Langsung ke konten utama

PENDIDIKAN TRANSMITER BUKAN TRANSFORMER DARMANINGTYAS


“We can’t solve problems by using the same kind of thinking we used when we created them.”
- Albert Einstein

1. Pengertian Pendidikan Transformatif

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mengartikan transformasi itu sebagai perubahan rupa (bentuk, sifat, fungsi, dan sebagainya). Juga perubahan struktur gramatikal menjadi struktur gramatikal lain dengan menambah, mengurangi, atau menata kembali unsur-unsurnya. 

Berdasarkan pengertian transformasi seperti tercantum dalam KBBI tersebut dapat dimengerti bahwa pendidikan transformative adalah model pendidikan yang mengarah pada terjadinya perubahan struktur social di masyarakat secara substansial (untuk tidak menyebut radikal). Melalui pendidikan transformative diharapkan terjadi perubahan dari sifat dan fungsi pendidikan itu sendiri, sehingga pendidikan tidak hanya merupakan media pewarisan nilai-nilai luhur (seperti yang ada dalam pendidikan konservatif), atau tidak sekadar menciptakan keberdayaan dan kemandirian ekonomi saja (seperti paham pendidikan liberal), tapi menawarkan perubahan yang substansial, yang berefek pada terjadinya perubahan struktur, baik struktur social maupun kekuasaan.

Pendidikan transformative itu bukan metode yang bersifat teknis, melainkan ideologis, lebih terkait dengan substansi pendidikan itu sendiiri. Dalam istilah awam, model pendidikan semacam ini disebut sebagai model pendidikan kritis. Dalam terminologi yang dipakai oleh Paulo Freirer, pendidikan kritis ini merupakan tahapan lanjut dari pendidikan konservatif dan liberal. Jika ideologi pendidikan konservatif lebih menekankan pada pengarajan baca tulis, dan berhitung agar masyarakat tersebut mampu mempertahankan atau menyesuaikan terhadap tatanan sosial yang ada, termasuk mampu mempertahankan nilai-nilai luhur nenek moyangnya (dengan kata lain melahirkan orang-orang yang patuh), dan ideologi pendidikan liberal lebih berpretensi mengubah agar orang dpa menyesuaikan diri dengan tatanan yang ada (dengan kata lain melahirkan orang-orang yang adaptif dan akomodatif; maka pendidikan transformasi berpretrensi memperbaharui tatanan agar memenuhi kebutuhan setiap orang yang menjadi anggotanya. Konsekuensi logis dari model pendidikan kritis ini adalah perubahan struktur, bila stuktur sosial maupun kekuasaan yang ada tidak mampu memberikan kebutuhan bagi setiap warganya. Ituah sebabnya pendidikan kritis atau transformative sering pula dikenal sebagai pendidikan radikal,  karena bukan hanya mengajarkan orang untuk memiliki kemampuan baca tulis atau kemampuan menyesuaikan perkmbangan zaman saja, tapi memperbarui keadaan sesuai kebutuhan masyarakat.

Pengertian pendidikan transformative seperti diuraikan di atas sekaligus mengoreksi pengertian pendidikan yang dipakai sementara pihak yang mendefinisikan bahwa pendidikan transformatif adalah sebuah pendidikan yang tardisional menuju pendidikan yang modern dan memiliki visi mengubah masyarakat tradisional menuju masyarakat modern.  Pengertian pendidikan semacam ini bukanlah pendidikan transformative sebagai padanan dari pendidikan kritis, tapi lebih ke pendidikan liberal atau bahkan konservatif. Pendidikan transformative bukan semata-mata teknis-metodis memandaikan atau membuat masyarakat terampil, tapi lebih bersifat ideologis, terkait dengan perubahan struktur sosial, budaya, dan bahkan kekuasaan. Hal itu tidak terlepas dari para pelopornya yang terlibat langsung dalam pergulatan masyarakat atau bangsanya.

Pendefinisian  pengertian transformasi sebagai proses perubahan secara berangsur-angsur sehingga sampai pada tahab ultimate, perubahan yang dilakukan dengan cara member respon terhadap pengaruh unsure eksternal dan internal yang akan mengarahkan perubahan dari bentuk yang sudah dikenal sebalumnya melalui proses menggandakan secara berulag-ulang atau melipatkandakan, lebih bisa diterima sesuai dengan ruh penddidikan transformative itu sendiri.

Selama ini bila kita membaca literatur-literatur atau diskusi-diskusi pendidikan, orang banyak menyebut nama-nama seperti Ivan Illich, Paulo Freire, dan Henry Girox (tokoh dari luar) dan YB Mangunwijaya, Mansur Faqih, Room Topatimasang, dan lainnya dari Indonsia sebagai tokoh pendidikan kritis, terutama paska Perang Dunia II. Namun kalau kita lacak ke belakang, jauh sebelum itu, yaitu di awal abad ke-20 telah muncul tokoh pendidikan kritis, seperti Rabendranath Tagore (India), Maria Montesori (Italia), dan Ki Hadjar Dewantara (KHD). Di akhir abad ke-19 hingga awal abad ke-20 muncul tokoh sepert  Friederich Wilhelm August Frobel (atau Froebel) yang mulai memperkenalkan permainan sebagai metode pembelajaran untuk anak-anak.

Gagasan pendidikan Rabendranath Tagore dan Ki Hadjar sesungguhnya jauh lebih dahsyat dibandingkan dengan gagasan Paulo Freire yang muncul dan berkembag pada dekade 1950-1970-an. Jika gagasan pendidikan kritis atau transformative Paulo Freire dipicu oleh atau sebagai respon terhadap sistem politik di Brasil saat itu yang amat otoriter,  maka gagasan pendidikan Tagore dan KHD dipicu atau respon terhadap penjajahan saat itu. India dijajah oleh Inggris, sedangkan Indonesia dijajah oleh Belanda. Baik Tagore maupun KHD memiliki konsep pendidikan sebagai upaya untuk melahirkan kemerdekaan, kebangsaan, dan kemanusiaan. Kesamaan pandangan inilah yang membuat keduanya itu bisa bertemu. Pada saat lawatannya ke Pulau Jawa dan Bali pada tahun 1927 (90 tahun silam), Tagore mampir ke Tamansiswa di Yogyakarta, keduanya memiliki kecocokan dalam hal pandangannya mengenai makna pendidikan. Pendidikan yang dijalankan oleh pemerintah colonial saat itu, baik di Indonesia maupun India hampir sama, yaitu untuk menyiapkan para buruh terdidik yang dapat mengabdi kepada kepentingan penjajah.

Konsep pendidikan Tagore dan KHD sebagai upaya untuk melahirkan manusia-manusia yang berjiwa merdeka, berbangsa, dan berperikemanusiaan itu merupakan gagasan yang amat revolusioner pada saat itu, bahkan relevan untuk masa sekarang. Pendidikan seperti itu adalah pendidikan yang transformative karena bukan hanya mengajari pandai baca tulis dan melek teknologi, tapi juga mendorong terjadinya perubahan struktur social dan kekuasaan di masyarakat. Sayang gagasan yang amat dahsyat itu banyak tidak dikenal sehingga gaungnya tidak ada. Tatkala Ivan Illich melontarkan kritik terhadap sistem pendidikan yang membelenggu, sehingga muncul konsep keluar dari sekolah (deschooling society) atau Paulo Freire yang keluar dengan konsep penyadaran (consientiasi), seakan merupakan barang wah. Padahal, gagasan Tagore dan KHD jauh lebih wah dan masih lerevan sampai sekarang.

Berbeda dengan ideologi pendidikan konservatif atau liberal yang lebih dimaksudkan untuk menyiapkan masyarakat agar dapat menyesuaikan dengan perkembangan zaman, maka paradigma pendidikan transformatif lebih diarahkan untuk terjadinya perubahan struktur social dan kekuasaan melalui penumbuhan kesadaran kritis masyarakat. Oleh karena itu, lahirnya sikap kritis menjadi orientasi dari pendidikan transformative. Munculnya sikap kritis yang massif ituah yang akan dapat mendorong terjadinya perubahan social di masyarakat. Proses penyadaran itu terjadi bukan hanya tergantung pada metode (dialogis) yang dipakai, tapi juga substansi dari pembelajaran itu sendiri yang dapat menyentuh dimensi kemanusiaan subyek didik sehingga mereka kemudian menyadari adanya manipulasi dalam sistem social maupun kekuasaan yang harus dibongkar.

Prof.Dr. HAR Tilaar (2002) menjelaskan bahwa aliran pemikiran filsafat yang telah ikut melahirkan pedagogik transformatif adalah berdasarkan pemikiran-pemikiran filsafat kontemporer. Filsafat kontemporer yang sangat mempengaruhinya untuk melahirkan pedagogik transformatif ialah filsafat kritis masyarakat, yaitu sikap kritis yang terus menerus. Dengan sikap yang kritis tersebut, kita terus menerus mempertanyakan kebenaran yang ada. Kebenaran selalu bersifat sementara dan selalu mencari yang terbaik. Proses pencarian yang terbaik ini tidak mempunyai akhir. Sebagaimana realitas terus berubah, maka kita tidak berhenti di dalam memikirkan hakikat dari realitas yang ada (proses dialektika).

Sikap kritisisme terhadap realitas akan melihat kebudayaan sebagai suatu entity yang terus menerus berubah. Dan pada gilirannya, kebudayaan yang berubah tersebut yang merupakan hasil karya manusia, akan mempengaruhi perkembangan manusia itu sendiri. Proses tersebut akan menjadi terus – menerus, karena terus dikaji secara kritis, sehingga dengan demikian, kebudayaan akan terus menerus berubah dan berkembang. Orientasi kependidikan dengan jelas menunjukkan bahwa tindakan kependidikan merupakan pula tindakan kebudayaan, sebab proses pendidikan terjadi di dalam konteks kebudayaan.

Profesor Tilaar menawarkan matrik perkembangan pedagogik transformatif, baik menyangkut masalah landasan filosofisnya, orientasi budaya, orientasi pendidikan, orientasi proses belajar, hingga orientasi individu, seperti terlihat di bawah ini : 

Perkembangan Pedagogik Transformatif
FILSAFAT ORIENTASI BUDAYA ORIENTASI PENDIDIKAN ORIENTASI PROSES BELAJAR ORIENTASI INDIVIDU
Idealisme Skolastisisme Revitalisme Budaya Perenialisme Esensialisme Eksistensialisme Transfer nilai budaya Pengembangan potensi individu
Positivisme Realisme Pragmatisme Eksperimentalisme Sumber daya manusia Progresivisme Liberalisme Strukturalisme Aktif kreatif Kebebasan individu
Pragmatisme Rekonstruksionisme Rekonstruksionisme Interaktif kreatif, kritis Kebebasan individu dalam lingkungan sosial budaya
“Kontemporer” Kritisisme perubahan sosial transformatif Interaktif, kreatif, kritis, partisipatif Interaksi kebebasan individu untuk mengembangkan potensi dalam dan untuk perubahan sosial



2. Kondisi PT di Indonesia Saat ini

Sesungguhnya kondisi pendidikantinggi (PT) di Indonesia saat ini berada di simpang jalan, tidak jelas menempatkan posisi dirinya. Adanya penekanan pada mata kuliah-mata kuliah normative dan pada pendidikan karakter, sesungguhnya lebih mengarah pada Filsafat idealisme dan skolatisisme, yang menurut Prof Tilaar mempunyai orientasi terhadap perlunya revitalisasi budaya. Idealisme melihat perubahan kebudayaan terarah pada suatu yang ideal, misalnya yang didasarkan kepada ide-ide yang luhur. Tidak mengherankan bila kemudian memunculkan lontaran-lontaran gagasan yang sifatnya nostalgik, seperti misalnya mimpi diterapkannya kembali Pendidikan Budi Pekerti. Padahal, faktor-faktor eksternal yang mempengaruhi perubahan perilaku masyarakat jauh lebih dominan dibandingkan dengan unsur-unsur internal sebagai  penopangnya.

Namun pada sisi lain, terutama sejak satu dekade terakhir  terasa sekali adanya dorongan untuk melahirkan kaum wirausahawan dari dunia kampus, tidak peduli itu kampus Sekolah Tinggi (ST), Politeknik, Institut, maupun universitas. Padahal, setiap  kampus memiliki corak tersendiri. Universitas, sesuai dengan namanya, sejarah kelahirannya bukan untuk melahirkan kaum wirausahawan, tapi untuk mencari kebenaran. Universitas semestinya melahirkan orang-orang yang mampu berfikir untuk mendapatkan kebenaran bagi masyarakat maupun bangsa. Tapi di Indonesia pun didorong untuk melahirkan kaum entrepreneurship. Pendirian kampus dengan menggunakan  nam universitas semata-mata lebih untuk dimaksudkan menarik mahasiswa baru karena lebih seksis dibandingkan dengan nama akademi, sekolah tinggi, atau instiitut. Nama kampus di sini tidak mencerminkan identitasnya. Tekanan pada melahirkan wirausahawan itu adalah ekspresi dari ideologi pendidikan liberal yang lebih bermaksud menyiapkan subyek didik generasi agar dapat menyesuaikan dengan perkembaangan ekonomi global yang lebih kapitalistik.

Pendidikan transformative, dalam menghadapi kecenderungan perekonomian global yang bersifat kapitalistik bukan menyiapkan subyek didik agar mampu menyesuaikan dengan sistem yang ada, tapi berusaha memperbarui sistem yang ada tersebut dengan menawarkan solusi-solusi kongkrit, entah itu ekonomii sosialis atau kerakyatan. Mereka yang belajar ekonomi semestinya tidak hanya belajar tentang ekonomi pasar saja, tapi juga ekonomi kerakyatan agar dapat memberikan jawaban yang dihadapi masyarakat bawah yang selalu hidup dalam jeratan linah darat. Tapi saya meyakini bahwa mereka yang belajar ekonomi di perguruan tinggi, tidak diajarkan bagaimana melepaskan para pedagang di pasar, petani di pedesaan, atau nelayan dari cengkeraman lintah darat atau sistem ijon yang membuat mereka tidak pernah berdaya. Yang diajarkan adalah bagaimana melayani konsumen di bank-bank formal, menakar nilai agunan suatu kredit, menaikkan suku bunga, dan sebagainya.  Tidak mengherankan bila setelah lulus orientasi lulusan perguruan tinggi adalah bekerja di sector-sektor formal, bukan menjadi pekerja social yang mampu menawarkan pembaruan terhadap suatu sistem ekonomi yang kapitalistik dan liberalistik. Jargon-jargon efisiensi, peningkatan SDM (sumber daya manusia), dan daya saing merupakan jargon yang paling sering disampaikan oleh para birokrat pendidikan, dosen, maupun orang tua kepada anak-anaknya. Ini semua adalah jargon milik kaum liberal.

Kriteria-kriteria yang dikenakan kepada para dosen kita untuk meraih jabatan guru besar misalnya, yang harus menulis di jurnal internasional, atau cara penilaian kita terhadap perguruan tinggi nasional yang mengacu pada perankingan dunia misalnya, adalah contoh kongkrit bahwa pengembangan pendidikan tinggi di Indonesia tidak untuk menciptakan pembaruan struktur social dan kekuasaan yang lebih bersifat kapitalistik dan lberalistik, tapi justru dipersiapkan untuk melahirkan orang-orang yang mampu menyesuaikan diri terhadap terhadap sistem yang ada. Tanpa disadari, para pembuat kebijakan itu mengatakan bahwa “ikutilah sistem yang ada ini bila anda ingin eksis diakui dunia”. Mereka tidak menyadari bahwa tuntutan menulis di jurnal internasional itu adalah kesia-siaan saja, karena pembacanya itu sudah orang-orang yang tercerahkan semua, sehingga kemungkinan dibacanya amat terbatas. Yang memerlukan pencerahan lebih banyak justru masyarakat lokal yang mungkin justru akan mengena pencerahan tersebut bila disampaikan dalam bahasa lokal. Efek buruknya adalah melahirkan bisnis baru di dunia internasional dengan membuat jurnal internasional-jurnal internasional yang dimaksudkan untuk menampung pangsa pasar yang tinggi dari para dosen di Indonesia. Dengan kata lain, persyaratan itu justru semakin memperkokoh sistem perekonomian yang makin kapitalistik-liberalistik.

Adalah mimpi kalau kita berharap dapat menerapkan model pendidikan transformatif  di  Indonesia di Indonesia saat ini, baik di tingkat pendidikan dasar, menengah, maupun tinggi karena arah kebijakan pendidikan sudah terjebak pada masalah tata kelolaan, sehingga aspek-aspek efisiensi, efektivitas, transparansi, dan sejenisnya menjadi indicator dalam pengelolaan pendidikan, dan itu bisa bertentangan dengan pendidikan transformative yang memerlukan partisipasi publik.  
3. Serba Tertinggal

Ketidak-jelasan posisi (ideologis) pendidikan (tinggi) kita menyebabkan kita selalu tertinggal dalam banyak. Percepatan perubahan kebijakan pendidikan tidak secepat yang terjadi pada  sector-sektor riil. Sebagai contoh, masa jeda era agrarian berlangsung ratusan tahun. Masa jeda industri konstruksi 60 tahun. Masa jeda era industri berkurang lagi menjadi 50 tahun. Radio transistor membutuhkan waktu 38 tahun untuk bisa menjangkau 50 juta rumah tangga penggunanya. Masa jeda birokrasi pemerintahan 35 tahun. Masa jeda industri otomotif 25 tahun. Tapi Internet memerlukan waktu hanya tiga tahun saja. Facebook hanya butuh waktu setahun. Twitter cuma sembilan bulan, dan waktu yang dibutuhkan suatu penemuan baru sampai pengaplikasian teknologi informasi hany sekitar 18 bulan. Tak heran bila kompetisi menghadirkan produk baru ke pasar menjadi sangat brutal, seperti yang terlihat pada kasus IBM dengan Microsoft misalnya. Bantuan Bill Gate kepada IBM dengan memasukkan piranti lunak MS-DOS sempat mendatangkan keuntungan bagi IBM dengan peningkatan penjualan, tapi dalam jangka panjangnya keuntungan besar justru dinikmati oleh Microsoft IBM lengah dalam penandatanganan kontrak yang hanya memberikan hak kepada Microsoft untuk menjual lisensi MS-DOS yang dengan bodohnya disetujui oleh IBM (Erwin Halim, tanpa tahun).

Saat ini, manusia sudah memindahkan sebagian besar aktivitas hidupnya dari dunia nyata ke dunia maya. Berbelanja, pesan tiket, travelling, belajar-mengajar, perbankan, kesehatan, spiritual, membangun komunitas, interaksi, karir, bisnis, dan pengembangan diri. Gelar akademis mulai ditinggalkan kaum terpelajar dunia. Para pemberi kerja mulai melirik mereka yang tidak bergelar.
Dunia manajemen mulai beralih pada “apa yang bisa kamu kerjakan?” ketimbang “apa gelar akademismu?” Gerakan massif memburu gelar akademis bergeser menjadi gerakan mengasah keahlian unik dan spesifik. Kalau sudah begini mata kuliah dalam kurikulum perguruan tinggi bakal tampak usang (kadalu warsa). Itulah gejala kiamat (berakhirnya suatu trend) akibat menguatnya pengaruh generasi mileneal yang kini berusia 18-33 tahun.

Di antara semua sektor industri, pendidikan memiliki masa jeda terlama kedua---50 tahun. Artinya anak-anak yang mulai bersekolah hari ini sudah menjadi kakek-nenek saat sistem pendidikan mengadaptasi perubahan yang ditawarkan 50 tahun sebelumnya. Dan itu yang terjadi pada kita saat ini. Kita megenal kommputer baru decade 1980-an, saat teknologi computer itu mencapai puncaknya saat ini, kami yang belajar pada  decade 1980-an itu telah menjadi kakek.

Universitas-universitas di Indonesia, pada era pemercepat percepatan informasi, tampak kurang inovatif dalam banyak hal. Fakultas dan program studi itu-itu saja. Mata kuliah dan materi yang diajarkan dari waktu ke waktu tidak banyak berubah. Pengajarnya direkrut dari almater sendiri bukan dijaring dari seluruh dunia, jenjang karirnya protektif, kurang kompetitif, dan kurang merangsang daya inovasi. Riset-riset yang fenomenal sangat minim. Tak heran bila universitas-universitas di Indonesia tidak banyak bicara bahkan di Asia. Indonesia selalu tertinggal dibandingkan dengan Singapura, Malaysia, India, Jepang, Korea, Hongkong, dan China.

Konklusinya, pada abad ke-21 ini, tampaknya yang terjadi bukan pendidikan transformatif yang mengubah kehidupan secara mendasar dan besar-besaran. Pendidikan hanyalah transmiter (pemancar) bukan transformer (penggerak perubahan). Perkembangan teknologi komunikasi dan informasi sudah memasuki gelombang ketiga (internet of things) ditandai apps business yang diperkenalkan Steve Jobs. Teknologi inilah yang menjadi penggerak segala perubahan. Sebagaimana dijelaskan di atas internet of things mengubah format ekonomi memiliki menjadi berbagi. Celakannya para transformer penggerak perubahan seperti Steve Jobs, Bill Gate, dan Mark Zuckerberg (pelopor peradaban mileneal-digital) sebagaimana Thomas Alva Edison dan Henry Ford pelopor peradaban analog dari abad sebelumnya, bukanlah manusia super produk universitas. Mereka adalah anak muda yang memilih keluar dari sekolah karena tidak puas dengan gaya mengajar universitas yang tidak menyantuni semangat entrepreunership. Inovasi kewirausahaan orang-orang drop-out inilah yang memicu lahirnya zaman mileneal.

4. Generasi Online
Penggerak perubahan pada abad ke-20 adalah industri manufaktur sebagai akibat ditemukannya banyak mesin-mesin baru. Para tokoh penemunya semisal Thomas Alva Edison (General Elektrik) dan Henry Ford (otomotif) drop-out dari universitas karena dianggap idiot.

Penggerak perubahan pada abad ke-21 teknologi internet yang telah memasuki gelombang ketiga (internet of things). Pelopornya Steve Jobs (penemu apps business) dan Mark Zuckerberg (pelopor jaringan kerumunan global lewat FB dan WA). Internet of things karya orang-orang yang dulu di zaman masih kuliah oleh para dosen juga dianggap bego inilah yang menjadi lokomotif penggerak segala perubahan. Ekonomi memiliki jadi ekonomi berbagi. Mereka menjadikan kehidupan demokratis tanpa sekat-sekat sosial. Berkat mereka segmen low-end (masyarakat miskin) tak lagi sekedar menjadi penonton kemakmuran melainkan merasakan langsung kehidupan yang lebih sejahtera.

Manusia abad ke-21 hidup dalam peradaban online, semua serba online (belanja online, tiket online, bahkan transportasi pun online). Kehadiran piranti online ini jelas mengubah kebiasaan, kebudayaan, dan permainan. Peradaban online berbasis teknologi komunikasi dan informasi. Peradaban ini digerakkan oleh internet of things. Segala sesuatu kini terhubung dan dihubungkan internet yang memadat dalam satu genggaman smart phone sejak Steve Jobs memperkenalkan apps---dunia aplikasi yang mempertemukan pembaharu dengan pasar. Mucullah demokratisasi. Semua menjadi mudah terjangkau dan lebih murah terutama bagi kalangan low-end. Pada saatnya nanti fungsi bank seperti saat ini akan tergantikan dengan fungsi baru seperti yang ditawarkan oleh belanja online atau angkutan online. Belanja online telah mengurangi fungsi pasar yang menjajakan produk dengan tatap muka langsung antara penjual dan pembeli, demikian pula kehadiran angkutan online telah menggantikan peran crew awak angkutan umum yang biasanya harus berteriak-teriak menawarkan angkutannya ke jurusan tertentu. Kehadiran angkutan online ini telah membuat aktivitas manusia makin karena akan menjemput dan mengantar kita sampai pintu gerbang kita. Terhadap kehadiran peradaban online itu, apa yang diberikan oleh pendidikan (tinggi) kita agar orang-orang di dalamnya tidak tergagap-gagap?

Peradaban online ini telah mengubah budaya masyarakat, terutama masyarakat kelompok papan bawah (low-end) yang justru menjadi segmen paling konsumtif. Mereka lama hanya menjadi penonton. Mereka punya keinginan kuat untuk menikmati perjalanan, memiliki kendaraan, menyantap kuliner, berwisata ke tempat-tempat eksotis, merawat kecantikan, dan berwira usaha. Keinginan mereka itu sekarang terpenuhi dengan dibukanya akses melalui paket-paket yang disederhanakan dan terjangkau oleh mereka, birokrasinya dibuat simpel, diberi fasilitas kemudahan, dan harganya dimurahkan. Tak heran bila mobil LCGC (Agya-Ayla dan Sigra-Calya), buatan PT Astra International yang murah meriah laris manis karena menyasar segmen yang sebelumnya sangat terabaikan ini. Segmen low-end itulah kini yang menjadi tulang punggung penjualan bagi raksasa industri otomotif itu.

Sebaliknya, segmen menengah (middle-end) dan atas (high-end), selain sudah bosan mencari kemewahan dan status, terlanjur menjadi konsumen stabil, tenang, dan kurang konsumtif karena sudah memiliki semua yang pernah ditawarkan. Mereka tetap berbelanja tetapi lebih terkendali. Mereka telah beralih ke investasi ketimbang konsumsi. Lebih berorientasi ke seni dan kualitas ketimbang artifisialitas.

Dunia telah berubah. Managed capitalism bergeser menjadi entrepreneurial capitalism. Munculnya manusia kreatif generasi mileneal menghacurkan legacy merek-merek mapan. Aset produksi dan konsumsi mencair. Tak bisa dipisahkan lagi. Aset-aset konsumtif pribadi, seperti kendaraan, kini dikerahkan untuk menggerakkan dunia usaha dengan partisipasi luas menuju kondisi lebih sejahtera. Ekonomi yang mengutamakan kepemilikan satu tangan rontok dihajar ekonomi gotong-royong.

Pada masa lampau bila mau berbisni,s anda harus memilikinya sendiri. Para pengusaha taksi harus mengurus dan memiliki perizinan, argometer, mobil, pool, bengkel, pusat pelatihan, asuransi, hingga sopir. Dalam ekonomi memiliki (owning economy) manusia serba ingin menguasai sebesar-besarnya dan sebanyak-banyaknya. More is better. Begitulah dalil ekonomi klasik. Lebih banyak itu lebih baik. Padahal lebih bagi sedikit orang berarti kurang bagi kebanyakan orang.

Ketimpangan itu mendorong manusia beralih ke ekonomi berbagi, ekonomi akses, maupun ekonomi kolaborasi (sharing economy). Semangat manusia zaman Uber, Grab, dan Go-Jek bukan memiliki melainkan saling menghidupi, meski kendali tetap ada pada pemilik capital (Uber, Grab, dan Go-Jek), tapi mereka telah membuka peluang bagi siapa saja yang bisa berkontribusi dengan tenaga dan kendaraannya untuk dirinya sendiri.

Bagi para pelaku usaha di dunia baru ini, sharing is the new buying. Daya beli baru ditumbuhkan oleh semangat berbagi. Terbentuklak jejaring interaktif kelompok besar di antara sesama pemasok dan konsumen. Anda sekarang hidup pada era aset-aset konsumtif yang terbuka untuk digunakan bersama dan tak harus dimiliki sendiri untuk memulai usaha transportasi. Anda bisa saling memanfaatkan sumber daya. Begitulah Uber, Grab, dan Go-Jek. Ada kelompok pemasok (para pemilik kendaraan) yang tergabung dalam dunia apps. Ada kelompok konsumen yang tidak saling mengenal yang bergabung dalam Uber Pool. Sejak berada dalam dunia digital, sejak mengenal apps, dan smart phone manusia mengakomodasi ekonomi berbagi.

Teknologi pada masa lalu tidak memungkinkan kesegaran. Benar anda semua harus antre, sabar, dan rela menunggu. Sekarang anda bisa mendapatkannya begitu menginginkan pada saat itu juga (on demand). Saat konsumen menghendaki, produk dan jasa layanan langsung berada di dekat Anda. Jarak sudah tidak berlaku lagi. Armada sudah pindahkan ke dekat lokasi pelanggan yang membutuhkan. Teknologi komunikasi dan informasi serta algoritma big data memungkinkan anda melakukannya.

GO-JEK, hanya dalam waktu lima tahun sejak berdiri 2011, telah bertransformasi menjadi marketplace bagi banyak jasa lainnya. GO-CLEAN, jasa pembersih rumah. GO-FOOD, jasa pembelian makanan-minuman, GO-MASSAGE, jasa panti pijat, GO-BOX, jasa pindahan rumah, GO –SEND, jasa pengantaran dokumen. Itulah yang membuat nilai GO-JEK, perusahaan aplikasi itu, lebih tinggi ketimbang Blue Bird.  

Kurva penawaran-permintaan yang dulu dipelajari adalah kurva tunggal. Kini anda hidup dalam jagat apps yang pada saat bersamaan dikerjakan ribuan jejaring. Penawaran dan permintaan selalu menyangkut jaringan banyak pihak. Kompetitor yang tidak terlihat langsung masuk ke sasaran konsumen utama dari pintu ke pintu di segala sektor seperti transportasi, pariwisata, pangan, kesehatan, dan pupuk tanaman. Mereka bergerak dalam peradaban teknologi global melibatkan aset-aset pribadi jutaan orang.

Para penggerak perekonomian digital menerapkan prinsip kolaborasi. Di dunia pariwisata, para pelancong berdatangan menginap di “hotel murah” berupa home stay. Di Bali kos-kosan elite di sepanjang Sunset Road Seminyak berubah menjadi penginapan murah meriah yang melayani turis asing. Agen perjalanan dan pemandu wisata bersertifikat mendapat saingan pemandu amatir. Bisnis peer to peer tumbuh. Pelancong menikmati suasana piknik tanpa perantara sehingga murah.

Persoalan-persoalan ini semestinya menjadi perhatian dunia pendidikan, terutama terkait dengan apa yang harus diberikan kepada subyek didik. Dunia teknologi telah berubah begitu cepat, maka sistem dan substansi pendidikan semestinya mengalami perubahan cepat, tidak harus kea rah transformer, tapi setidaknya menjadi transmitter yang baik.

5. Simpulan

Istilah pendidikan transformatif pada abad ke-21 sangat problematik. Istilah itu produk para ilmuwan sosial aliran positivisme sebelum PD II. Data, fakta, dan fenomena menunjukkan pendidikan (universitas) hanyalah transmiter (pemancar perubahan) bukan transformer (penggerak perubahan mendasar dan bersar-besaran). Oleh karena itu, terlepas dari keinginan mahasiswa untuk mengetahui pendidikan transformative –seperti yang selama ini menjadi concern penulis—tapi tampaknya peran pendidikan sebagai transmitter (pemancar perubahan) jauh lebih kuat dan dominan.  Agar pendidikan (tinggi) tetap memiliki peran sebagai transmitter, maka kebijakan dan substansi pendidikan itu sendiri perlu mengalami perubahan cepat. Pengelola (yayasan), dosen, dan mahasiswa dituntut untuk menyesuaikan dengan perkembangan yang ada.


Referensi
1. Halim, Erwin, Bill Gates, Rahasia Sukses Miliarder Microsoft, Kobis, Yogyakarta, tanpa tahun
2. Kasali, Rhenald, Agility, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2012
3. Kasali, Rhenald, Self Driving, Mizan, Bandung, 2014.
4. Kasali, Rhenald, Disruption, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2017 
5. Kiyosaki, Robert T, Why “A” Students Work For “C” Students and “B” Students Work For Government, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2013.
6. Sumardianta, J dan Sarasvati, Dhitta Puti, Mendididik Pemenang Bukan Pecundang, Bentang Pustaka, Yogyakarta, 2016



Komentar

  1. KABAR BAIK!!!

    Nama saya Aris Mia, saya ingin menggunakan media ini untuk mengingatkan semua pencari pinjaman sangat berhati-hati, karena ada penipuan di mana-mana, mereka akan mengirim dokumen perjanjian palsu untuk Anda dan mereka akan mengatakan tidak ada pembayaran dimuka, tetapi mereka adalah orang-orang iseng, karena mereka kemudian akan meminta untuk pembayaran biaya lisensi dan biaya transfer, sehingga hati-hati dari mereka penipuan Perusahaan Pinjaman.

    Beberapa bulan yang lalu saya tegang finansial dan putus asa, saya telah tertipu oleh beberapa pemberi pinjaman online. Saya hampir kehilangan harapan sampai Tuhan digunakan teman saya yang merujuk saya ke pemberi pinjaman sangat handal disebut Ibu Cynthia, yang meminjamkan pinjaman tanpa jaminan dari Rp800,000,000 (800 juta) dalam waktu kurang dari 24 jam tanpa tekanan atau stres dan tingkat bunga hanya 2%.

    Saya sangat terkejut ketika saya memeriksa saldo rekening bank saya dan menemukan bahwa jumlah yang saya diterapkan, telah dikirim langsung ke rekening bank saya tanpa penundaan.

    Karena saya berjanji bahwa saya akan membagikan kabar baik, sehingga orang bisa mendapatkan pinjaman mudah tanpa stres. Jadi, jika Anda membutuhkan pinjaman apapun, silahkan menghubungi dia melalui email nyata: cynthiajohnsonloancompany@gmail.com dan oleh kasih karunia Allah ia tidak akan pernah mengecewakan Anda dalam mendapatkan pinjaman jika Anda menuruti perintahnya.

    Anda juga dapat menghubungi saya di email saya: ladymia383@gmail.com dan Sety yang memperkenalkan dan bercerita tentang Ibu Cynthia, dia juga mendapat pinjaman baru dari Ibu Cynthia, Anda juga dapat menghubungi dia melalui email-nya: arissetymin@gmail.com sekarang, semua akan saya lakukan adalah mencoba untuk memenuhi pembayaran pinjaman saya bahwa saya kirim langsung ke rekening mereka bulanan.

    Sebuah kata yang cukup untuk bijaksana.

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

BIODATA DARMANINGTYAS

BIODATA DARMANINGTYAS, menggeluti pendidikan sejak mulai menjadi mahasiswa baru di UGM, Agustus 1982 dengan menjadi guru di SMP Binamuda dan SMA Muhammadiyah Panggang, Gunungkidul, DIY. Pendidikan formalnya cukup Sarjana Filsafat Universitas Gadjah Mada (UGM) dan selebihnya otodidak. Gelar “Profesor Doktor” diperoleh dari undangan, sertifikat, piagam, spanduk, dan sejenisnya; sebagai bentuk pengakuan nyata dari masyarakat.

Masyarakat Diajak Adaptasi

Pemerintah, melalui lembaga dan kementerian, mengeluarkan peraturan dan edaran perihal protokol atau pedoman kesehatan. Protokol itu berlaku di tempat masyarakat, industri, sektor jasa, dan perdagangan.

REFLEKSI DARI PELATIHAN GURU SASARAN DI LAMPUNG

Berikut saya sampaikan refleksi saya tatkala mendapat tugas untuk membuka dan kasih pengarahan pada pelatihan guru sasaran di Lampung tanggal 9 Juli lalu. Semoga refleksi in dapat menjadi bahaperbaikan proses pelatihan guru yang akan dating sehingga menjadi lebih baik.