Langsung ke konten utama

PEMILIHAN REKTOR OLEH PRESIDEN

Oleh : DARMANINGTYAS

Kampus-kampus perguruan tinggi negeri (PTN) kita merupakan wahana yang strategis untuk menyemai benih-benih kaum muda calon pemimpin bangsa. Oleh karena itu, keberadaan PTN selalu diperebutkan oleh para pihak yang memiliki pretensi untuk memanfaatkan kampus sebagai penyemai benih-benih bagi kaum muda. Pada tingkat PTN perebutan ruang tersebut tampak jelas pada saat pemilihan rektor dan pemilihan senat mahasiswa. Keduanya adalah ruang konstetasi bagi kelompok-kelompok berkepentingan.


Pemilihan rektor di PTN kita selalu penuh hiruk pikuk dengan politik primordialisme dan sektarianisme. Padahal, kampus adalah lembaga ilmiah. Pertarungan calon pemimpin di PTN semestinya pertarungan gagasan, pemikiran, maupun program yang akan dilakukan bila terpilih menjadi rektor. Oleh karena pendekatannya politis, tidak jarang proses pemilihan rektor di PTN sering menimbulkan segregasi antar civitas akademika berdasarkan ideologi atau agama yang dianut dan kadang berakhir di pengadilan karena saling gugat, mirip seperti Pilkada. Seorang kolega yang pernah ikut bertarung dalam pemilihan rektor di PTN menuturkan, bahwa dirinya sempat dilobi dari kelompok tertentu yang siap mendukung, tapi kompensasinya, bila terpilih menjadi rektor agar asistensi pendidikan agama mereka pegang.

Asistensi pendidikan Agama di PTN menjadi rebutan kelompok-kelompok tertentu karena itu merupakan ruang yang sangat strategis untuk melakukan kaderisasi maupun indoktrinasi kepada kaum muda potensial. Hampir semua PTN, menempatkan jadwal asistensi agama diberikan pada masa-masa awal kuliah, saat pemikiran mahasiswa masih jernih dan mudah diarahkan sesuai dengan kehendak dosen atau mentor. Siapa yang menguasai ruang tersebut akan menggenggam suara mahasiswa, dan menggenggam suara mahasiswa berarti menggenggam masa masa depan politik di negeri ini. Jadi wajar, bila saat pemilihan rektor di PTN, hak pemberi asistensi pendidikan agama menjadi alat posisi tawar antar calon rektor dengan pendukungnya.

Kecenderungan membawa kampus ke institusi yang lebih bersifat politis, tidak ilmiah itu bukanlah hal baru. Itu sebabnya sewaktu menjabat Menteri Pendidikan dan Kebudayaan 1978-1983, Dr. Daoed Joesoef memandang penting untuk menormalkan kehidupan kampus sebagai lembaga ilmiah melalui program NKK (Normalisasi Kehidupan Kampus) dan BKK (Badan Koordinasi Kampus). Dr. Daoed Joesoef saat itu menengarai adanya kecenderungan kampus sebagai lembaga politik praktis sehingga memunculkan segregasi civitas akademika berdasarkan suku, agama, dan afeliasi politiknya. Sayang, konsep NKK/BKK saat itu ditolak dan menimbulkan gelombang protes besar di kampus-kampus PTN, karena NKK/BKK dinilai sebagai proses depolitisasi kampus. Namun ketika kita sekarang merasakan polutipnya kampus-kampus PTN dari penetrasi berbagai ideologi yang bertentangan dengan Pancasila, kita baru menyadari kebenaran konsep tersebut. Di sisi lain, regulasi dan kebijakan-kebijakan pendidikan tinggi saat ini sebetulnya jauh lebih ketat dibandingkan dengan NKK/BKK-nya Daoed Joesoef. Sehingga ada dua kerugian dengan menolak NKK/BKK dulu, yaitu pertama, kehidupan ilmiah di kampus tidak berkembang, dan baru tergagap sekarang ketika kampus-kampus PTN kita kalah jauh dengan kampus-kampus negara lain dalam hal karya ilmiah; kedua, kampus-kampus PTN sudah terlanjut dikuasai oleh kaum radikal.

Dilema Pemilihan Rektor

Melihat perkembangan situasi politik kampus-kampus PTN yang sudah dikuasai oleh kaum yang anti Pancasila dan lebih suka mengusung ideologi khilafah, muncul wacana baru bahwa pemilihan rektor di PTN akan dilakukan oleh Presiden. Wacana itu tidak terlepas dari fenomena merebaknya paham radikalisme di kampus-kampus PTN. Bahkan kampus PTN pun dipakai untuk deklarasi negara khilafah oleh para mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi. Bahkan ada sejumlah guru besar di PTN yang terang-terangan mendukung berdirinya negara khilafah. Padahal, saat mereka dilantik sebagai dosen PNS mengucapkan sumpah untuk setia pada Pancasila dan UUD 1945. Semestinya ketika mereka mendukung negaraa khilafah, harus mundur/dipecat sebagai PNS karena itu berarti melanggar sumpah jabatan.

Gagasan untuk menarik pemilihan rektor oleh Presiden sebetulnya secara juridis tidak bertentangan dengan Undang-Undang karena dalam UU No. 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, Pemerintah dalam hal ini diwakili oleh Menteri Riset dan Pendidikan Tinggi (Menristek dan Dikti) memiliki 35% suara dalam pemilihan rektor di PTN. Posisi Menristek dan Dikti di sini jelas mewakili Pemerintah, dalam hal ini direpresentasikan oleh Presiden. Jika Presiden akan menggunakan hak Pemerintah yang 35% untuk menentukan calon rektor yang akan dipilih, maka sah-sah saja, tidak menyalahi undang-undang. Memang suara Pemerintah hanya 35% saja, tapi berdasarkan pengalaman selama ini, suara Pemerintah tersebut amat menentukan seseorang terpilih menjadi rektor atau tidak.

Meski secara yuridis Presiden tidak melanggar Undang-Undang Pendidikan Tinggi (UU PT), namun pemilihan rektor di PTN oleh Presiden itu cukup dilematis. Di satu sisi, perkembangan PTN paska reformasi, terutama menyangkut otonomi kampus sudah cukup jauh, boleh dikatakan kampus sangat otonom, termasuk dalam menentukan biaya yang harus ditanggung oleh mahasiswa, dan bila rektor dipilih oleh Presiden, maka baik/tidaknya amat tergantung pada sosok Presiden yang mampu memilih calon rektor secara bijak. Tapi di sisi lain, bila pemilihan rektor di PTN dilepas seperti selama ini, maka konstelasi kampus-kampus PTN amat tidak jelas, sangat tergantung pada dominasi organisasi mahasiswa di sana. Hal itu mengingat formasi civitas akademika di kampus-kampus PTN tidak terlepas dari dominasi organisasi ekstra mahasiswanya. Bila orgaisasi ekstra mahasiswa yang kuat HMI, maka yang direkrut menjadi dosen adalah mayoritas berlatar belakang HMI, dan secara otomatis rektor yang akan terpilih pun dari HMI. Demikian pula bila organisasi ekstra yang dominan di PTN itu GMNI, secara otomatis yang direkrut menjadi dosen mayoritas adalah berlatar belakang GMNI, demikian pula rektor yang akan terpilih. Intervensi Presiden dalam pemilihan rektor dapat memotong siklus yang tidak sehat seperti itu dan mendorong ke yang lebih obyektif rasional (berdasarkan kompetensi).   

Namun langkah Presiden untuk mendapatkan calon rektor yang bagus dengan cara turut menentukan calon rektor di PTN itu tidak mudah, mengingat seperti dikatakan di atas, formasi dosen di PTN amat terganung pada dominasi organisasi ekstra mahasiswanya. Dengan demikian, calon-calon rektor yang masuk nominasi tiga besar sangat mungkin berlatar belakang dari organisasi mahasiswa yang dominan. Paska reformasi politik 1998, mayoritas kampus PTN didominasi oleh organisasi ekstra KAMMI yang berafeliasi ke PKS dan pro HTI, sehingga secara otomatis yang direkrut menjadi dosen adalah dari mereka. Kelak yang memiliki probabilitas untuk dicalonkan sebagai rektor juga dari mereka. Bagaimana memotong siklus yang seperti itu agar maksud Presiden untuk memilih langsung rektor PTN itu sampai sasaran? Inilah problem teknis yang akan dihadapi Presiden.

Berdasarkan pengalaman selama ini, tentang bagaimana formasi dosen di setiap fakultas dan PTN dibangun, maka yang perlu dirombak di PTN adalah proses rekruitmen dosen baru agar lebih obyektif dengan mendasarkan pada kompetensi akademis, sosial, dan profesional; bukan berdasarkan afeliasi organisasi, apalagi berdasarkan suku dan agama. Selama proses rekruitmen dosen lebih mendasarkan pada afeliasi organisasi ekstra, agama, dan suku; sulit untuk mendapatkan calon rektor seperti yang diharapkan oleh Presiden, karena stok yang tersedia tentu tidak  jauh berbeda dengan formasi dosen yang ada. Oleh karena itu, selain pemilihan rektor PTN akan dilakukan oleh Presiden, tidak kalah pentingnya adalah Presiden perlu menugaskan kepada Menristek dan Dikti M. Nasir untuk membenahi proses rekuritmen dosen di PTN-PTN agar lebih mendasarkan pada kompetensi akademik, sosial, dan profesional; bukan pada sentimen-sentimen primordialisme dan sektarianisme. **


Darmaningtyas, Pengurus Persatuan Keluarga Besar Tamansiswa (PKBTS)

Dimuat Koran TEMPO, 15 Juni 2017

Komentar

Postingan populer dari blog ini

BIODATA DARMANINGTYAS

BIODATA DARMANINGTYAS, menggeluti pendidikan sejak mulai menjadi mahasiswa baru di UGM, Agustus 1982 dengan menjadi guru di SMP Binamuda dan SMA Muhammadiyah Panggang, Gunungkidul, DIY. Pendidikan formalnya cukup Sarjana Filsafat Universitas Gadjah Mada (UGM) dan selebihnya otodidak. Gelar “Profesor Doktor” diperoleh dari undangan, sertifikat, piagam, spanduk, dan sejenisnya; sebagai bentuk pengakuan nyata dari masyarakat.

Masyarakat Diajak Adaptasi

Pemerintah, melalui lembaga dan kementerian, mengeluarkan peraturan dan edaran perihal protokol atau pedoman kesehatan. Protokol itu berlaku di tempat masyarakat, industri, sektor jasa, dan perdagangan.

REFLEKSI DARI PELATIHAN GURU SASARAN DI LAMPUNG

Berikut saya sampaikan refleksi saya tatkala mendapat tugas untuk membuka dan kasih pengarahan pada pelatihan guru sasaran di Lampung tanggal 9 Juli lalu. Semoga refleksi in dapat menjadi bahaperbaikan proses pelatihan guru yang akan dating sehingga menjadi lebih baik.