu bila disandingkan dengan proyek pembangunan enam ruas tol dalam kota di Jakarta tentu sangat kontradiktif. Muskil kita bisa menekan impor BBM bila pengguna mobil pribadi terus dimanjakan dengan menambah enam ruas tol baru. Data menunjukkan bahwa selama ini lebih dari 50% konsumsi premium untuk kendaraan pribadi. Makin banyak jalan tol dibangun berarti makin banyak BBM dihabiskan, mengingat energi terbarukan belum berkembang. Bila pemerintah ingin mengurangi penggunaan energi fosil dan impor BBM, semestinya fokus pada membangun infrastruktur transportasi massal. 

Kebijakan Presiden Jokowi membangun LRT dan MRT itu sudah tepat. Sayang bila kemudian kebijakan tersebut terdegradasi oleh proyek enam ruas jalan tol yang notabene bertentangan dengan filosofi pembangunan infrastruktur transportasi umum massal. 

Harapan Pembatalan

Bagi para penolak enam ruas tol dalam kota, harapan pembatalan pembangunannya justru bertumpu pada sosok Jokowi, baik sebagai Gubernur DKI Jakarta saat itu maupun sebagai Presiden RI. Karena, masyarakat selalu ingat jargon yang sering dikemukakan oleh Presiden Jokowi sejak menjadi Walikota Surakarta dulu, yaitu "moving the people, not moving the car" (memindahkan orang, bukan kendaraan). 

Jargon itu mengisyaratkan bahwa Jokowi dalam posisinya sebagai Gubernur DKI Jakarta maupun Presiden RI tidak akan mendukung pembangunan enam ruas tol dalam kota. Sebab bila ingin memindahkan orang, tentu yang perlu dibangun adalah infrastruktur transportasi massal agar mampu memindahkan ratusan atau bahkan ribuan orang dalam satu kali perjalanan. Bila yang dibangun enam ruas tol baru, tentu yang lebih banyak dipindahkan adalah kendaraan, bukan orang. 

Namun, ternyata harapan itu pun sia-sia. Semoga dengan meningkatnya nilai dolar AS terhadap rupiah sehingga menguras devisa untuk impor BBM, pemerintah mau merevisi Perpres No. 58/2017 dengan mengeluarkan rencana pembangunan enam ruas tol dalam kota dari PSN. Jika pemerintah tetap pada pendiriannya, kita tinggal menunggu dampak buruknya saja.

Darmaningtyas Ketua Instran (Institut Studi Transportasi) di Jakarta

Dimuat di Detik.com Rabu 25 Juli 2018

https://news.detik.com/kolom/d-4132550/inkonsistensi-enam-ruas-tol-di-jakarta?_ga=2.237427456.1058100817.1532589490-859322606.1531970051

Komentar

  1. Sungguh persoalan pelik nan delimatis. Kendaraan pribadi saat ini semakin meledak, terlebih dengan kemudahan model pembayaran dan dp yang sungguh murah.

    Sejatinya pemerintah harus menaikan harga mobil pribadi hingga 2x lipat, kemudian ongkos parkir di dalam kotadinaikan hingga 5x lipat, ganjil-genap dibuat 24 jam diseluruh jabodetabek, memperbanyak jalur kereta, memperbaiki fasilitas angkot dan bus umum.

    Insya Allah macet teratasi tanpa perlu menambah infrastrukur jalan mobil lagi.

    Salam

    paket karaoke

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

BIODATA DARMANINGTYAS

BIODATA DARMANINGTYAS, menggeluti pendidikan sejak mulai menjadi mahasiswa baru di UGM, Agustus 1982 dengan menjadi guru di SMP Binamuda dan SMA Muhammadiyah Panggang, Gunungkidul, DIY. Pendidikan formalnya cukup Sarjana Filsafat Universitas Gadjah Mada (UGM) dan selebihnya otodidak. Gelar “Profesor Doktor” diperoleh dari undangan, sertifikat, piagam, spanduk, dan sejenisnya; sebagai bentuk pengakuan nyata dari masyarakat.

Masyarakat Diajak Adaptasi

Pemerintah, melalui lembaga dan kementerian, mengeluarkan peraturan dan edaran perihal protokol atau pedoman kesehatan. Protokol itu berlaku di tempat masyarakat, industri, sektor jasa, dan perdagangan.

REFLEKSI DARI PELATIHAN GURU SASARAN DI LAMPUNG

Berikut saya sampaikan refleksi saya tatkala mendapat tugas untuk membuka dan kasih pengarahan pada pelatihan guru sasaran di Lampung tanggal 9 Juli lalu. Semoga refleksi in dapat menjadi bahaperbaikan proses pelatihan guru yang akan dating sehingga menjadi lebih baik.