Langsung ke konten utama

Pendidikan dalam Arus Revolusi Industri Keempat

Oleh: Darmaningtyas


Pendahuluan

Revolusi industri keempat atau industri 4.0 membuat dunia bergerak dengan tunggang langgang. Revolusi industri ditandai dengan lahirnya robot pinter, munculnya super komputer, editing genetik, perkembangan neuroteknologi,  beredarnya kendaraan tanpa pengemudi, transaksi jual beli online, transportasi digital yang instan serta ragam perubahan drastis dalam lingkungan sekitar yang mempunyai kecepatan sangat tinggi. Revolusi industri bukan lagi tentang proyeksi masa depan, tapi sudah menjadi realitas kekinian yang terus menggedor-gedor kehidupan kita dan menjungkirbalikkan-menggerus tatanan yang ada: Ketika robot pintar pelan-pelan menggeser posisi guru, kendaraan tanpa pengemudi memensiunkan para sopir, transportasi digital menggeser transportasi konvensional, online shop, marketplace dan eComerce membuat pasar tradisonal kalang kabut, maka wajah dunia seakan-akan berubah, sulit diprediksi, kadang menguntungkan dan kadang pula menampar. Tak heran ketika Peter Diamandis and Steven Kotler mengatakan, “The Six Ds are a chain reaction of technological progression, a road map of rapid development that always leads to enormous upheaval and opportunity.” 



Menurut Peter Diamandis, Co-founder Singularity University, siklus pertumbuhan teknologi secara eksponensial ini terjadi melalui enam tahapan, atau yang biasa disebut dengan "6D of Exponential Growth", yaitu: (1) Digitalization, transformasi dari analog menuju digital di hampir semua sektor. (2) Deception yakni banyak orang terlena karena awalnya kelihatan pelan dan cuma riak-riak kecil, sampai pertumbuhan eksponensialnya menyentuh "knee of the curve" alias "titik lejit". (3) Disruption, titik lejit menjadi reaksi atom yang mengguncang kemapanan. Ini yang sedang kita ributkan sekarang dan bikin banyak orang dan perusahaan panik. Tapi ini hanya fase transisi menuju 3D terakhir. (4) Dematerialization, semua produk kehilangan wadah fisik untuk ditransfer di "Cloud" alias awan digital tak bertepi. (5) Demonetization, di dalam "awan digital", tempat menyimpan segala hal itu, hampir semua biaya jadi turun drastis. Buku, musik, film, ilmu, informasi, komunikasi, dan lain-lain, tiba-tiba jadi membludak volumenya dan makin lama makin murah harganya. (6) Democratization, ini adalah puncak, karena semua serba berkelimpahan dan berbiaya minimal sekali, maka terjadilah era Abundance atau disebut Free Economy dan Sharing Economy.


Memang revolusi industri keempat ini telah mempengaruhi semua aspek, mulai dari industri ekonomi, disiplin ilmu, pemerintahan serta sektor lainnya. Disinilah lembaga pendidikan yang kerapkali menjadi mantra magis menjemput kemajuan dituntut responsif terhadap segala bentuk perubahan yang terjadi di masyarakat. Atau di tengah perkembangan dunia yang serba digital sehingga masyarakat tanpa hadir ke kelas untuk belajar, cukup mengakses video tutorial dari Youtube serta layanan kursus daring  atau yang lebih dikenal dengan Massive Open Online Course (MOOD), maka pelan-pelan lembaga pendidikan tak lagi diperlukan seperti khutbah Ivan Illich ihwal deschooling society. Tentang bagaimana masa depan keberlanjutan masa depan pendidikan ini tergantung pada untuk apa pendidikan itu ada: Apakah lembaga pendidikan berdiri untuk menuntaskan rasa keingintahuan dan menghilangkan kebodohan? Apakah lembaga pendidikan berdiri untuk mengajarkan orang hanya mendapat pekerjaan? Atau lembaga pendidikan sebagai sarana memperbaiki ketimpangan sosial yang ada di masyarakat? Bagaimana kekuatan ekonomi dan politik mempengaruhi filsafah dasar pendidikan hingga kurikulum dan silabus pendidikan?


Tentu kita saat ini tak sedang memuja lembaga pendidikan parenial yang hanya memuja nilai-nilai lama atau menampik filsafat pragmatisme yang selalu menuntut peserta didik untuk peka terhadap keadaan lingkungan sosial serta menegasikan pendidikan radikal yang ingin menjadikan lembaga pendidikan sebagai proses penyadaran untuk memperbaiki dan menumpas ketimpangan sosial. Parenial saja tak pernah cukup untuk menangkap tanda-tanda zaman. Filsafat pragmatisme-positivisme kini lesu dipojok karena perubahan yang cepat sulit ditangkap; betapa banyak pengganguran yang terjadi karena lembaga pendidikan hanya mampu mencetak tenaga buruh yang tak berfikir kreatif dan inovatif. Kita sekarang berada dalam satu titik dimana kepastian hanya beranjak maju kedepan untuk mengatasi berbagai ragam krisis dan tumbal revolusi. Revolusi industri keempat telah membawa wajah baru dalam dunia pendidikan sehingga korban-korban berjatuhan dan generasi baru meraba-raba ketidakpastian. 


Antonio Gramsci pernah menegaskan, “The crisis consists precisely in the fact that the old is dying and the new cannot be born; in this interregnum a great variety of morbid symptoms appear.” Sebagai ahli sosial dan budaya, Antonio Gramsci yang lebih dikenal dengan teori hegemoni budaya telah mengambarkan bagaimana status quo kekuasan yang dibingkai dalam kekuatan ekonomi, sedang mengalami sekarat alias krisis sementara yang baru belum juga dilahirkan. Ini bisa terjadi karena lembaga pendidikan masih menjadi tak ubahnya seperti bengkel yang hanya mengasah skill untuk mempersiapkan bekerja di perusahaan. Guru besar tak ubahnya seperti manajer. Siswa diubah menjadi konsumen. Lembaga pendidikan saling menjatuhkan satu sama lain untuk mengamankan biaya. Tak tahu bahwa perubahan diluar begitu cepat sehingga skill  yang dipelajari di lembaga pendidikan kadang menjadi barang rongsokan ketika lulus. Itulah sisi buruk yang terjadi dalam revolusi keempat ini sehingga banyak orang meramalkan lembaga pendidikan akan gulung tikar apabila tak bisa beradaptasi. Perubahan dengan kecepatan eksponensial ini bias menciptakan pengangguran massal, ketidaksetaraan dan transformasi budaya. Tak heran apabila World Economic Forum (2016) memprediksi, 65% anak-anak yang saat ini ada di bangku sekolah dasar nantinya menempati posisi pekerjaan yang benar-benar dan belum ada saat ini. 


Sisi baiknya revolusi industri keempat ini memangkas sifat birokratisme dan feodalisme. Hadirnya teknologi digital membuat semua orang akan mudah mengakses ilmu pengetahuan. Lembaga pendidikan bukan lagi satu-satunya yang memegang otoritas pengetahuan bahkan ijazah yang dulu menjadi alat ukur satu-satunya kini tak akan menjadi ukuran. Perusahaan seperti Google dan Ernst & Young sudah tak lagi merekrut pekerjanya berdasarkan ijazah dan gelar. Disinilah lembaga pendidikan yang sudah ada akan mendapat tantangan serius untuk merespon revolusi industry keempat ini. Sederhanya, revolusi industri keempat ini bisa menjadi ancaman sekaligus peluang untuk masa depan pendidikan kita ke depan. 



Pembahasan

Bagaimana dengan eksistensi lembaga pendidikan yang ada di Indonesia merespon revolusi industri keempat ini adalah pertanyaan yang membutuhkan jawaban yang sangat kompleks. Kita harus melihat kekuatan dan kelemahan lembaga pendidikan kita yang dalam beberapa tahun ini berjalan untuk menangkap peluang di era revolusi industri keempat. Mari kita lihat bagaimana kondisi pendidikan kita dalam beberapa tahun ini. 


Petama, akses pendidikan yang timpang. Disparitas partisipasi sekolah antar kelompok masyarakat masih cukup tinggi. Angka Partisipasi Kasar (APK) keluarga yang mampu secara ekonomi secara umum lebih tinggi dibandingkan dengan APK keluarga tidak mampu. Tingginya biaya pendidikan baik biaya langsung maupun tidak langsung peserta didik selalu menjadi alasan klasik di bangsa ini. Biaya langsung itu mencakup iuran sekolah, buku, seragam, dan alat tulis, sedangkan biaya tidak langsung meliputi biaya transportasi, kursus, uang saku dan biaya lain-lain. kian melambungnya biaya pendidikan tersebut berimplikasi serius terhadap masih tingginya angka tidak melanjutkan sekolah serta tingginya angka putus sekolah (drop out), sehingga berpengaruh terhadap APK. 


Rendahnya APK/APM tak berangkat dari faktor tunggal, tetapi cukup kompleks, mulai dari akses transportasi menuju sekolah hingga minimnya kesadaran orangtua. Nur Berian VA dalam penelitiannya terhadap beberapa daerah-daerah yang paling rendah dalam pencapaian wajar Dikdas menyimpulkan bahwa faktor penyebab yang terjadi di tiap daerah cukup berbeda (1) kemiskinan penduduk, (2) kesulitan menuju sekolah, (3) kurangnya layanan pendidikan, (4) rendahnya motivasi orangtua dan siswa terhadap pendidikan, (5) kurangnya dukungan pemerintah daerah dan masyarakat terhadap pendidikan (6) faktor sosial budaya (Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 17 No.1, Januari 2011). 


Menurut data Kemendikbud, kalau kita bandingkan Angka Partisipasi Kasar (APK) dan Angka Partisipasi Murni (APM) antara tahun 2014/2015 dengan tahun 2015/2016 memang ada beberapa kenaikan dalam jenjang pendidikan, meskipun ada beberapa yang turun itu tak terlalu signifikan. Tetapi ada yang cukup menarik kalau kita perhatikan dari data Kemendikbud, baik itu di APK atau pun di APM, yakni tingkat partisipasi tingkat SD sederajat dan SMP sederajat selalu lebih tinggi dibandingkan dengan partisipasi di tingkat TK sederajat dan SMA sederajat. Pada tahun ajaran 2014/2015 APK SD sederajat mencapai 109,05 % atau setara dengan 29.699.771 siswa, SMP mencapai 100,51 % atau setara 13.400.196 siswa tetapi untuk TK sederajat pada tahun yang sama hanya 39,25% atau setara 5.538.468 siswa begitu juga dengan tingkat SM sederajat hanya mencapai 75,53% atau setara dengan 10.009.309 siswa. Hal yang sama juga terjadi pada tahun 2015/2016, baik dalam APK atau pun APM, jenjang pendidikan awal, TK sederajat masih sangat minim dan partisipasi di Sekolah Menengah sederajat juga masih minim. 


Begitu juga dalam tingkat universitas, berdasarkan studi Hill dan Thee pada 2013, hanya 25% penduduk berusia 19-24 tahun yang menempuh pendidikan di perguruan tinggi di Indonesia. Dari seluruh mahasiswa tersebut, 55% berasal dari kelompok ekonomi atas yang paling tinggi, sementara hanya 2,6% yang berasal dari kelompok ekonomi bawah. Padahal kesetaraan akses terhadap perguruan tinggi adalah salah satu cara untuk mengurangi ketimpangan ekonomi dan juga keluar dari bekapan kemiskinan. 


Padahal kalau kita berbicara ihwal jumlah, Indonesia adalah rengkingnya. Menurut Direktur Kelembagaan Kemenristekdikti, Patmono Suwignyo, saat ini terdapat 4.550 Perguran Tinggi di tanah air baik Negeri maupun Swasta. Di beberapa Negara UNI Eropa, perguruan tinggi berkisar  2.000-an. Kalau kita bandingkan dengan Cina, yang pendudukanya lebih banyak dibanding Indonesia, ternyata perguruan tinggi di negeri tirai bambu tersebut berjumlah 2.824 Perguruan Tinggi.


Menurut Kemenristekdikti, setidaknya ada empat permasalahan pendidikan tinggi di Indonesia: (1) Jumlah PT terlalu banyak contoh Indonesia 4.529 vs. China 2.824, sementara alokasi sumber daya relatif kecil. (2) Sebagian besar Perguruan Tinggi kecil 70%  hanya punya 1 atau 2 prodi. (3) 20%  secara finansial tidak sehat. (4) Secara umum mutu tidak bagus, hanya 54 Terakreditasi A, 375 B, dan 791 Terakreditasi C. (5) Jumlah PT  vokasi terlalu sedikit Vokasi STEM 5,4 %. 


Belum lagi kalau kita fokus pada jumlah LPTK yang membeludak tapi kualitasnya semu. LPTK sebagai tonggak utama yang melahirkan tenaga pendidikan masa depan ternyata prosesnya masih perlu banyak yang diperbaiki. Memang profesi menjadi tenaga pendidik meningkat tajam setelah adanya Undang-Undang No 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, seiring dengan tingkat kesejahteraan guru yang juga meningkat, sehingga calon mahasiswa membanjiri. Ironisnya watak dan mental lembaga pengelola masih didominasi mental bisnis sehingga lembaga pendidikan tumbuh subur untuk menampung permintaan yang banyak dengan psoses yang asal-asalan. Itulah latar belakang kenapa lembaga pendidikan tumbuh subur di negeri ini, sederhananya, karena mereka ingin hidup dari pendidikan, bukan ingin menghidupi dunia pendidikan sehingga kualitas lulusan tak menjadi perhatian.   


Kedua,  tingkat pengangguran terbuka masih tinggi dan tambal sulam. Data Februari 2016 mencapai 5,50%, Agustus 2016 naik menjadi 5,61%, Febrruari 2017 turun menjadi 5,33% dan Agustus 2017 kembali naik menjadi 5,50%. Sepuluh Provinsi tertinggi tingkat pengganguran terjadi di luar Jawa: peringkat pertama tertinggi di Provinsi Maluku sebesar 9,29%, disusul Banten 9,28%, Jawa Barat 8,22%, Sulawesi Utara 7,18%, Kepulauan Riau 7,16%, DKI Jakarta 7,14%, Kalimantan Timur 6,91%, Aceh 6,57%, Papua Barat 6,49%, Riau 6,22%.


Tingkat pengangguran ini terjadi, disamping karena problem pemerataan pendidikan, format pendidikan yang hanya mengandalkan hafalan juga berpengaruh, karena setelah lulus ternyata apa yang mereka hafalkan di bangku sekolah/kampus itu tidak bermanfaat untuk bekal kerja. Terjadi Irrelevant skils, antara apa yang diajarkan di lembaga pendidikan dengan kenyataan yang terjadi di lapangan. Tentu proses menghafal, multiple-choice yang kerapkali menjadi andalan lembaga pendidikan kita sudah tak zaman dengan konteks zaman yang menuntut kreativitas, inovasi dan terobosan-terobosan yang tak linier.  


Sedangkan struktur tenaga kerja Indonesia menurut tingkat pendidikan masih didominasi tenaga kerja dengan berpendidikan SD ke Bawah: Tenaga kerja yang menyelesaikan di universitas berjumlah 11,32 juta orang (9,35%), Diploma 1/II/III 3,28 juta orang (2,71%), SMK 12,59 juta orang (10,40%), SMA 21,13 juta orang (17,46%), SMP, 21, 72 juta orang (17,95%) sedangkan SD ke bawah berjumlah 50,98 juta orang (42,13%). Hanya ada Sekitar 12,06% dari total penduduk bekerja berpendidikan tinggi (Diploma keatas).


Ketiga, perkembangan Indek pembangunan manusia, meskipun trennya selama 2010-2016 hingga 2017, IPM Indonesia mencatat pertumbuhan rata-rata pertahun sebesar 0,91%. IPM pada 2017, mencapai 70,81 atau naik 0,90 persen dibanding 2016, tetapi ketimpangan dengan status pembangunan manusia dengan taraf paling rendah menimpa Papua. Disparitas IPM antar kabupaten kota menunjukkan bahwa proses pembangunan dan secara khusus aspek pendidikan masih berjalan dengan sangat timpang.


Kalau dibanding Malaysia, Indeks Pembangunan Manusia masih tertinggal, begitu juga dengan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) yang masih jauh tertinggal. Data yang dirilis lembaga UNDP, nilai human development index (HDI) Indonesia belum terlalu tinggi.Tahun 2014 bangsa ini bahkan berada di urutan 110 dari 188 negara yang di survei. Skor Indonesia, juga tak lebih dari 0,684. Posisi ini tak bergeser di kawasan ASEAN. Peringkat pertama indeks pembagunan manusia (IPM) adalah Singapura (0,912), Brunei (0,856), Malaysia (0,779), dan Thailand (0,726). Indonesia hanya unggul dari Filiphina (0,668), Vietnam (0,666), Laos (0,575), Kamboja (0,555), dan Myanmar (0,436). Data World Economic Forum (WFE) 2016- 2017 bahkan menunjukkan peringkat sumber daya manusia (SDM) Indonesia merosot tajam. Dari urutan 37 pada tahun 2015 menjadi 41 pada 2016. Indonesia kalah peringkat dibanding Malaysia pada peringkat 25 atau juga Korea Selatan (26), China (28), Jepang (8), dan Thailand (34).


Keempat, lembaga pendidikan menjadi wadah yang memproduksi kekerasan sistemik. Sebagai tempat tumbuh dan berkembanganya ilmu pengetahuan, lembaga pendidikan memang tak akan pernah bebes nilai. Suren Pillay mengatakan, “….universitas (lembaga peendidikan) bisa menjadi zombie ideologis dari kepentingan kelompok dominan. Universitas juga arena kontestasi, negosiasi hingga subversi….” Indonesia sebagai Negara muslim terbesar di dunia ternyata memunculkan ragam paham keagamaan, termasuk paham keagamaan ekstrem yang menjadi ideologi gerakan politik Islam untuk mendirikan Negara Islam dengan ragam cara, termasuk kekerasan. Pelan-pelan ideologi keagamaan ekstrem ini mengambil pera dalam dunia pendidikan, terutama di kampus-kampus negeri. Pendidikan dianggap paling efektif untuk merekrut dan membina kader yang militan sehingga lembaga pendidikan menjadi bibit baru tumbuhnya paham radikal di masyarakat.

  
Berdasarkan pada penelitian Badan Inteljen Negara (BIN) pada 2017, beberapa lembaga pendidikan, dalam hal ini universitas dan lembaga pendidikan menjadi basis penyebaran paham radikalisme. 39% mahasiswa dari sejumlah perguran tinggi telah terpapar radikalisme. Survie itu memperoleh data 24% mahasiswa dan 23,3% pelajar SMA setuju dengan jihad tegaknya Negara Islam.


Tantangan ekstremisme ini tentu menjadi parasit yang menghantarkan kita pada zaman zaman jahiliyyah modern. Berbicara ihwal dasar Negara dan term jihad untuk saat ini tentu akan membuang-buang waktu dan menghabiskan energi, karena itu sejatinya sudah selesai oleh para founding father kita. Di saat bangsa-bangsa lain sedang menjemput revolusi industri keempat, kita masih dibenturkan oleh munculnya paham ekstremisme keagamaan yang mulai masuk dalam dunia pendidikan.



Rekontruksii Pendidikan Abad 21

Apa yang mesti menjadi core values dari institusi pendidikan kita? Apakah pendidikan kita sepenuhnya menjadikan corporet values sebagai tuan utama atau academic velues tetap harus menjadi pelita di era industri keempat ini. Bagaimana mempersiapkan pendidikan di era revolusi keempat? Apakah sistem pendidikan kita sudah relevan dengan revolusi industri keempat? Kalau tidak, bagaimana cara merekontruksinya?


Pendidikan, dalam istilah Ki Hadjar Dewantara harus memerdekakan hidup batin dan lahir peserta didik. Dengan prinsip pendidikan yang memerdekakan lahir dan batin peserta didik, maka lulusan akan menjadi independen, mandiri dan menjadi tuan bagi dirinya sendiri. Dengan begitu yang mesti menjadi core velues lembaga harus mengedepankan antara academic velues, tapi tak anti terhadap korporasi. academic velues akan mendorong lembaga pendidikan menjadi media mobilitas kelas sosial, bukan sebagai alat reproduksi kelas dominan. Muara dari academic velues adalah kemerdekaan batin peserta didik. Sementara satu sisi pendidikan juga berkelindan dengan realitas yang terjadi di masyarakat. Maka merespon realitas sosial atau bahkan saling mengisi dan bekerkolaborasi dengan perusahaan untuk kemajuan yang lebih baik sudah menjadi keharusan. Lembaga pendidikan untuk konteks saat ini tak hanya mendidik siswa berkarakter dan memegang teguh nilai-nilai luhur, tapi juga harus mampu berkontribusi di era revolusi industri keempat.


Dengan realitas pendidikan di Indonesia yang masih lekat dengan masalah-masalah lama, seperti ketimpangan dan ketidakadilan, sementara dunia terus bergerak dengan sangat cepat, maka tantangannya tentu akan lebih sulit di banding Negara-negara seperti Finlandia, dimana kualitas pendidikan sangat merata dan Singapura dimana aksesebilitas pendidikan sangat inklusif. Pertama-tama kita harus menerapkan pendidikan inklusi dengan prinsip setiap orang secara inheren punya hak terhadap pendidikan, tidak boleh ada yang terekslusi serta apresiasi terhadap ragam perbedaan. Pendidikan inklusi adalah pendidikan anti diskriminasi. Saya sejak awal memperjuangkan pemerataan pendidikan antara Jawa dan luar Jawa karena merasakan betul bagaimana ketimpangan pendidikan yang ada di Indonesia hanya bertumpuk di Jawa, baik dari segi kualitas dan kuantitas. Ketimpangan ini harus segera diakhiri dengan cara penerapan pendidikan inklusi yang merangkul dan membangun semua tanpa harus ada yang terpinggirkan.   


Kedua, mengembangkan dan mengimplementasikan kompetensi peserta didik abad 21: Critical thinking, problem-solving, communication, creative, character, collaboration. Kompetensi itulah yang dibutuhkan dalam era digital. Beberapa Negara sudah merespon dengan cepat untuk mengimplementasikan kompetensi pesertat didik di abad 21 ini, seperti Republik Korea untuk menerapkan Critical thinking dan problem solving, maka sekolah membuat aplikasi alat music yang menjadi ruang komunitas imajiner untuk mempertemukan hobi peserta didik, membuat aplikasi ‘Noise meter’, ‘Heart rate meter’ and ‘Sun altitude meter yang digunakan sebagai media pembelajaran. 


Ragam aplikasi itu membuat belajar anak-anak menjadi hidup dan seakan hidup untuk belajar. Untuk meningkatkan kolaborasi antar peserta didik, maka mereka berkolaborasi untuk membuat mind maps dan membuat video bersama. Dalam rangka membangun komunikasi, sekolah membuat alat komunikasi real time, kalau ada hambatan bahasa, maka peserta didik diperbolekan menggunakan googel translate. Sekolah juga membuat aplikasi 'Socrative’ yang dirancang agar peserta didik dapat berpartisipasi memecahkan masalah secara real time.  Untuk mencapai itu, lembaga pendidikan membutuhkan partisipasi semua pihak, mulai dari dinas pendidikan dan sekolah untuk menyiapkan lingkungan teknis yang memadai, desain ruang kelas hingga yang terpenting adalah kompetensi guru yang mampuni. 


Ketiga, kurikulum yang fleksibel. Kurikulum pendidikan pada era revolusi industri keempat ini harus berbasis pada passion peserta didik. Kurikulum harus dirancang untuk profesi pekerjaan yang tak terduga serta kualifikasi harus dinilai dan diberikan tidak hanya lewat jalur formal, tetapi juga pada sektor non-formal dan informal.  Pekerjaan masa depan adalah pekerjaan yang tidak dapat dilakukan oleh mesin. Pekerjaan ke depan akan mengedepankan kreativitas dan  kecerdikan dalam berinteraksi dan kolaborasi. Untuk itulah ke depan akan dibutuhkan kolaborasi ilmuwan, matematikawan, insinyur, dan seniman untuk mengatasi ragam persoalan yang terjadi. Maka Proses pendidikan abad ke-20 yang hanya menjajakan fakta, prosedural dan ada standarisasi tidak akan pernah cukup untuk menghadapi tantangan masa depan. Proses pembelajaran instruksional harus diganti dengan proses pembelajaran berbasis kontruktivisime seperti yang pernah dikumandangkan Piaget, Vygotsky dan Dewey: peserta didik mengkonstruksi sendiri pengetahuannya berdasarkan pengalaman dan passionnnya. Pembelajaran berbasis kontruktivisme akan meningkatkan proses pembelajaran berbasisi pengalaman, meningkatkan kemampuan memecahkan masalah serta mengajak peserta didik untuk berfikir tingkat tinggi. 


Kesimpulan   

Pendidikan kita memang masih menyimpan banyak masalah, mulai dari ketimpangan akses pendidikan, problem mental pengelola pendidikan, kualitas guru yang masih tambal sulam, hingga paham ekstrem keagamaan yang mulai menyusup dan menyelinap dalam lembaga pendidikan.Dengan terus menggalakkan pendidikan inklusif, mengimplementasikan kompetensi abad ke-21 dalam proses pembelajaran, merekonstruksi kurikulum agar lebih fleksibel serta mengedepankan proses pembelajaran konstruktivisme, maka harapan itu tetap menggelayut untuk masa depan pendidikan kita yang nantinya dapat dibuktikan dengan lahirnya peserta didik yang merdeka secara lahir dan batin, yakni peserta didik yang mampu berfikir kritis, kreatif, inovatif, dan mampu membangun komunikasi dan lihai dalam berkolaborasi. Dengan pendidikan yang responsif terhadap perubahan, maka generasi bangsa akan mengambil peran dalam revolusi industri kempat ini, bukan justru menjadi tumbal revolusi.    



Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

BIODATA DARMANINGTYAS

BIODATA DARMANINGTYAS, menggeluti pendidikan sejak mulai menjadi mahasiswa baru di UGM, Agustus 1982 dengan menjadi guru di SMP Binamuda dan SMA Muhammadiyah Panggang, Gunungkidul, DIY. Pendidikan formalnya cukup Sarjana Filsafat Universitas Gadjah Mada (UGM) dan selebihnya otodidak. Gelar “Profesor Doktor” diperoleh dari undangan, sertifikat, piagam, spanduk, dan sejenisnya; sebagai bentuk pengakuan nyata dari masyarakat.

Masyarakat Diajak Adaptasi

Pemerintah, melalui lembaga dan kementerian, mengeluarkan peraturan dan edaran perihal protokol atau pedoman kesehatan. Protokol itu berlaku di tempat masyarakat, industri, sektor jasa, dan perdagangan.

REFLEKSI DARI PELATIHAN GURU SASARAN DI LAMPUNG

Berikut saya sampaikan refleksi saya tatkala mendapat tugas untuk membuka dan kasih pengarahan pada pelatihan guru sasaran di Lampung tanggal 9 Juli lalu. Semoga refleksi in dapat menjadi bahaperbaikan proses pelatihan guru yang akan dating sehingga menjadi lebih baik.