Langsung ke konten utama

Saat kendaraan pribadi jadi pilihan solusi

Tidak terintegrasinya sistem transportasi publik memunculkan banyak persoalan. Mulai dari macet hingga waktu terbuang dalam pergerakan warga. Dampaknya, memicu kepemilikan kendaraan pribadi. Tak peduli seberapa lebar ukuran jalan masuk ke lokasi tempat tinggal, hingga ihwal kepemilikan garasi.


Keharusan memiliki garasi bagi pemilik mobil pernah diwacanakan oleh mantan Gubernur Jakarta Djarot, Saiful Hidayat, yang mengacu pada Peraturan Daerah (Perda) Nomor 5 Tahun 2014 tentang Transportasi.

Isu ini tak digubris publik dan mendapat penolakan dari Dirlantas Polda Metro Jaya bahwa syarat kepemilikan garasi tidak masuk dalam Undang-undang Nomor 22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan dan Peraturan Kapolri Nomor 5 Tahun 2012 tentang Registrasi Kendaraan Bermotor.

Pengamat transportasi dan kebijakan publik, Agus Pambagyo, mengatakan kepemilikan kendaraan pribadi adalah hak bagi semua orang. Bahkan menurut Agus, itu adalah hak asasi setiap individu. Tidak terkoneksinya transportasi publik membuat masyarakat kesusahan untuk pindah lokasi, dan kendaraan pribadi menjadi solusi atau alternatif.

"Kepemilikan kendaraan pribadi adalah hak bagi semua orang, selama tidak ada sistem transportasi publik yang terkoneksi dengan yang bisa digunakan masyarakat. Persoalannya pemerintah belum bisa memberikan layanan transportasi publik yang terkoneksi, agar masyarakat tidak perlu membeli mobil," kata Agus Pambagyo kepada Beritagar.id, Selasa (20/2/2018).

Menurut Agus, semua bentuk aturan yang sifatnya melarang susah untuk dipatuhi--seperti kepemilikan kendaraan pribadi, mulai dari mobil atau sepeda motor--sebelum ada sistem transportasi yang terkoneksi untuk seluruh moda.

"Ini seperti kita terbiasa makan beras dan tiba-tiba dilarang. Ya tidak bisa kalau belum ada alternatifnya. Logika yang sama dalam hal kepemilikan kendaraan dan transportasi publik ini," ujar Agus lebih lanjut.

Lokadata Beritagar.id menelisik data Susenas BPS 2016 tentang kepemilikan mobil dan lokasi tempat tinggal. Sebagai gambaran survei BPS itu, jumlah total sampling mencapai 73.834 rumah tangga yang mewakili 69.072.080 rumah tangga se-Indonesia.

Jumlah rumah tangga yang tinggal di depan gang atau lorong sebanyak 28.366, mewakili 29.542.837 rumah tangga. Sedangkan rumah tangga yang tinggal di pinggir jalan mencapai 40.585, mewakili 35.003.388 rumah tangga.

Adapun rumah tangga pemilik mobil yang tinggal dalam gang mencapai 1.686, mewakili 1.754.494 rumah tangga. Kemudian rumah tangga yang memiliki mobil dan lokasi rumahnya di pinggir jalan sebanyak 5.516 mewakili 5.303.432 rumah tangga.



Kepemilikan mobil tertinggi terdapat di Provinsi Bali sebanyak 20 persen rumah tangga. Kalimantan Timur dengan persentase 17,6 persen, dan DKI Jakarta dengan kepemilikan mobil tingkat rumah tangga mencapai 17 persen.

Jakarta yang dikenal sebagai wilayah macet, sebanyak 52,7 persen rumah tangga yang memiliki mobil tinggal di dalam gang, atau ukuran jalannya 2-3 meter. Sebanyak 26,8 persen tinggal di lokasi dengan ukuran gang/jalannya selebar 4-5 meter. Kemudian 13,5 persen tempat tinggalnya dalam gang/jalan dengan ukuran 1 meter.

Dibandingkan dengan wilayah lain, rumah tangga di DKI Jakarta secara persentase paling banyak memiliki mobil dan tinggal di gang/jalan dengan lebar 1 meter. Kemudian diikuti provinsi Jawa Barat dengan persentase 12,26 persen, Maluku dengan persentase 11,90 persen, Banten sebanyak 9,93 persen, dan Bali sebanyak 7,17 persen.

Dengan ukuran gang/jalan selebar 1 meter untuk masuk tempat tinggalnya, apakah mobil bisa masuk atau tidak? Itu lain hal. Namun, rumah tangga itu memiliki mobil. Dengan membayangkan ukuran gang atau lebar jalan 2 dan 3 meter masih dimungkinkan mobil untuk masuk, demikian juga dengan ukuran gang 4 meter ke atas.



Tidak mengherankan bila rumah tangga di Jakarta kepemilikan mobilnya paling tinggi. Secara persentase, sebanyak 40,8 persen total rumah tangganya tinggal dalam gang atau lebar jalan dengan ukuran 1 meter.

Agus mengingatkan, persoalan kemacetan oleh angkutan pribadi akan menjadi masalah ke depan jika tidak diselesaikan dengan sistem transportasi yang terintegrasi dan regulasi yang tegas.

Menurutnya, kepemilikan mobil itu, bisa jadi tak hubungannya dengan ukuran menuju tempat tinggalnya sekalipun, selama kendaraan pribadi itu bisa membantunya untuk berpindah tempat mudah. 

"Perpindahan penduduk dari rumahnya ke sekolah, pusat perbelanjaan, pusat kerjanya, dan yang lainnya harus terkoneksi dan difasilitasi oleh pemerintah. Kalau tidak ada, harus naik apa? Kalau orang diminta jalan kaki, harus ada trotoar yang layak dan terjamin. Karena penduduk kita belum ada pilihan, makanya alternatifnya ya beli kendaraan sendiri," ujar Agus.

Selain itu dibutuhkan sistem regulasi yang tegas setelah ada sistem transportasi publik yang terintegrasi. Agus mencontohkan, sistem denda bagi mobil yang masuk dalam jalur TransJakarta tidak akan bisa menyelesaikan masalah.

"Kalau hanya denda Rp500 ribu, ya bayar saja, habis itu akan diulangi lagi. Berbeda, kalau misalnya ada kawasan khusus jalur transportasi publik dilewati oleh mobil dan motor kendaraan pribadi, sanksinya langsung kendaraannya dihancurkan. Efek jeranya langsung ada," katanya tegas. "Kalau terus permisif, tidak akan ada yang jalan sistem angkutan publik kita. Tapi dengan ketentuan sistem transportasi kita terintegrasi."

Dihubungi secara terpisah, pengamat sosial Darmaningtyas mengatakan, untuk urusan transportasi, masyarakat seperti disuruh mencari solusi masing-masing sesuai dengan kemampuannya. Dia menilai, baik pengembang perumahan dan pemerintah jalan sendiri-sendiri dalam pembangunan kawasan dan wilayah.

"Coba perhatikan kota-kota satelit di Jakarta dan sekitarnya, apakah pengembang dan Pemda memperhatikan untuk akses sistem transportasi publik itu selama ini? Pembeli rumahnya secara tidak langsung diminta untuk mencari sendiri solusinya, yang banyak uang ya beli mobil, yang kurang ya beli sepeda motor," kata Darmaningtyas kepada Beritagar.id, Selasa (20/2/2018).

Menurutnya tidak ada yang salah dalam cara masyarakat dalam memenuhi kebutuhan transportasinya sendiri. Entah tanpa memikirkan ukuran jalan menuju tempat tinggal atau tanpa memiliki garasi parkir sekalipun.

"Sistem layanan transportasi publik yang ditawarkan pemerintah atau pihak swasta selalu datang di akhir, setelah tahu kawasan itu ramai, bukan sejak awal masuk perencanaan mereka," ujar Darmaningtyas.


Dimuat di Beritagar.id Selasa, 20 Februari 2018

https://beritagar.id/artikel/berita/saat-kendaraan-pribadi-jadi-pilihan-solusi

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

BIODATA DARMANINGTYAS

BIODATA DARMANINGTYAS, menggeluti pendidikan sejak mulai menjadi mahasiswa baru di UGM, Agustus 1982 dengan menjadi guru di SMP Binamuda dan SMA Muhammadiyah Panggang, Gunungkidul, DIY. Pendidikan formalnya cukup Sarjana Filsafat Universitas Gadjah Mada (UGM) dan selebihnya otodidak. Gelar “Profesor Doktor” diperoleh dari undangan, sertifikat, piagam, spanduk, dan sejenisnya; sebagai bentuk pengakuan nyata dari masyarakat.

Masyarakat Diajak Adaptasi

Pemerintah, melalui lembaga dan kementerian, mengeluarkan peraturan dan edaran perihal protokol atau pedoman kesehatan. Protokol itu berlaku di tempat masyarakat, industri, sektor jasa, dan perdagangan.

REFLEKSI DARI PELATIHAN GURU SASARAN DI LAMPUNG

Berikut saya sampaikan refleksi saya tatkala mendapat tugas untuk membuka dan kasih pengarahan pada pelatihan guru sasaran di Lampung tanggal 9 Juli lalu. Semoga refleksi in dapat menjadi bahaperbaikan proses pelatihan guru yang akan dating sehingga menjadi lebih baik.