Langsung ke konten utama

CATATAN TRANSPORTASI 2016

Oleh : DARMANINGTYAS

Indonesia dikenal sebagai Negara kepulauan. Diperkirakan ada sekitar 17.000 pulau besar dan kecil (ada juga yang menyebutkan 13.000-an) pulau. Sebagai Negara kepulauan, logikanya, transportasi laut memegang peran penting karena konekvitas antar pulau, terutama antar pulau kecil, hanya mungkin dapat dijangkau dengan menggunakan angkutan laut. Pesawat terbang hanya menjangkau pullau-pulau besar yang tersedia infrastruktur bandara. Tapi angkutan laut selalu memiliki kemampuan untuk menembus daerah-daerah terisolir, karena sifat angkutan laut amat fleksibel, dari hanya berupa perahu kayu yang muat dibawah sepuluh orang saja, sampai kapal besar seperti Kapal Tidar dan Kelud yang dioperasikan oleh PT Pelni yang hanya dapat sandar di beberapa pelabuhan tertentu saja saking besarnya kapal. Namun ironisnya, justru selama berpuluh tahun angkutan laut kita kurang mendapatkan perhatian karena focus perhatian kita pada angkutan darat dan udara. Angkutan darat sendiri yang lebih mendapatkan perhatian ekstra adalah kendaraan pribadi. Angkutan umum hamper semua wilayah di Indonesia yang pernah penulis kunjungi mengalami hal yang sama, yaitu angkutan umumnya mati suri: hidup enggan, mati pun tidak mau.


Masa Pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) kita memiliki ekspektasi tinggi terhadap pengembangan transportasi laut agar transportasi laut dapat menjadi tulang punggung transportasi nasional. Namun rupanya ekspektasi terebut juga harus diturunkan ketika beberapa regulasi yang terbit selama dua tahun terakhir, yaitu berupa Peraturan Presiden (Perpres) lebih fokus ke angkutan darat, khususnya perkeretaapian.

Ada sejumlah Perpres mengenai perkeretaapian yang diterbitkan dalam dua tahun terakhir, masa Presiden Jokowi, antara lain: Perpres No. 98 Tahun 2015 tentang Percepatan Penyelenggaraan Kereta Api Ringan/Light Rail Transit di Wilayah Jakarta, Bogor, Depok, dan Bekasi yang kemudian direvisi dengan Perpres Nomor 65 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2015 Tentang Percepatan Penyelenggaraan Kereta Api Ringan/Light Rail Transit Terintegrasi Di Wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Dan Bekasi; Perpres Nomer 107 Tahun 2015 Percepatan Penyelenggaraan  Prasarana Dan Sarana Kereta Cepat Antara Jakarta Dan Bandung; Perpres Nomer 116 Tahun 2015 tentang Percepatan Penyelenggaraan Kereta Api Ringan/Light Rail Transit di Provinsi Sumatra Selatan yang kemudian juga direvisi dengan Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 116 Tahun 2015 tentang Percepatan Penyelenggaraan Kereta Api Ringan/Light Rail Transit di Provinsi Sumatera Selatan; dan Peraturan Presiden No. 3 Tahun 2016 tenang Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional yang di dalamya lebih banyak mengatur masalah jalan tol dan perkeretaapian.

Sedangkan regulasi untuk angkutan laut baru satu, yaitu Perpres No. 106 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Kewajiban Pelayanan Publik untuk Angkutan Barang di Laut. Dalam pasal 1 ayat (1) dikatakan bahwa Penyelenggaraan Kewajiban Pelayanan Publik (Public Service Obligation/PSO) untuk Angkutan Barang di Laut adalah pelaksanaan pelayaran angkutan barang ke daerah tertinggal, terpencil, terluar, dan perbatasan sesuai dengan trayek yang telah ditetapkan, dengan tetap memperhatikan dan menjaga keselamatan serta keamanan pelayaran. Pasal 2 (1) menjelaskan bahwa untuk menyediakan komoditas barang dan mengurangi disparitas harga bagi masyarakat, Pemerintah menyelenggarakan kewajiban pelayanan publik untuk angkutan barang di laut. (2) Barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan semua jenis komoditas yang dibongkar atau dimuat dari dan ke kapal, meliputi barang kebutuhan pokok dan barang penting sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang barang kebutuhan pokok dan barang penting. Perpres inilah yang menjadi dasar pelaksanaan Tol Laut.

Tidak sebandingnya regulasi yang mengatur masalah percepatan pembangunan infrastruktur transportasi darat, baik jalan tol maupun perkeretaapian dengan angkutan laut ini menunjukkan bahwa konsentrasi Pemerintah untuk pembangunan insfrastruktur transportasi masih di darat, sementara angkutan laut dan perairan masih amat kurang, baik kuantitas maupun kualitas. Kekurangan tersebut terlihat di daerah-daerah pinggiran (pulau-pulau kecil) yang tidak terjangkau oleh kapal besar seperti Pelni. Mereka itu biasanya menyelesaikan sendiri urusan transportasinya dengan mengadakan perahu-perau kecil atau yang lebih dikenal dengan sebutan perahu rakyat yang tentu saja aspek keselamatannya rendah, karena selain tidak ada kontrol di pelabuhan menyangkut kapasitas, juga tidak tersedia baju pelampung atau alat keselamatan lainnya. Tarif angkutan pun untuk kapal yang disediakan oleh masyarakat itu cenderung lebih mahal karena tidak mendapat subsidi dari pemerintah, seluruh biaya, dari investasi, operasional, sampai pemeliharaan sarana ditanggung oleh pengusaha sendiri. Inilah ironinya layanan public kita. Hal yang sudah riil menjalankan peran Negara justru harus membiayai sendiri.

Memperlebar Kesenjangan

Implikasi etis dari kesenjangan regulasi yang lebih banyak memfasilitasi percepatan pembangunan perkeretaapian dan jalan tol itu adalah akan menimbulkan kesenjangan pembangunan secara keseluruhan antar daerah. Kebetulan, proyek-proyek perkeretaapian menumpuk di Jakarta, Jawa Barat, dan Palembang saja, yang selama ini sudah merupakan daerah maju. Bahkan kawasan Jabodetabek dan Bandung menjadi daerah tujuan urbanisasi utama di Indonesia. Dengan adanya berbagai fasilitas insfrastruktur transportasi yang dibangun –yang semakin memudahkan perjalanan—akan membuat orang makin betah tinggal di Jabodetabek dan Bandung, sehingga tetap menjadi magnet urbanisasi nasional. Alih-alih menyelesaikan masalah transportasi di perkotaan, tapi sebaliknya menambah ruwet kondisi transportasi di Jakarta. Makin bertambahnya jumlah penduduk di wilayah Jabodetabek karena fasilitas transportasi umumnya menjadi lebih baik, akan membuat kegiatan/usaha bisnis menumpuk di wilayah Jabodetbek dan Bandung, sehingga semakin sulit berharap ada pemerataan pembangunan ke daerah-daerah. Berbeda halnya bila yang dikembangkan itu adalah angkutan perairan (laut dan sungai) tentu efeknya akan meluas ke daerah-daerah remote area. 

Membaiknya angkutan perairan hingga sampai ke daerah-daerah remote area akan memperlancar distribusi barang dan jasa sehingga akan memcau pertumbuhan ekonomi di desa-desa atau di daerah-daerah kepulauan.Bila ekonomi masyarakat pinggiran dan kepulauan tumbuh dinamis, secara otomatis akan mengurangi arus urbanisasi ke kota-kota besar. Ini bertolak belakang dengan pengembangan moda transportasi di perkotaan yang justru akan menarik kaum urban lebih banyak lagi. Saatnya Pemerintahan Jokowi peduli pada nasib pelayaraan rakyat yang selama ini melayani masyarakat kepulaun dengan tanpa subsidi dan dukungan fasilitas dari pemerintah. Saatnya Pemerintah memberikan subsidi untuk angkutan air yang dijalankan oleh masyarakat karena kehadiran masyarakat tersebut lantaran negara belum hadir.

Selain perlu memperhatikan angkutan air, Pemerintahan Jokowi juga perlu peduli pada nasib transportasi pedesaan yang saat ini hampir semuanya mati suri lantaran kalah bersaing dengan sepeda motor.Angkutan pedesaan yang menghubungkan antar wilayah desa atau kecamattan diperlukan guna mengurangi penggunaan kendaraan bermotor pribadi sehingga desa dalam jangka panjang tidak terjebak pada kemacetan dan polusi kendaraan bermotor. Jika desa juga terjebak pada kemacetan dan polusi kendaraan bermotor, maka tidak bisa lagi menjadi alternatif bagi orang kota untuk mencari udara segara dan kondisi lalu lintas yang lengang. Agar desa-desa tetap mampu menjaga kondisi lingkungan yang sehat, maka sejak dini perlu ada strategi pengembangan transportasi umum yang lebih terencana dan bersifat massal.

Komentar

  1. Assalamu'alaikum, selamat siang pa, sy mahasiswa unpad, tertarik untu mewawancarai bapa perilah transportasi. jika berkenan sy ingin menemui bapa. sebelumnya boleh minta nomor kontak atau lewat media apa sy bisa menghubungi bapa.
    terimakasih

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

BIODATA DARMANINGTYAS

BIODATA DARMANINGTYAS, menggeluti pendidikan sejak mulai menjadi mahasiswa baru di UGM, Agustus 1982 dengan menjadi guru di SMP Binamuda dan SMA Muhammadiyah Panggang, Gunungkidul, DIY. Pendidikan formalnya cukup Sarjana Filsafat Universitas Gadjah Mada (UGM) dan selebihnya otodidak. Gelar “Profesor Doktor” diperoleh dari undangan, sertifikat, piagam, spanduk, dan sejenisnya; sebagai bentuk pengakuan nyata dari masyarakat.

Masyarakat Diajak Adaptasi

Pemerintah, melalui lembaga dan kementerian, mengeluarkan peraturan dan edaran perihal protokol atau pedoman kesehatan. Protokol itu berlaku di tempat masyarakat, industri, sektor jasa, dan perdagangan.

REFLEKSI DARI PELATIHAN GURU SASARAN DI LAMPUNG

Berikut saya sampaikan refleksi saya tatkala mendapat tugas untuk membuka dan kasih pengarahan pada pelatihan guru sasaran di Lampung tanggal 9 Juli lalu. Semoga refleksi in dapat menjadi bahaperbaikan proses pelatihan guru yang akan dating sehingga menjadi lebih baik.