Langsung ke konten utama

KEBIJAKAN PENDIDIKAN YANG MENYESATKAN

Oleh : DARMANINGTYAS
PENULIS BUKU PENDIDIKAN YANG MEMISKINKAN

Gagasan sekolah sehari penuh (full day school/FDS) yang dilotarkan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Muhajir Effendy pada saat awal kepemimpiannya lalu ternyata bukan sekadar wacana. Dalam banyak kesempatan di forum-forum resmi, seperti dalam orasinya di depan Federasi Guru Independen Indonesia (FGII) 27/8 lalu, Mendikbud Muhajir menjelaskan mengenai konsep FDS tersebut, bahwa pelaksanaan FDS akan dimulai dengan piloting system. Implementasi detailnya masih dikaji. Melalui running text di stasiun televisi nasional (awal September) kita juga membaca: “Mendikbud Muhajir Efendi: full day school meningkatkan SDM”.  Itu menunjukkan bahwa gagasan tersebut akan direalisasikan menjadi kebijakan resmi, meskipun secara wacana tidak ramai lagi dibicarakan oleh masyarakat.


Mendikbud Muhajir menjelaskan bahwa yang dia kerjakakan itu adalah melaksanakan visi misi Presiden Joko Widodo (Jokowi) tentang pendidikan, bahwa untuk pendidikan dasar (SD/MI-SMP/MTs) 80% berisi pendidikan budi pekerti atau karakter, sementara untuk ilmu pengetahuan cukup 20%. FDS merupakan salah satu upaya untuk mewujudkan visi-misi Presiden Jokowi tersebut. Dengan FDS rancang bangun pendidikan karakter dapat dilaksanakan. Dengan sistem FDS anak-anak secara perlahan akan terbangun karakternya dan tidak menjadi liar di luar sekolah ketika orang tua mereka belum pulang dari kerja. Menurutnya, kalau anak-anak tetap berada di sekolah, mereka bisa menyelesaikan tugas-tugas sekolah sampai dijemput orang tuanya seusai jam kerja. Selain itu, anak-anak bisa pulang bersama orang tua sehigga ketika di rumah mereka tetap dalam pengawasan orang tua.

Bias Urban

Rencana penerapan FDS itu bagus, namun gagasan yang bagus dan bertujuan bagus, belum tentu dapat diimplementasikan secara bagus pula, semua amat tergantung pada kondisi lingkungan geografis, ekonomi, sosial, dan budaya anak-anak tersebut berada. Yang pasti argumen dan penjelasan yang diberikan oleh Mendikbud Muhajir itu amat bias kelas menengah kantoran di kota (urban). Bahwa yang terpikir dalam benak Menteri Muhajir adalah anak-anak dari orang tua yang bekerja di kantor di kota yang berangkat pagi dan pulang sore hari secara teratur. Tentu ini amat menyesatkan bila diterapkan secara nasional mengingat berapa persen orang tua yang memiliki jadwal teratur seperti itu?
Sensus Penduduk 2010 mencatat bahwa 32,5 juta orang (30,05%) dari 108,2 juta orang itu bekerja sebagai buruh/karyawan, diikuti yang berusaha dan dibantu buruh tidak tetap sebesar 21,7 juta orang (20,04%), berusaha sendiri 21 juta orang (19,44%). Data lain menyebutkan bahwa jumlah UMKM kita 57,9 juta. Mereka itu belum tentu memiliki jadwal kerja tetap, berangkat pagi pulang sore hari. Sedangka jumlah PNS kita hanya 4,5 juta jiwa, di antara merek juga banyak yang bekerja di lapangan dan atau jadwal kerjanya  dari siang sampai malam atau dari malam sampai pagi hari. Persentase orang yang bekerja di luar kantoran jauh lebih banyak dibandingkan dengan mereka yang bekerja di kantoran dengan jadwal berangkat pagi dan pulang kerja jam 17.00.  Bila yang menjadi rujukan pengambilan keputusan pelaksanaan FDS adalah mereka yang bekerja di kantoran yang berangkat pagi dan pulang jam 15.00 – 17.00, tentu amat menyesatkan, karena sifatnya kasusistik, bukan nasional.

Para orang tua yang bekerja di sektor pertanian, perkebunan, peternakan, perikanan, nelayan atau sektor nonformal dan informal lainnya mungkin malah akan direpotkan oleh kebijakan FDS, karena jadwal jemput sekolah anak bertabrakan dengan jadwal kerja mereka. Jika anak pulang sekolah siang, banyak orang tua merelakan anaknya pulang bersama kawan-kawan, entah naik angkutan umum, bersepeda, atau jalan kaki. Tapi kalau jam 17.00 baru keluar dari sekolah, tentu mereka tidak tega, apalagi kalau perjalanan pulang sekolah itu melewati laut, selat, sungai, hutan, area perkebunan, atau jalan setapak yang penuh dengan semak belukar. Di luar Jawa, kondisi infrastruktur transportasi menuju/dari sekolah yang buruk itu hal biasa, wajar bila di Bengkulu kemudian memunculkan kasus Yuyun yang diperkosa secara ramai-ramai pada saat pulang sekolah karena kondisi rute sekolah memang tidak aman dan tidak selamat.
Kondisi infrastuktur pedesaan atau pedalaman yang buruk itu hendaknya menjadi bahan pertimbangan dalam membuat kebijakan pendidikan nasional. Jangan bayangkan semua wilayah Indonesia itu seperti Jakarta yang jalannya beraspal semua dan selalu ramai sepanjang waktu. Di luar Jawa, masih banyak anak yang harus naik perahu terbuka tanpa fasilitas penyelamatan untuk pergi ke sekolah. Bila mereka harus pulang sampai jam 17.00 tentu akan membuat orang tua menunggu dengan cemas. Di Jakarta pun bila pulang sekolah jam 17.00 akan menyulitkan anak, karena pasti akan terjebak macet dan sampai di rumah sampai jam 20.00.

Persoalan Teknis

Persoalan menambah/mengurangi jam pembelajaran di sekolah itu adalah masalah teknis pengelolaan sekolah, bukan persoalan strategis. Persoalan teknis menjadi wewenang sekolah/madrasah, seperti amanat UU Sisdiknas No. 20/2003 pasal 51 ayat (1): “Pengelolaan satuan pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah dilaksanakan berdasarkan standar pelayanan minimal dengan prinsip manajemen berbasis sekolah/madrasah”. Berdasarkan pasal tersebut, banyak sekolah/madrasah telah melaksanakan FDS maupun lima hari sekolah. Tapi karena sifatnya mikro dan kasusistik, maka tidak mengundang masalah. Umumnya, infrastruktur sekolah/madrasah dan kondisi murid yang menyelenggarakan FDS itu cukup mendukung, sehingga tidak menimbulkan resistensi. Tapi bila itu dijadikan kebijakan nasional, belum tetu cocok, karena perbedaan latar belakang geografis, ekonomi, social, dan budaya sekolah maupun murid, sehingga bias menyesatkan.

Tugas Mendibud bukanlah mengurusi hal yang teknis, tapi yang strategis, seperti masalah pembiayaan pendidikan untuk semua warga, penuntasan wajib belajar 12 tahun, kurikulum, standarisasi, akreditasi, evaluasi, peningkatan kompetensi guru, penyediaan gedung dan fasilitas pendidikan lainnya, mengatasi kesenjangan antar sekolah/daerah, menumbuhkan budaya literasi, dll.. Mengingat ini masa otonomi daerah dan otonomi sekolah, maka kurang  tepat dan merupakan kemunduran bila kebijakan teknis (yang implementasinya amat tergantung pada kondisi lokal) diberlakukan secara sentralistik. Kebijakan teknis operasional sekolah sebaiknya diserahkan keppada Pemprov, Pemda, dan sekolah, bukan lagi oleh Kemendikbud. Amanat UU Sisdinasnya seperti itu.

Hal mendasar yang perlu dijadikan pertimbangan dalam penerapan FDS adalah bahwa terlalu mengungkung murid di sekolah itu tidak selalu berdampak positip saja, tapi juga negative: rasa bosan, jenuh, dan tercerabut dari akar-akar lingkungan geografis, ekonomi, social maupun budaya. Mungkin secara kognitif bagus, tapi egois, asyik dengan diri sendiri (narsistik), kurang peka terhadap lingkungan sekitar, kurang empati terhadap sesama, dan kurang pergaulan. Ki Hadjar Dewantara telah lama mengingatkan adanya tiga (tri) pusat pendidikan, yaitu sekolah, keluarga, dan masyarakat.  Ketiganya itu harus berperan sama agar anak tumbuh secara seimbang. Kalau hanya banyak di sekolah, tapi pendidikan dalam keluarga dan masyarakat kurang, dapat menyebabkan anak menjadi terealenasi.  ***



Komentar

  1. Assalamu Alaikum wr-wb, perkenalkan nama saya ibu Rosnida zainab asal Kalimantan Timur, saya ingin mempublikasikan KISAH KESUKSESAN saya menjadi seorang PNS. saya ingin berbagi kesuksesan keseluruh pegawai honorer di instansi pemerintahan manapun, saya mengabdikan diri sebagai guru disebuah desa terpencil, dan disini daerah tempat saya mengajar hanya dialiri listrik tenaga surya, saya melakukan ini demi kepentingan anak murid saya yang ingin menggapai cita-cita, Sudah 9 tahun saya jadi tenaga honor belum diangkat jadi PNS Bahkan saya sudah 4 kali mengikuti ujian, dan membayar 70 jt namun hailnya nol uang pun tidak kembali, bahkan saya sempat putus asah, pada suatu hari sekolah tempat saya mengajar mendapat tamu istimewa dari salah seorang pejabat tinggi dari kantor BKN pusat karena saya sendiri mendapat penghargaan pengawai honorer teladan, disinilah awal perkenalan saya dengan beliau, dan secara kebetulan beliau menitipkan nomor hp pribadinya dan 3 bln kemudian saya pun coba menghubungi beliau dan beliau menyuruh saya mengirim berkas saya melalui email, Satu minggu kemudian saya sudah ada panggilan ke jakarta untuk ujian, alhamdulillah berkat bantuan beliau saya pun bisa lulus dan SK saya akhirnya bisa keluar,dan saya sangat berterimah kasih ke pada beliau dan sudah mau membantu saya, itu adalah kisah nyata dari saya, jika anda ingin seperti saya, anda bisa Hubungi Bpk Drs Tauhid SH Msi No Hp 0853-1144-2258. siapa tau beliau masih bisa membantu anda, Wassalamu Alaikum Wr Wr ..

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

BIODATA DARMANINGTYAS

BIODATA DARMANINGTYAS, menggeluti pendidikan sejak mulai menjadi mahasiswa baru di UGM, Agustus 1982 dengan menjadi guru di SMP Binamuda dan SMA Muhammadiyah Panggang, Gunungkidul, DIY. Pendidikan formalnya cukup Sarjana Filsafat Universitas Gadjah Mada (UGM) dan selebihnya otodidak. Gelar “Profesor Doktor” diperoleh dari undangan, sertifikat, piagam, spanduk, dan sejenisnya; sebagai bentuk pengakuan nyata dari masyarakat.

Masyarakat Diajak Adaptasi

Pemerintah, melalui lembaga dan kementerian, mengeluarkan peraturan dan edaran perihal protokol atau pedoman kesehatan. Protokol itu berlaku di tempat masyarakat, industri, sektor jasa, dan perdagangan.

REFLEKSI DARI PELATIHAN GURU SASARAN DI LAMPUNG

Berikut saya sampaikan refleksi saya tatkala mendapat tugas untuk membuka dan kasih pengarahan pada pelatihan guru sasaran di Lampung tanggal 9 Juli lalu. Semoga refleksi in dapat menjadi bahaperbaikan proses pelatihan guru yang akan dating sehingga menjadi lebih baik.