Langsung ke konten utama

KESENJANGAN MUTU PTN/PTS DI JAWA DAN LUAR JAWA

OLEH: DARMANINGTYAS
PENASEHAT ASOSIASI BADAN PENYELENGGARA PERGURUAN TINGGI SWASTA INDONESIA (ABP-PTSI) 
Dimuat di Harian Sore Suara Pembaruan, Hari Senin 11 Mei 2015

Kesenjangan mutu pendidikan tinggi negeri (PTN) maupun swasta (PTS) antara Jawa dan Luar Jawa memang bukan sekadar persepsi tapi empiris, dapat dibuktikan di lapangan. Penulis beruntung karena mempunyai kesempatan menjadi narasumber dalam acara-acara diskusi di kampus-kampus, baik di PTN maupun PTS, baik di Jawa maupun luar Jawa, sehingga dapat mengetahui kondisi PT maupun mahasiswa dari dekat, bukan dari laporan para rektor yang tentu akan bicara hal-hal yang baik saja.


Kegiatan bertemu dengan mahasiswa terakhir yang penulis ikuti adalah Kampanye Keselamatan Lalu Lintas yang diselenggarakan oleh Korp Lalu Lintas (Korlantas) Polri yang dipusatkan di Kampus Lambung Mangkurat (29/4 2015). Acara itu diikuti oleh lima perguruan tinggi di Kalimantan Selatan, tiga PTS dan dua PTN, yaitu Universitas Lambung Mangkurat dan IAIN Antasari. Dalam acara tersebut setiap kampus diberi kesempatan untuk mempresentasikan mengenai isu-isu keselamatan dan kemudian ditanggapi oleh kampus lain. Ada sejumlah topik yang disodorkan oleh Korlantas Polri untuk dipresentasikan oleh para mahasiswa, yaitu soal penggunaan HP saat berkendara, penggunaan helm dalam mengendarai motor, melawan arus yang membahayakan lalu lintas, melanggar marka dan rambu lalu lintas, prasarana dan sarana untuk pejalan kaki, serta kecelakaan lalu lintas.

Melihat topik pembahasan yang disodorkan oleh Korlantas semestinya presentasi para mahasiswa menjadi menarik karena dapat disertai dengan ilustrasi gambar, foto,  atau film yang mereka ambil sendiri dari lapangan. Tapi betapa menyedihkannya, ternyata dari lima kelompok mahasiswa yang mewakili tiga PTS dan dua PTN, hanya dua kelompok yang memanfaatkan teknologi informasi  (IT) untuk menunjang presentasi mereka, dan itu justru dari PTS. Itu pun sangat minim. Presentasi I dari UNISKA (Universitas Islam Kalimantan Muhammad Arsyad Al-Banjary) yang mengangkat tema “melawan Arus” hanya menampilkan film tentang pergerakan lalu lintas yang melawan arus tanpa disertai narasi sepatah kata pun, apalagi gambar yang membandingkan situasi lalu lintas di Negara lain yang tertib. Padahal, pada masa sekarang, gambaran tentang kondisi lalu lintas di Negara lain itu dapat dengan mudah diperoleh dari google.com, tapi mengapa hal itu tidak dilakukan? Demikian pula Presentasi II dari STIE Pancasetia (STIPAN) yang berbiacara “kecelakaan lalu lintas” hanya uraian deskriptif saja tanpa tambahan data atau ilustrasi tabel, grafik, atau foto yang dapat memperkuat penjelasannya. Sedang dua PTN, yaitu Universitas Lambung Mangkurat (UNLAM) dan IAIN Antasari, serta satu PTS dari STIHSA (Sekolah Tinggi Hukum Sultan Adam) hanya presentasi lisan saja tidak memanfaatkan perangkat IT yang tersedia.

Sejujurnya, melihat cara presentasi mereka yang tanpa menggunakan teknologi informasi (IT) yang telah ada atau menggunakan tapi ala kadasarnya itu membuat penulis bersedih hati, karena itu berbeda jauh dengan kemampuan mahasiswa di Jawa dalam memanfaatkan IT untuk presentasi mereka. Bahkan anak-anak SMP-SMA di Jawa dapat membuat presentasi amat menarik terhadap isu-isu tersebut dengan memanfaatkan perangkat IT yang ada. Tapi mengapa para mahasiswa di Kalimantan Selatan tersebut tidak memanfaatkan IT untuk membuat presentasi agar menarik? Memang listrik di Banjarmasin sering byar pet dan jaringan internetnya buruk, tapi penulis lihat para mahasiswa itu menggunakan HP yang canggih-canggih, bisa untuk internetan, dan mereka rata-rata juga membawa laptop, sehingga tidak ada kendala teknis lagi untuk membuat presentasi yang lebih menarik dan memperlihatkan kualitas mereka sebagai mahasiswa di abad ke-21 yang hidup di era teknologi informasi.

Usai acara itu penulis langsung mendekati Pembantu Rektor III (Bidang Kemahasiswaan dan Alumni) UNLAM yang hadir di acara tersebut dan menyatakan  bahwa pekerjaan rumah (PR) UNLAM terbesar adalah meningkatkan kualitas mahasiswa agar mereka sadar mengenai keberadaan IT untuk menunjang peningkatan kualitas pendidikan mereka. Sayang sekali bila keberadaan IT tidak dimanfaatkan untuk menunjang proses belajar mengajar. HP (hand phone) mereka memang bisa untuk internetan, tapi tampaknya sebatas untuk face book-an, tidak dipakai sebagai piranti untuk mencari sumber informasi atau data yang dapat menunjang presentasi mereka. Padahal, hanya dengan googling sebentar,  mereka akan dapatkan info, data, dan gambar-gambar menarik sesuai dengan tema masing-masing kelompok sehingga presentasi mereka lebih menarik dan jelas; tapi semuanya tidak dilakukan. Isi presentasi maupun argumen saat menanggapi pertanyaan juga mencerminkan kalau mereka minim membaca, termasuk juga tidak membaca mengenai undang-undang lalu lintas (UU No. 22/2009 tentang LLAJ) yang menjadi acuan dari keseluruhan diskusi hari itu.

Fisik dan Non Fisik

Ketertinggalan para mahasiswa luar Jawa dengan Jawa itu bukan hanya dalam hal penguasaan substansi dan presentasi saja, tapi dari segi fisik pun mereka tertinggal. Beberapa kampus PTN luar Jawa yang pernah penulis kunjungi rata-rata memperlihatkan kondisi fisik yang jauh dari kondisi fisik PTN di Jawa, baik menyangkut soal keberhasilan, kerapian, maupun ketersediaan ruang terbuka yang dapat dipakai oleh mahasiswa untuk diskusi kelompok. Ketersediaan ruang untuk diskusi formal pun bagi PTN di luar Jawa itu terbatas, baik kuantitas maupun kualitasnya. Kondisi PTS di luar Jawa tentu jauh lebih memprihatinkan lagi. Jangankan ruang terbuka yang dapat dipakai untuk berdiskusi kelompok mahasiswa, ruang kuliah dan perpustakaan mereka pun terbatas. Perpustakaan yang seharusnya menjadi jantungnya suatu perguruan tinggi, umumnya hanya tersedia dalam suatu ruangan kecil, seperti ruang kelas di SD, sehingga secara otomatis koleksi bukunya pun terbatas. Bahkan tidak jarang perpusataan dalam satu universitas itu kalah dengan koleksi perpustakaan di salah satu fakultas di UGM atau UI (sebelum disentralkan dulu).

Jika secara fisik saja mereka tertinggal jauh, apalagi non fisik, seperti ketersediaan dosen yang bermutu, proses pembelajaran, kegiatan-kegiatan ilmiah seperti seminar, diskusi, symposium, dan penelitian jelas mereka tertinggal jauh. PTN/PTS di Jawa begitu mudah mendapatkan ahli apa saja yang bergelar professor doctor, tapi di PTN/PTS luar Jawa betapa sulit untuk mendapatkan professor doctor yang ahli dalam bidang tertentu. Meskipun gelar Profesor Doktor itu merujuk pada suatu keahlian tertentu, tapi pada tingkat empiris tidak edintik. Banyak di antara mereka yang bergelar Profesor Doktor, namun tingkat keahliannya tidak sebanding dengan gelar yang disandangnya sehingga cenderung minder ketika disandingkan dengan sesama Profesor Doktor yang tingkat keahlihannya telah terbukti di publik. Wajar bila kemudian PTN/PTS terkemuka di negeri ini sampai sekarang masih menumpuk di Jawa. Beberapa PTN di luar Jawa, seperti di Sumatra, Sulawesi, dan Bali ada yang dikenal memiliki reputasi cukup bagus, namun masih jago kandang. Ketika disandingkan dengan PTN di Jawa yang selevel, ternyata masih kalah. Ini menunjukkan bahwa memang ada kesenjangan kualitas yang begitu lebar antara PT di Jawad an Luar Jawa. Publik juga dapat mengetahui kesenjangan tersebut melalui buah pemikiran mereka yang dimuat oleh media massa nasional. Dapat dikatakan bahwa para penulis di media massa nasional didominasi oleh para tenaga pengajar di PTN/PTS di Jawad an mungkin hanya sekitar 20% yang ditulis oleh dosen dari PTN/PTS luar Jawa dan itu juga oleh PTN-PTN yang disebut unggul di wilayahnya tersebut, PTN/PTS lain hanya terdengar kadang-kadang saja.  

Keterbatasan tenaga dosen yang berkualitas dan memiliki keahlian tertentu itu menyebabkan mahasiswa kesulitan mendapatkan narasumber untuk diajak berdikusi terhadap suatu tema tertentu untuk menambah wawasannya. Akhirnya mahasiswa dihadapkan pada suatu dilema yang tidak terpecahkan, karena apabila harus mendatangkan narasumber dari Jawa biayanya terlalu besar, namun bila tidak mendatangkan narasumber dari Jawa, mereka tidak memperoleh asupan informasi yang mereka harapkan, sehingga akhirnya tertinggal dengan saudara-saudaranya yang di Jawa.

Persoalan kesenjangan kualitas antara PTN/PTS di Jawa dengan Luar Jawa ini merupakan persoalan serius yang perlu dipecahkan oleh Kementrian Ristek dan Pendidikan Tinggi. Untuk itulah kebijakan pendidikan tinggi lima tahun ke depan semestinya fokus mengurangi kesenjangan tersebut. Pertama, segala bentuk kebijakan yang memperlebar kesenjangan kualitas PT Jawa dengan luar Jawa, sebaiknya dihentikan, seperti penegrian PTS di Jawa menjadi PTN. Jawa sudah cukup memiliki PTN/PTS yang bermutu, sebaliknya Luar Jawa amat kekurangan. Maka, daripada untuk menegrikan PTS di Jawa, lebih baik untuk mendirikan PTN baru di Luar Jawa dan meningkatkan kualitas PTN/PTS di Luar Jawa.

Kedua, Pemerintah perlu meningkatkan anggaran PT untuk luar Jawa. Oleh karena itulah pemberian hibah dengan model kompetisi tidak tepat, karena pasti akan jatuh di Jawa selamanya. Perlu ada affirmative action untuk memajukan PTN/PTS di Jawa, seperti misalnya memperbesar alokasi dana untuk mahasiswa agar lebih sering mengadakan kegiatan ilmiah, studi banding ke Jawa, pertukaran dosen-dosen dari Jawa ke Luar Jawa dan sebaliknya untuk menumbuhkan iklim akademis, dsb.. Tanpa adanya affirmative action dari Pemerintah, kesenjangan PT di Jawa dengan Luar Jawa tetap lebar.


Komentar

  1. Assalamu Alaikum wr-wb, perkenalkan nama saya ibu Rosnida zainab asal Kalimantan Timur, saya ingin mempublikasikan KISAH KESUKSESAN saya menjadi seorang PNS. saya ingin berbagi kesuksesan keseluruh pegawai honorer di instansi pemerintahan manapun, saya mengabdikan diri sebagai guru disebuah desa terpencil, dan disini daerah tempat saya mengajar hanya dialiri listrik tenaga surya, saya melakukan ini demi kepentingan anak murid saya yang ingin menggapai cita-cita, Sudah 9 tahun saya jadi tenaga honor belum diangkat jadi PNS Bahkan saya sudah 4 kali mengikuti ujian, dan membayar 70 jt namun hailnya nol uang pun tidak kembali, bahkan saya sempat putus asah, pada suatu hari sekolah tempat saya mengajar mendapat tamu istimewa dari salah seorang pejabat tinggi dari kantor BKN pusat karena saya sendiri mendapat penghargaan pengawai honorer teladan, disinilah awal perkenalan saya dengan beliau, dan secara kebetulan beliau menitipkan nomor hp pribadinya dan 3 bln kemudian saya pun coba menghubungi beliau dan beliau menyuruh saya mengirim berkas saya melalui email, Satu minggu kemudian saya sudah ada panggilan ke jakarta untuk ujian, alhamdulillah berkat bantuan beliau saya pun bisa lulus dan SK saya akhirnya bisa keluar,dan saya sangat berterimah kasih ke pada beliau dan sudah mau membantu saya, itu adalah kisah nyata dari saya, jika anda ingin seperti saya, anda bisa Hubungi Bpk Drs Tauhid SH Msi No Hp 0853-1144-2258. siapa tau beliau masih bisa membantu anda, Wassalamu Alaikum Wr Wr ..

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

BIODATA DARMANINGTYAS

BIODATA DARMANINGTYAS, menggeluti pendidikan sejak mulai menjadi mahasiswa baru di UGM, Agustus 1982 dengan menjadi guru di SMP Binamuda dan SMA Muhammadiyah Panggang, Gunungkidul, DIY. Pendidikan formalnya cukup Sarjana Filsafat Universitas Gadjah Mada (UGM) dan selebihnya otodidak. Gelar “Profesor Doktor” diperoleh dari undangan, sertifikat, piagam, spanduk, dan sejenisnya; sebagai bentuk pengakuan nyata dari masyarakat.

Masyarakat Diajak Adaptasi

Pemerintah, melalui lembaga dan kementerian, mengeluarkan peraturan dan edaran perihal protokol atau pedoman kesehatan. Protokol itu berlaku di tempat masyarakat, industri, sektor jasa, dan perdagangan.

REFLEKSI DARI PELATIHAN GURU SASARAN DI LAMPUNG

Berikut saya sampaikan refleksi saya tatkala mendapat tugas untuk membuka dan kasih pengarahan pada pelatihan guru sasaran di Lampung tanggal 9 Juli lalu. Semoga refleksi in dapat menjadi bahaperbaikan proses pelatihan guru yang akan dating sehingga menjadi lebih baik.