Oleh : Darmaningtyas
Munculnya fenomena layanan angkutan gelap yang dalam mencari penumpang dengan menggunakan aplikasi teknologi atau yang kemudian publik menyebutnya sebagai taxi online telah menimbulkan kegamangan pada pengambil kebijakan, mereka gamang dalam bersikap. Sebab kalau mengacu pada kondisi lapangan, status kendaraan angkutan online itu sama dengan angkutan omprengan atau taxi gelap yang sering dirasia oleh Polisi atau Dinas Perhubungan, sama-sama tidak berizin. Tapi realitas sosiologisnya masyarakat menyambutnya penuh antusias karena mudah didapat, dengan menggunakan mobil pribadi, dan harganya murah dibandingkan dengan taxi resmi.
Menyikapi fenomena tersebut, Kementerian Perhubungan menerbitkan PM No. 32 Tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Angkutan Orang dengan Angkutan Umum Tidak Dalam Trayek, sebagai upaya untuk melegalkan angkutan gelap yang dalam mencari penumpang dengan menggunakan aplikasi teknologi tersebut. PM No. 32/2016 harusnya sudah terimplementasi per 1 Oktober 2016 lalu, namun dalam perjalanannya PM direvisi menjadi PM No. 26 Tahun 2017 tentang Penyelenggaraan Angkutan Orang dengan Angkutan Umum Tidak Dalam Trayek. Namun perlu diakui bahwa PM 32/2016 maupun PM 26/2017 hanya mengatur soal angkutan roda empat saja, sedangkan ojek online belum memiliki legalitas, statusnya sama dengan ojek pangkalan.
Perbedaan substansial antara PM No. 32/2016 dengan PM 26/2017 ini salah satunya adalah soal penyebutan jenis angkutan berbasis aplikasi ini sebagai jenis angkutan sewa khusus, bukan taxi online. Ada 11 poin krusial yang terdapat dalam PM 26/2017 serta tahapan-tahapan implementasinya. Tahap pertama, diimplementasikan per 1 April 2017 meliputi: penetapan angkutan online sebagai angkutan sewa khusus, persyaratan kapasitas silinder mesin kendaraan minimal 1.000 CC, persyaratan keharusan memiliki tempat penyimpanan kendaraan, dan kepemilikan atau kerjasama dengan bengkel yang merawat kendaraan. Tahap kedua, diimplementasikan secara efektif per 1 Juni 2017 antara lain: pengujian berkala (KIR) kendaraan, digital dashboard, dan stiker dan penyediaan akses. Sedangkan tahap ketiga, diimplementasi efektif per 1 Juli 2017 meliputi: pengenaan pajak pada perusahaan penyedia aplikasi, pemberlakuan tarif batas atas dan bawah, STNK atas ama badan hukum, dan kuota
Bagaimana implementasinya di lapangan setelah memasuki bulan Juli 2017? Ternyata memasuki bulan Juli 2017 belum ada perubahan signifikan di lapangan? Banyak daerah yang di wilayahnya ada angkutan sewa khusus masih galau dalam melaksanakan PM 26/2017 tersebut, terutama soal STNK atas nama badan hukum, tarif batas atas dan batas bawah, serta kuota. Banyak daerah yang belum menyiapkan regulasi baru untuk implementasi PM 26/2017 tersebut, sementara regulasi baru di daerah itulah yang menjadi kunci sukses agar pengaturan angkutan sewa khusus itu dapat berjalan smooth per 1 Juli 2017. Kalau belum ada regulasi baru di daerah-daerah, berarti yang terjadi kondisi seperti saat ini, yaitu STNK angkutan sewa khusus masih banyak yang atas nama perorangan, tetap terjadi persaringan tarif yang kurang sehat karena tidak ada tarif batas atas maupun bawah, serta tidak ada quota, sehingga tidak ada mekanisme kontrol terhadap kesimbangan antara supplay dengan demand.
Takut Mengambil Resiko
Kegamangan Gubernur/Bupati/Walikota untuk membuat regulasi baru untuk implementasi PM Perhubungan No. 26/2017 lebih disebabkan oleh dua hal. Pertama, kapasitas sumber daya manusia daerah terbatas, sehingga tidak tahu secara teknis membuat formula tarif maupun kuota; kedua, mereka khawatir/takut didemo oleh para pelaku angkutan sewa khusus bila melaksanakan PM 26/2017 secara ketat. Di sisi lain, mereka juga menyadari, kalau diam terus, maka konflik horisontal di lapangann antar pelaku angkutan akan terus terulang. Diperlukan pendampingan kepada para pemimpin daerah dalam merumuskan regulasi baru, terutama terkait dengan penentuan tarif batas atas dan batas bawah serta kuota. Meskipun formula penentuan tarif sudah ada, tidak semua daerah memiliki kapasitas yang cukup dalam menentukan tarif dan kuota, mengingat tidak semua daerah memiliki ahli transport yang dapat dimintai bantuan membuat perhitungan tarif dan kuota.
PM Perhubungan No. 26/2017 ini merupakan penyempurnaan dari PM 32/2017, yang dalamnya telah mengakomodasi berbagai masukan dari pelaku transportasi sewa khusus, utamanya pemilik mobil dan driver, serta masukan dari pelaku taxi plat kuning. Diharapkan ini dapat mengakhiri konflik horisontal di lapangan. Selama ini konflik dipicu oleh persaiangan yang tidak sehat. Di satu sisi, regulasi taxi plat kuning terlalu rigid, dan di sisi lain taxi plat hitam tanpa reguasi sama sekali sehingga tarifnya menjadi murah. Dengan regulasi ini, keduanya dipersilahkan bersaing secara sehat. Bahwa ada pihak yang tidak puas dengan PM No. 26/2017 adalah konsekuensi logis dari suatu kebijakan yang tidak mungkin menyenangkan semua pihak 100%. Dua-duanya sama-sama merasa tidak puas. Pengusaha taxi plat kuning mengatakan: “PM 26/2017 itu condong memberi ruang bebas kepada taxi plat hitam dengan diizinkannya mobil 1.000 CC sebagai moda angkutan umum”. Sebaliknya para pelaku taxi plat hitam mengatakan bahwa “PM No. 26/2017 lebih mengakomodir kepentingan perusahaan taxi plat kuning”.
Jika kedua belah pihak tidak merasa dibela dengan lahirnya PM 26/2017, ini artinya PM 26/2017 tersebut cukup obyektif, berdiri di tengah-tengah kedua pemain, tidak berat sebelah. Oleh karena Pemerintah telah berdiri di tengah, maka tidak ada jalan lain kecuali dilaksanakan secara konsisten, tidak perlu ada negosiasi-negosiasi lagi di lapangan. Betul bahwa implikasi dari penerapan tarif batas bawah adalah akan terjadi kenaikkan tarif yang harus dibayarkan oleh penumpang, tapi itu diperlukan justru untuk melindungi konsumen dalam jangka panjang. Bila tidak ada batasan tarif bawah, lalu angkutan sewa khusus ini memasang tarif semurah-murahnya lalu taxi plat kuning tutup, maka angkutan sewa khusus dapat memonopoli layanan dan akhirnya dapat menentukan tarif secara sepihak. Pada saat itu, konsumen tidak memiliki pilihan lain lagi kecuali hanya memakai jasa angkutan sewa khusus yang tarifnya ditentukan secara sepihak.
Agar PM 26/2017 dapat dilaksanakan secara konsisten, selain perlu adanya pendampingan kepada Pemda/Pemprov biar tidak galau/gamang, Pemerintah sendiri perlu kompak. Saat ini, ketika Kementrian Perhubungan tengah memasuki tahapan implementasi PM 26/2017 secara penuh, tiba-tiba muncul pernyataan Menko Kemaritiman Luhut Binsar Panjaitan yang menyatakan agar izin angkutan online tidak dipersulit. Apa maksud pernyataan tersebut? Ini tentu bisa menimbulkan keraguan kepada Kemenhub dalam mengimplementasikan PM 26/2017. Selain itu, mekanisme kolaboratif atau sinergi antara layanan transportasi plat kuning dengan memanfaatkan aplikasi teknologi merupaka jalan bijak untuk mengurangi ketegangan antar keduanya, sehingga PM 26/2017 dapat dilaksanakan secara konsisten tanpa menimbulkan ketegangan baru. Pemerintah tinggal memfasilitasi upaya sinergis kedua entitas bisnis tersebut agar dapat berjalan mulus dan saling menguntungkan, termasuk menguntungkan konsumen.
Darmaningtyas, Ketua INSTRAN (Inisiatif Srategis untuk Transportasi), LSM Transportasi di Jakarta dan Ketua Bidang Advokasi MTI (Masyarakat Transportasi Indonesia)
Komentar
Posting Komentar