Langsung ke konten utama

DISKRIMINASI DALAM PENERIMAAN MAHASISWA BARU DI PTN

Oleh: Darmaningtyas
Penulis  Buku "Melawan Liberalisme Pendidikan"  
Dimuat di Harian Sore Suara Pembaruan Rabu, 20 Januari 2015

Proses penerimaan mahasiswa baru di PTN (Perguruan Tinggi Negeri) untuk tahun Ajaran 2016/2017 telah dimulai, khususnya untuk jalur undangan atau SNMPTN (Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri). Tanggal 18-20 Januari adalah pengisian dan verifikasi PDSS (Pangkalan Data Sekolah dan Siswa), kemudian dilanjutkan dengan pendaftaran SNMPTN), pencetakan kartu tanda peserta hingga pengumumannya tanggal 10 Mei nanti.


Peraturan Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Nomor 2 Tahun 2015 tentang Penerimaan Mahasiswa Baru Program Sarjana pada PTN pasal 2 menyebutkan bahwa pola-pola penerimaan mahasiswa baru di PTN dilakukan melalui: a). Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) yang dilakukan oleh masing-masing PTN berdasarkan hasil penelusuran prestasi akademik calon mahasiswa (awam menyebutnya jalur undangan); b). Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SBMPTN) yang dilakukan oleh PTN secara bersama-sama berdasarkan hasil ujian tertulis atau kombinasi hasil ujian tertulis dan ujian keterampilan calon mahasiswa (awam mengenalnya seleksi bersama); dan/atau c). penerimaan mahasiswa baru secara mandiri yang dilaksanakan sendiri oleh PTN yang seleksinya diatur dan ditetapkan oleh masing-masing PTN (awam menyebutnya jalur mandiri/Seleksi Mandiri (SM)).

Kebijakan penerimaan mahasiswa baru di PTN tahun 2016 ini mengalami perubahan komposisi. SNMPTN yang semula memperoleh kuota 50% turun menjadi 40%, Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SBMPTN) atau yang orang awam menyebutnya tes bersama mendapat kuota 30%, sedangkan Seleksi Mandiri (SM) PTN naik dari 20% menjadi 30%. Bila ditotal, seleksi terbesar penerimaan mahasiswa baru di PTN itu 70% melalui jalur yang bias kelas menengah alias diskriminatif, sedangkan jatah bagi kaum miskin hanya sebesar jatah untuk Bidikmisi saja. Yang 30% kuota untuk SBMPTN tidak bisa dikatakan untuk kaum miskin, karena kuota itu terbuka bebas untuk golongan kaya maupun miskin.

Adanya perubahan kuota ini tentu akan berdampak pada formasi mahasiswa baru di PTN dan dampak jangka panjangnya adalah formasi sosial di masyarakat. PTN-PTN terkemuka akan didominasi oleh satu golongan saja, yaitu golongan kaya (mampu), sedangkan golongan miskin atau mereka yang tidak mampu terpaksa masuk ke politeknik atau perguruan tinggi swasta pinggiran. Mengapa? Karena SNMPTN selalin memperhatikan prestasi akademik murid, juga melihat track record sekolah. Sekolah-sekolah yang memiliki track record bagus murid-muridnya memiliki peluang lebih besar untuk diterima di PTN daripada sekolah-sekolah yang tidak memiliki track record, dan sekolah-sekolah tersebut mayoritas dihuni oleh golongan mampu. Anak golongan miskin maksimal hanya 10% saja yang bersekolah di sana. Demikian pula jalur mandiri (SM) hanya dapat diikuti oleh mereka yang kaya, karena dasar utama penerimaan mahasiswa baru jalur mandiri memang kemampuan membayarnya. Peluang bagi kaum miskin hanya melalui Bidikmisi dan turut bersaing memperebutkan 30% kuota SBMPTN itu saja. Tapi persaingan di SBMPTN pun akan dimenangkan oleh golongan mampu yang bisa mengikuti bimbingan tes atau les privat.   

Bias Elit dan Bias Jawa

Kebijakan tersebut sebetulnya bertentangan dengan UU No. 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi pasal 6 poin b yang menyatakan bahwa Pendidikan Tinggi diselenggarakan dengan prinsip: demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai agama, nilai budaya, kemajemukan, persatuan, dan kesatuan bangsa. Senyatanya, kebijakan tersebut diskriminatif karena cenderung menguntungkan golongan kaya saja, dengan mendiskriminasi golongan miskin. Kebijakan membatasi kuota SBMPTN hanya 30% itu sendiri merupakan kebijakan yang diskriminatif. Bandingkan misalnya dengan model penerimaan mahasiswa baru pada masa Orde Baru yang hanya mengenal dua jalur saja, yaitu PMDK (Penelusuran Minat dan Kemampuan) dan SIPENMARU/UMPTN. Kuota untuk jalur PMDK tidak mencapai sepuluh persen, selebihnya tes bersama melalui SIPENMARU (Sistem Penerimaan Mahasiswa Baru) kemudian berganti menjadi UMPTN (Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri) yang sifatnya lebih inklusif, tidak diskriminatif seperti sekarang.

Argumen pemerintah bahwa porsi penerimaan melalui jalur undangan (SNMPTN) lebih besar daripada melalui tes bersama (SBMPTN) lantaran prestasi akademik mahasiswa yang diterima melalui SNMPTN lebih baik adalah betul secara akamik, tapi tidak berasas keadilan dan pemerataan. Tanpa melalui survei pun argumen tersebut dapat diterima oleh akal sehat, karena mereka yang lolos melalui jalur SNMPTN itu berasal dari sekolah-sekolah bagus dan sekolah-sekolah bagus itu diduduki oleh orang-orang yang pintar-pintar. Sementara mereka yang lolos melalui jalur SBMPTN itu berasal dari sekolah yang beragam (dari yang terbagus hingga yang terjelek), wajar bila prestasi akademiknya tidak sebagus yang diterima melalui jalur SNMPTN. Namun pertanyaan filosofis dan sosiologisnya adalah apakah betul PTN hanya untuk mereka yang kaya dan pintar, dan diformat untuk mendidik anak-anak yang pintar saja? Di mana posisi anak-anak yang tidak pintar, sementara mereka juga perlu diberi kesempatan untuk maju?

Peluang kaum miskin itu semakin sempit dengan adanya kenaikan pendaftaran SNMPTN dari Rp. 100.000,- menjadi Rp.200.000,-. Betul bahwa kaum miskin yang lolos Beasiswa Bidikmisi nanti biaya pendaftarannya dikembalikan; tapi berdasarkan hasil testimony para penerima Beasis Bidikmisi di lingkungan Kementerian Agama (2012-2014), ternyata untuk mendapatkan uang pendaftaran sebesar Rp. 150.000,- itu bukan hal yang mudah, bahkan ada yang sempat frustasi karena sempat hampir tidak bisa mendapatkannya, seandainya tidak ada pinjaman dari saudaranya. Level ekonomi penerima Beasiswa Bidikmisi Kementerian Ristek dan Dikti tidak berbeda jauh dengan level ekonomi penerima Beasiswa Bidikmisi Kementrian Agama. Kenaikkan biaya pendaftaran itu sendiri sebesar 100% bertentangan dengan semangat UU Pendidikan Tinggi. Pasal 73 ayat (2) UU tersebut menyatakan: “Pemerintah menanggung biaya calon Mahasiswa yang akan mengikuti pola penerimaan Mahasiswa baru secara nasional”.  Ini tentu suatu ironi, bahwa kementrian yang sama membuat kebijakan yang bertentangan dengan UU yang mereka buat sendiri! Sungguh absurd dan tidak rasional!

Selain bias elit (kelas menengah) dan kontradiktif dengan UU PT, kebijakan penerimaan mahasiswa baru di PTN ini juga sangat bias Jawa. Hal itu terbukti dari kebijakan penerimaan mahasiswa dengan menggunakan sistem online dan CBT (computer bases testing). Betul bahwa sistem online dan CBT itu sesuai dengan perkembangan zaman, tapi perlu diingat bahwa infrastruktur listrik dan telekomunikasi yang handal itu hanya ada di Jawad an Bali saja. Di Kalimantan, yang sumber daya alamnya banyak dikeruk untuk dibawa ke Jakarta misalnya, dalam sehari, mati listrik bisa lebih dari sepuluh kali. Bagaimana mereka bisa melakukan pendaftaran online dan CBT secara lancar bila listriknya byarpet? Online dan CBT semestinya hanya salah satu opsi saja, cara manual tetap perlu dipertahankan untuk mengakomodasi lulusan SMTA yang dari daerah-daerah pelosok pedesaan/pesisir. Jika cara pendaftaran melalui SMS atau WA dirasakan lebih mudah bagi lulusan SMTA di luar Jawa, maka cara tersebut perlu diakomodasi. Jangan membuat kebijakan untuk seluruh rakyat Indonesia tapi hanya mengacu Jawa saja. Ini tentu akan menimbulkan ketimpangan yang makin jauh antara Jawa dan luar Jawa. Semua kebijakan untuk PTN seharusnya mengarah pada pencapaian pemerataan dan keadilan bagi seluruh warga, bukan justru menciptakan stratifikasi sosial baru yang diskriminatif.

Komentar

  1. Assalamu Alaikum wr-wb, perkenalkan nama saya ibu Rosnida zainab asal Kalimantan Timur, saya ingin mempublikasikan KISAH KESUKSESAN saya menjadi seorang PNS. saya ingin berbagi kesuksesan keseluruh pegawai honorer di instansi pemerintahan manapun, saya mengabdikan diri sebagai guru disebuah desa terpencil, dan disini daerah tempat saya mengajar hanya dialiri listrik tenaga surya, saya melakukan ini demi kepentingan anak murid saya yang ingin menggapai cita-cita, Sudah 9 tahun saya jadi tenaga honor belum diangkat jadi PNS Bahkan saya sudah 4 kali mengikuti ujian, dan membayar 70 jt namun hailnya nol uang pun tidak kembali, bahkan saya sempat putus asah, pada suatu hari sekolah tempat saya mengajar mendapat tamu istimewa dari salah seorang pejabat tinggi dari kantor BKN pusat karena saya sendiri mendapat penghargaan pengawai honorer teladan, disinilah awal perkenalan saya dengan beliau, dan secara kebetulan beliau menitipkan nomor hp pribadinya dan 3 bln kemudian saya pun coba menghubungi beliau dan beliau menyuruh saya mengirim berkas saya melalui email, Satu minggu kemudian saya sudah ada panggilan ke jakarta untuk ujian, alhamdulillah berkat bantuan beliau saya pun bisa lulus dan SK saya akhirnya bisa keluar,dan saya sangat berterimah kasih ke pada beliau dan sudah mau membantu saya, itu adalah kisah nyata dari saya, jika anda ingin seperti saya, anda bisa Hubungi Bpk Drs Tauhid SH Msi No Hp 0853-1144-2258. siapa tau beliau masih bisa membantu anda, Wassalamu Alaikum Wr Wr ..

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

BIODATA DARMANINGTYAS

BIODATA DARMANINGTYAS, menggeluti pendidikan sejak mulai menjadi mahasiswa baru di UGM, Agustus 1982 dengan menjadi guru di SMP Binamuda dan SMA Muhammadiyah Panggang, Gunungkidul, DIY. Pendidikan formalnya cukup Sarjana Filsafat Universitas Gadjah Mada (UGM) dan selebihnya otodidak. Gelar “Profesor Doktor” diperoleh dari undangan, sertifikat, piagam, spanduk, dan sejenisnya; sebagai bentuk pengakuan nyata dari masyarakat.

Masyarakat Diajak Adaptasi

Pemerintah, melalui lembaga dan kementerian, mengeluarkan peraturan dan edaran perihal protokol atau pedoman kesehatan. Protokol itu berlaku di tempat masyarakat, industri, sektor jasa, dan perdagangan.

REFLEKSI DARI PELATIHAN GURU SASARAN DI LAMPUNG

Berikut saya sampaikan refleksi saya tatkala mendapat tugas untuk membuka dan kasih pengarahan pada pelatihan guru sasaran di Lampung tanggal 9 Juli lalu. Semoga refleksi in dapat menjadi bahaperbaikan proses pelatihan guru yang akan dating sehingga menjadi lebih baik.