Langsung ke konten utama

MENYELAMATKAN KERETA API INDONESIA

Oleh : DARMANINGTYAS

Kereta Api Indonesia (KAI) sejak kepemimpinan oleh Ignatius Jonan berkembang pesat dan berhasil melakukan transformasi kelembagaan menjadi profesional, transparan, kredibel, dan mampu menciptakan layanan yang manusiawi dan beradab, sehingga tantangan PT KAI di bawah kepemimpinan Edi Sukmoro adalah mempertahankan kualitas layanan KA yang sudah bagus, agar tetap profesional, transparan, kredibel, dan mampu memberikan layanan yang manusiawi dan beradab.


Namun perlu diakui bahwa tantangan Edi Sukmoro itu tidak mudah untuk ditaklukkan karena mulai adanya intervensi kekuasaan yang sulit untuk dielakkan. Pada masa Pemerintahan sebelumnya, intervensi relatif tidak ada, paling hanya dalam hal penentuan tarif KA Ekonomi. Pernah Peraturan Menteri Perhubungan untuk kenaikan tarif itu sudah diteken, tapi saat akan diimplementasikan esok harinya, malam sebelumnya dibatalkan atas instruksi dari istana. Sekarang intervensinya justru terkait dengan jalannya korporasi yang menyasar masalah keuangan korporasi dan dampaknya langsung dapat diraskan oleh konsumen.

Bentuk kongkrit dari intervensi kekuasaan itu adalah: Pertama instruksi Menteri BUMN Rini Sumarno agar PT KAI turut tergabung dalam konsorsium Kereta Api Cepat Indonesia China (KCIC) yang diakui atau tidak menambah beban PT KAI, terutama dalam menghimpun dana, sebab keikut sertaan dalam konsorsium itu bukan hanya nama saja, tapi juga penyertaan modal. Menghibur dirinya adalah dana yang disetor ke KCIC itu bukan dana yang dihimpun dari penumpang dan barang, melainkan dari kaptalisasi aset. Hanya saja, yang perlu diingat adalah, seandainya tidak ada keharusan gabung dalam konsorsium, kapitalisasi aset itu dapat dipergunakan untuk percepatan pembangunan prasarana yang menjadi tanggung jawab PT KAI dan pengadaan sarana perkeretaapian demi peningkatan pelayanan kepada konsumen.  

Intervensi kedua adalah keharusan PT KAI menyetorkan 25% keuntungannya ke kas Negara. Sesuai regulasi, BUMN itu memang wajib menyetorkan sebagian keuntungannya ke kas negara. Tapi Negara juga harus jelas keberpihakannya, BUMN mana yang harus setor dan mana yang tidak harus setor ke kas negara. BUMN-BUMN yang sifatnnya pelayanan, seperti PT Gadura Indonesia, PT Pelni, dan PT KAI yang tugasnya melayani kebutuhan mobilitas masyarakat, semestinya tidak dikenakan kewajiban setor deviden kepada Negara. Cara mengukur kinerja mereka bukan dari seberapa besar deviden yang disetor, melainkan seberapa tinggi peningkatan kualitas layanan yang diketahui melalui tingkat kepuasan publik, dan minim subsidi.

Tanpa menyetor deviden ke kas Negara pun, Negara sudah diuntungkan ketika keuangan korporasi kuat sehingga dalam memberikan layanan prima kepada publik tidak perlu disubsidi oleh APBN. Petaka yang dialami oleh PT KAI adalah harus setor deviden, namun tidak pernah memperoleh dana dari APBN melalui Penyertaan Modal Negara (PMN), berbeda dengan BUMN konstruksi atau lainnya yang memperoleh PMN, sehingga wajar bila harus setor deviden. Dana IMO (infrastructure Maintenance Operation) sebesar Rp. 1,47 trilun yang diberikan tahun 2015 lalu bukanlah PMN, melainkan ibarat bayar utang Pemerintah kepada PT KAI yang telah melakukan perawatan dan mengoperasikan prasarana perkeretaapian yang harusnya menjadi tugas Pemerintah.

Konsekuensi logis dari adanya intervensi kekuasaan itu adalah usaha-usaha untuk peningkatan layanan kepada konsumen (penumpang maupun barang) menjadi terhambat. Tahun 2016 ini PT KAI terpaksa harus membatalkan rencana pembelian lima rangkaian KA untuk jarak jauh karena dana yang seharusnya dialokasikan untuk membeli sarana, disetor ke Negara dan ke PT KCIC. Lebih tragis lagi adalah tatkala dana pembangunan KA Cepat dari China belum turun, PT KAI harus menalangi terlebih dulu. Padahal, keberadaan KA Cepat Jakarta – Bandung itu kelak akan mematikan jalur kereta api Jakarta – Bandung yang menjadi bagian dari core bisnis PT KAI. Ini betul-betul tragedi layanan publik, seperti tindakan bunuh diri yang dipaksakan, karena PT KAI harus turut membiayai pembangunan infrastruktur yang hasilnya akan mematikan sebagian core bisnis mereka. Di sisi lain,  PT KAI tahun 2016 sudah mulai mencicil utang-utangnya yang dipakai untuk peningkatan pelayanan dan pengembangan usaha.

Penyelamatan PT KAI

Beban berat yang harus dipikul oleh PT KAI juga dalam pembenahan KRL Jabodetabek dan KA Bandara. Di satu sisi PT KAI melalui PT KCJ ditargetkan dapat mengangkut jumlah penumpang 1,2 juta per hari pada 2018 dan segera mengoperasikan KA bandara, tapi di pihak lain dukungann pendanaan dari Pemerintah tidak terbatas karena terkendala regulasi. Perpres No. 83 Tahun 2011tentang Penugasan Kepada PT. Kereta Api Indonesia (Persero) untuk Menyelenggarakan Prasarana dan Sarana Kereta Api Bandar Udara Soekarno-Hatta dan Jalur Lingkar Jakartabogor-Depok-Tangerang-Bekasi merupakan sandungannya.

Pasal 1 yang mengatur mengenai penugasan kepada PT KAI cukup berat, karena bukan hanya membangun saja, tapi juga mengoperasikan prasarana perkeretaapian Bandar Udra Soekarno-Hatta via Kota Tengerang dan Jabodetabek. Namun tugas berat itu tidak disertai dengan dukungan dana yang cukup dari APBN, harus diusahakan oleh PT KAI sendiri seperti tertera dalam Pasal 4: “pendanaan penyelenggaraan prasarana dan sarana perkeretaapian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 dan biaya pengadaan lahan yang diperlukan, bersumber dari dan diusahakan oleh PT Kereta Api Indonesia (Persero) sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan dan tidak bersumber dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara dan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah terkait”. Pdahal, pembebasan lahan di Jabodetabek itu merupakan persoalan sosial-politik yang rumit dan ujung-ujungnya harganya melambung tinggi. Keuangan PT KAI dapat berdarah-darah untuk pembebasan lahan ini KA Bandara ini.

Ada beberapa  lankah bentuk penyelamatan yang dapat dilakukan oleh Pemerintah terhadap PT KAI agar tetap dapat mempertahankan layanan yang bagus dan menjadi angkutan publik yang handal. Pertama, Pemerintah saatnya memberikan PMN (Penyertaan Modal Negara) kepada PT KAI, seperti yang diterima oleh BUMN-BUMN lain agar PT KAI tetap  punya modal untuk melakukan ekspansi usaha dan meningkatkan pelayanan kepada konsumen.

Kedua, kalau tidak kasih PMN, maka bebaskan dari kewajiban setor deviden ke kas Negara agar keuntungannya itu dapat dialokasikan untuk peningkatan layanan kepada konsumen. Kinerja direksi PT KAI cukup dinilai dari meningkatnya layanan, termssuk jumlah penumpang dan barang yang diangkut, bukan dari besaran deviden yang disetor ke kas Negara.

 Ketiga, bebaskan PT KAI dari keharusan menjadi anggota konsorsium KCIC agar PT KAI fokus pada core bisnisnya, yaitu mengoperasikan KA jarak jau, sedang, maupun perkotaan. Dengan tergabung dalam Konsorsium KCIC, PT KAI otomatis harus turut bertanggung jawab ketika ada persoalan dalam pembangunan maupun pengoperasian KA Cepat Jakarta-Baduung.

Keempat, agar pembangunan dan pengoperasian prasarana di wilayah Jabodetabek dan pembangunan KA Bandara itu tidak membebani keuangan PT KAI, maka sebaiknya Perpres No. 83/2011 itu dicabut atau direvisi yang lebih mendukung sehatnya korporasi. Presiden Joko Widodo (Jokowi) tidak perlu ragu mencabut/merevisi Perpres tersebut demi kebaikan bersama. Bila  Perpres No. 83/2011 itu tetap dipertahankan, sesungguhnya membonsai PT KAI, termasuk anak perusahaannya, PT KCJ karena beban tugasnya banyak, tapi tidak didukung dengan finansial yang cukup dari Negara.

DARMANINGTYAS, KETUA BIDANG ADVOKASI MTI (MASYARAKAT TRANSPORTASI INDONESIA)

Komentar

  1. Assalamu Alaikum wr-wb, perkenalkan nama saya ibu Rosnida zainab asal Kalimantan Timur, saya ingin mempublikasikan KISAH KESUKSESAN saya menjadi seorang PNS. saya ingin berbagi kesuksesan keseluruh pegawai honorer di instansi pemerintahan manapun, saya mengabdikan diri sebagai guru disebuah desa terpencil, dan disini daerah tempat saya mengajar hanya dialiri listrik tenaga surya, saya melakukan ini demi kepentingan anak murid saya yang ingin menggapai cita-cita, Sudah 9 tahun saya jadi tenaga honor belum diangkat jadi PNS Bahkan saya sudah 4 kali mengikuti ujian, dan membayar 70 jt namun hailnya nol uang pun tidak kembali, bahkan saya sempat putus asah, pada suatu hari sekolah tempat saya mengajar mendapat tamu istimewa dari salah seorang pejabat tinggi dari kantor BKN pusat karena saya sendiri mendapat penghargaan pengawai honorer teladan, disinilah awal perkenalan saya dengan beliau, dan secara kebetulan beliau menitipkan nomor hp pribadinya dan 3 bln kemudian saya pun coba menghubungi beliau dan beliau menyuruh saya mengirim berkas saya melalui email, Satu minggu kemudian saya sudah ada panggilan ke jakarta untuk ujian, alhamdulillah berkat bantuan beliau saya pun bisa lulus dan SK saya akhirnya bisa keluar,dan saya sangat berterimah kasih ke pada beliau dan sudah mau membantu saya, itu adalah kisah nyata dari saya, jika anda ingin seperti saya, anda bisa Hubungi Bpk Drs Tauhid SH Msi No Hp 0853-1144-2258. siapa tau beliau masih bisa membantu anda, Wassalamu Alaikum Wr Wr ..

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

BIODATA DARMANINGTYAS

BIODATA DARMANINGTYAS, menggeluti pendidikan sejak mulai menjadi mahasiswa baru di UGM, Agustus 1982 dengan menjadi guru di SMP Binamuda dan SMA Muhammadiyah Panggang, Gunungkidul, DIY. Pendidikan formalnya cukup Sarjana Filsafat Universitas Gadjah Mada (UGM) dan selebihnya otodidak. Gelar “Profesor Doktor” diperoleh dari undangan, sertifikat, piagam, spanduk, dan sejenisnya; sebagai bentuk pengakuan nyata dari masyarakat.

Masyarakat Diajak Adaptasi

Pemerintah, melalui lembaga dan kementerian, mengeluarkan peraturan dan edaran perihal protokol atau pedoman kesehatan. Protokol itu berlaku di tempat masyarakat, industri, sektor jasa, dan perdagangan.

REFLEKSI DARI PELATIHAN GURU SASARAN DI LAMPUNG

Berikut saya sampaikan refleksi saya tatkala mendapat tugas untuk membuka dan kasih pengarahan pada pelatihan guru sasaran di Lampung tanggal 9 Juli lalu. Semoga refleksi in dapat menjadi bahaperbaikan proses pelatihan guru yang akan dating sehingga menjadi lebih baik.