Langsung ke konten utama

PENDIDIKAN TOLERANSI

OLEH: DARMANINGTYAS
Pengurus DHN (Dewan Harian Nasional) 45 
Dimuat di Koran Tempo Senin, 27 Juli 2015

Paska reformasi politik (1998) wacana pendidikan multikutural sempat mengemuka, sebagai counter terhadap kebijakan pendidikan masa Orde Baru yang Jawa centris dan kurang memberikan ruang bagi berkembangnya potensi lokal. Melalui pendidikan multikultural diharapkan perbedaan-perbedaan yang ada, baik itu agama, etnis, suku, dan bahasa ibu bukan menjadi pemicu konflik, tapi diterima sebagai realitas hidup. Namun apa yang diharapkan bertolak belakang dengan realitas di lapangan. Hal itu tidak terlepas dari dinamika politik yang berkembang paska reformasi yang melahirkan multi partai dengan asas yang beragam.


Adanya kebebasan bagi pratai politik untuk menentukan asas partai, termasuk berasaskan ajaran agama, disadari atau tidak menimbulkan benturan dengan pendidikan multikultural. Sebab substansi pendidikan multikultural adalah mencairkan relasi antar manusia yang tersekat oleh perbedaan-perbedaan agama, etnis, suku, dan budaya; sedangkan Parpol dengan berbasiskan pada ajaran agama justru memperkuat skat-skat tersebut. Kebijakan-kebijakan pendidikan nasional ditentukan oleh Parpol, termasuk yang berasaskan agama, bukan oleh penggagas pendidikan multikultural.

Wacana pendidikan multikultural selain tidak masuk ke mainstream, juga terjebak pada perumusan konsep dan metode. Padahal, pendidikan multikultural lebih pada substansi. Muncullah kontradiksi. Pendidikan masa Orde Baru yang akan dikoreksi melalui pendidikan multikultural, ternyata jauh lebih multikultur dibandingkan pendidikan paska reformasi. Praksis pendidikan paska reformasi justru semakin monokultural dan mono agama.

Pada tingkat praksis, pendidikan sejak awal kemerdekaan hingga Orde Baru lebih multi kultur. Sebagai contoh, ucapan salam perjumpaan/perpisahan selalu mengacu pada dimensi waktu (pagi, siang, sore, atau malam); dan pada saat berdoa selalu akan dikatakan “mari kita berdoa menurut agama dan keyakinan masing-masing”. Ajakan ini mencerminkan dihargainya orang yang memiliki keyakinan lain (aliran kepercayaan dan sejenisnya) di luar agama resmi yang diakui oleh Pemerintah. Itu artinya, ucapan salam maupun doa itu dibuat inklusif, sehingga semua murid memperoleh perlakuan yang sama, tidak ada yang merasa diistimewakan, tapi juga tidak ada yang merasa didiskriminasikan.

Paska reformasi politik, di mana konsep pendidikan multikultural mulai diperkenalkan, praksis pendidikan justru terbalik. Pada saat ini, ucapan salam perjumpaan/perpisahan merujuk pada agama mayoritas. Sekolah-sekolah di daerah yang mayoritas beragama Muslim, ucapan salamnya adalah Assalamualaikum (as-salāmu 'alaykum); di daerah yang mayoritas Kristen, ucapan salamnya adalah Syaloom; sedangkan di daerah yang mayoritas warga/muridnya beragama Hindu, ucapan salam perjumpaan/perpisahannya adalah Om Swastiastu. Demikian pula pada saat berdoa permulaan/mengakhiri pelajaran atau kepentingan lain, berdoa menurut agama mayoritas. Padahal, di dalam kelas tersebut ada sejumlah murid yang menganut agama lain, bahkan mungkin keyakinan lain. Itu artinya, anak-anak yang minoritas menjadi tereksklusikan, baik pada saat mengucapkan salam maupun saat berdoa. Ironisnya, kecenderungan kuat monokultur itu justru terjadi di sekolah-sekolah negeri yang hingga akhir Orde Baru menjadi pilihan pertama bagi orang tua murid untuk menyekolahkan anaknya tanpa mengalami hambatan-hambatan agama, etnis, suku, dan budaya.

Kecenderungan monokultur itu juga tercermin pada pakaian seragam yang dipakai. Pada masa Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Daoed Joesoef menciptakan seragam nasional tunggal (merah-merah untuk SD, biru-putih untuk SMP, abu-abu-putih untuk SMTA) bertujuan untuk membangun kebersamaan dan mengurangi kesenjangan sosial, karena kaya-miskin pakaiannya sama. Nasionalisme dibangun dari kebarsamaan tersebut. Tapi saat ini, pakaian seragam, terutama untuk murid perempuan, menjadi identitas diri dan sekaligus pembeda mengenai agama yang dianutnya. Lagi-lagi kecenderungan ini juga menguat di sekolah-sekolah negeri yang seharusnya justru lebih plural.

Kita semua menyadari bahwa praksis pendidikan yang monokultur dan mengeklusikan murid minoritas tersebut perlu segera ditinggalkan karena kurang sesuai dengan karakter bangsa dan negara kita yang memiliki keragaman agama, etnis, suku, dan budaya. Praksis pendidikan semacam itulah yang akan melahirkan orang-orang yang kurang menghargai perbedaan di masyarakat. Keragaman agama, etnis, suku, dan budaya yang kita miliki perlu dikelola dengan memberikan pendidikan yang mampu mengajarkan toleransi kepada anak-anak sejak dini, agar ketika besar mereka terbiasa dengan perbedaan yang tidak menimbulkan persoalan. Tindakan-tindakan intoleransi yang sering terjadi di negeri ini –terbaru terjadi di Kabupaten Tolikara, Papua, 17 Juli 2015 lalu—lahir dari pemahaman yang sempit terhadap perbedaan-perbedaan yang ada di masyarakat. Sayang sekali bila kebijakan maupun praksis pendidikan nasional justru memupuk subur sikap eksklusivisme sejak dini dan secara sistematis. Bila diteruskan, cepat atau lambat, praksis pendidikan yang demikian akan menggoyang sendi-sendi persatuan bangsa.  


Komentar

  1. Assalamu Alaikum wr-wb, perkenalkan nama saya ibu Rosnida zainab asal Kalimantan Timur, saya ingin mempublikasikan KISAH KESUKSESAN saya menjadi seorang PNS. saya ingin berbagi kesuksesan keseluruh pegawai honorer di instansi pemerintahan manapun, saya mengabdikan diri sebagai guru disebuah desa terpencil, dan disini daerah tempat saya mengajar hanya dialiri listrik tenaga surya, saya melakukan ini demi kepentingan anak murid saya yang ingin menggapai cita-cita, Sudah 9 tahun saya jadi tenaga honor belum diangkat jadi PNS Bahkan saya sudah 4 kali mengikuti ujian, dan membayar 70 jt namun hailnya nol uang pun tidak kembali, bahkan saya sempat putus asah, pada suatu hari sekolah tempat saya mengajar mendapat tamu istimewa dari salah seorang pejabat tinggi dari kantor BKN pusat karena saya sendiri mendapat penghargaan pengawai honorer teladan, disinilah awal perkenalan saya dengan beliau, dan secara kebetulan beliau menitipkan nomor hp pribadinya dan 3 bln kemudian saya pun coba menghubungi beliau dan beliau menyuruh saya mengirim berkas saya melalui email, Satu minggu kemudian saya sudah ada panggilan ke jakarta untuk ujian, alhamdulillah berkat bantuan beliau saya pun bisa lulus dan SK saya akhirnya bisa keluar,dan saya sangat berterimah kasih ke pada beliau dan sudah mau membantu saya, itu adalah kisah nyata dari saya, jika anda ingin seperti saya, anda bisa Hubungi Bpk Drs Tauhid SH Msi No Hp 0853-1144-2258. siapa tau beliau masih bisa membantu anda, Wassalamu Alaikum Wr Wr ..

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

BIODATA DARMANINGTYAS

BIODATA DARMANINGTYAS, menggeluti pendidikan sejak mulai menjadi mahasiswa baru di UGM, Agustus 1982 dengan menjadi guru di SMP Binamuda dan SMA Muhammadiyah Panggang, Gunungkidul, DIY. Pendidikan formalnya cukup Sarjana Filsafat Universitas Gadjah Mada (UGM) dan selebihnya otodidak. Gelar “Profesor Doktor” diperoleh dari undangan, sertifikat, piagam, spanduk, dan sejenisnya; sebagai bentuk pengakuan nyata dari masyarakat.

Masyarakat Diajak Adaptasi

Pemerintah, melalui lembaga dan kementerian, mengeluarkan peraturan dan edaran perihal protokol atau pedoman kesehatan. Protokol itu berlaku di tempat masyarakat, industri, sektor jasa, dan perdagangan.

REFLEKSI DARI PELATIHAN GURU SASARAN DI LAMPUNG

Berikut saya sampaikan refleksi saya tatkala mendapat tugas untuk membuka dan kasih pengarahan pada pelatihan guru sasaran di Lampung tanggal 9 Juli lalu. Semoga refleksi in dapat menjadi bahaperbaikan proses pelatihan guru yang akan dating sehingga menjadi lebih baik.