Langsung ke konten utama

TRANSPORTASI DAN PARIWISATA

OLEH: DARMANINGTYAS
KETUA BIDANG ADVOKASI MTI
(MASYARAKAT TRANSPORTASI INDONESIA)
OPINI DI SUARA PEMBARUAN, 4 JANUARI 2016

Menteri Koordinator (Menko) Maritim dan Sumber Daya Rizal Ramli mengemukakan bahwa Pemerintah memastikan Badan Otoritas Pariwisata (BOP) terbentuk pada Januari 2016 dengan menjadikan kawasan wisata Danau Toba, Sumatra Utara sebagai proyek percontohan (pilot project), menyusul sembilan destinasi wisata lainnya, yakni Tanjung Kelayar (Belitung), Tanjung Lesung (Banten), Kepulauan Seribu (DKI Jakarta), Borobudur (Jawa Tengah), Bromo (Jawa Timur), Mandalika (NTB), Labuan Bajo (NTT), Wakatobi (Sulawesi Tenggara), dan Morotai (Maluku Utara). Badan Otoritas Pariwisata (BOP) ini nanti berwenang membangun infrastruktur dasar, seperti jalan raya, pelabuhan, bandara, jaringan internet, dan fasilitas perhotelan (Suara Pembaruan, 29/12 hal.8).  


Secara politis, pembentukan Badan Otoritas Pariwisata ini mencerminkan adanya kehendak yang kuat dari pemerintah untuk menjadikan sektor pariwisata sebagai garda depan pengembangan ekonomi nonmigas. Pentingnya pengembangan sektor pariwisata itu juga dikemukakan oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) saaat peresmian bandar udara Komodo di Labuan Bajo, Nusa Tenggara Timur (NTT), 27 Desember 2015 lalu. Menurut Jokowi, pengembangan Bandara Komodo sangat penting untuk percepatan pengembangan ekonomi di NTT terutama Flores dan sekitarnya.

Penulis sependapat bahwa pariwisata di Indonesia memang harus dikembangkan sebagai basis pengembangan ekonomi nasional. Dalam banyak kesempatan berbicara di depan para mahasiswa atau guru, penulis selalu menyampaikan kepada mereka, bahwa potensi wisata (alam maupun budaya) Malaysia, Singapura, dan Thailand jauh lebih sedikit dibandingkan dengan potensi wisata (alam maupun budaya) Indonesia, tapi jumlah kunjungan wisata mereka dua kali lipat dibandingkan dengan wisatawan yang berkunjung ke Indonesia. Ini artinya ada yang kerilu dalam pengelolaan pariwisata di Indonesia, baik itu menyangkut soal promosi, penyediaan infrastruktur pendukung, maupun pengelolaan lokasi-lokasi wisata itu sendiri sehingga perlu dibenahi. Tanpa ada pembenahan mendasar, kunjungan wisatawan ke Indonesia akan stagnan pada kisaran angka 7-9 juta wisatawan saja.

Namun pembenahan mendasar sektor pariwisata itu tidak harus dengan membentuk badan baru untuk mengurus pariwisata, mengingat telah ada Mentri Pariwisata, yang memang bertugas untuk mengembangkan pariwisata nasional. Pembentukan Badan Otoritas Pariwisata (BOP) tidak diperlukan lagi, karena selain dapat menimbulkan inefisiensi anggaran, juga dapat menimbulkan konflik antar sektor.  Mengapa? Pertama, pemilik lokasi-lokasi wisata itu adalah Pemerintah Daerah (Pemda),dan mereka tentu memiliki program sendiri untuk pengembangan wisata di daerahnya,  sehingga yang diperlukan adalah memperkuat kapasitas daerah agar mampu mengelola wisata di daerahnya menjadi lebih baik. Kedua, kewenangan yang dimiliki oleh BOP salah satunya untuk membangun infrastruktur dasar, seperti jalan raya, pelabuhan, bandara, dan jaringan internet dapat bertabrakan dengan kewenangan kementerian teknis yang selama ini tugas dan fungsinya membangun infrastruktur dasar dan jaringan internet. Yang diperlukan adalah koordinasi dan sinergi antar Kementrian/Lembaga (K/L) teknis yang memiliki tugas dan fungsi untuk pengembangan infrastruktur dasar dan pengembangan jaringan internet itu dengan Kementrian Pariwisata maupun dengan Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota.

Peran Transportasi

Keberadaan infrastruktur transportasi yang handal, baik berupa jalan, rel, pelabuhan, dan bandara sebagai penunjang pariwisata itu disadari oleh semua pihak. Industri pariwisata hanya dapat berkembang pada daerah yang memiliki infrastruktur transportasinya bagus. Oleh karena itu, pengembangan industri pariwisata tidak dapat dilepaskan dari pengembangan infrastruktur transportasi. Ambil contoh kasus di Raja Ampat di Papua, meskipun lokasi wisata di sana dikenal memiliki keindahan laut yang sangat eksotik, tapi karena infrastruktur transportasinya jelek, maka kunjungan wisata ke sana masih amat terbatas, dan lebih banyak bule-bule yang memiliki tradisi nyelam cukup tinggi, sebaliknya wisatawan nasional justru jarang karena dinilai terlalu mahal. Banyak lokasi wisata nasional yang tidak berkembang lantaran tidak didukung oleh infrastruktur transportasi yang memadai. Jaringan internet yang buruk tidak menjadi alasan seseorang untuk tidak berkunjung ke suatu lokasi wisata asalkan prasarana dan sarana transportasinya bagus.

Kebutuhan akan internet yang tinggi dalam sektor pariwisata sesungguhnya baru muncul kurang dari dua dekade terakhir. Bahkan banyak wisatawan asing yang di negaranya sana teknologi internet telah berkembang lama, justru mencari lokasi-lokasi wisata yang masih asli dan belum ada jaringan internetnya demi menikmati kehidupan alam yang asli. Jaringan internet yang bagus justru dapat mereka anggap mengganggu privacy.Tapi kebutuhan infrastruktur transportasi yang bagus untuk sampai ke lokasi wisata merupakan kebutuhan mendasar, mutlak, dan tidak tergantikan. Pertanyaan pertama seseorang ketika menyebut lokasi wisata yang indah adalah “bagaimana jalur menuju ke lokasi tersebut?”. Pertanyaan tersebut adalah pertanyaan tentang transportasi, baik prasarana (jalan, rel, pelabuhan, dan bandara) maupun sarana (armada). Prasana dan sarana transportasi untuk pariwisata itu harus lengkap. Tersedia prasarana yang bagus, tapi kalau sarananya minim, wisatawan juga tidak sampai tujuan. Demikian pula tersedia sarana tapi bila infrastruktur jalan, pelabuhan, atau bandara jelek; orang juga malas datang karena khawatir aspek keselamatannya. Jadi prasarana dan sarana transportasi untuk menunjang pariwisata itu ibarat dua sisi mata uang, tidak bisa dipisahkan karena saling memberi makna.

Kesadaran akan peran transportasi dalam menunjang pariwisata itu sesungguhnya sudah lama dimiliki oleh para pengambil kebijakan, tapi pada tingkat implementasinya sering tidak ada sinergi, karena sepanjang pengetahuan penulis berinteraksi dengan kementrian teknis, belum pernah melihat antar Kementrian Teknis itu duduk bersama untuk membangun infrastruktur transportasi dengan melibatkan Kementrian Pariwisata misalnya, seakan semua berdasarkan asumsi saja. Kajian akan pengembangan kebutuhan infrastruktur transportasi memang dilakukan, tapi kajian tersebut juga tidak pernah melibatkan Kementrian/Lembaga (K/L) terkait, selalu hanya antar direktorat dalam suatu kementrian saja. Akhirnya, pengembangan infrastuktur transportasi di suatu daerah belum tentu mendukung pengembangan industri wisata di daerah tersebut. Meskipun demikian, tidak perlu ada Badan Otoritas Pariwisata yang berwenang membangun infrastruktur dasar. Yang diperlukan adalah sinergi dan koordinasi antar Kementrian Teknis di dalam membangun infrastruktur dasar jalan, jaringan rel, pelabuhan, dan bandara yang dibangun di suatu daerah itu menunjang pengembangan wisata di daerah tersebut. Jika sama-sama tidak ada sinergi dan koordinasi yang baik, pembentukan badan khusus yang diserahi tanggung jawab membangun infrastruktur dasar dapat menimbulkan konflik antar K/L. Sumber konflik itu nanti pada skop pekerjaan yang dilakukan oleh Kementrian Teknis dan Badan Otoritas Pariwisata.

Selama ini Kementrian Teknis bekerja berdasarkan UU teknis. Sebagai contoh, Kementrian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) bekerja berdasarkan UU No. 38 Tahun 2004 tentang Jalan, dan Kementrian Perhubungan bekerja berdasarkan sejumlah UU sektoral (LLAJ, Perkeretaapian, Pelayaran, dan Udara). Pada setiap UU teknis itu terdapat pembagian kewenangan antara Pemerintah, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah Daerah; seperti misalnya jalan nasional dibangun oleh Pemerintah, jalan provinsi oleh Pemerintah Provinsi, dan jalan daerah oleh Pemerintah Daerah. Pembangian kewenangan sejenis juga ada pada UU sektoral di lingkungan Kementrian Perhubungan. Bila kemudian Badan Otoritas Pariwisata juga memiliki kewenangan untuk membangun infrastruktur dasar, maka pertanyaannya adalah bagaimana pembagian kewenangannya dengan Kementrian Teknis serta dengan Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Daerah? Tanpa ada sinergi dan koordinasi yang bagus dapat menimbulkan tumpang tindih program, sehingga di satu sisi menimbulkan inefisiensi anggaran, di sisi lain ada tempat-tempat lain yang kurang diperhatikan karena semua terfokus pada lokasi tertentu.

Penulis melihat bahwa akar masalahnya sekarang adalah pada sinergi dan koordinasi antara K/L. Oleh karena itu penyelesaiannya tidak dengan membentuk badan baru, melainkan meningkatkan sinergi dan koordinasi lintas sector. Bila desain besar (grand design) industri pariwisata akan dijadikan sebagai basis pengembangan ekonomi bangsa, maka diperlukan sinergi dan koordinasi antar K/L terkait sehingga pembangunan infrastruktur transportasi, perdagangan, dan jasa karena ketiganya itu terkait erat dengan pariwisata. Baik Pemda, Pemprov, maupun K/L terkait perlu sering duduk bersama membuat perencanaan program secara sinergis sehingga program satu dan lainnya saling menunjang tanpa memerlukan bentukan lembaga khusus. Perencanaan pembangunan infrastruktur transportasi, baik itu jalan raya, rel kereta api, pelabuhan, dan bandara wajib melihat potensi wisata suatu daerah; sehingga selain terjadi optimalisasi fungsi ifrastruktur transportasi, pengembangan pariwisata tidak memerlukan lagi badan khusus untuk menyiapkan infrastruktur dasarnya sehingga meminimalisir konflik antar K/L.



Komentar

  1. Assalamu Alaikum wr-wb, perkenalkan nama saya ibu Rosnida zainab asal Kalimantan Timur, saya ingin mempublikasikan KISAH KESUKSESAN saya menjadi seorang PNS. saya ingin berbagi kesuksesan keseluruh pegawai honorer di instansi pemerintahan manapun, saya mengabdikan diri sebagai guru disebuah desa terpencil, dan disini daerah tempat saya mengajar hanya dialiri listrik tenaga surya, saya melakukan ini demi kepentingan anak murid saya yang ingin menggapai cita-cita, Sudah 9 tahun saya jadi tenaga honor belum diangkat jadi PNS Bahkan saya sudah 4 kali mengikuti ujian, dan membayar 70 jt namun hailnya nol uang pun tidak kembali, bahkan saya sempat putus asah, pada suatu hari sekolah tempat saya mengajar mendapat tamu istimewa dari salah seorang pejabat tinggi dari kantor BKN pusat karena saya sendiri mendapat penghargaan pengawai honorer teladan, disinilah awal perkenalan saya dengan beliau, dan secara kebetulan beliau menitipkan nomor hp pribadinya dan 3 bln kemudian saya pun coba menghubungi beliau dan beliau menyuruh saya mengirim berkas saya melalui email, Satu minggu kemudian saya sudah ada panggilan ke jakarta untuk ujian, alhamdulillah berkat bantuan beliau saya pun bisa lulus dan SK saya akhirnya bisa keluar,dan saya sangat berterimah kasih ke pada beliau dan sudah mau membantu saya, itu adalah kisah nyata dari saya, jika anda ingin seperti saya, anda bisa Hubungi Bpk Drs Tauhid SH Msi No Hp 0853-1144-2258. siapa tau beliau masih bisa membantu anda, Wassalamu Alaikum Wr Wr ..

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

BIODATA DARMANINGTYAS

BIODATA DARMANINGTYAS, menggeluti pendidikan sejak mulai menjadi mahasiswa baru di UGM, Agustus 1982 dengan menjadi guru di SMP Binamuda dan SMA Muhammadiyah Panggang, Gunungkidul, DIY. Pendidikan formalnya cukup Sarjana Filsafat Universitas Gadjah Mada (UGM) dan selebihnya otodidak. Gelar “Profesor Doktor” diperoleh dari undangan, sertifikat, piagam, spanduk, dan sejenisnya; sebagai bentuk pengakuan nyata dari masyarakat.

Masyarakat Diajak Adaptasi

Pemerintah, melalui lembaga dan kementerian, mengeluarkan peraturan dan edaran perihal protokol atau pedoman kesehatan. Protokol itu berlaku di tempat masyarakat, industri, sektor jasa, dan perdagangan.

REFLEKSI DARI PELATIHAN GURU SASARAN DI LAMPUNG

Berikut saya sampaikan refleksi saya tatkala mendapat tugas untuk membuka dan kasih pengarahan pada pelatihan guru sasaran di Lampung tanggal 9 Juli lalu. Semoga refleksi in dapat menjadi bahaperbaikan proses pelatihan guru yang akan dating sehingga menjadi lebih baik.