Langsung ke konten utama

Kesenjangan kualitas pendidikan Jawa - luar Jawa

Sejak tahun 2011 setiap tahun saya terlibat dalam penjurian Program Pelajar Pelopor Keselamatan (PPK) Transportasi Darat yang diselenggarakan oleh Direktorat Pembinaan Keselamatan Transportasi Darat, Kementerian Perhubungan.


Lalu sejak 2012 ikut menjadi juri lomba penelitian yang diselenggarakan Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Perhubungan Kementerian Perhubungan, serta menjadi editor untuk penerbitan naskah-naskah lomba Balitbang tersebut menjadi buku.

Program PPK diikuti oleh murid SMA/SMK. Sedangkan Lomba Penelitian Perhubungan diikuti oleh masyarakat luas, dengan pendidikan terakhir S1, namun umumnya yang mengikuti adalah para mahasiswa semua strata dan dosen.

Untuk Lomba Penelitian Perhubungan diikuti oleh semua wilayah provinsi. Sedangkan PPK, sampai sekarang, Maluku Utara, Papua, dan Papua Barat belum pernah mengirimkan wakilnya; Maluku dan NTT pernah mengirimkan tapi sekali saja.

Mungkin karena keterbatasan anggaran, Nusa Tenggara Timur dan Maluku tidak mampu membiayai wakilnya untuk dikirimkan ke Jakarta. Maklum, banyak daerah di Indonesia memiliki anggaran untuk sektor perhubungan hanya satu persen saja dari total APBD. Pemda yang memiliki anggaran perhubungan amat kecil sulit diharapkan dapat mengirimkan warganya untuk mengikuti lomba di Jakarta.

Papua dan Papua Barat belum pernah mengirimkan pelajarnya ikut PPK. Boleh jadi khal tersebut disebabkan oleh keterbatasan informasi mengenai program tersebut dan tidak ada pelajar yang dapat dikirim.

Banyak pelajaran yang dapat dipetik dari kedua kegiatan tersebut, terutama terkait dengan masalah kesenjangan pendidikan nasional.

Selama tujuh tahun pelaksanaan program PPK, pemenangnya didominasi oleh para pelajar dari Jawa, Bali, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, dan sesekali dari Aceh. Khusus pemenang dari Kalimantan Barat itu selalu berasal dari sekolah swasta.

Para juri sebetulnya selalu berharap muncul pemenang baru dari luar Jawa. Namun harapan itu selalu hampa. Bahkan kemampuan presentasi peserta itu sendiri ada kesenjangan, terutama dalam hal pembuatan materi yang menarik dan penggunaan IT.

Apa yang terjadi pada Lomba Penelitian Perhubungan tidak jauh berbeda. Pemenangnya selalu didominasi peserta dari Jawa. Memang pernah peserta dari Papua, Maluku, dan Sumatra keluar sebagai pemenang, tapi hanya sekali, selebihnya selalu dari Jawa.

Dan sebagai editor seluruh naskah pemenang untuk dijadikan buku, saya merasakan betapa jauhnya kesenjangan kualitas karya tulis mereka, baik dari segi perumusan masalah, deskripsi permasalahan, analisis, maupun penggunaan ejaan yang disempurnakan (EYD).

Misal, meski sudah S2 dan S3, tapi peletakan kata "di" secara tepat saja masih banyak yang salah. Oleh karena kesenjangan tersebut terlihat dari tahun ke tahun, maka sifatnya bukan kasusistik, melainkan sudah sistemik, sehingga perlu pemecahan secara sistemik pula.

Perlu kebijakan afirmatif
Kesenjangan kualitas pendidikan antara Jawa dan luar Jawa, terutama Indonesia bagian timur ini bukan hal baru, sudah terjadi sejak Indonesia merdeka, tapi belum pernah terpecahkan. Kesenjangan bukan hanya menyangkut kualitas pembelajaran, tapi fisik (gedung dan peralatan) pun senjang.

Masalahnya kompleks. Tidak hanya tergantung pada kinerja satu kementerian yang mengurusi pendidikan saja (Kemdikbud, Kemenristek Dikti, dan Kemenag), tapi juga kementerian-kementerian lain yang menyediakan infrastruktur jalan, transportasi, bangunan, listrik, dan telekomunikasi. Kesemuanya itu kait mengkait; tidak berdiri sendiri.

Awal kesenjangan itu dimulai ketika infrastruktur (segalanya) di luar Jawa amat buruk, sehingga para guru/dosen yang ditempatkan di sana -terlebih di Indonesia bagian timur- banyak yang tidak betah tinggal di sana. Setelah memenuhi syarat bisa pindah (dua tahun setelah jadi PNS), mereka kemudian minta pindah ke Jawa atau pindah ke perkotaan.

Itu terjadi terus menerus selama puluhan tahun, sehingga akhirnya di luar Jawa selalu kekurangan guru/dosen yang berkualitas sampai sekarang. Sementara di Jawa selalu kelebihan guru/dosen.

Sampai hari ini (2018) di luar Jawa satu sekolah diajar oleh 2-3 guru PNS itu masih ada saja. Sementara sekolah-sekolah di Jawa kelebihan guru. Kondisi sekolah yang demikian tentu tidak akan menghasilkan murid yang berkualitas. Dan karena gurunya terbatas, maka penyediaan prasarana fisiknya juga ala kadarnya.

Kebijakan Presiden Joko Widodo (Jokowi) membangun infrastruktur transportasi jalan di luar Jawa -terutama di Papua dan Kalimantan; menciptakan satu harga BBM, menciptakan pemerataan tenaga listrik di seluruh pelosok tanah air, serta perluasan jaringan telekomunikasi adalah kebijakan yang tepat.

Karena di situlah akar persoalan kita. Kesenjangan infrastruktur dalam segala bidang menyebabkan kesenjangan layanan pendidikan.

Dengan adanya pemerataan infrastruktur segala bidang yang baik, tidak ada alasan lagi bagi anak muda tidak betah bertugas di luar Jawa. Apalagi bila perpindahan ibukota Negara bukan hanya wacana, tapi dilaksanakan, itu akan turut serta mempercepat pemerataan pembangunan di luar Jawa, karena mau tidak mau ibu kota negara harus didukung dengan infrastruktur yang baik.

Mengingat banyak daerah di luar Jawa yang kondisi geografisnya terdiri dari perairan sementara akses transportasinya masih buruk dan kurang berkeselamatan, maka yang masih kurang dan segera perlu dibenahi adalah pembangunan ASDP (Angkutan Sungai, Danau, dan Penyeberangan).

Keberadaan infrastruktur transportasi -terutama jalan raya, listrik, dan telekomunikasi yang baik itu perlu segera diikuti dengan kebijakan afirmatif dengan mengirim guru-guru dan dosen muda dari PTN terkemuka untuk ditugaskan di luar Jawa. Selain mereka perlu diangkat menjadi PNS, juga diberikan tunjangan khusus, serta fasilitas untuk pulang ke kampung halaman minimum dua kali dalam satu tahun dengan biaya negara.

Di tengah tingginya minat menjadi PNS, sementara formasi pengangkatan PNS semakin terbatas, ditambah tunjangan khusus dan fasilitas mudik ke kampung halaman, tentulah mudah menarik anak muda lulusan PTN/PTS terkemuka untuk ditugaskan di luar Jawa.

Tunjangan khusus bagi guru yang ditugaskan di daerah terpencil itu sudah diatur dalam UU No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Jadi Pemerintah tidak perlu dipusingkan payung hukum untuk memberikan tunjangan khusus bagi guru dan dosen yang ditempatkan di daerah-daerah di luar Jawa.

Lanjutkan Program SM3T
Program SM3T (Sarjana Mendidik di Daerah Terluar, Terdepan, dan Tertinggal) yang dulu dilaksanakan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud), sekarang oleh Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemenristek Dikti) sebetulnya sudah tepat. Sayang program tersebut hanya program pemagangan saja, yaitu sebagai bagian dari proses seleksi para calon guru PNS yang berkualitas.

Kecuali itu, program tersebut terbatas dari lulusan LPTK (Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan) saja. Padahal luar Jawa juga memerlukan guru-guru lulusan UI, UGM, IPB, ITB, dan lainnya.

Adanya pemisahan antara kementerian yang mengurusi pendidikan dasar dan menengah dengan yang mengurusi pendidikan tinggi, juga memerlukan sinkronisasi antar kedua kementerian tersebut, sehingga program SM3T sempat jeda.

Bagi masyarakat di daerah 3T (Terdepan, Terluar, dan Tertinggal) program SM3T juga menimbulkan kekecewaan berat, karena pada saat anak-anak sudah merasa cocok diajar para guru muda, tiba-tiba mereka ditarik karena masa tugasnya sudah selesai. Ibarat kasih makan balita, tatkala suapan itu sudah mau masuk mulut dan mau ditelan oleh si anak, kemudian ditarik kembali oleh sang ibu. Ini jelas menyakitkan warga Daerah 3T.

Presiden Jokowi perlu segera melakukan langkah revolusioner di akhir masa jabatan periode pertama ini dengan melanjutkan Program SM3T dan merevisinya bukan sebagai media seleksi calon guru, tapi memang sebagai proses rekrutmen guru dan dosen baru untuk ditempatkan di daerah luar Jawa guna mengejar ketertinggalan dari Jawa.

Para sarjana yang lolos dalam Program SM3T itu sebaiknya langsung direkrut menjadi guru PNS di daerah-daerah 3T. Penerimaan CPNS guru baru sebaiknya diprioritaskan untuk memenuhi kebutuhan guru di luar Jawa, utamanya Daerah 3T agar dapat mengejar ketertinggalan dengan pendidikan di Jawa.

Tanpa ada kebijakan afirmatif, muskil mengharapkan pendidikan di luar Jawa akan maju. Ketidakmerataan kualitas pendidikan ini dapat menjadi sumber masalah bangsa yang lebih kompleks dan langgeng karena akses terhadap sumber-sumber daya ekonomi akan dikuasai oleh orang-orang Jawa yang kebetulan memiliki akses pendidikan berkualitas. Akibatnya,image Jawanisasi itu akan sulit untuk dihilangkan. Padahal Jawanisasi identik dengan kolonialisasi Jawa.

Selama image semacam itu masih melekat pada masyarakat di luar Jawa, maka proses integrasi sosial dan bangsa akan selalu mengalami hambatan.

Ki Darmaningtyas, pengurus PKBTS (Persatuan Keluarga Besar Tamansiswa) di Yogyakarta


Dimuat di Beritagar.id Kamis 19 April 2018

https://beritagar.id/artikel/telatah/kesenjangan-kualitas-pendidikan-jawa-luar-jawa

Komentar

  1. Maju tidaknya bangsa ini bergantung dari pendidikan. Namun perlu kita akui bersama, bahwa selama lebih dari 150 thn tidak ada yang berubah dari kurikulum dan metode endidik bangsa.

    produk asuransi jiwa

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

BIODATA DARMANINGTYAS

BIODATA DARMANINGTYAS, menggeluti pendidikan sejak mulai menjadi mahasiswa baru di UGM, Agustus 1982 dengan menjadi guru di SMP Binamuda dan SMA Muhammadiyah Panggang, Gunungkidul, DIY. Pendidikan formalnya cukup Sarjana Filsafat Universitas Gadjah Mada (UGM) dan selebihnya otodidak. Gelar “Profesor Doktor” diperoleh dari undangan, sertifikat, piagam, spanduk, dan sejenisnya; sebagai bentuk pengakuan nyata dari masyarakat.

Masyarakat Diajak Adaptasi

Pemerintah, melalui lembaga dan kementerian, mengeluarkan peraturan dan edaran perihal protokol atau pedoman kesehatan. Protokol itu berlaku di tempat masyarakat, industri, sektor jasa, dan perdagangan.

REFLEKSI DARI PELATIHAN GURU SASARAN DI LAMPUNG

Berikut saya sampaikan refleksi saya tatkala mendapat tugas untuk membuka dan kasih pengarahan pada pelatihan guru sasaran di Lampung tanggal 9 Juli lalu. Semoga refleksi in dapat menjadi bahaperbaikan proses pelatihan guru yang akan dating sehingga menjadi lebih baik.