Langsung ke konten utama

Ganjil Genap Versus Ancaman Tol Layang Jakarta – Cikampek

Darmaningtyas

Sejak 12 Maret 2018 sampai selesainya pembangunan tol layang (elevated toll road) Jakarta – Cikampek, Kementerian Perhubungan melalui Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek (BPTJ) melaksanakan kebijakan pengaturan nomor plat mobil ganjil dan genap bagi kendaraan yang akan ke Jakarta melalui pintu masuk tol Bekasi Barat dan Bekasi Timur guna memperlancar arus lalu lintas.


Dan, seperti biasa, setiap kebijakan publik selalu menimbulkan pro dan kontra. Semuanya amat tergantung pada kepentingan masing-masing, tapi keputusan diambil dengan mempertimbangkan risiko yang terkecil.

Tol Jakarta – Cikampek saat ini dilihat fungsinya sudah bukan jalan tol lagi, karena kecepatannya di bawah batas kecepatan minimum, 60 km/jam, tapi ternyata hanya sekitar 32,24 km/jam dengan waktu tempuh rata-rata 116 menit. Kalau kita lewat jalan tol Jakarta – Cikampek berharap bakal dapat jalanan yang lancar, tentu itu suatu kemustahilan. Apalagi pada musim libur panjang, jarak Jakarta – Cikampek bisa memerlukan waktu tiga jam lebih!!!

Ada tiga pemicu kemacetan di tol Jakarta – Cikampek saat ini. Pertama, pertambahan mobil yang terus terjadi setiap hari sementara lebar jalan tetap saja. Kedua, adanya pembangunan LRT Jabodebek di tepi jalan tol. Ketiga, pembangunan jalan tol layang di atas jalan tol itu sendiri.

Yang paling berkontribusi menyempitkan ruang jalan tol adalah pembangunan jalan tol layang itu sendiri, karena tak ada jalan lain kecuali menanam tiang tol di tengah-tengah jalan tol sehingga menyita ruang jalan. Jika ruas jalan menyempit sementara jumlah kendaraan yang lewat bertambah, maka kemacetan tidak akan terelakkan lagi. Maka, satu-satunya alternatif adalah melakukan rekayasa lalu lintas, seperti misalnya pembatasan masuk tol melalui sistem ganjil genap.

Mengapa Ganjil Genap?
Pertanyaan yang muncul adalah mengapa pilihan kebijakan itu pada “ganjil genap”, bukan yang lain, seperti sistem buka-tutup atau instrumen tarif?

Yang dimaksudkan sistem buka-tutup adalah pada saat jalan tol macet karena sudah melebihi kapasitas, pintu tol ditutup bagi masuknya kendaraan baru, dan dibuka lagi saat arus lalu lintas di tol sudah lancar lagi.

Sedangkan instrumen tarif itu dilaksanakan dengan menerapkan tarif yang fleksibel. Pada saat terjadi kemacetan, tarif tinggi agar orang tidak melintas ke jalan tol, tapi pada saat jalan tol lancar, tarif tol turun.

Kedua sistem itu sepertinya lebih adil karena semua pengendara akan terkena dampak yang sama. Namun, implementasi di lapangan jauh lebih merepotkan pengguna jalan. Ambil contoh sistem buka tutup. Tidak semua kendaraan dan pengendara memiliki GPS atau Google Map sehingga bisa meng-update kondisi jalan tol dari rumah.

Mereka mengikuti kebiasaan harian saja, jam 06.00 berangkat dari rumah menuju ke pintu tol Bekasi Timur/Barat. Ternyata menjelang pintu tol, mereka baru tahu kalau pintu tol ditutup lantaran macet.

Dalam kondisi seperti itu, mereka mau ke mana? Mundur, putar balik mencari jalan alternatif tidak mungkin lagi karena di belakang sudah ada ratusan mobil yang sama-sama antre. Tapi, menunggu pintu tol dibuka kembali, mereka tak bisa memprediksi berapa menit lagi akan lancar.

Sangat tidak adilnya juga bila instrumen tarif diterapkan, karena sudah jelas masuk tol bayar, namun ketika macet, alih-alih digratiskan, justru dikenai tarif yang lebih tinggi. Sementara mau menghindar mereka tidak bisa lagi karena sudah kadung masuk ke jalan tol. Dapat dipastikan masyarakat akan menolak dan marah bila macet di tol tapi tarifnya justru dinaikkan.

Dengan kata lain, kebijakan “ganjil genap” plat nomor kendaraan merupakan kebijakan paling realistis diterapkan di lapangan. Mereka yang memiliki plat ganjil, sementara hari itu adalah tanggal genap, dapat mengatur perjalanannya dengan berangkat lebih awal/akhir atau mencari jalan alternatif, misalnya masuk ke Jakarta melalui pintu tol Tambun dan Pondok Gede atau lewat arteri Kalimalang dan tol Becakayu.

Alternatif lain yang dapat ditempuh oleh warga Bekasi yang sebelumnya pergi ke Jakarta menggunakan mobil pribadi adalah dengan beralih menggunakan angkutan umum, yaitu Bus Premium yang telah disediakan oleh pemerintah. Penggunaan angkutan umum massal adalah solusi yang cerdas dan banyak dilakukan oleh kota-kota di dunia untuk mengurangi kepadatan wilayah perkotaan.

Disebut Bus Premium karena fasilitas yang tersedia di dalam bus memang fasilitas premium, yaitu ber-AC dan free wifi, serta menggunakan bahu tol sehingga perjalanan bisa lebih lancar.

Sebagai upaya antisipasi perpindahan moda dari mobil pribadi ke angkutan umum, ada 25 bus Transjabodetabek dengan kapasitas 35 seat reclining untuk Bekasi Barat yang terbagi di Mega City dan Sumarecon. Sedangkan untuk Bekasi Timur terdapat 23 bus dengan lokasi di Gran Dhika dengan tarif Rp 20.000. Bus Transjabodetabek ini dari Bekasi Barat akan melayani penumpang ke rute Senayan, Kuningan, Podomoro City, Blok M, dan Thamrin City.

Sementara itu, Transjabodetabek Premium dari Bekasi Timur menuju ke Grand Paragon, Tebet, Mall Sunter, Kalideres, dan Thamrin City. Bus juga tersedia untuk rute balik dari Jakarta ke Bekasi mulai pukul 16.00 sampai jam 21.00 WIB dari masing-masing lokasi di Jakarta.

Pengguna kendaraan pribadi yang beralih naik Transjabodetabek Premium dapat memarkirkan kendaraannya dengan tarif flat Rp 10.000,- per hari di lokasi park and ride, yaitu di Mega City (120 mobil), Sumarecon (200 mobil), Grand Dhika (200 mobil), serta Bekasi Trade Center (150 mobil) dengan menunjukkan bukti tiket naik Transjabodetabek Premium. Ini salah satu bentuk insentif agar orang lebih banyak menggunakan angkutan umum daripada kendaraan pribadi.

Apa Urgensi Tol Layang?
Kebijakan “ganjil genap” di pintu tol Bekasi Timur dan Barat ini adalah salah satu bentuk rekayasa untuk memperlancar arus lalu lintas di jalan tol Jakarta – Cikampek. Hasil yang diharapkan dari kebijakan itu adalah kecepatan di jalan tol Jakarta – Cekampek akan naik dari 32,34 km menjadi 48,45 km/per jam, dan waktu tempuh turun dari 116 menit menjadi 83 menit.

Kebijakan Kementerian Perhubungan melalui BPTJ tersebut hanya merespons situasi lalu lintas di jalan tol Jakarta – Cikampek yang memburuk. Sesuai amanat UU LLAJ, tugas dan fungsi melakukan rekayasa lalu lintas itu ada pada Kemenhub. Karena itu, ketika ada persoalan lalu lintas di tol Jakarta – Cikampek, Kemenhub-lah yang mengambil langkah penyelesaian.

Sumber masalahnya justru di luar Kemenhub, yaitu laju pertumbuhan kendaraan yang tidak terkontrol (domain Kementerian Industri dan Perdagangan), serta pembangunan LRT dan tol layang (Kementerian PUPR). Ironisnya bagi Kemenhub adalah ketika upaya untuk mengatasi persoalan tersebut justru dipersepsi oleh sebagian warga sebagai tindakan sewenang-wenang, arogan, dan diskriminatif; sementara yang menciptakan masalah justru tidak diprotes sama sekali.

Hampir tak pernah ada suara yang mempertanyakan urgensi membangun tol layang Jakarta – Cikampek, seakan itu sudah given, padahal akan menimbulkan persoalan lalu lintas besar sepanjang masa. Tak pernah ada suara yang mempertanyakan efektivitas jalan tol layang kelak bila tarifnya lebih mahal dari tol di bawah.

Keberadaan tol layang juga akan menimbulkan problem baru di pintu keluar tol karena di sana akan ada titik pertemuan antara kendaraan yang keluar dari pintu tol layang dan tol biasa, sehingga kemacetan parah tidak dapat terhindarkan. Efek pembangunan tol layang itu permanen, tapi herannya justru tidak mendapat gugatan masyarakat. Sebaliknya, kebijakan ganjil genap justru dipersoalkan.

Menurut hemat penulis, persoalan besarnya justru ada pada pembangunan tol layang tersebut, bukan pada kebijakan ganjil-genap. Kebijakan Ganjil-genap itu sifatnya temporer/sesaat, selama proses pembangunan jalan tol layang berlangsung, dan akan berakhir ketika proses pembangunan infrastruktur di tol Jakarta – Cikampek selesai. Tapi ironisnya, kebijakan yang sesaat digugat, sebaliknya kebijakan yang bermasalah permanenen justru tidak digugat.


Dimuat di Geotimes Rabu, 14 Maret 2018

https://geotimes.co.id/kolom/sosial/ganjil-genap-versus-ancaman-tol-layang-jakarta-cikampek/

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

BIODATA DARMANINGTYAS

BIODATA DARMANINGTYAS, menggeluti pendidikan sejak mulai menjadi mahasiswa baru di UGM, Agustus 1982 dengan menjadi guru di SMP Binamuda dan SMA Muhammadiyah Panggang, Gunungkidul, DIY. Pendidikan formalnya cukup Sarjana Filsafat Universitas Gadjah Mada (UGM) dan selebihnya otodidak. Gelar “Profesor Doktor” diperoleh dari undangan, sertifikat, piagam, spanduk, dan sejenisnya; sebagai bentuk pengakuan nyata dari masyarakat.

Masyarakat Diajak Adaptasi

Pemerintah, melalui lembaga dan kementerian, mengeluarkan peraturan dan edaran perihal protokol atau pedoman kesehatan. Protokol itu berlaku di tempat masyarakat, industri, sektor jasa, dan perdagangan.

REFLEKSI DARI PELATIHAN GURU SASARAN DI LAMPUNG

Berikut saya sampaikan refleksi saya tatkala mendapat tugas untuk membuka dan kasih pengarahan pada pelatihan guru sasaran di Lampung tanggal 9 Juli lalu. Semoga refleksi in dapat menjadi bahaperbaikan proses pelatihan guru yang akan dating sehingga menjadi lebih baik.