Langsung ke konten utama

MEMINDAHKAN IBU KOTA

Oleh : Darmaningtyas

Masalah permindahan ibu kota kembali mengemuka setelah Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Kepala Bappenas Bambang Sumantri Brojonegoro menyatakan bahwa kajian mengenai pemindahan ibu kota dari Jakarta, tengah dilakukan. Wacana perpindahan ibu kota bukan hal baru. Sejak Presiden Soekarno wacana itu sudah digulirkan, bahkan telah mendatangkan perencana kota dari Rusia untuk mendesain Kota Palangka Raya sebagai calon Ibu Kota RI. Itu sebabnya tata bangunan kota tersebut tampak rapi, rumah-rumah di tepi jalan dibuat masuk ke dalam, sehingga bila sewaktu-waktu jalan dilebarkan, tidak perlu menggusur warga, lahan yang tersedia masih mencukupi. 


Wacana pemindahan Ibu Kota RI itu terkubur selama masa Orde Baru, karena masa Orde Baru pembangunan difokuskan di Jawa saja dengan menjadikan Jakarta sebagai pusat Pemerintahan maupun bisnis. Konsekuensinya, Jakarta menjadi pusat urbanisasi nasional. Pada masa Presiden Susilo Bambang Yudoyono (SBY), tepatnya tahun 2010, wacana pemindahan ibu kota itu muncul kembali, tapi hanya sesaat, dan kemudian tenggelam lagi.

Presiden Joko Widodo (Jokowi) tampaknya ingin merealisasikan gagasan lama Presiden Soekarno itu untuk memindahkan Ibu Kota RI dari Jakara ke Palangkaraya. Bukan hanya sekadar alasan politis, bahwa Presiden Jokowi ingin melanjutkan gagasan  yang sudah dirintis oleh Presiden Soekarno saja, tapi saatnya keruwetan Kota Jakarta saat ini, terutama menyangkut soal transportasi dan lingkungan hidupnya hanya bisa diurai dengan memecah konsentrasi kegiatan nasional ke luar Jakarta, terutama luar Jawa. Tanpa memecah konsentrasi kegiatan nasional ke luar Jakarta, infrastruktur (transportasi) apapun yang dibangun di DKI Jakarta tidak akan dapat mengurai keruwetan transportasi di Jakarta, karena jumlah kendaraan akan terus bertambah seiring dengan pertambahan jumlah pendduduk.

Agar perdebatan lebih fokus, pertanyaannya adalah yang diperlukan pemindahan ibu kota atau pusat pemerintahan? Ini dua hal yang berbeda. Jika pemindahan ibu kota dari Jakarta ke kota lain di luar Jawa, tentu prosesnya lebih panjang karena memerlukan persetujuan DPR. Namun jika yang diperlukan adalah pemindahan pusat pemerintahan saja, sedangkan ibu kota negara tetep Jakarta, maka proses politiknya lebih sederhana karena masih menjadi domain Pemerintah, DPR cukup mengetahui saja. Contoh kasus Malaysia, Ibu Malaysia masih tetap Kuala Lumpur, namun pusat pemerintahan dipindahkan ke Putra Jaya. 

Kita bisa saja meniru Malaysia, Ibu Kota Negara Republik Indonesia masih tetap Jakartaa, namun pusat pemerintahannya dipindahkan ke kota baru (Palangka Raya). Kantor predisen maupun kementerian/lembaga (K/L) berpindah ke Palangka Raya, secara otomatis ratusan ribu pegawai K/L akan pindah ke Palangka Raya pula. Kepindahan kantor presiden dan K/L dari Jakarta ke Palangka Raya tentu akan membawa perubahan signifikan terhadap kondisi lalu lintas di Jakarta dan sekaligus memiliki impak luas untuk pengembangan provinsi Kalimantan Tengah khususnya, maupun Pulau Kalimantan pada umumnya. Karena Ibu Kota RI masih tetap Jakarta, maka kantor-kanror kedutaan maupun kantor perwakilan negara lainnya masih tetap di Jakarta. Jadi tujuan pemindahan pusat pemerintahan itu betul-betul sekadar untuk memecah konsentrasi kegiatan maupun untuk pemerataan pembangunan.  

Keterbatasan Anggaran

Pada masa lalu (zaman Presiden Soekarno dan SBY) wacana pemindahan ibu kota itu terkendala oleh aspek politik. Pada masa Presiden Soekarno, situasi politik saat itu amat labil dan ditambah kondisi ekonomi juga hancur sehingga kurang tepat untuk melakukan proyek besar, seperti perpindahan ibu kota, sedangkan pada masa Presiden SBY, kondisi ekonomi cukup stabil, namun kita tahu SBY dikenal sebagai presiden peragu, sehingga tidak berani mengambil putusan. Padahal, seandainya diputuskan saat itu (2010) dukungan politik cukup kuat dan kondisi ekonomi juga stabil, meskipun efek krisis global masih tersisa. Saat ini, Jokowi merupakan presiden yang berani mengambil putusan, namun keterbatasan anggaran akan menjadi kendala. Kita hanya berharap pada akhir tahun harga minyak dunia naik sehingga turut mendongkrak pendapatan negara, demikian pula pendapatan dari pajak juga dapat ditingkatkan. Bila keduanya itu dapat terjadi pada APBN 2018, maka proses pemindahan ibu kota atau pusat pemerintahan dapat dilaksanakan. Namun keterbatasan anggaran itu dapat diatasi dengan melibatkan swasta dalam membangun kota baru.

Bila pemindahan ibu kota atau pusat pemerintahan secara serentak tidak memungkinkan, maka yang moderat adalah kantor K/L diletakkan di daerah sesuai dengan potensi masing-masing daerah, misalnya Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup di Kalimantan atau Papua, Kementrian Kelautan di Maluku, Kementerian Pariwisata di Bali, Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan di Yogyakarta, dan seterusnya. Dengan kemajuan teknologi telekomunikasi yang sangat pesat, koordinasi antar instansi itu tidak ada masalah lagi karena rapat-rapat bisa dilakukan dengan teleconference. 

Penulis termasuk orang yang memiliki optisme dengan pemindahan ibu kota atau pusat pemerintahan tersebut. Hal itu mengingat budaya kita yang paternalistik. Betul bahwa Jakarta telah berkembang menjadi kota bisnis barang dan jasa, tapi jangan lupa bahwa bisnis para konglomerat itu terbangun karen adanya kongkalingkong (kolusi) dengan penguasa. Hampir tidak ada bisnis besar di Indonesia yang tumbuh bebas dari kolusi antara penguasa dengan pengusaha. Oleh karena bisnis itu dibangun berkat kolusi antara penguasa dan pengusaha, maka pengusaha akan selalu dekat dengan penguasa, di mana penguasa ada, mereka akan berusaha mendekatinya. Bila penguasa itu adanya di Palangka Raya, mereka akan mengejarnya ke sana. Dengan mendekatnya pengusaha ke penguasa di Palangka Raya, secara otomatis akan menumbuhkan kegiatan ekonomi baru di sana sehingga arus urbanisasi akan berpindah dari Jakarta ke Palangka Raya dan sekitarnya. Dan ketika ekonomi dan urbanisasi tumbuh di sana, secara otomatis akan mengurangi kepadatan lalu lintas di Jakarta, karena sebagian kendaraan, terlebih kendaraan dinas akan berpindah ke Palangka Raya. Majunya Kota Palangka Raya juga akan diikuti dengan pengembangan fasilitas pendidikan yang baik, sehingga tidak semua menyerbu ke Jakarta.

Teori urbanisasi yang menyatakan “dimana ada gula di sana ada semut” itu berlaku universal di seluruh dunia dan sepanjang masa. Jadi, selama gulanya ada di Jakarta,  maka semut-semut tetap akan menyerbu Jakarta. Tapi bila gula-gulanya itu dipecah ke luar Jawa, maka serbuan semut-semut itu juga akan sampai ke luar Jawa. Mengatasi kemacetan di Jakarta dengan membangun infrastruktur transportasi massal saja tidak cukup, bila 30% produksi otomotif terserap di Jakarta dan sekitarnya setiap tahunnya. Serapan yang tinggi itu tidak terlepas dari posisi Jakarta sebagai pusat gula-gula nasional. Kita tahu bahwa 70% ekonomi nasional digerakkan oleh dana APBN, dan dana APBN itu akan selalu berputar di sekitar pusat kekuasaan. Bila pusat kekuasaan tetap di Jakarta, maka perputaran dana APBN juga hanya di Jakarta dan sekitarnya. Namun bila pusat kekuasaan itu pindah ke Kalimantan Selatan, maka perputaran dana APBN yang besar akan terjadi di sana.

Pilihan Presiden Soekarno ke Palangka Raya sebagai calon ibu kota baru juga didasarkan pada alasan geografis, Kota Palangka Raya posisinya tengah-tengah dari seluruh wilayah Indonesia, sehingga baik dari Sumatra, Sulawesi, Bali, NTB, NTT, Maluku, Maluku Utara, maupun Papua merasa sama-sama jaraknya, tidak seperti saat ini. 

Argumen lain mengenai pentingnya pemindahan ibu kota atau pusat pemerintahan itu adalah kondisi lingkungan Kota Jakarta yang tidak mendukung lagi untuk terciptanya hidup yang layak karena terlalu padat, penuh tanaman beton, dan minim cadangan sumber air baku. Kecuali itu, distribusi penduduk yang 60% bertumpu di Jawa hanya mungkin terdistribusi ke luar Jawa bila ada magnet yang sangat kuat, yaitu pusat ke kuasaan. Mendorong daerah untuk mengembangkan pusat perekonomian untuk menekan arus urbanisasi itu ilusi belaka bila tidak ada distribusi kekuasaan ke daerah, karena uang selalu melekat pada kekuasaan. **


dimuat oleh Geotime, Selasa 11 Juli 2017

Komentar

Postingan populer dari blog ini

BIODATA DARMANINGTYAS

BIODATA DARMANINGTYAS, menggeluti pendidikan sejak mulai menjadi mahasiswa baru di UGM, Agustus 1982 dengan menjadi guru di SMP Binamuda dan SMA Muhammadiyah Panggang, Gunungkidul, DIY. Pendidikan formalnya cukup Sarjana Filsafat Universitas Gadjah Mada (UGM) dan selebihnya otodidak. Gelar “Profesor Doktor” diperoleh dari undangan, sertifikat, piagam, spanduk, dan sejenisnya; sebagai bentuk pengakuan nyata dari masyarakat.

Masyarakat Diajak Adaptasi

Pemerintah, melalui lembaga dan kementerian, mengeluarkan peraturan dan edaran perihal protokol atau pedoman kesehatan. Protokol itu berlaku di tempat masyarakat, industri, sektor jasa, dan perdagangan.

REFLEKSI DARI PELATIHAN GURU SASARAN DI LAMPUNG

Berikut saya sampaikan refleksi saya tatkala mendapat tugas untuk membuka dan kasih pengarahan pada pelatihan guru sasaran di Lampung tanggal 9 Juli lalu. Semoga refleksi in dapat menjadi bahaperbaikan proses pelatihan guru yang akan dating sehingga menjadi lebih baik.