Oleh : DARMANINGTYAS
Perjalanan mudik Lebaran 2016 ini ditandai dengan tragedi kematian 12 orang yang terjadi di Tol Brebes Timur atau yang popular disebut Brexit pada arus lalu lintas macet selama berjam-jam pada tanggal 3-5 Juli 2016. Apapun alasannya, fakta yang tidak dapat dibantah adalah ada sedikitnya 12 orang meninggal dunia di jalur Brexit pada saat mereka akan mudik Lebaran. Peristiwa tersebut menodai penyelenggaraan mudik Lebaran 2016 ini.
Sesungguhnya tragedi nyawa melayang di jalan itu terjadi setiap hari akibat kecelakaan lalu lintas. Rata-rata 73-85 jiwa orang melayang setiap hari di jalan namun tidak menimbulkan kehebohan, bahkan dianggap biasa.
Namun kematian 12 orang pada saat macet di Brexit itu menyedot perhatian semua media massa, karena perhatian semua media massa saat itu tertuju ke ruas Tol Cipali – Brexit, sehingga apa yag terjadi di sana tidak dapat terhindar dari pantauan media massa. Kebetulan pula, peristiwa macet berdampak pada kematian itu baru terjadi untuk pertama kalinya dalam sejarah mudik Lebaran. Ini di luar logika transportasi. Dalam logika lalu lintas yang normal, saat macet justru jarang terjadi kecelakaan, dan andaikan ada kecelakaan tingkat fatalitasnya rendah. Tingkat fatalitas dalam kecelakaan lalu lintas berkorelasi positip dengan tingkat kecepatan kendaraan. Namun yang terjadi di Brexit ini adalah kematian justru terjadi pada saat kondisi lalu lintas macet total. Ini sungguh anomali.
Mari kita berhenti berdebat soal penyebab kematian 12 orang di Brexit pada saat macet panjang selama berjam-jam. Kita cukup melihat fakta saja bahwa kematian itu ada, riil, bukan fantasi, dan tidak dapat dinisbikan. Dengan melihat fakta di lapangan, bahwa kematian itu ada, riil, bukan fantasi, karena dapat diverifikasi di lapangan, serta tidak dapat dinisbikan begitu saja; akan menumbuhkan empati dan simpati terhadap korban maupun keluarga korban, sehingga dapat dihindari keluarnya pernyataan—pernyataan yang menambah sedih keluarga korban maupun hilangnya simpati mereka terhadap pejabat negara. Semua pihak yang bertanggung jawab atas penyelengggaraan angkutan mudik Lebaran perlu mencari solusi bersama agar kondisi buruk sejenis tidak terulang lagi di masa mendatang. Menisbikan keberadaan korban dengan berbagai alasan dan penjelasan, justru dapat mendelegitimasi kehadiran Negara, karena orang dapat menjadi sumir dengan mengatakan, untuk apa ada Negara kalau tidak merasa bertanggung jawab atas kematian warganya? Oleh karena itu, setiap pejabat yang merupakan representasi kehadiran Negara di hadapan warga, perlu hati-hati dalam membuat pernyataan agar tidak menimbulkan antipati, sebaliknya justru dapat menumbuhkan empati dan simpati publik.
Kurang Perencanaan
Saya bersyukur diajak oleh Puslitbang Angkutan Darat dan Perkeretaapian Balitbang Perhubungan untuk turut serta memantau arus mudik (1-2 Juli) sehingga dapat turut merasakan sendiri bagaimana menderitanya saat terjebak kemacetan. Pada Jumat, 1 Juli itu kami memantau arus mudik dari arah Cawang hingga Brexit dengan berhenti pada setiap rest areauntuk melihat kondisi rest area yang ada. Nah ketika memasuki KM 254 menjelang Brexit, sudah mulai macet. Saya langsung melihat jam di HP saya menunjukkan angka 20.00, dan ketika mobil kami keluar Brexit, jam menunjukkan pukul 01.20 menit, artinya kami terjebak macet selama 5.20 jam. Tapi karena tujuan perjalanan kami adalah memantau arus mudik, kemacetan itu tidak terlalu mengganggu pikiran kami. Kami justru mencatat sebagai temuan lapangan untuk masukan. Berbeda dengan para calon pemudik, kemacetan panjang dan lama tersebut tentu menimbulkan problem psikologis berupa rasa lelah.
Pada saat terjebak kemacetan, banyak calon pemudik (tidak peduli laki maupun perempuan) turun mobil untuk buang air kecil di sembarang tepi jalan tol. Semua maklum dan tidak dapat dipersalahkan karena kondisinya memang darurat. Tapi itu malam, orang dapat lebih leluasa membuang air kecil sembarang tempat. Tidak dapat dibayangkan bila terjebak kemacetan pada siang hari, tidak mungkin mereka dapat buang air kecil sembarang tempat (terlebih yang perempuan), mereka lebih baik menahan meski terasa sakit sekali. Akhirnya bagi yang kondisi tubuhnya lemah, kematian itu tidak terelakkan.
Pemandangan yang kontras terlihat di jalur Pantura. Lalu lintas di Pantura pada tanggal 2 Juli itu terlihat lancar, lebih banyak didominasi oleh sepeda motor dan bus, sehingga kecepatan bus dapat mencapai 60-70 km/jam. Jalur Simpang Jomin hingga Pamanukan yang sampai dengan mudik Lebaran 2014 masih menjadi titik krusial kemacetan pun hari itu lancar, bahkan lengang. Ini menunjukkan kurangnya perencanaan untuk membagi beban jalan agar merata dan tidak bertumpu di jalan tol saja. Selama bertahun-tahun memantau arus mudik Lebaran, melihat bahwa selalu ada skenario-skenario tertentu yang diterapkan untuk membagi beban jalan agar (saat itu) tidak terpaku di jalur Pantura saja, tapi juga mengarahkannya melalui jalur tengah (Pamanukan – Subang – Majalengka – Kuningan – Ketagunggungan, lalu belok ke kanan melalui Bumi Ayu terus ke Purwokerto), serta jalur selata (Cikampek – Purwakarta – Baandung – Tasikmalaya – Ciamis – Banjar – hingga Kebumen). Di sinilah dulu simpang Nagrek selalu menjadi titik krusial untuk jalur selatan. Skenario-skenario seperti itu kurang terlihat dalam persiapan angkutan mudik Lebaran 2015-2016 sejak tol Cipali hingga Brexit beroperasi. Wajar apabila perhatian calon pemudik tertuju pada jalur tol Cipali – Brexit saja, sehingga mereka tidak dapat dipersalahkan mengapa tidak memilih jalur altrnatif (Pantura, jalur tengah, dan selatan).
Pengalaman mudik 2015 mestinya dapat menjadi bahan pembelajaran bersama. Saat itu Tol Cipali untuk pertama kalinya dioperasikan dan ternyata bukan lancar, tapi menimbulkan kemacetan. Kemacetan panjang saat itu terjadi di pintu Tol Pejagan, arus kendaraan terkunci di persimpangan sebidang rel kereta api setelah keluar dari pintu tol dan ekornya sampai ke ruas tol Pejagan – hingga Palimanan. Pengalaman buruk mudik 2015 itu semestinya menjadi dasar bagi penyelenggara (regulator) maupun pengelola (operator) jalan tol untuk membuat perencanaan yang lebih baik agar kemacetan parah yang terjadi di Pejagan tidak bergeser ke Brexit.
Penyelenggara dan pengelola jalan tol semestinya sudah membuat langkah antisipatif dan solutif, misalnya dengan membuat median jalan tol dalam jarak tertentu didesain dapat dipakai untuk putar balik bagi mereka yang akan membatalkan perjalanan atau mencari jalan alternatif dalam kondisi darurat. Sayang tidak ada langkah ke sana. Mereka juga tidak melakukan kebijakan buka tutup di pintu masuk tol sejak awal tatkala kemacetan sudah lebih dari lima kilometer. Juga tidak memberikan pengumuman dengan menggunakan mobil berjalan ke arah Jakarta agar yang belum terlanjur terjebak macet dapat menghindarinya dengan mencari jalan alternatif. Namun pencarian jalan alternatif atau membatalkan perjalanan itu hanya dapat dilakukan apabila tersedia median jalan tol yang dapat untuk putar balik, seperti di Bangkok menuju ke arah Ayutaya. Inilah kelalaian mendasar dari penyelenggara dan pengelola jalan tol yang tidak dilihat publik. Publik justru melihat Kementrian Perhubungan (Kemenhub) sebagai pihak yang bertanggung jawab atas kekacauan di Brexit. Ironisnya, kritik yang salah alamat itu juga dilontarkan oleh anggota DPR RI dan Wakil Presiden Jusuf Kalla, mereka tidak paham tugas dan fungsi masing-masing kementrian teknis.
Tol Versus Angkutan Umum
Berdasarkan pengalaman mudik dua tahun terakhir melalui Tol Trans Jawa yang ternyata tidak memberikan jaminan lancar, menunjukkan pada kita semua bahwa jalan tol bukan solusi mengatasi kemacetan. Oleh karena itu, harapan bahwa selesainya pembangunan Tol Trans Jawa sampai Surabaya akan dapat mengurai kemacetan arus mudik, sesungguhnya merupakan ilusi belaka. Yang akan terjadi hanyalah menggeser titik kemacetan saja menjadi semakin ke timur, dari Pejagan – Brexit – Pemalang – sampai akhirnya Surabaya. Oleh karena itu tekat Presiden Jokowi untuk menyelesaikan Tol Trans Jawa pada tahun 2018 patut diapresiasi, tapi jangan berharap bahwa itu akan memperlancar arus mudik ke depannya. Itulah sebabnya sejak awal dulu saya menolak pembangunan Tol Trans Jawa, karena selain tidak akan mengurai kemacetan, juga memakan lahan subur di Jawa dan merusak cadangan air tanah. Yang telah terbukti mampu mengatasi kemacetan adalah angkutan umum massal.
Angkutan umum, terutama kereta api (KA), kapal laut, dan pesawat terbang tidak pernah mengalami gangguan macet, mereka relatif tepat waktu. Keterlambatan KA sampai H-2 itu rata-rata di bawah 10 menit saja. Selama lima tahun terakhir angkutan KA dalam melayani arus mudik dan balik Lebaran juga tidak pernah mengalami kecelakaan (zero accident). Sayang, perhatian terhadap pengembangan angkutan umum massal justru minim, terlebih di daerah-daerah. Tidak ada satu daerah pun di Indonesia, baik itu kabupaten maupun kota memiliki angkutan umum yang bagus dan dapat diandalkan warganya untuk melakukan silaturakhim di daerah sehingga tidak perlu membawa kendaraan pribadi dari Jakarta.
Keberadaan jalur ganda rel KA Jakarta – Surabaya yang semula diharapkan jadi solusi mengatasi kemacetan saat arus mudik, ternyata belum optimal karena tidak ada penambahan sarana yang berarti. Ini karena PT KAI sebagai operator tunggal justru dibonsai oleh peraturan maupun pemerintah. UU No. 23 Tahun 2007 tentang Perkeretaapian melarang Pemerintah membeli sarana kereta api, tapi PT KAI tidak diberi Penyertaan Modal Negara (PMN) agar mampu membeli sarana baru. Sebaliknya demi mewujudkan Kereta Cepat Jakarta – Bandung, PT KAI harus menyetor dana ke kas konsursium sebesar Rp. 250 miliar. Kecuali itu, PT KAI juga diminta menyetor keuntungan ke kas negara mlalui Kementrian BUMN. Total dana PT PT KAI yang seharusnya dapat dipakai untuk membeli sarana baru namun tidak bisa lantaran harus disetor ke konsursium dan kas Negara itu mencapai Rp.2,75 T. Ini jumlah yang sangat besar dan harusnya dapat dipergunakan untuk membeli sarana baru (rangkaian KA) yang dapat dioperasikan di jalur ganda. Semestinya, kalau pemerintah tidak boleh membeli sarana, maka pemerintah memberikan PMN kepada PT KAI dan tidak mewajibkan kepada PT KAI untuk menyetorkan keuntungannya kepada Negara. Keuntungaan tersebut dipergunakan untuk mengembangkan sarana dan meningkatkan pelayanan kepada penumpang. Cara menilai kinerja direksi BUMN pelayanan harusnya tidak dari seberapa besar deviden yang disetor kepada Negara setiap tahunnya, tapi seberapa tinggi layanan yang diberikan kepada masyarakat.
Komitmen yang tinggi itu harusnya juga terlihat di angkutan laut. Pemerintah perlu memfasilitasi pengadaan sarana (kapal) untuk membeli kapal-kapal besar, sedang, maupun kecil agar dapat melayani mobilitas warga antar pulau besar maupun antara pulau besar dan kecil sehingga mobilitas warga yang tinggal di daerah kepulauan dapat terjamin. Sedangkan terhadap pemudik yang menggunakan angkutan bus, pemerintah dapat mengambil kebijakan membeli layanan mereka selama masa H-7 hingga H+7 di seluruh Indonesia, sehingga orang dapat melakukan mudik gratis secara aman, nyaman, dan selamat. Selama ini mudik gratis yang diselenggarakan oleh Kementrian Perhubungan masih terbatas untuk pemilik motor dan di Jawa. Ke depa, mudik gratis dengan menggunakan bus dan kapal laut itu berlaku untuk semua warga dan semua wilayah. Mereka berhak memperoleh layanan mudik gratis karena pengguna bus dan kapal laut itu umumnya kelas menengah ke bawah, sehingga tidak ada ruginya bila pemerintah memberikan layanan gratis kepada mereka setahun sekali. Perkiraan saya, anggaran untuk menggratiskan pemudik dengan kapal laut dan bus umum itu jauh lebih murah dibandingkan dengan BBM yang terbuang habis saat terjadi kemacetan di tol belasan jam. Dengan memberikan layanan mudik gratis bagi pengguna kapal laut dan bus, maka sesungguhnya Negara betul-betul hadir di tengah masyarakat menengah bawah dalam melayani angkutan mudik. Jika Negara hadir hanya di jalan tol, itu sesungguhnya hanya hadir untuk golongan menengah ke atas.
Selain menggratiskan pemudik dengan kapal laut dan bus, pengaturan lalu lintasnya ke depan juga harus jelas agar mudik dapat lancar. Di Pulau Jawa mudik dengan menggunakan bus dari wilayah Jabodetabek lebih baik tidak diarahkan melalui jalur tol, tapi justru lewat jalan alteri, bak jalur utara (Pantura), tengah, maupun selatan. Biarkan jalan tol hanya untuk mobil pribadi. Kebijakan ini penting untuk: 1). membagi beban jalan secara berimbang, 2). menghidupkan bisnis sepanjang jalur mudik, dan 3) memudahkan penumpang maupun pengemudi untuk buang air kecil atau besar sewaktu-waktu. Kebijakan radikal, baik soal menggratiskan penumpang kapal laut dan bus maupun soal rekayasa lalu lintas itu perlu diambil agar mimpi mudik aman, nyaman, selamat, dan lancar itu betul-betul dapat terwujud dan kita ini move on dari kondisi buruk bertahun-tahun dalam penyelenggaraan dan pengelolaan angkutan lebaran. Keledai saja tidak mau tertumbuk pada batu yang sama, mengapa kita tertumbuk pada batu yang itu-itu saja tapi tidak kapok? Lupakan jalur tol untuk mudik 2017 dan seterusnya, lalu kembangkann angkutan laut, kereta api, dan bus untuk mudik lancar, aman, selamat, dan nyaman.
Darmaningtyas, Ketua INSTRAN (LSM Transportasi) di Jakarta dan Ketua Bidang Advokasi MTI (Masyarakat Transportasi Indonesia)
Perjalanan mudik Lebaran 2016 ini ditandai dengan tragedi kematian 12 orang yang terjadi di Tol Brebes Timur atau yang popular disebut Brexit pada arus lalu lintas macet selama berjam-jam pada tanggal 3-5 Juli 2016. Apapun alasannya, fakta yang tidak dapat dibantah adalah ada sedikitnya 12 orang meninggal dunia di jalur Brexit pada saat mereka akan mudik Lebaran. Peristiwa tersebut menodai penyelenggaraan mudik Lebaran 2016 ini.
Sesungguhnya tragedi nyawa melayang di jalan itu terjadi setiap hari akibat kecelakaan lalu lintas. Rata-rata 73-85 jiwa orang melayang setiap hari di jalan namun tidak menimbulkan kehebohan, bahkan dianggap biasa.
Namun kematian 12 orang pada saat macet di Brexit itu menyedot perhatian semua media massa, karena perhatian semua media massa saat itu tertuju ke ruas Tol Cipali – Brexit, sehingga apa yag terjadi di sana tidak dapat terhindar dari pantauan media massa. Kebetulan pula, peristiwa macet berdampak pada kematian itu baru terjadi untuk pertama kalinya dalam sejarah mudik Lebaran. Ini di luar logika transportasi. Dalam logika lalu lintas yang normal, saat macet justru jarang terjadi kecelakaan, dan andaikan ada kecelakaan tingkat fatalitasnya rendah. Tingkat fatalitas dalam kecelakaan lalu lintas berkorelasi positip dengan tingkat kecepatan kendaraan. Namun yang terjadi di Brexit ini adalah kematian justru terjadi pada saat kondisi lalu lintas macet total. Ini sungguh anomali.
Mari kita berhenti berdebat soal penyebab kematian 12 orang di Brexit pada saat macet panjang selama berjam-jam. Kita cukup melihat fakta saja bahwa kematian itu ada, riil, bukan fantasi, dan tidak dapat dinisbikan. Dengan melihat fakta di lapangan, bahwa kematian itu ada, riil, bukan fantasi, karena dapat diverifikasi di lapangan, serta tidak dapat dinisbikan begitu saja; akan menumbuhkan empati dan simpati terhadap korban maupun keluarga korban, sehingga dapat dihindari keluarnya pernyataan—pernyataan yang menambah sedih keluarga korban maupun hilangnya simpati mereka terhadap pejabat negara. Semua pihak yang bertanggung jawab atas penyelengggaraan angkutan mudik Lebaran perlu mencari solusi bersama agar kondisi buruk sejenis tidak terulang lagi di masa mendatang. Menisbikan keberadaan korban dengan berbagai alasan dan penjelasan, justru dapat mendelegitimasi kehadiran Negara, karena orang dapat menjadi sumir dengan mengatakan, untuk apa ada Negara kalau tidak merasa bertanggung jawab atas kematian warganya? Oleh karena itu, setiap pejabat yang merupakan representasi kehadiran Negara di hadapan warga, perlu hati-hati dalam membuat pernyataan agar tidak menimbulkan antipati, sebaliknya justru dapat menumbuhkan empati dan simpati publik.
Kurang Perencanaan
Saya bersyukur diajak oleh Puslitbang Angkutan Darat dan Perkeretaapian Balitbang Perhubungan untuk turut serta memantau arus mudik (1-2 Juli) sehingga dapat turut merasakan sendiri bagaimana menderitanya saat terjebak kemacetan. Pada Jumat, 1 Juli itu kami memantau arus mudik dari arah Cawang hingga Brexit dengan berhenti pada setiap rest areauntuk melihat kondisi rest area yang ada. Nah ketika memasuki KM 254 menjelang Brexit, sudah mulai macet. Saya langsung melihat jam di HP saya menunjukkan angka 20.00, dan ketika mobil kami keluar Brexit, jam menunjukkan pukul 01.20 menit, artinya kami terjebak macet selama 5.20 jam. Tapi karena tujuan perjalanan kami adalah memantau arus mudik, kemacetan itu tidak terlalu mengganggu pikiran kami. Kami justru mencatat sebagai temuan lapangan untuk masukan. Berbeda dengan para calon pemudik, kemacetan panjang dan lama tersebut tentu menimbulkan problem psikologis berupa rasa lelah.
Pada saat terjebak kemacetan, banyak calon pemudik (tidak peduli laki maupun perempuan) turun mobil untuk buang air kecil di sembarang tepi jalan tol. Semua maklum dan tidak dapat dipersalahkan karena kondisinya memang darurat. Tapi itu malam, orang dapat lebih leluasa membuang air kecil sembarang tempat. Tidak dapat dibayangkan bila terjebak kemacetan pada siang hari, tidak mungkin mereka dapat buang air kecil sembarang tempat (terlebih yang perempuan), mereka lebih baik menahan meski terasa sakit sekali. Akhirnya bagi yang kondisi tubuhnya lemah, kematian itu tidak terelakkan.
Pemandangan yang kontras terlihat di jalur Pantura. Lalu lintas di Pantura pada tanggal 2 Juli itu terlihat lancar, lebih banyak didominasi oleh sepeda motor dan bus, sehingga kecepatan bus dapat mencapai 60-70 km/jam. Jalur Simpang Jomin hingga Pamanukan yang sampai dengan mudik Lebaran 2014 masih menjadi titik krusial kemacetan pun hari itu lancar, bahkan lengang. Ini menunjukkan kurangnya perencanaan untuk membagi beban jalan agar merata dan tidak bertumpu di jalan tol saja. Selama bertahun-tahun memantau arus mudik Lebaran, melihat bahwa selalu ada skenario-skenario tertentu yang diterapkan untuk membagi beban jalan agar (saat itu) tidak terpaku di jalur Pantura saja, tapi juga mengarahkannya melalui jalur tengah (Pamanukan – Subang – Majalengka – Kuningan – Ketagunggungan, lalu belok ke kanan melalui Bumi Ayu terus ke Purwokerto), serta jalur selata (Cikampek – Purwakarta – Baandung – Tasikmalaya – Ciamis – Banjar – hingga Kebumen). Di sinilah dulu simpang Nagrek selalu menjadi titik krusial untuk jalur selatan. Skenario-skenario seperti itu kurang terlihat dalam persiapan angkutan mudik Lebaran 2015-2016 sejak tol Cipali hingga Brexit beroperasi. Wajar apabila perhatian calon pemudik tertuju pada jalur tol Cipali – Brexit saja, sehingga mereka tidak dapat dipersalahkan mengapa tidak memilih jalur altrnatif (Pantura, jalur tengah, dan selatan).
Pengalaman mudik 2015 mestinya dapat menjadi bahan pembelajaran bersama. Saat itu Tol Cipali untuk pertama kalinya dioperasikan dan ternyata bukan lancar, tapi menimbulkan kemacetan. Kemacetan panjang saat itu terjadi di pintu Tol Pejagan, arus kendaraan terkunci di persimpangan sebidang rel kereta api setelah keluar dari pintu tol dan ekornya sampai ke ruas tol Pejagan – hingga Palimanan. Pengalaman buruk mudik 2015 itu semestinya menjadi dasar bagi penyelenggara (regulator) maupun pengelola (operator) jalan tol untuk membuat perencanaan yang lebih baik agar kemacetan parah yang terjadi di Pejagan tidak bergeser ke Brexit.
Penyelenggara dan pengelola jalan tol semestinya sudah membuat langkah antisipatif dan solutif, misalnya dengan membuat median jalan tol dalam jarak tertentu didesain dapat dipakai untuk putar balik bagi mereka yang akan membatalkan perjalanan atau mencari jalan alternatif dalam kondisi darurat. Sayang tidak ada langkah ke sana. Mereka juga tidak melakukan kebijakan buka tutup di pintu masuk tol sejak awal tatkala kemacetan sudah lebih dari lima kilometer. Juga tidak memberikan pengumuman dengan menggunakan mobil berjalan ke arah Jakarta agar yang belum terlanjur terjebak macet dapat menghindarinya dengan mencari jalan alternatif. Namun pencarian jalan alternatif atau membatalkan perjalanan itu hanya dapat dilakukan apabila tersedia median jalan tol yang dapat untuk putar balik, seperti di Bangkok menuju ke arah Ayutaya. Inilah kelalaian mendasar dari penyelenggara dan pengelola jalan tol yang tidak dilihat publik. Publik justru melihat Kementrian Perhubungan (Kemenhub) sebagai pihak yang bertanggung jawab atas kekacauan di Brexit. Ironisnya, kritik yang salah alamat itu juga dilontarkan oleh anggota DPR RI dan Wakil Presiden Jusuf Kalla, mereka tidak paham tugas dan fungsi masing-masing kementrian teknis.
Tol Versus Angkutan Umum
Berdasarkan pengalaman mudik dua tahun terakhir melalui Tol Trans Jawa yang ternyata tidak memberikan jaminan lancar, menunjukkan pada kita semua bahwa jalan tol bukan solusi mengatasi kemacetan. Oleh karena itu, harapan bahwa selesainya pembangunan Tol Trans Jawa sampai Surabaya akan dapat mengurai kemacetan arus mudik, sesungguhnya merupakan ilusi belaka. Yang akan terjadi hanyalah menggeser titik kemacetan saja menjadi semakin ke timur, dari Pejagan – Brexit – Pemalang – sampai akhirnya Surabaya. Oleh karena itu tekat Presiden Jokowi untuk menyelesaikan Tol Trans Jawa pada tahun 2018 patut diapresiasi, tapi jangan berharap bahwa itu akan memperlancar arus mudik ke depannya. Itulah sebabnya sejak awal dulu saya menolak pembangunan Tol Trans Jawa, karena selain tidak akan mengurai kemacetan, juga memakan lahan subur di Jawa dan merusak cadangan air tanah. Yang telah terbukti mampu mengatasi kemacetan adalah angkutan umum massal.
Angkutan umum, terutama kereta api (KA), kapal laut, dan pesawat terbang tidak pernah mengalami gangguan macet, mereka relatif tepat waktu. Keterlambatan KA sampai H-2 itu rata-rata di bawah 10 menit saja. Selama lima tahun terakhir angkutan KA dalam melayani arus mudik dan balik Lebaran juga tidak pernah mengalami kecelakaan (zero accident). Sayang, perhatian terhadap pengembangan angkutan umum massal justru minim, terlebih di daerah-daerah. Tidak ada satu daerah pun di Indonesia, baik itu kabupaten maupun kota memiliki angkutan umum yang bagus dan dapat diandalkan warganya untuk melakukan silaturakhim di daerah sehingga tidak perlu membawa kendaraan pribadi dari Jakarta.
Keberadaan jalur ganda rel KA Jakarta – Surabaya yang semula diharapkan jadi solusi mengatasi kemacetan saat arus mudik, ternyata belum optimal karena tidak ada penambahan sarana yang berarti. Ini karena PT KAI sebagai operator tunggal justru dibonsai oleh peraturan maupun pemerintah. UU No. 23 Tahun 2007 tentang Perkeretaapian melarang Pemerintah membeli sarana kereta api, tapi PT KAI tidak diberi Penyertaan Modal Negara (PMN) agar mampu membeli sarana baru. Sebaliknya demi mewujudkan Kereta Cepat Jakarta – Bandung, PT KAI harus menyetor dana ke kas konsursium sebesar Rp. 250 miliar. Kecuali itu, PT KAI juga diminta menyetor keuntungan ke kas negara mlalui Kementrian BUMN. Total dana PT PT KAI yang seharusnya dapat dipakai untuk membeli sarana baru namun tidak bisa lantaran harus disetor ke konsursium dan kas Negara itu mencapai Rp.2,75 T. Ini jumlah yang sangat besar dan harusnya dapat dipergunakan untuk membeli sarana baru (rangkaian KA) yang dapat dioperasikan di jalur ganda. Semestinya, kalau pemerintah tidak boleh membeli sarana, maka pemerintah memberikan PMN kepada PT KAI dan tidak mewajibkan kepada PT KAI untuk menyetorkan keuntungannya kepada Negara. Keuntungaan tersebut dipergunakan untuk mengembangkan sarana dan meningkatkan pelayanan kepada penumpang. Cara menilai kinerja direksi BUMN pelayanan harusnya tidak dari seberapa besar deviden yang disetor kepada Negara setiap tahunnya, tapi seberapa tinggi layanan yang diberikan kepada masyarakat.
Komitmen yang tinggi itu harusnya juga terlihat di angkutan laut. Pemerintah perlu memfasilitasi pengadaan sarana (kapal) untuk membeli kapal-kapal besar, sedang, maupun kecil agar dapat melayani mobilitas warga antar pulau besar maupun antara pulau besar dan kecil sehingga mobilitas warga yang tinggal di daerah kepulauan dapat terjamin. Sedangkan terhadap pemudik yang menggunakan angkutan bus, pemerintah dapat mengambil kebijakan membeli layanan mereka selama masa H-7 hingga H+7 di seluruh Indonesia, sehingga orang dapat melakukan mudik gratis secara aman, nyaman, dan selamat. Selama ini mudik gratis yang diselenggarakan oleh Kementrian Perhubungan masih terbatas untuk pemilik motor dan di Jawa. Ke depa, mudik gratis dengan menggunakan bus dan kapal laut itu berlaku untuk semua warga dan semua wilayah. Mereka berhak memperoleh layanan mudik gratis karena pengguna bus dan kapal laut itu umumnya kelas menengah ke bawah, sehingga tidak ada ruginya bila pemerintah memberikan layanan gratis kepada mereka setahun sekali. Perkiraan saya, anggaran untuk menggratiskan pemudik dengan kapal laut dan bus umum itu jauh lebih murah dibandingkan dengan BBM yang terbuang habis saat terjadi kemacetan di tol belasan jam. Dengan memberikan layanan mudik gratis bagi pengguna kapal laut dan bus, maka sesungguhnya Negara betul-betul hadir di tengah masyarakat menengah bawah dalam melayani angkutan mudik. Jika Negara hadir hanya di jalan tol, itu sesungguhnya hanya hadir untuk golongan menengah ke atas.
Selain menggratiskan pemudik dengan kapal laut dan bus, pengaturan lalu lintasnya ke depan juga harus jelas agar mudik dapat lancar. Di Pulau Jawa mudik dengan menggunakan bus dari wilayah Jabodetabek lebih baik tidak diarahkan melalui jalur tol, tapi justru lewat jalan alteri, bak jalur utara (Pantura), tengah, maupun selatan. Biarkan jalan tol hanya untuk mobil pribadi. Kebijakan ini penting untuk: 1). membagi beban jalan secara berimbang, 2). menghidupkan bisnis sepanjang jalur mudik, dan 3) memudahkan penumpang maupun pengemudi untuk buang air kecil atau besar sewaktu-waktu. Kebijakan radikal, baik soal menggratiskan penumpang kapal laut dan bus maupun soal rekayasa lalu lintas itu perlu diambil agar mimpi mudik aman, nyaman, selamat, dan lancar itu betul-betul dapat terwujud dan kita ini move on dari kondisi buruk bertahun-tahun dalam penyelenggaraan dan pengelolaan angkutan lebaran. Keledai saja tidak mau tertumbuk pada batu yang sama, mengapa kita tertumbuk pada batu yang itu-itu saja tapi tidak kapok? Lupakan jalur tol untuk mudik 2017 dan seterusnya, lalu kembangkann angkutan laut, kereta api, dan bus untuk mudik lancar, aman, selamat, dan nyaman.
Darmaningtyas, Ketua INSTRAN (LSM Transportasi) di Jakarta dan Ketua Bidang Advokasi MTI (Masyarakat Transportasi Indonesia)
Assalamu Alaikum wr-wb, perkenalkan nama saya ibu Rosnida zainab asal Kalimantan Timur, saya ingin mempublikasikan KISAH KESUKSESAN saya menjadi seorang PNS. saya ingin berbagi kesuksesan keseluruh pegawai honorer di instansi pemerintahan manapun, saya mengabdikan diri sebagai guru disebuah desa terpencil, dan disini daerah tempat saya mengajar hanya dialiri listrik tenaga surya, saya melakukan ini demi kepentingan anak murid saya yang ingin menggapai cita-cita, Sudah 9 tahun saya jadi tenaga honor belum diangkat jadi PNS Bahkan saya sudah 4 kali mengikuti ujian, dan membayar 70 jt namun hailnya nol uang pun tidak kembali, bahkan saya sempat putus asah, pada suatu hari sekolah tempat saya mengajar mendapat tamu istimewa dari salah seorang pejabat tinggi dari kantor BKN pusat karena saya sendiri mendapat penghargaan pengawai honorer teladan, disinilah awal perkenalan saya dengan beliau, dan secara kebetulan beliau menitipkan nomor hp pribadinya dan 3 bln kemudian saya pun coba menghubungi beliau dan beliau menyuruh saya mengirim berkas saya melalui email, Satu minggu kemudian saya sudah ada panggilan ke jakarta untuk ujian, alhamdulillah berkat bantuan beliau saya pun bisa lulus dan SK saya akhirnya bisa keluar,dan saya sangat berterimah kasih ke pada beliau dan sudah mau membantu saya, itu adalah kisah nyata dari saya, jika anda ingin seperti saya, anda bisa Hubungi Bpk Drs Tauhid SH Msi No Hp 0853-1144-2258. siapa tau beliau masih bisa membantu anda, Wassalamu Alaikum Wr Wr ..
BalasHapus