Langsung ke konten utama

MOMENTUM PERBAIKAN ANGKUTAN UMUM


Oleh : DARMANINGTYAS

Munculnya taxi ilegal yang menggunakan aplikasi teknologi dalam mencari penumpang –selanjutnya disebut taxi online—dan juga munculnya ojek sepeda motor online (Gojek, GrabBike, dan Uber), yang selanjutnya disebut ojek online—keduanya kita sebut angkutan online– telah menjadi fenomena baru dan sekaligus menimbulkan kehebohan yang terus menerus dalam tiga tahun terakhir. Hal itu tidak terlepas dari pro kontra kehadirannya. Bagi konsumen, kehadiran angkutan online itu amat membantu karena memberikan solusi tentang: kemudahan mendapatkan kendaraan (kapan saja dan di mana saja perlu), tarif lebih murah dan sudah pasti dapat diketahui sebelum pemberangkatan, sehingga bisa menyiapkan uang lebih pasti, tidak perlu susah-susah jalan ke luar untuk mendapatkan kendaraannya, serta dapat memperkirakan lamanya perjalananan dan memilih jalan yang tidak terlalu macet karena dilengkapi dengan GPS.


Kehadiran angkutan online ini telah menurunkan biaya  transportasi masyarakat antara 30-60% dibandingkan dengan menggunakan moda sejenis yang tidak menggunakan aplikasi tekonologi. Sebagai contoh, Rabu (14/3 2017) lalu, seorang kawan dari CBD mau ke PIM pada jam 18.30-an dengan menggunakan taxi online tarifnya hanya Rp. 32.000,-. Kalau menggunakan taxi resmi tentu dua kali lipat mengingat itu pas jam macet. Dengan tarif sudah pasti dan murah memberikan ketenangan bagi mereka yang uangnya cekak, mereka tidak perlu setiap saat melihat argo untuk mencocokkan besaran argo dengan uang yang dimilikinya. Pengalaman pribadi juga demikian. Saya naik ojek pangkalan dari Kalibata ke CBD dulu rata-rata Rp. 40.000,- dan itu pun saya harus jalan ke pangkalan sekitar 300 meter, dan pertama kali perlu tawar menawar lebih dulu. Tapi dengan menggunakan ojek online tariff pada jam sibuk hanya Rp. 20.000,- dan tidak perlu jalan ke panggalan, tapi dijemput di depan rumah, dan tidak perlu menawar, suatu tindakan yang saya hindari karena saya tidak bisa menawar.  Tarif lebih yang kita bayarkan ke pengemudi lebih bersifat sukarela sebagai tip. Jadi dari sisi konsumen, angkutan online ini lebih banyak untungnya daripada ruginya, maka tidak ada konsumen yang menolak kehadiran angkutan online.

Penolakan angkutan online berasal dari operator (termasuk di dalamnya pengemudi) angkutan resmi (untuk taxi) dan pelaku ojek pangkalan karena hal itu berdampak langsung pada pendapatan mereka. Juga dari regulator yang bertindak atas dasar regulasi, sementara regulasinya belum mengakomodasi angkutan online.

Meskipun sama-sama online tapi yang berbasis mobil (taxi) dengan sepeda motor punya dua karakter yang berbeda. Yang berbasis mobil itu padanannya dengan taxi reguler, yang sebagian juga sudah menggunakan aplikasi teknologi. Oleh sebab itu saya lebih suka menyebut taxi resmi. Disebut resmi karena beroperasi berdasarkan sejumlah regulasi yang ada, baik di tingkat pusat maupun daerah. Sedangkan disebut tidak resmi karena memang beroperasi tidak berdasarkan aturan yang sama dengan yang diterapkan di taxi resmi. Karena yang satu diregulasi, termasuk soal penentuan tarif, sementara yang lainnya tidak diregulasi sama sekali, maka wajar bila yang satu bisa pasang tarif rendah dan kemudian diminati oleh warga, sementara yang satu tarifnya tinggi sehingga dihindari oleh warga, akhirnya mereka protes menolak.

Pada ojek online kasusnya agak beda. Baik ojek pangkalan (Opang) maupun ojek online (OO) itu sama-sama merupakan angkutan tidak resmi. Yang membedakan mereka dalam hal mencari penumpang,  Opang menunggu saja di pangkalan, sedangkan OO menunggu orderan melalui aplikasi. Sebetulnya solusinya gampang, yaitu Opang gabung saja pada manajemen OO, sehingga tidak perlu ada Opang lagi. Masalahnya adalah pertama, pengemudi Opang rata-rata sudah berusia di atas 45 tahun dan banyak  yang tidak mau menyesuaikan dengan perkembangan teknologi. Kedua, banyak pengemudi Opang yang tidak memiliki persyaratan sebagai pengemudi yang baik, mereka belum tentuk memiliki SIM. Bahkan sepeda motormya pun tidak memenuhi kelaikan (spion tidak lengkap, armada sudah dimodifikasi, dsb). Ketiga, di setiap pangkalan itu selalu ada jawarannya. Untuk masuk menjadi anggota Opang tidak gratis, tapi rata-rata bayar antara Rp. 150.000 – Rp. 500.000,-. Selain ada pembayaran uang masuk, juga ada iuran bulanan. Bagi jawara, makin banyak anggota Opang itu makin bagus. Tiadanya Opang secara otomatis menghapus sumber pendapatan mereka.

Jadi yang protes terhadap OO itu adalah pengemudi Opang yang tidak mau menyesuaikan perkembangan zaman (melek teknologi), yang tidak memenuhi persyaratan sebagai pengemudi, dan para jawara. Tapi penolakan Opang terhadap OO tidak bermakna ketika warga lebih memilih OO daripada Opang. Dengan kata lain, tanpa ada intervensi dari Pemerintah pun konflik antara Opang dengan OO akan dapat terselesaikan dengan sendirinya ketika Opang makin lama tidak ada peminatnya. Masyarakat yang melek teknologi akan memilih pindah ke OO daripada naik Opang yang lebih mahal. Yang perlu intervensi Pemerintah adalah yang taxi. Peraturan Menteri (PM) Perhubungan No. 32 Tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Angkutan Orang dengan Kendaraan Bermotor Umum Tidak Dalam Trayek, menurut saya itu sudah bentuk intervensi dari Pemerintah untuk menyelesaikan persoalan di lapangan, karena dengan adanya PM No. 32/2016 itu berari taxi yang tidak resmi itu menjadi resmi dengan mengikuti persyaratan-persyaratan tertentu. Sayang, PM ini belum terimplementasikan sudah direvisi.

Ada 11 poin yang menjadi perhatian dari revisi ini, seperti soal jenis angkutan sewa, kapasitas silinder mesin kendaaraan (dari 1.300 CC menjadi 1.000 CC), batas tarif atas dan bawah, kuota jumlah angkutan sewa khusus, kewajiban STNK berbadan hokum, KIR, Pool (tempat parker kendaraan), bengkel, pajak, akses dashboard, dan sanksi. Kalau bicara atas kepentingan public, yang juga harus melindungi public, maka 11 poin tersebut bukan suatu persoalan, semuanya dimaksudkan untuk mencapai kesetaraan dalam regulasi sehingga terjadi persaingan yang sehat antara taxi plat kuning dengan angkutan sewa khusus. Jadi semestinya revisi ini pun bisa diterima oleh para operator angkutan sewa khusus, karena beberapa yang menjadi keberatan, seperti pool, yang dimaksudkan adalah tempat parkir saja, tidak seperti pool taxi plat kuning yang begitu luas. Demikian pula soal tarif batas atas dan bawah  diperlukan untuk melindungi konsumen (batas atas) dan melindungi operator (tarif bawah). Usulan ini justru muncul dari pengemudi sendiri saat uji public di Kementrian Perhubungan karena mereka merasakan tidak sehatnya persaingan soal tarif. Jadi semestinya, revisi PM No. 32 Tahun 2016 ini dapat mengakhiri konflik horizontal antara angkutan resmi dengan tidak resmi, karena sekarang sudah sama-sama resmi, hanya yang satu plat kuning dan yang lain plat hitam, tapi regulasinya hampir sama.


Momentum Pembenahan

Penggunaan teknologi di dalam transportasi merupakan suatu keniscayaan yang tidak bisa dielakkan lagi. Sepuluh tahun lalu kita beli tiket pesawat terbang atau kereta api (KA) harus datang ke agen atau stasiun, tapi sekarang kita bisa beli tiket pesawa/KA dari tempat tidur atau toko Alfa/Indomart terdekat. Dahulu kalau ke bandara harus bawa tiket yang telah dicetak dalam kertas, sekarang tiket bisa disimpan di HP. Intinya, teknologi dalam bidang transportasi itu makin memudahkan dan meringankan hidup kita. Oleh karena itu, masyarakat, terlebih bila pemerintah menolak kehadiran teknologi dalam bidang transportasi, jelas, itu suatu kemunduran dan berlawanan dengan kodrat teknologi itu sendiri yang makin hari makin canggih.

Pemakaian teknologi di dalam bidang transportasi itu memberikan kemudahan, kepastian, dan efisiensi kepada para pengguna jasa transportasi. Pada prinsipnya setiap orang ingin mengurangi beban biaya transportasi yang sekarang rata-rata di atas 20% dari total kebutuhan kita, dan angkutan online memberikan jawabannya. Masyarakat yang resisten terhadap perkembangan teknologi akan ditinggakan, dan hanya masyarakat yang mampu menyesuaikan perkembangan teknologi yang akan menang dalam percaturan pasar. Oleh karena itulah kehadiran angkutan online baik yang memakai moda roda empat maupun roda dua tidak bisa dilarang, yang bisa adalah diatur.

Berkembangnya angkutan online saat ini semestinya menjadi momentum untuk pembenahan angkutan umum baik di perkotaan maupun antar kota dengan memanfaatkan teknologi yang ada. Jika keunggulan online itu pada tarif yang lebih murah, kendaraannya mudah didapat/diakses, tidak dibatasi jarak dan rute, serta ada GPS (Global Position System); maka hal yang sama mestinya dapat diterapkan di angkutan umum resmi. Dengan demikian, angkutan umum resmi pun dapat memanfaatkan aplikasi teknologi untuk meningkatkan layanan kepada penumpang.


Perlu ada peran Pemerintah yag lebih besar lagi, bukan hanya dengan membuat regulasi saja, tapi juga memberikan subsidi untuk operasional angkutan umum, sehingga beban penyelenggaraan angkutan umum tidak dipikul oleh operator sepenuhnya. Menurut Pasal 139 UU LLAJ (Lalu Lintas Angkutan Jalan) penyelenggara angkutan umum itu adalah Pemerintah. Jadi peran para operator swasta hanya membantu atau mengisi kekosongan yang belum dijalankan oleh Pemerintah. Oleh karena itu, semestinya operator tidak diminta menanggung seluruh beban penyelenggaraan angkutan umum. Bahkan saat ini, para operator angkutan umum justru menjadi salah satu sumber PNBP (Pendapatan Negara Bukan Pajak) atau PAD (Pendapatan Asli Daerah).

Paradigma perlakuan terhadap angkutan umumnya saatnya diubah. Angkutan umum tidak boleh lagi dijadikan sebagai sumber PNBP dan PAD, tapi sebagai wujud layanan publik. Konsekuensinya, segala urusan terkait dengan angkutan umum (dari soal perijinan, pembukaan trayek, sampai uji KIR) mestinya bebas biaya agar tarif angkutan umum terjangkau oleh masyarakat dengan layanan yang prima. Meningkatnya pengguna angkutan umum akan mengurangi penggunaan kendaraan pribadi sehingga BBM dapat dihemat, polusi udara dapat ditekan, dan kemacetan dapat dikurangi. Kehadian aplikasi teknologi semestinya bukan dianggap sebagai ancaman bagi bisnis angkutan umum, sebaliknya menjadi tantangan baru untuk meningkatkan layanan angkutan umum yang lebih baik, murah, aman, selamat, dan nyaman. Dengan demikian, dikhotomi antara angkutan online versus konvensional pun tidak ada lagi. Orientasi pengembangan angkutan umum itu hanya satu: meningkatnya layanan masyarakat dalam bertransportasi secara aman, selamat, nyaman, terjangkau, dan tepat waktu. Mereka yang mampu menawarkan hal tersebut akan dipilih oleh masyarakat, tapi yang tidak mampu akan ditinggalkan.


DARMANINGTYAS, KETUA BIDANG ADVOKASI MASYARAKAT TRANSPORTASI INDONESIA (MTI)


Komentar

Postingan populer dari blog ini

BIODATA DARMANINGTYAS

BIODATA DARMANINGTYAS, menggeluti pendidikan sejak mulai menjadi mahasiswa baru di UGM, Agustus 1982 dengan menjadi guru di SMP Binamuda dan SMA Muhammadiyah Panggang, Gunungkidul, DIY. Pendidikan formalnya cukup Sarjana Filsafat Universitas Gadjah Mada (UGM) dan selebihnya otodidak. Gelar “Profesor Doktor” diperoleh dari undangan, sertifikat, piagam, spanduk, dan sejenisnya; sebagai bentuk pengakuan nyata dari masyarakat.

Masyarakat Diajak Adaptasi

Pemerintah, melalui lembaga dan kementerian, mengeluarkan peraturan dan edaran perihal protokol atau pedoman kesehatan. Protokol itu berlaku di tempat masyarakat, industri, sektor jasa, dan perdagangan.

REFLEKSI DARI PELATIHAN GURU SASARAN DI LAMPUNG

Berikut saya sampaikan refleksi saya tatkala mendapat tugas untuk membuka dan kasih pengarahan pada pelatihan guru sasaran di Lampung tanggal 9 Juli lalu. Semoga refleksi in dapat menjadi bahaperbaikan proses pelatihan guru yang akan dating sehingga menjadi lebih baik.