Oleh : Darmaningtyas
Memasuki tahun
2017 ini kita dikagetkan dengan meninggal Amirullah Adityas Putra (18), Taruna
Tingkat I Sekolah Tinggi Ilmu Pelayaran (STIP) Marunda, Jakarta Utara yang
tewas dianiaya keempat Taruna Tikat II, pada tanggal 10 Januari lalu. Amirullah
adalah korban yang kesekian di STIP. Kementerian Perhubungan pun kemudian
mengambil langkah, memisahkan perkuliahan Taruna Tingkat I ke lain lokasi guna
menghindari kontak dengan senior, karena adanya interaksi, terlebih dalam
kegiatan antara senior dengan yunior itulah yang menimbulkan kekerasan.
Kasus kekerasan di
STIP ini belum reda, telah muncul kasus lain, meninggalnya tiga mahasiswaa UII
(Universitas Islam Indonesia) Yogyakarta setelah megikuti kegiatan pendidikan
dasar Mahasiswa Pecinta Alam (Mapala) dan diberi tajuk “The Great Camping” di Lereng Selatan Gunung Lawu, Karanganyar, Jawa
Tengah 13-20 Januar. Mereka meninggal secara terpisah dan dalam waktu yang
berbeda. Muhammad Fadhli (Prodi Teknik Elektro) meninggal pada 20 Januari dalam
perjalanan menuju ke RSUD Karanganyar, sedangkan Syaits Asyam (Prodi Teknik
Industri) meninggal pada 21 Januari di RS Bethesda; demikian pula Ilham Nurfadmi
Listia (Fakultas Hukum) meninggal di RS Bethesda pada tanggal 23 Januari. Selain
itu, saat ini juga masih ada sejumlah mahasiswa UII peserta pendidikan dasar
Mapala yang masih dirawat di rumah sakit karena mengalami penganiayaan.
Pada saat terjadi
kasus kekerasan di STIP, sorotan publik pada model-model pendidikan semi
militer yang terkesan penuh dengan aroma kekerasan. Namun ketika kekerasan itu
juga terjadi di kampus universitas (swasta), bahkan berbasis agama, menyadarkan
kepada kita semua bahwa kekerasan di dunia pendidikan (tinggi) tidak hanya
terjadi di kampus-kampus semi militer saja, tapi di kampus-kampus reguler pun
terbuka tindak kekerasan senior terhadap yunior.
Arogansi
Senioritas
Kekerasan
berujung kematian yang dilakukan pada saat pendidikan dasar Mapala itu
merupakan ironi. Sebab bila kita simak nilai-nilai yang harus dimiliki oleh
seorang pecinta alam, maka nilai keempat dari delapan nilai itu adalah
solidaritas, yaitu rasa kebersamaan yang erat antar sesama pecinta alam yang
telah menganggap kalangan sebagai sesama saudara. Dan ada tiga etika lingkungan
yang menjadi pedoman bertindak, yaitu dilarang mengambil apapun kecuali foto,
dilarang meninggalkan apapun kecuali jejak, serta dilarang membunuh kecuali
waktu. Jadi pembunuhan itu haram bagi seorang pecinta alam. Demikian pula,
rumusan kode etik pecinta alam, dari enam kode etik, dua diantaranya menjunjung
tinggi persaudaraan, yaitu berusaha mempererat tali persaudaraan antara pecinta
alam sesuai dengan azas pecinta alam, dan berusaha saling membantu serta menghargai
dalam pelaksanaan pengabdian terhadap Tuhan, bangsa, dan tanah air.
Nilai-nilai
dasar, etika, dan kode etik seorang pecinta alam itu jelas sekali menempatkan
sesama manusia sebagai saudara. Hakekat persaudaraan adalah tidak boleh saling
menyakiti, apalagi melakukan kekerasan hingga pembunuhan. Antar sesama pecinta alam harus saling
membangun rasa persaudaraan, kekeluargaan, dan kebersamaan dalam banyak hal. Itulah
yang sering terlihat di lapangan, bahwa antar sesama pecinta alam itu amat
kompak, mudah digerakkan untuk hal-hal positip, serta saling menghargai satu
sama lain. Jika suatu kegiatan pendidikan dasar pecinta alam disertai dengan
kekerasan yang berdampak pada kematian, jelas sekali itu bertentangan dengan
nilai-nilai dasar, etika, dan kode etik pecinta alam. Mereka yang melakukan
kekerasan sampai berdampak pada pembunuhan itu tidak memahami filosofis pecinta
alam. Atau mengetahui semuanya, tapi menyelewengkannya hanya karena arogansi
senioritas.
Arogansi
senioritas terhadap yunior memang terlihat amat kuat pada setiap kasus
kekerasan mahasiswa yang berujung pada kematian. Senior selalu memposisikan
diri sebagai orang yang serba tahu, serba bisa, serba benar, serba kuat, dan
harus dihormati. Yunior harus tunduk penuh pada kemauan senior. Menjawab atau
membantah kemauan senior diidentikkan dengan berani melawan senior, oleh karena
itu perlu diberi pelajaran. Arogansi senioritas terhadp yunioritas itulah yang
sering memicu tindakan kekerasan senior kepada yunior.
Memperjelas
Orientasi Pendidikan
“Oknum”
seringkali menjadi pihak tertuduh setiap kali ada tindak kekerasan yang membawa
kematian mahasiswa. Tapi oknum itu sendiri tidak jelas sosoknya. Penyebutan
“oknum” sepertinya hanya cara menghindar dari penyelesaian akar masalah, karena
dengan menyebut “oknum”, pimpinan universitas/perguruan tinggi terhindar dari
tuntutan untuk mencari akar masalah. Namun penyebutan oknum itu sering hanya
menutupi masalah sesaat saja, tidak menyelesaikan akar masalahnya, sehingga
yang terjadi kemudian adalah pengulangan tindak kekerasan. Kita perlu mencari akar
masalah agar tindakan serupa tidak terulang di masa mendatang. Setidaknya ada
dua akar masalah, yaitu secara teknis lemah dalam pengawasan, dan secara
filosofis karena ketidak-jelasan orientasi pendidikan institusi tersebut.
Lemahnya
pengawasan itu terlihat dari dilepaskannya kegiatan mahasiswa oleh dosen
pembimbing. Baik pada kasus kematian Amirullah di STIP maupun kematian tiga
mahasiswa UII, tampak jelas hal itu terjadi karena adanya keterputusan
pengawasan dari dosen pembimbing. Dosen pembimbing, sebagai wakil pimpinan
universitas/sekolah tinggi semestinnya hadir dan mendampingi kegiatan mahasiswa
hingga usai. Pada kasus STIP Jakarta, dosen pembimbing itu mestinya mendampingi
saat para taruna berlatih musik hingga selesai dan sampai yakin betul para
taruna telah masuk ke kamar asrama masing-masing. Sedangkan pada kasus
mahasiswa UII, dosen pembimbing itu semestinya turut ke lokasi pendidikan
dasar. Penulis masih ingat betul saat kuliah pada 1980-an lalu, Wakil Dekan III
Bidang Kemahasiswaan di fakultas selalu hadir mengikuti kegiatan mahasiswa di
mana saja berada, sehingga sulit bagi mahasiswa untuk melakukan tindak
kekerasan karena ditunggui oleh dosen pembimbing. Tindak kekerasan itu hanya
terjadi tatkala pengawasan lembaga lemah, bahkan tidak ada sama sekali.
Selain
pengawasan harus ketat, orientasi pendidikan itu juga harus jelas. Pada kasus
STIP misalnya, mereka memiliki tiga program studi, yaitu Nautika (mendidik
calon nahkoda), Teknika (ahli mesin kapal), dan Ketatalaksanaan dan Kepalabuhan
(dokumen-dokumen kapal dan muatannya). Ketiga kompetensi yang ingin dilahirkan
itu tidak memerlukan persyaratan pelatihan fisik dengan kekerasan. Untuk bidang
Neutika dan Teknika memang memerukan fisik yang kuat agar punya daya juang
tinggi saat menghadapi emergensi di laut. Tapi latihan fisik yang diperlukan
bukan dengan cara dipukuli, melainkan berenang sejauh-jauhnya atau belajar
menghadapi goncangan-goncangan besar di laut.
Kasus yang
menimpa mahasiswa UII di Yogyakarta pun demikian. Para senior tidak paham
orientasi pendidikan dasar Mapala yang harus menumbuhkan sikap religiusitas
melalui kecintaannya terhadap alam, nasionalisme, konservasi, solidaritas,
kepedulian sosial, keberanian, perjuangan dan mempertahankan diri, serta
petualangan. Para senior juga tidak
paham bahwa pecinta alam itu memiliki nilai-nilai dasar, etika, dan kode etik
yang jelas. Tindak kekerasan di kampus itu dapat dihilangkan hanya ketika
orientasi pendidikannya jelas, sehingga semua aktivitas yang tidak menunjang
lahirnya kompetensi yang diharapkan dihapuskan, dan hanya aktivitas-aktivitas
yang menunjang tumbuhnya kompetensi mahasiswa sajalah yang dijalankan.
DARMANINGTYAS,
KETUA BIDANG PENDIDIKAN DAN PEMBUDAYAAN NILAI 45 DEWAN HARIAN NASIONAL (DHN)
45.
Saya Widaya Tarmuji, saya menggunakan waktu ini untuk memperingatkan semua rekan saya INDONESIA. yang telah terjadi di sekitar mencari pinjaman, Anda hanya harus berhati-hati. satu-satunya tempat dan perusahaan yang dapat menawarkan pinjaman Anda adalah TRACY MORGAN LOAN FIRM. Saya mendapat pinjaman saya dari mereka. Mereka adalah satu-satunya pemberi pinjaman yang sah di internet. Lainnya semua pembohong, saya menghabiskan hampir 32 juta di tangan pemberi pinjaman palsu.
BalasHapusTapi Tracy Morgan memberi saya mimpi saya kembali. Ini adalah alamat email yang sebenarnya mereka: tracymorganloanfirm@gmail.com. Email pribadi saya sendiri: widayatarmuji@gmail.com. Anda dapat berbicara dengan saya kapan saja Anda inginkan. Terima kasih semua untuk mendengarkan permintaan untuk saran saya. hati-hati