Langsung ke konten utama

Memberesi Transportasi di Jakarta

Oleh: Darmaningtyas
Penulis adalahKetua Instran (Institut Studi Transportasi) di Jakarta
Dimuat di Harian Sore Suara Pembaruan, Selasa 23 Juni 2015

Kota Jakarta baru saja merayakan usianya yang ke-488 tahun. Usia itu dihitung sejak Fatahillah berhasil menundukkan Portugis dan mengganti nama dari Sunda Kelapa menjadi Jayakarta pada tanggal 22 Juni 1527. Pada masa Walikota Jakarta dijabat oleh Soediro (1953-1958) kajian mengenai HUT Kota Jakarta itu dilakukan dengan membentuk tim yang terdiri dari Mr. Mohamad Yamin, Dr. Soekatno, dan wartawan senior Sudarjo Tjokrosiswoyo . Hasilnya, tanggal 22 Juni 1527 itulah yang mendekati, sehingga jadilah tiap 22 Juni diadakan sidang istimewa DPRD Kota Jakarta sebagai tradisi memperingati berdirinya Kota Jakarta. Pada usianya yang ke-488 itu, Jakarta dihadapkan pada berbagai persoalan yang semakin kompleks seiring dengan pertumbuhan jumlah penduduk, yang saat ini telah mencapai lebi h dari 9,7 juta jiwa.


Bertambahnya jumlah penduduk di wilayah Bogor, Depok, Tangerang , dan Bekasi (Bodetabek) yang sebagian melakukan mobilitas geografis ke Jakarta setiap hari, semakin menambah beban Kota Jakarta. Saat ini, jumlah perjalanan di Kota Jakarta telah mencapai lebih dari 30 juta perjalanan per hari, baik yang melakukan pergerakan di dalam kota Jakarta maupun ulang-alik Jakarta – Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi. Jumlah perjalanan yang begitu besar itu menuntut penyediaan sarana transportasi umum yang memadai. Namun karena sampai sekarang belum tersedia transportasi umum yang aman, nyaman, selamat, dan lancar; maka banyak warga yang mengandalkan kendaraan pribadi. 

Jumlah kendaraan roda dua dan empat di wilayah DKI Jakarta sekarang telah mencapai lebih dari 10 juta, sedangkan angkutan umumnya hanya 22.000 saja; suatu jumlah yang amat timpang. Konsekuensinya , mayoritas perjalanan di Jakarta mengandalkan kendaraan pribadi. Makin banyak jumlah kendaraan pribadi yang beroperasi, semakin menambah Kota Jakarta dan semakin menurunkan kinerja angkutan umum, dan kemudian melahirkan lingkaran setan tentang buruknya angkutan umum di Jakarta. Jika pada tahun 2002 jumlah pengguna angkutan umum masih 52%, pada berdasarkan hasil kajian JUTPI 2010, pengguna angkutan umum tinggal 13% saja. Faktor ketidak-amanan, ketidak-nyaman, dan ketidak selamatan sering menjadi penyebab warga enggan menggunakan angkutan umum. 

Transjakarta Busway (TJ) merupakan moda transportasi massal berbasis bus yang oleh Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso pada saat itu dirancang untuk memenuhi kebutuhan transportasi warga Jakarta yang aman, selamat, nyaman, tepat waktu, serta terjangkau; sehingga warga Jakarta diharapkan dapat meninggalkan kendaraan pribadinya dan beralih ke Transjakarta Busway. Namun karena tidak ada konsistensi dari pemimpin satu ke pemimpin berikutnya dalam mengembangkan TJ, akhirnya perkembangan TJ sekarang makin terseok-seok. Jumlah penumpang sejak 2012 terus menurun secara signifikan, padaha l subsidinya naik . Manajemen TJ juga menerapkan sistem tiket yang buruk, yaitu dengan menggunakan multi trip semua, sehingga semua calon pengguna TJ harus beli kartu langganan dengan harga Rp 40.000. Ini tentu merepotkan bagi orang luar daerah/luar negeri yang datang ke Jakarta dan ingin naik TJ. 

Atau orang Jakarta sendiri yang akan naik TJ untuk berlibur saja. Kondisi TJ lebih tragis lagi ketika pada saat Ulang Tahun Jakarta (22/6) lalu, salah satu armada TJ menabrak 11 kendaraan bermotor di Mampang, Jakarta Selatan lantaran remnya blong. Ini menunjukkan bahwa armada TJ itu kurang terpelihara atau sudah terlalu tua sehingga saatnya diganti. Berita tentang armada TJ yang terbakar sudah dianggap sebagai berita biasa karena terlalu sering. Semuanya itu menunjukkan bahwa TJ yang semula dirancang untuk memfasilitasi warga Jakarta bertransportasi dengan menggunakan angkutan umum, tidak mampu diandalkan lagi. Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahja Purnama (Ahok) dalam 2,5 tahun ke depan, sisa waktu kepemimpinannya perlu fokus menyelesaikan persoalanpersoalan TJ agar betul-betul menjadi sarana transportasi yang handal bagi warga Jakarta. 

Membereskan masalah TJ adalah membereskan 30% persoalan transportasi di Jakarta. Oleh karena itu, semoga ini menjadi fokus perhatian Gubernur Ahok dalam kurun waktu 2,5 tahun mendatang, termasuk membangun dua koridor baru yang belum terbangun sama sekali. Uber, Go-Jek, dan GrabBike Di tengah kondisi layanan TJ yang makin terpuruk itu, muncul sejumlah isu transportasi kota yang menyita perhatian Pemprov DKI Jakarta, yaitu dengan kehadiran Uber, Go-Jek, dan GrabBike, yang itu memberikan layanan transportasi bagi warga Jakarta dengan memanfaatkan teknologi informasi. 

Ketiganya menjadi persoalan baru karena telah memicu konflik horizontal antar sesama pelaku transportasi. Taxi Uber telah memicu konflik dengan operator taxi regular, sedangkan Go-Jek dan GrabBike telah memicu konflik dengan pengendara ojek reguler karena Go-Jek dan GrabBike dinilai mengambil pangsa pasar ojek reguler. Go-Jek dan GrabBike ini kategori ojek sepeda motor biasa, hanya memanfaatkan teknologi smartphone untuk pencarian penumpangnya. Hak dan kewajiban yang melekat sama dengan ojek sepeda motor biasa. Sesungguhnya, bila kita merujuk pada UU No. 22/2009 tentang Lalu Lintas Angkutan Jalan (LLAJ), ketiga jenis layanan transportasi tersebut, yaitu Taxi Uber, Go-Jek, dan GrabBike tidak termasuk ke dalam moda transportasi umum, karena tidak memenuhi kriteria sebagai angkutan umum. 

Bahwa secara sosiologis keberadaan mereka itu nyata ada, namun secara yuridis mereka tidak ada dalam regulasi transportasi. Sedangkan Pemprov DKI Jakarta sebagai representasi dari Pemerintah, bekerja berdasarkan regulasi yang ada. Oleh karena itu, dari perspektif pemerintah, keberadaan Uber, Ojek, Go-Jek, dan GrabBike itu adalah ilegal. Bila Gubernur Basuki pernah menyarankan agar ojek-ojek yang ada gabung dengan Go-Jek, itu hanya pertimbangan aspek managerial saja. Anjuran Gubernur Ahok itu rasional karena dari segi waktu akan lebih efisien bagi pengojek, sedangkan dari segi transportasi dapat mengurangi kesemrawutan di setiap pangkalan ojek. 

Tapi bergabungnya Ojek ke Go-Jek itu bukan berarti legalisasi sepeda motor sebagai sarana angkutan umum, melainkan betulbetul managerial saja. Sedangkan Taxi Uber bila saat ini mulai di uber-uber (ditangkapi oleh Dinas Perhubungan), selain ka r ena adanya protes dari Organda, secara obyektif juga merugikan Pemprov DKI Jakarta dan operator taksi regular, karena Uber ini tidak membayar pajak seperti taksi regular, sehingga juga tidak ada benefit yang diterima oleh Pemprov DKI Jakarta dan menggusur peran taksi regular yang membayar pajak; padahal berkontribusi merusakkan jalan pula, dan bila terjadi sesuatu yang menimpa konsumen, pasti konsumen mengadunya ke Pemprov DKI Jakarta. 

Dengan kata lain, langkah Dinas Perhubungan DKI Jakarta menangkapi Uber itu sudah sesuai regulasi yang ada. Itu sama dengan penertiban angkutan omprengan. Meskipun faktanya masih ada, tapi dari aspek regulasi itu ilegal, sehingga perlu diberantas. Tapi penulis berkeyakinan, bahwa ketiga jenis layanan transportasi tersebut akan hilang bila layanan transportasi massal di DKI Jakarta sudah bagus, dan orang tidak perlu naik ojek setelah turun dari stasiun/halte bus atau sebaliknya menuju stasiun/halte bus, tapi cukup jalan kaki. Oleh karena itu, Pekerjaan Rumah (PR) Pemprov DKI Jakarta selain mewujudkan Transjakarta Busway yang handal, juga membangun fasilitas pejalan kaki yang aman, nyaman, dan selamat. 



Komentar

  1. Assalamu Alaikum wr-wb, perkenalkan nama saya ibu Rosnida zainab asal Kalimantan Timur, saya ingin mempublikasikan KISAH KESUKSESAN saya menjadi seorang PNS. saya ingin berbagi kesuksesan keseluruh pegawai honorer di instansi pemerintahan manapun, saya mengabdikan diri sebagai guru disebuah desa terpencil, dan disini daerah tempat saya mengajar hanya dialiri listrik tenaga surya, saya melakukan ini demi kepentingan anak murid saya yang ingin menggapai cita-cita, Sudah 9 tahun saya jadi tenaga honor belum diangkat jadi PNS Bahkan saya sudah 4 kali mengikuti ujian, dan membayar 70 jt namun hailnya nol uang pun tidak kembali, bahkan saya sempat putus asah, pada suatu hari sekolah tempat saya mengajar mendapat tamu istimewa dari salah seorang pejabat tinggi dari kantor BKN pusat karena saya sendiri mendapat penghargaan pengawai honorer teladan, disinilah awal perkenalan saya dengan beliau, dan secara kebetulan beliau menitipkan nomor hp pribadinya dan 3 bln kemudian saya pun coba menghubungi beliau dan beliau menyuruh saya mengirim berkas saya melalui email, Satu minggu kemudian saya sudah ada panggilan ke jakarta untuk ujian, alhamdulillah berkat bantuan beliau saya pun bisa lulus dan SK saya akhirnya bisa keluar,dan saya sangat berterimah kasih ke pada beliau dan sudah mau membantu saya, itu adalah kisah nyata dari saya, jika anda ingin seperti saya, anda bisa Hubungi Bpk Drs Tauhid SH Msi No Hp 0853-1144-2258. siapa tau beliau masih bisa membantu anda, Wassalamu Alaikum Wr Wr ..

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

BIODATA DARMANINGTYAS

BIODATA DARMANINGTYAS, menggeluti pendidikan sejak mulai menjadi mahasiswa baru di UGM, Agustus 1982 dengan menjadi guru di SMP Binamuda dan SMA Muhammadiyah Panggang, Gunungkidul, DIY. Pendidikan formalnya cukup Sarjana Filsafat Universitas Gadjah Mada (UGM) dan selebihnya otodidak. Gelar “Profesor Doktor” diperoleh dari undangan, sertifikat, piagam, spanduk, dan sejenisnya; sebagai bentuk pengakuan nyata dari masyarakat.

Masyarakat Diajak Adaptasi

Pemerintah, melalui lembaga dan kementerian, mengeluarkan peraturan dan edaran perihal protokol atau pedoman kesehatan. Protokol itu berlaku di tempat masyarakat, industri, sektor jasa, dan perdagangan.

REFLEKSI DARI PELATIHAN GURU SASARAN DI LAMPUNG

Berikut saya sampaikan refleksi saya tatkala mendapat tugas untuk membuka dan kasih pengarahan pada pelatihan guru sasaran di Lampung tanggal 9 Juli lalu. Semoga refleksi in dapat menjadi bahaperbaikan proses pelatihan guru yang akan dating sehingga menjadi lebih baik.