Langsung ke konten utama

MURID MEMENJARAKAN GURU

Oleh : DARMANINGTYAS
Penulis Buku Pendidikan yang Memiskinkan
Dimuat di Koran Tempo Selasa,19 Juli 2016

Sejumlah guru dengan mengenakan seragam organisasi guru (PGRI) membentangkan spanduk yang bertuliskan: “Orang tua yang anaknya tidak mau ditegur guru di sekolah silahkan didik sendiri, bikin kelas sendiri, buat rapor dan ijazah sendiri”. Spanduk itu sebagai bentuk solidaritas terhadap para guru yang masuk harus bui karena diadukaan oleh murid/orang tua murid dengan tuduhan menganiaya; seperti yang dialami oleh Nurmayani, guru bidang studi Biologi SMPN 1 Bantaen dan Muhammad Arsal, guru Pendidikan Agama Islam di SMP Negeri 3 Bantaeng, Sulawesi Selatan. Nurmayani masuk penjara lantaran memberikan hukuman kepada muridnya dengan cara mencubit, sedangkan Muhammad Arsal memberikan hukuman dengan cara memukul. Karena kedua orang tua murid tidak terima anaknya mendapatkan hukum fisik, mereka lalu mengadukannya ke polisi.

Spanduk tersebut menimbulkan pro dan kontra di kalangan guru dan melebar ke insan pendidikan pada umumnya. Sikap dukung mendukung di media sosial pun tidak terelakkan, baik  mendukung guru maupun mendukung orang tua murid yang menggugat guru. Ada yang semula sebel melihat spanduk tersebut, tapi setelah diselidiki bahwa guru salah sedikit digugat, akhirnya memilih mendukung aksi guru. Setahun terakhir reaksi terhadap guru yang memberikan hukuman fisik kepada murid dan kemudian berujung laporan ke polisi, dan lanjut ke pengadilan cukup banyak. Ini menunjukkan bahwa ada masalah dalam relasi antara murid dan guru di sekolah yang perlu diselesaikan agar tidak berkepanjangan di masa mendatang.
Beda Generasi
            Apa yang menimpa pada guru Nurmayani, Muhammad Arsal, dan lainnya yang senasib itu bukan sekadar problem pedagogik, tapi lebih merupakan problem sosiologis, terkait dengan perubahan relasi sosial di masyarakat yang tidak lagi menjadikan guru sebagai sumber rujukan untuk ilmu pengetahuan, informasi, keteladanan, maupun sumber inspirasi; melainkan sekadar sebagai pekerja dalam suatu industri persekolahan saja.
Secara pedagogik, yang dlakukan oleh guru Nurmayani, Muhammad Arsal, dan lainnya sama dengan yang dilakukan oleh guru mereka pada saat duduk di SD-SMA/SMK lebih dari 20 tahun silam atau guru-guru jauh sebelumnya. Pada waktu mereka sekolah dulu dan mendapatkan hukuman sejenis, reaksi mereka adalah muncul kesadaran sebagai orang yang bersalah dan karenanya harus berubah menjadi lebih baik. Komentar Prof.Dr. Mahfud MD bahwa dulu orang tua berterima kasih pada guru yang memberikan hukuman pada anaknya, itu benar adanya, realitas empirisnya seperti itu. Secara sosiologis guru pada saat itu masih menjadi rujukan tunggal untuk perubahan sosial dan sumber informasi. Para murid yang patuh pada guru dapat mencapai keberhasilan dalam kehidupan di masyarakat. Mereka inilah yang disebut Generasi Kertas Pensil. Generasi ini patuh sekali pada guru karena guru adalah sumber rujukan tunggal untuk pengembangan ilmu pengetahuan, informasi, keteladanan, dan inspirasi.
Namun, pola pendidikan yang sama akan menuai reaksi yang berbeda ketika diterapkan pada generasi sekarang yang dikenal dengan Generasi Digital. Generasi ini tidak lagi menjadikan guru sebagai sumber rujukan tunggal, tapi sekadar sebagai formalisme untuk mendapatkan nilai atau ijazah saja. Sumber rujukan mereka amat beragam: SMS, WhatsApp (WA), Face Book (FB), Istagram, Google, dan lainnya. Mereka itu akan lebih patuh terhadap petunjuk sumber-sumber rujukan baru tersebut daripada kepada guru, terlebih guru yang tidak melek tekonologi, dan mengajar masih mengandalkan mulut dan muka seram saja. Murid-murid Generasi Gidital itu berharap guru dapat mengikuti alam berfikir dan kehidupan mereka, bukan sebaliknya mereka harus mengikuti alam berfikir guru dari Generasi Kertas Pensil tersebut. Generasi mereka memang beda, demikian pula alam berfikir dan lingkungan sosialnya pun berbeda,  sehingga perlakuan yang sama reaksinya berbeda ketika diterapkan pada Generasi Gidital. Ini bukan karena anak-anak Generasi Gidital lebih paham HAM atau Hak-Hak Perlindungan Anak, melainkan karena alamnya memang berbeda. Generasi Gidital tidak dapat diperlakukan sama seperti Generasi Kertas Pensil.
Secara substantif pedagogik, cara-cara guru Nurmayani, Muhammad Arsal, dan lainnya memberikan hukuman kepada murid sama dengan hukuman yang pernah diterimanya waktu sekolah dulu, tapi lantaran lingkungan sosiologis murid telah mengalami perubahan, maka responnya jauh sekali berbeda. Alih-alih menimbulkan rasa hormat dan memunculkan kesadaran bersalah pada murid, justru melahirkan laporan ke polisi, bahkan sampai mengantarkan para guru ke penjara.
Saling Belajar
Agar persoalan yang menimpa guru Nurmayani, Muhammad Arsal, dan lainnya yang senasib tidak terus terulang di masyarakat, maka perlu ada perubahan tatanan yang lebih baik, yaitu mampu meminimalisir terjadinya konflik antara guru versus orang tua murid. Tatanan yang dimaksudkan baik dalam bentuk aturan di sekolah maupun dalam proses pembelajaran. Dalam hal aturan di sekolah, proses pembuatannya tidak dapat lagi dilakukan oleh kepala sekolah, guru, dan tata usaha saja, tapi mutlak perlu melibatkan murid dan Komite Sekolah agar murid merasa turut memilikii aturan tersebut. Kecenderungan di sekolah-sekolah negeri selama ini adalah aturan itu dibuat secara sepihak oleh sekolah dan murid tinggal melaksanakannya. Aturan yang demikian ini cenderung menumbuhkan kesadaran semu pada murid. Berbeda misalnya aturan tersebut dibuat bersama-sama dengan semua murid (bukan hanya perwakilan OSIS) dan Komite Sekolah, tentu akan menimbulkan rasa kepemilikan yang tinggi pada murid untuk mematuhinya. Dalam pembuatan aturan sekolah bersama itu sudah harus jelas tentang apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh guru terhadap murid serta apa yang boleh/tidak boleh dilakukan oleh murid terhadap sesama murid maupun terhadap guru. Bila yang boleh/tidak boleh dilakukan oleh guru dn murid itu jelas, maka ketika ada kasus-kasus seperti yag dilakukan oleh guru Nurmayanti dan Muhammad Arsal, semua tinggal dikembalikan pada aturan sekolah yang dibuat bersama, tidak harus sampai ke polisi apalagi ke penjara.
Tatanan lain yang perlu diubah adalah dalam proses pembelajaran. Mengingat guru tidak lagi menjadi sumber rujukan tunggal untuk pengembangan ilmu pengetahuan, sumber informasi, keteladanan, maupun inspirasi; maka guru tidak perlu lagi menjejali murid dengan beragam teori atau rumus-rumus yang harus dihafal oleh murid, melainkan cukup menunjukkan peta kehidupan yang akan dijalani oleh murid di masa datang, dipersilahkan murid untuk memilih jalannya masing-masing sesuai dengan minat dan bakatnya. Proses pembelajaran yang instruktif-indoktrinatif tidak relevan lagi diterapkan, sebaliknya model pembelajaran yang memberdayakan murid untuk mengembangkan daya kritis, kreativitas, dan inovatif lah yang lebih dibutuhkan. Jika proses pembelajarannya lebih mengarah pada pemberian motivasi kepada murid, bukan keharusan menghafal teori atau rumus-rumus, maka tidak perlu lagi ada hukuman, karena kalau murid tidak termotivasi yang akan mengalami kerugian murid itu sendiri, bukan guru. Yang dibutuhkan dari seorang guru adalah kemampuan memotivasi pada murid tanpa pernah merasa dirinnya dipaksa oleh guru. Orang tua juga harus bijaksana, tidak boleh lebay dalam menyikapi laporan anak atas perlakuan guru kepada mereka.

Komentar

  1. Assalamu Alaikum wr-wb, perkenalkan nama saya ibu Rosnida zainab asal Kalimantan Timur, saya ingin mempublikasikan KISAH KESUKSESAN saya menjadi seorang PNS. saya ingin berbagi kesuksesan keseluruh pegawai honorer di instansi pemerintahan manapun, saya mengabdikan diri sebagai guru disebuah desa terpencil, dan disini daerah tempat saya mengajar hanya dialiri listrik tenaga surya, saya melakukan ini demi kepentingan anak murid saya yang ingin menggapai cita-cita, Sudah 9 tahun saya jadi tenaga honor belum diangkat jadi PNS Bahkan saya sudah 4 kali mengikuti ujian, dan membayar 70 jt namun hailnya nol uang pun tidak kembali, bahkan saya sempat putus asah, pada suatu hari sekolah tempat saya mengajar mendapat tamu istimewa dari salah seorang pejabat tinggi dari kantor BKN pusat karena saya sendiri mendapat penghargaan pengawai honorer teladan, disinilah awal perkenalan saya dengan beliau, dan secara kebetulan beliau menitipkan nomor hp pribadinya dan 3 bln kemudian saya pun coba menghubungi beliau dan beliau menyuruh saya mengirim berkas saya melalui email, Satu minggu kemudian saya sudah ada panggilan ke jakarta untuk ujian, alhamdulillah berkat bantuan beliau saya pun bisa lulus dan SK saya akhirnya bisa keluar,dan saya sangat berterimah kasih ke pada beliau dan sudah mau membantu saya, itu adalah kisah nyata dari saya, jika anda ingin seperti saya, anda bisa Hubungi Bpk Drs Tauhid SH Msi No Hp 0853-1144-2258. siapa tau beliau masih bisa membantu anda, Wassalamu Alaikum Wr Wr ..

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

BIODATA DARMANINGTYAS

BIODATA DARMANINGTYAS, menggeluti pendidikan sejak mulai menjadi mahasiswa baru di UGM, Agustus 1982 dengan menjadi guru di SMP Binamuda dan SMA Muhammadiyah Panggang, Gunungkidul, DIY. Pendidikan formalnya cukup Sarjana Filsafat Universitas Gadjah Mada (UGM) dan selebihnya otodidak. Gelar “Profesor Doktor” diperoleh dari undangan, sertifikat, piagam, spanduk, dan sejenisnya; sebagai bentuk pengakuan nyata dari masyarakat.

Masyarakat Diajak Adaptasi

Pemerintah, melalui lembaga dan kementerian, mengeluarkan peraturan dan edaran perihal protokol atau pedoman kesehatan. Protokol itu berlaku di tempat masyarakat, industri, sektor jasa, dan perdagangan.

REFLEKSI DARI PELATIHAN GURU SASARAN DI LAMPUNG

Berikut saya sampaikan refleksi saya tatkala mendapat tugas untuk membuka dan kasih pengarahan pada pelatihan guru sasaran di Lampung tanggal 9 Juli lalu. Semoga refleksi in dapat menjadi bahaperbaikan proses pelatihan guru yang akan dating sehingga menjadi lebih baik.