DARMANINGTYAS
Bicara
guru, kita tidak bisa melupakan sosok yang bernama Willem Ikander, karena
dialah pendiri sekolah guru pertama di Indonesia yang dikenal dengan Kweekschool Tanobato, di Mandailing,
Sumatra Utara pada tahun 1862. Sayang, nama
Willem Iskander justru tidak diajarkan di sekolah-sekolah guru, termasuk
di LPTK sehingga mungkin lebih dari 90% guru di Indonesia tidak mengenal sosok
Willem Iskander. Bahkan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan pun mungkin tidak
mengenalnya, kecuali Dr. Daoed Joesoef yang menjadi salah satu pengagummnya.
Willem
Iskander adalah putra Mandailing, lahir
pada bulan Maret 1840 di Desa Pindoli Lombang, sebagai anak bungsu Raja
Tinating. termasuk dalam jajaran
Generesi ke-11 marga Nasution. Saat lahir diberi nama Sati, tapi pada usia
remaja mendapat gelar Sutan Iskandar.
Tiga orang abangnya ialah Sutan Kumala, Sutan Soripada, dan Sutann
Kasah. Sutan Kumala kemudian menjadi raja di Pidoli Lombang menggantikan
ayahnya.
Pada
usia 13 tahun Sati memasuki sekolah dua tahun di ssekolah yang didirikan oleh
Alexander Philippus Godon di Paayabungan, dan kemudian Godon mengangkatnya
menjadi juru tulis bumiputera adjunct inlandsch schrijver, di
kantornya pada 1855-1857. Pada saat
Godon menjalani cuti (Februari 1857) ke Negeri Belanda, ia membawa Sati untuk
meneruskan pelajarannya di suatu sekolah guru di negeri Belanda. Sati mengikuti
pendidikan pertama di Vreeswjik, 1857 dibawah bimbingan seorang guru bernama
Dapperen. Kemudian Godon menyerahkan pendidikan lanutannya kepada Guillaume
Groen van Prinsterer (1801-1871) di Arnhem, 1958. Pada saat inilah Sati
Nasution Gelas Sutan Iskandar berganti nma menjadi Willem Iskander.
Sekembalinya
dari negeri Belanda itulah Willem Iskander mendirikan Kweekschool Tanobato pada tahun 1862. Namun pada tahun 1874 sekolah
tersebut ditutup karena Willem Iskander melanjutkan studi lagi ke negeri
Belanda selama dua tahun. Beberapa muridnya meneruskan pendidikannya ke Kweekschool Fort de Kock (Bukit
Tinggi). Tujuan utama pendidikan lanjutan Willem Iskander ke Negeri Belanda
adalah untuk persiapan memimpin Kweekschool Padangsidempuan yang direncanakan
khusus untuk orang Batak. Namun rencana tersebut tidak kesampaian karena pada
tanggal 8 Mei 1876 Willem Iskander meninggal di Amsterdam (Basyral Hamidy Harahap, 1999, hal 185-207).
Untuk mengenang jasa Willem Iskander tersebut, Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan 1978-1983, Dr. Daoed Joesoef mendirikan SMAN Tanobato yang peletakan
batu pertamanya dilakukan pada tahun 1982, sedangkan peresmian penggunaannya
pada taun 1983.
Ada
dua kemungkinan yang menyebabkan nama Willem Iskander tidak dikenal dalam dunia
pendidikan para calon guru. Pertama pergantian namanya dari Sutan Iskandar
menjadi Willem Iskander yang lebih merupakan simbol nama penjajah, apalagi ia
juga kemudian babtis menjadi orang
Kristen, sehingga menjadi sangat
sensitif. Kedua, meninggal dalam usia muda dengan kematian yang amat ragis (mati
ngenes) lantaran berduka atas kematiann ketika kawannya yang sama-sama dikirim
untuk belajar ke negeri Belanda, yaitu Banas Lubis, Ardi Sasmita, dan Raden Mas
Surono.
Willem
Iskander sesungguhnya bukan hanya seorang guru saja, tapi juga seorang
sastrawan. Kumpulan puisi dan prosanya yang cukup dikenal berjudul Si Bulus-Bulus Si Rumbuk Rumbuk yang
pertama kali diterbitkan di Batavia tahun 1872. Karya ini banyak dipengaruhi
oleh karya Multatuli yang berjudul Max
Havelaar. Si Bulus-Bulus Si Rumbuk Rumbuk merupakan rangkuman
gagasan-gagasan pencerahannya dan menjadi puncak kariernya sebagai seorang
sastrawan (ibid, hal. 207-208).
Menurut Basyral Hamidy Harahap (ibid, hal. 213), sajak-sajak Willem Iskander
menjadi sumber inspirasi gerakan kebangsaan. Sajak yang berudul Marburu di bagasan bilik (Berburu di
dalam bilik) disebut-sebut sebagai sajak yang menyebabkan pelarangan kumpulan
puisi dan prosanya itu pada tahun 1933. Dalam sajak tersebut Willem Iskander
meggambarkan seorang bangsawan yang sudah bangkrut, terpaksa menjual harta
bendanya di kampung halaman kemudian pindah ke tempat lain. Di tempat yang baru
ini sang bangsawan membeli sebuah rumah berlantai dua. Alat-alat berburu di
bawahnya ke tempat yang baru itu, termasuk anjing berburu kesayangannya.
Dinding kamar tidurnya dihiasai pajangan kepala-kepala rusa hasil buruan di
masa jayanya (ibid, hal. 214). Sajak
ini merupakan kritik terhadap orang yang tergila-gila merindukan masa lampau
yang senang, dan oleh Willem Iskander dinilai sebagai penghambat kemajuan.
Menumbuhkan Paham Kebangsaan
Willem
Iskander adalah sosok guru pemula di negeri ini yang tidak hanya mengajarkan
membaca dan menulis saja kepada murid-muridnya, tapi juga meletakkan
dasar-dasar kebangsaan melalui sajak-sajak yang dibuatnya. Ia “dibesarkan” oleh
Belanda, tapi sajak-sajaknya mengkritik
sistem colonial yang menindas. Ia mengekspresikan karya-karyaanya itu
dlam bahasa Batak, dan dia pun berhasrat untuk mendirikan pusat kebudayaan
Batak, sayang keburu meninggal dunia dalam usia belia (36 tahun). Willem
Iskandar lahir jauh sebelum Franciscus Gregorius Josephus Van Lith (1863), KH
Ahmad Dahlan (1868), Hasjim Asya’ri (1975), RA Kartini (1879), Dewi Sartika
(1884), dan Ki Hadjar Dewantara (1889), Mohammad Syafei (1893); yang kesemuanya
kelak menjadi tokoh pendidikan di negeri ini.
Mereka
itu semua adalah guru, tapi bukan sembarang guru yang bekerja demi sesuap nasi
saja, melainkan guru yang memiliki visi dan komitmen, visi tentang kehidupan
bangsanya yang merdeka, berdaulat, maju, adil, dan makmur. Serta komitmen untuk
menumbuhkan generasi yang peduli pada nasib bangsanya. Itulah sebabnya, mereka
tidak hanya melaksanakan “keguruan”nya itu di dalam kelas saja, melainkan juga
di luar kelas: ada yang menulis masalah-masalah sosial, ekonomi, politik, dan
budaya yang dihadapi oleh bangsanya, baik melalui surat-surat pribadi yang
kelak diterbitkan menjadi buku dan dibaca oleh banyak kalangan (RA Kartini),
membuat sajak atau prosa yang mengkritik kebijakan pemerintah kolonial (Willem
Iskander), menulis di koran untuk membangkitkan kesadaran publik (Ki Hadjar
Dewantara), maupun melalui membangun organisasi keagamaan yang kelak memiliki
banyak pengikut (KH Ahmad Dahlan dan KH Hasjim Asya’ri), atau bahkan berdagang
(Mohammad Syafei).
Mereka
semua, yang disebutkan di atas adalah tokoh-tokoh bangsa yang berjuang untuk kemerdekaan negeri
ini melalui bidang pendidikan. Bagi mereka, pendidikan itu bukan tujuan (ghooyah), tapi sarana menuju atau alat (wasilah) saja. Tujuannya adalah memerdekakan bangsa Indonesia
dari kolonialisme (Belanda dan kemudian Jepang). Meskipun Van Lith (pendiri
sekolah Katolik) itu orang Belanda asli, tapi hasil pendidikannya kelak juga
melahirkan sejumlah tokoh yang turut mewujudkan kemerdekaan di negeri ini.
Mereka menyadari bahwa pendidikan adalah jalan yang paling strategis untuk
memajukan negeri ini sehingga warganya memiliki kesadaran akan kemerdekaan.
Peran mereka sebagai pencerah bangsa itu tumbuh berkat hasil pergaulan mereka
dengan banyak pihak. Kesadaran mereka yang tinggi tentang pencerah bangsa itu
mereka dapatkan dari pengalaman belajar dan bergaul dengan bayak pihak. KH
Ahmad Dahlan dan KH Hasjim Asya’ri misalnya, lama belajar di negeri Arab. RA
Kartini meskipun tidak pernah pergi dari Jepara dan Rembang, tapi dia tiap hari
membaca koran dan majalah yang dkirim dari negeri Belanda, serta rajin
berkomunikasi melalui surat kepada
gadis-gadis sebaya di negeri Belanda. Bukunya yang berjudul Habis Gelap
Terbitlah Terang (Door Duisternis tot
Licht yang arti harafiahnya Dari
Kegelepan Menuju Cahaya) merupakan kumpulan surat-surat RA Kartini yang kemudian
setelah Kartini meninggal oleh Mr. J.H. Abendanon (Menteri Kebudayaan, Agama,
dan Kerajinan Hindia Belanda) dikumpulkan dan diterbitkan menjadi buku pada
tahun 1911. Sedangkan Willem Iskander dan Ki Hadjar Dewanara, keduanya sempat
belajar ke negeri Belanda, sehingga mereka memiliki bacaan dan relasi yang
luas, yang kemudian membuka wawasan masing-masing.
Jadi,
kunci dari kemajuan mereka sehingga memiliki visi jauh ke depan serta komitmen
yang tinggi tentang masa depan bangsanya itu mereka peroleh dari hasil bacaan
dan pergaulan, keduanya itu saling melengkapi, karena pergaulan yang mereka
lakukan itu bukan dengan sembarang orang, tapi dengan orang-orang yang memiliki
wawasan dan kedudukan, sehingga interaksi yang mereka bangun mampu menumbuhkan
kesadaran kritis pada diri mereka, yang kemudian mereka olah menjadi komitmen
perjuangan.
Memang
betul, perlu diakui bahwa para tokoh tersebut secara geneologis (garis
keturunan) berasal dari kelas menengah ke atas atau bangsawan pada saat itu
sehingga akses mereka terhadap informasi lebih luas dibandingkan dengan
masyarakat kebanyakan. Pada saat itu, yang namanya koran, majalah, dan
buku-buku masih amat langka, apalagi internt belum ada. Hanya mereka yang
memiliki relasi dengan penguasa (Pemerintah Kolonial) yang dapat mengakses
informasi atau sumber ilmu pengetahuan, sehingga hanya golongan bangsawan lah
yang memiliki kesempatan untuk maju. Tapi kata kuncinya di sini bukan pada
garis keturunan, melainkan pada akses informasinya. Saat ini, telah terjadi demokratisasi dalam
akses informasi, sehingga tidak ada lagi diskriminasi dalam akses informasi
berdasarkan garis keturunan, sejauh memiliki pulsa paketan atau modem, semua orang
memiliki peluang yang sama untuk akses informasi. Artinya, untuk saat ini, semua pihak (dari
garis keturunan mana pun) memiliki peluang yang sama untuk dapat mengakses
informasi bagi kepentingan kemajuan, sehingga semua pihak dapat berbuat hal
yang sama dengan yang dilakukan oleh para pendahulu kita. Jika mereka dalam
kondisi yang serba terbatas dapat berbuat banyak untuk bangsanya, mengapa
generasi sekarang yang serba lengkap fasilitas justru minim karya?
Tanpa Jasa
Merenungi
peran maupun jasa-jasa para guru pendulu kita dan merefleksikan dengan peran
para guru kita sekarang memang terdapat pemandangan yang kontras, ibarat bumi
dengan langit. Para guru pemula kita dulu menjalankan peran “keguruan”nya itu
dengan semangat idealisme yang tinggi, visi yang jauh ke depan, komitmen penuh
untuk mewujudkan cita-cita, serta didukug dengan sikap eskatisme yang luhur
(tanpa pamrih). Bahwa kemudian hari di antara
mereka itu ada yang diangkat jadi Pahlawan Nasional, itu bukanlah
tujuan, tapi rahmat saja. Tujuan mereka adalah memerdekakan bangsanya agar
terbebas dari belenggu penjajahan, kebodohan, kemiskinan, dan keterbelakangan.
Dan apa yang mereka perjuangkan sbetulnya tidak sia-sia, karena Indonesia yang
merdeka itu kemudian tercapai, dan para hasil didikan mereka secara langsung
itulah yang mengisi masa-masa awal kemerdekaan. Wajar pula bila para pengisi
awal kemerdekaan itu juga orang-orang yang memiliki paham kebangsaan cukup
bagus dan memiliki idealisme tinggi untuk mewujukan kesejahtraan bersama, bukan
orang-orang yang penuh dengan kepentingan pribadi dengan menghalalkan segala
cara, seperti yang terjadi pada saat ini. Tapi bila kita merefleksikan peran
guru sekarang, maka sebetulnya melahirkan bannyak gugatan. Sinisme yang ada
pada profesi guru saat ni adalah “pahlawan tanpa anda jasa”.
Sinisme
ini muncul diinspirasi oleh Hymne Guru ciptaan Sartono (almarhum), seorang guru
juga yang berhasil memenangkan pembuatan Hymne Guru yang diadakan pada saat
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Daoed Joesoef. Dalam beberapa kali perjumpaan
langsung dengan Dr. Daoed Joesoef, beliau menjelaskan bahwa istilah “guru itu
pahlawan tanpa tanda jasa” bukan seperti yang disalah mengerti selama ini. Tapi
maksudnya adalah, kalau dalam militer, seseorang yang naik pangkat menjadi
jendral itu selalu diberi tanda jasa berupa bintang. Setiap punya prestasi,
diberi tanda jasa berupa kenaikan bintang atau tanda-tanda jasa lainnya. Nah,
guru itu, setiap tahun mengajar puluhan atau bahkan ratusan murid. Bila setiap
meluluskan murid lalu diberi tanda jasa (bintang atau lainnya), tentu di
bajunya penuh dengan tanda jasa. Itu penjelasan langsung dari mantan Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan Daoed Joesoef, yang pada masanya dulu Hymne Guru
tersebut diciptakan, dan atas inisiatif
Daoed Joesoef pula lomba mencipta Hymne Guru tersebut dilakukan. Namun, karena
konteks sejarah ini tidak pernah terkomunikasikan ke publik secara terus
menerus, maka yang terjadi adalah salah tafsir bahwa “pahlawan tanpa tanda
jasa” itu sebagai penghibur saja atas jasa-jasa para guru yang tidak mampu terbayarkan
oleh negara.
Namun
bila kita menyimak perkembangan guru kita dalam satu dekade terakhir, terutama
setelah munculnya tunjangan profesi, mungkin yang relevan justru mempertanyakan
“jasa” para guru itu sendiri.
Jangan-jangan para guru kita sekarang memang tidak berjasa, jadi bukan
“pahlawan tanpa tanda jasa”, tapi “pahlawan tanpa jasa” karena apa yang mereka
lakukan itu sekadar rutinitas menjalankan tugas demi tegaknya periuk di dapur. Jasa
mereka telah dibayar oleh pemerintah melalui gaji dan tunjangan profesi (bagi
yang sudah dapat), sehingga boleh jadi, sebutan “pahlawan tanpa tanda jasa”
justru tidak relevan lagi karena telah
bergeser menjadi “pahlawan tanda jasa”. Sebutan “pahlawan tanpa tanda jasa” memiliki
makna bahwa guru memang memiliki jasa untuk bangsa dan Negara, tapi jasa
tersebut tidak pernah dikuantivisir, baik dalam nilai nominal tertentu maupun
simbol-simbol penghargaan yang berupa benda material, seperti tanda bintang
seorang jendral misalnya. Sedangkan sebutan “pahlawan tanpa jasa” lebih merujuk
pada makna tiadanya jasa yang diberikan
oleh guru kepada bangsa dan Negara, karena apa yang mereka maknai sebagai jasa
itu telah ditukar dengan dengan nilai rupiah berupa tunjangan profesi. Makna
guru seperti dalam aslinya dulu, yaitu menyinari kegelapan (mencerahkan), tidak
ada lagi. Atau dalam Agama Hindu, guru itu dipahami sebagai simbol tempat suci
yang berisi ilmu (vidya) dan juga
pembagi ilmu. Seorang guru adalah pemandu spiritual atau kejiwaan murid-muridnya.
Sedangkann dalam Agama Buddha, guru adalah orang yang memandu muridnya dalam
jalan menuju kebenaran. Guru dipandang sebagai jelmaan Buddha atau Bodhisattva
(https://id.wikipedia.org/wiki/Guru). Sebutan-sebutan yang idealistic itu tidak kita temukan lagi pada guru kita saat ini, karena
yang ada adalah pragmatism-materialistik. Bahka demi mengejar tunjangan profesi
tersebut guru tidak segan-segan memalsukan data atau karya orang lain agar lolos
dalam seleksi portofolio. Tentu saja tindakan guru yang seperti ini tidak
mencerahkan kepada murid-muridnya, tapi menyesatkan. Sulit kita memberikan
predikat sebagai “pahlawan tanpa tanda jasa” kepada guru-guru yang dengan
sengaja melakukan manipulasi data atau karya sekadar untuk tujuan mendapatkan
tunjangan profesi saja. Mereka lebih tepat disebut sebagai “pahlawan tanpa
jasa” karena memang tidak ada jasa (kebaikan) yang diberikan kepada
murid-muridnya.
Sebagai
orang yang lama mengamati masalah guru dan terlibat langsung dalam membangun
organisasi guru (dari guru-guru yang kritis), meskipun belum melakukan
penelitian secara khusus, tapi dapat menyimpulkan bahwa mayoritas guru kita
saat ini adalah guru-guru yang tanda jasa tersebut, mereka menjalankan tugas
secara tekun dan kerja keras dari pagi sampai sore, tapi sesungguhnya itu lebih
pada prtimbangan untuk menegakkan periuk saja, bukan untuk mencerahkan
murid-murid. Mereka menjalankan peran sebagai mandor dan kuli saja. Mandor bagi
pada murid, dan kuli dari birokrasi pendidikan. Sedikit guru yang menjalankan
peran mencerdaskan dan mencerahkan murid-muridnya dengan masih tetap membaca
dan menjalin pergaulan yang luas dengan banyak kalangan. Tatkala guru telah
berhenti membaca, sesungguhnya “peran
gurunya” telah mati karena yang akan disampaikan ke murid-muridnya pasti
informasi-informasi usang yang telah lapuk oleh zaman.
Buah
dari pencerdasan dan pencerahan itu adalah orang-orang yang cerdas, kritis,
kreatif, toleran, cinta kepada sesama, toleran, menghargai keragaman, serta
bertanggung jawab atas kesejahteraan bangsa dan negaranya. Tapi yang kita lihat
sekarang adalah justru generasi yang tumpul, tidak memiliki daya kritis, tidak
memiliki sikap yang jelas sehingga terombang ambing oleh arus angin ke sana
kemari, asyik dengan diri sendiri, kurang menghargai keragaman, kurang toleran
terhadap perbedaan, dan cenderung menghancurkan negerinya yang sudah dibangun
dengan susah payah oleh para pendahulu kita. Guru-guru yang melahirkan generasi
seperti ini justru kita pertanyakan jasa mereka, apa sesungguhnya yang telah
mereka berikan kepada murid-muridnya?
Komentar
Posting Komentar