Langsung ke konten utama

IMPOR REKTOR UNTUK PTN KITA

Oleh : DARMANINGTYAS
Penulis buku Melawan Liberalisasi Pendidikan
Dimuat di Koran Tempo Rabu, 15 Juni 2016

Rendahnya kualitas pendidikan tinggi kita, terutama pendidikan tinggi negeri (PTN) membuat Menteri Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Menristek Dikti) M. Nasir gusar sehingga entah bercanda atau serius menyatakan gagasannya agar Rektor dipegang oleh orang asing. Ia mencontohkan Arab Saudi, China, dan Singapura yang memakai orang asing untuk menjadi rektor. King Saud University yang dulu tidak diperhitungkan sekarang masuk peringkat 200 dunia. Namun gagasan yang dilontarkan saat mengunjungi Universitas Negeri Surabaya (2/6 2016) itu langsung menuai respon pro dan kontra.

Pernyataan Menteristek Dikti itu secara empiri bisa dibuktikan di lapangan, tapi jika diterapkan di Indonesia belum tentu memberikan hasil yang sama karena tantangannya amat berbeda. PT (Perguruan Tinggi) di Indonesia, baik PTN maupun PTS (Perguruan Tinggi Swasta) mengalami permasalahan birokrasi dan politik yang akut. Birokrasi itu diciptakan oleh Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (sekarang Kemenristek Dikti) maupun Kementrian Keuangan, yang harus ditaati oleh PTN/PTS.
Lahirnya UU No. 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi yang semula diharapkan menjadi solusi untuk menjadikan PT kita berdaya, ternyata hanya pepesan kosong saja. Birokrasi pendidikan masih bercokol dengan adanya suara menteri 35% dalam pemilihan rektor di PTN. Calon rektor yang hebat seperti apa pun kalau tidak mendapat dukungan Menteri, tidak akan terpilih. Oleh karena itu, kesibukan pada saat akan pemilihan rektor di PTN adalah lobi terhadap orang-orang dekat Menteri untuk mendapatkan dukungan Menteri, bukan menyiapkan program yang dapat meyakinkan Senat Guru Besar atau sivitas akademika umumnya untuk memilih dirinya sebagai rektor. Akhirnya yang terpilih jadi rektor di PTN belum tentu yang terbaik, tapi orang yang memiliki jaringan dengan Menteri.
Sedangkan birokrasi keuangan itu terlihat dari seragamnya aturan keuangan negara untuk semua instansi pemerintah dan jenis layanan yang tidak memberikan fleksibilitas bagi layanan public sehinggar merepotkan PTN kita? Contoh mekanisme keuangan yang tidak akomodatif terhadap kebutuhan PTN itu adalah anggaran untuk kebutuhan praktikum atau penelitian. Alat-alat atau perlengkapan praktikum itu harus tersedia begitu semester awal dimulai. Semester genap umumnya dimulai bulan Februari, tapi pada bulan tersebut APBN belum tentu cair. Demikian pula dana riset seringkali cair setelah bulan Agustus, sehingga sangat menyulitkan untuk kegiatan riset yang memerlukan waktu panjang (lebih dari enam bulan), akibatnya, kegiatan riset di PTN mayoritas sekadar untuk memenuhi target penelitian saja dengan mengabaikan outcome-nya, karena penganggarannya tidak mendukung untuk hasil riset yang bagus.
Secara politis, hal yang membuat PTN kita sulit maju adalah pola rekruitmen calon dosen yang lebih didasarkan pada sentimen primordialisme, baik itu agama, organisasi ekstra, suku, maupun kedaerahan. Jika yang menjadi pimpinan universitas/fakultas/jurusan adalah aktivis dari GMNI/HMI/PMII, dan sebagainya; maka dosen yang akan banyak direkrut ya dari kelompok tersebut, sehingga yang terjadi adalah monokultur, bukan multikultural. Sulit sekali di PTN kita mendapatkan dosen dari etnis Thionghoa. Bukan karena mereka tidak minat menjadi dosen, tapi tidak ada yang merekomendasikannya. Atau sulit mendapatkan orang Jawa menjadi pimpinan di Universitas Padjadjaran (Unpad) Bandung, dari rektor, dekan, hingga ketua jurusan didominasi orang Sunda.
Fenomena yang menjalar di semua PTN kita itu merupakan bukti nyata bahwa dasar rekruitmen dosen di PTN tidak semata-mata karena kepandaian si calon dosen, tapi lebih karena adanya ikatan-ikatan primordialisme. Siapa yang merekomendasikan seseorang itu untuk dapat diterima menjadi dosen itu jauh lebih penting daripada kompetensi yang dimiliki si calon dosen. Akibatnya, di PTN-PTN kita tidak tumbuh iklim akademik yang bagus karena rasa ewuh pakewuh (serba tidak enak) pada senior amat tinggi, karena sang senior itulah yang merekrut dirinya menjadi dosen.
Persoalan lain adalah dosen PTN kita umumnya lulusan dari PTN yang sama, jarang sekali terjadi silang lulusan, kecuali dari PTN terkemuka ke PTN yang di bawahnya, tapi PTN yang sejajar umumnya dari alumninya. Sebagai contoh, dosen UI lulusan UI, dosen UGM lulusan UGM, dosen ITB adalah lulusan ITB, dan seterusnya. Mereka yang berasal dari lain PTN menjadi orang pinggiran. Meskipun mereka cerdas, kompeten, dan memiliki integritas; tetap saja dipandang sebagai warga kelas dua (pendatang), sehingga tidak dilibatkan perencanaan universitas dan sulit menduduki jabatan struktural. Ini bukan kasusistik, tapi fenomena umum di semua PTN.
Kondisi di PTS tidak lebih baik, sebaliknya lebih buruk lagi, sangat tergantung pada kepemilikan PTS. PTS-PTS yang didirikan dan dikelola oleh yayasan keagamaan dan nasional jauh lebih lebih baik, termasuk manusiawi dalam memberlakukan para dosennya karena ada misi yang mereka pertaruhkan. Tapi PTS-PTS yang didirikan oleh yayasan keluarga dan orientasinya lebih pada meninggalkan warisan untuk anak cucu, umumnya kurang berorientasi pada kualitas, yang penting mahasiswa banyak sehingga pendapatan lembaga banyak. Para dosen tidak diberlakukan sebagai asset, tapi sekadar tenaga kerja biasa yang amat butuh pekerjaan. Pada PTS-PTS seperti itu, kita tidak berharap kualitas, kecuali kuantitas yang setiap tahun menghasilkan sarjana-sarjana yang akan menambah barisan angka pengangguran. Terhadap kondisi PTS ini pemerintah hanya bisa menetapkan standar-standar, termasuk standar gaji minimum yang harus dibayarkan kepada dosen, bila di bawah standar minimum yang ditetapkan oleh pemerintah, PTS tersebut dapat dikenai sanksi ringan sampai berat (penutupan).
Ubah Regulasi
Akar masalah PTN kita jelas, yaitu birokratisasi baik administrative maupun keuangan, serta politis. Oleh itu, solusinya bukan dengan mengimpor rektor dari luas (asing), tapi benahi regulasinya. Rektor Universitas Harvard sekalipun jika diangkat menjadi rektor PTN tidak akan mampu memajukan PTN di Indonesia manakala birokrasi kita masih seperti saat ini, baik birokrasi di Kemenristek Dikti, Keuangan, maupun PAN-RAB (yang mengurusi jabatan ASN=Aparatur Sipil Negara). Mungkin yang bisa dilakukan oleh rektor impor itu adalah mengubah pola rekruitmen dosen yang bersifat primordialisme sectarian, menjadi lebih akademis karena mereka tidak memiliki ikatan primordialisme, tapi memajukan PTN sulit diharapkan bila birokrasi pendidikan dan keuangannya menjerat seperti sekarang ini. Oleh karena itu yang perlu diubah adalah birokrasi pendidikan dan keuangannya. Menteri Ristek Dikti perlu memberikan otonomi penuh kepada PTN untuk mengelola kampus yang dipimpinnya. Sedangkan mekanisme penggunaan anggaran negara untuk PTN perlu dibuat lebih fleksibel agar lebih mengakomodasi kebutuhan layanan publik, termasuk PTN.
Pada saat penyusunan RUU Pendidikan Tinggi dulu penulis sudah mengingatkan bahwa UU tersebut kelak tidak akan membuat PT kita lebih berdaya bila mekanisme penganggaran untuk layanan public, termasuk untuk PTN tidak direvisi yang lebih mendukung pengembangan PT. UU No. 17/2003 tentang Keuangan Negara sebetulnya tidak terlalu detail mengatur penggunaan APBN/APBD, tapi entah dalam implementasinya amat rigid sehingga tidak memberikan kebebasan kepada pengelola PTN untuk berkreativitas dan berinovasi, meskipun kelembagaan PTN telah berubah menjadi PT BH (Pendidikan Tinggi Badan Hukum). Kunci pengembangan PTN kita adalah pada sistem penganggarannya yang tidak mendukung PTN untuk maju, maka itu yang perlu dibenahi, bukan mendatangkan orang asing untuk menjadi rektor.

Komentar

  1. Assalamu Alaikum wr-wb, perkenalkan nama saya ibu Rosnida zainab asal Kalimantan Timur, saya ingin mempublikasikan KISAH KESUKSESAN saya menjadi seorang PNS. saya ingin berbagi kesuksesan keseluruh pegawai honorer di instansi pemerintahan manapun, saya mengabdikan diri sebagai guru disebuah desa terpencil, dan disini daerah tempat saya mengajar hanya dialiri listrik tenaga surya, saya melakukan ini demi kepentingan anak murid saya yang ingin menggapai cita-cita, Sudah 9 tahun saya jadi tenaga honor belum diangkat jadi PNS Bahkan saya sudah 4 kali mengikuti ujian, dan membayar 70 jt namun hailnya nol uang pun tidak kembali, bahkan saya sempat putus asah, pada suatu hari sekolah tempat saya mengajar mendapat tamu istimewa dari salah seorang pejabat tinggi dari kantor BKN pusat karena saya sendiri mendapat penghargaan pengawai honorer teladan, disinilah awal perkenalan saya dengan beliau, dan secara kebetulan beliau menitipkan nomor hp pribadinya dan 3 bln kemudian saya pun coba menghubungi beliau dan beliau menyuruh saya mengirim berkas saya melalui email, Satu minggu kemudian saya sudah ada panggilan ke jakarta untuk ujian, alhamdulillah berkat bantuan beliau saya pun bisa lulus dan SK saya akhirnya bisa keluar,dan saya sangat berterimah kasih ke pada beliau dan sudah mau membantu saya, itu adalah kisah nyata dari saya, jika anda ingin seperti saya, anda bisa Hubungi Bpk Drs Tauhid SH Msi No Hp 0853-1144-2258. siapa tau beliau masih bisa membantu anda, Wassalamu Alaikum Wr Wr ..

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

BIODATA DARMANINGTYAS

BIODATA DARMANINGTYAS, menggeluti pendidikan sejak mulai menjadi mahasiswa baru di UGM, Agustus 1982 dengan menjadi guru di SMP Binamuda dan SMA Muhammadiyah Panggang, Gunungkidul, DIY. Pendidikan formalnya cukup Sarjana Filsafat Universitas Gadjah Mada (UGM) dan selebihnya otodidak. Gelar “Profesor Doktor” diperoleh dari undangan, sertifikat, piagam, spanduk, dan sejenisnya; sebagai bentuk pengakuan nyata dari masyarakat.

Masyarakat Diajak Adaptasi

Pemerintah, melalui lembaga dan kementerian, mengeluarkan peraturan dan edaran perihal protokol atau pedoman kesehatan. Protokol itu berlaku di tempat masyarakat, industri, sektor jasa, dan perdagangan.

REFLEKSI DARI PELATIHAN GURU SASARAN DI LAMPUNG

Berikut saya sampaikan refleksi saya tatkala mendapat tugas untuk membuka dan kasih pengarahan pada pelatihan guru sasaran di Lampung tanggal 9 Juli lalu. Semoga refleksi in dapat menjadi bahaperbaikan proses pelatihan guru yang akan dating sehingga menjadi lebih baik.