OLEH: DARMANINGTYAS
Membaca dua dua yang berjudul Mutiara Terpendam, Profil Para Penerima Beasiswa Pendidikan Islam dan Mendidik Tanpa Pamrih, Kisah Para Pejuang Pendidikan Islam yang diterbitkan oleh Direktorat Jendral Pendidikan Islam Kementrian Agama RI, kita dapat menangkap adanya satu spirit yang sama, yaitu keinginan untuk melakukan perubahan melalui pendidikan, baik itu pada generasi tua untuk melaksanakan pendidikan bagi yang muda, maupun bagi yang muda untuk memperoleh akses pendidikan.
Mendidik Tanpa Pamrih
Buku Mendidik Tanpa Pamrih, Kisah Para Pejuang Pendidikan Islam menggambarkan semangat juang para orang tua/dewasa yang terpanggil untuk mencerahkan masyarakat sekitarnya agar melek pada ajaran-ajaran Islam guna menuju ke arah kebaikan bersama. Meskipun mereka tidak saling mengenal karena jarak yang berjauhan dan profesi mereka beragam, tapi mereka memiliki jiwa dan semangat yang sama, yaitu melaksanakan pendidikan tanpa pamrih untuk masyarakat sekitarnya yang dirasakan amat membutuhkan. Baik mereka yang tinggal di pedesaan miskin (Nur Husin); yang tinggal di perkotaan miskin (Mukhlis), yang melayani para narapidana (Meirina Wanti), hingga mereka yang melakukan pendidikan di sekitar lokalisasi Saritem, Bandung (Mamad).
Semangat mengabdi kepada sesame itu tidak hanya dimiliki oleh yang muda-muda karena sesuai dengan jiwanya yang masih perlu menancapkan identitas dirinya, tapi juga bagi yang tua dan dijalaninya sudah sejak muda, seperti yang dijalani oleh Najiah, guru ngaji dari Banjar, Irham Asmani (Pati), H. Anwar Tholhan (Cirebon), Ag.H.Abdul Latif Busyrah (Sulawesi Selatan), Salmi (Banyuwangi), dan Siti Hindun (Sawangan); dengan motivasi yang beragam, seperti yang dilakukan oleh Mustofa untuk memberi semangat agar para korban lumpur Lapindo bangkit; atau bagi Ismail Asso, yang mendirikan pesantren di atas tanah pemberian pendeta, karena ingin membawa generasinya di Papua maju. Ini sekadar menyebut beberapa contoh saja dari banyak kisah menarik yang ada dalam buku tersebut.
Semua kisah tersebut menginspirasi kita mengenai semangat para orang tua maupun dewasa yang terpanggil untuk memberikan pendidikan kepada sesamanya dengan penuh sukarela dan perjuangan. Semuanya mereka jalani tanpa dorongan orang lain dan tanpa motivasi untuk memperoleh nilai rupiah. Bahkan orang seperti Nur Husin di Bojonegoro, Jawa Timur, yang sudah hidup miskin hanya sebagai penjual es keliling itu justru sering berkorban untuk para muridnya. Dan orang seperti Asmani (Pati), menyadari sepenuhnya bahwa baginya, mengajar di madrasah itu sebagai perjuangan melanjutkan misi kenabian, menebarkan ilmu agama, kedamaian, dan kebagiaan bagi manusia lain (hal.103).
Bagi para guru pada umumnnya, bila kita membaca seluruh kisah perjuangan para pendidik Islam yang termuat dalam buku Mendidik Tanpa Pamrih, Kisah Para Pejuang Pendidikan Islam tentu akan merasa malu sekali, karena mereka melaksanakan pendidikan itu dengan tulus iklas, tanpa motif-motif ekonomi kecuali mencerahkan bagi sesama, atau menyakan lilin terang di tengah kegelapan, tidak pernah mempersoalkan honorarium yang mereka terima, atau tunjangan sertifikasi. Sementara para guru kita, terutama paska adanya tunjangan profesi, hampir setiap hari yang mereka persoalkan itu masalah pembayaran tunjangan profesi yang terlambat datang atau belum memperoleh kesempatan mengikuti program sertifikasi. Tapi mereka yang sudah memperoleh tunjangan profesi, tidak secara otomatis kualitasnya meningkat. Beberapa suvey di beberapa daerah justru menunjukkan adanya korelasi positip antara penerimaan tunjangan profesi dengan tingkat selingkuh guru dan antrean membeli mobil yang dilakukan oleh guru.
Beasiswa sebagai Penyelamat
Sedangkan membaca buku berjudul Mutiara Terpendam, Profil Para Penerima Beasiswa Pendidikan Islam yang memuat kisah-kisah para penerima Program Beasiswa Santri Berprestasi (PBSB), kita akan dapatkan kisah-kisah para anak keluarga miskin yang memiliki semangat tinggi untuk bersekolah sampai pendidikan tinggi di tengah keterbatsan ekonominya. Ada yang motivasi belajarnya tetap menyala dan penuh optimisme dapat bersekolah sampai pendidikan tinggi meskipun belum tahu jalan untuk dapat sampai ke ujung sana, karena belum tahu informasi mengenai PBSB, tapi ada juga yang sempat kendor semangatnya lantaran tidak membaca adanya harapan sama sekali. Tapi baik mereka yang terus menyalakan semangat optimisme maupun mereka yang sempat kendor itu akhirnya terselamatkan oleh keberadaan PBSB. PBSB itu bagi mereka adalah dewa penyelamat, karena berkat PBSB itu mereka dapat mewujudkan impiannya untuk melanjutkan sampai ke jenjang pendidikan tinggi di PTN terkemuka di negeri ini. Meskipun ada beberapa kisah yang sebetulnya latar belakang keluarnya tidak terlalu sengsara, tapi keberadaan PBSP menjadi semakin memacu semangatnya.
Membaca kisah para penerima PBSB ini tidak semata-mata membaca profil diri mereka sendiri, tapi juga keluarga, bahwa mayoritas keluarga yang anaknya menerima PBSB itu betul-betul miskin secara ekonomis. Kalau kita mengacu pada pembagian stratifikasi masyarakat berbasis ekonomi, maka mereka berada dalam Kelompok C, yaitu secara ekonomi miskin, tapi mereka pintar sehingga memudahkan Negara untuk hadir melalui program beasiswa. Yang membuat saya sempat merenung panjang adalah ada beberapa profil penerima PBSB yang memiliki saudara kandung lebih dari tiga orang, bahkan ada yang tujuh, 10, hingga 11 orang. Saya tercenung karena usia orang tua mereka mungkin sekitar 50-60 tahunan, tapi mereka memiliki anak lebih dari tiga orang. Orang tua mereka sesungguhnya sudah hidup pada zaman keluarga berencana (KB) yang mulai gencar dikampanyekan sejak pertengahan dekade 1970-an, tapi mengapa mereka masih memiliki banyak anak? Apakah itu terkait dengan keyakinan bahwa setiap anak membaca rejeki atau anak itu sebagai amanah, ataukah karena ketidak-tahuan saja?
Kondisi orang tua para penerima PBSB yang miskin dan banyak anak itu sesungguhnya menantang peran pondok pesantren yang lebih luas lagi, bukan hanya melakukan pendidikan agama saja atau mendidik yang muda-muda saja, tapi juga perlu melakukan pemberdayaan masyarakat, agar masyarakat sekitar pondok selain fasih dalam hal pengetahuan dan pengamalan agama, juga terberdaya sehingga terbebas dari belenggu kemiskinan, kebodohan, dan keterpurukan. Pengalaman pemberdayaan masyarakat yang dilakukan oleh para Kyai/Nyai di Pondok Pesantren Annuqayah, Sumenep Madura sejak decade 1970-an misalnya, merupakan contoh kongkrit Pondok Pesantren (PP) itu melakukan perannya yang luas, selain menjadi pusat pendidikan (agama), juga menjadi wahana untuk pemberdayaan masyarakat sekitar. Bahkan melalui peran pemberdayaan yang dilakukan oleh PP ini, kesulitan air bersih warga dapat teratasi dengan menggali sumber-sumber air baru dan mengalirkannya kepada masyarakat di sekitar PP. Mereka juga berhasil mengembangkan program KB dengan memanfaatkan potensi alam (pohon pinang) yang ada di sana. Ini hanya salah satu contoh saja dari peran luas PP. Pada sektor pendidikan masa kini, peran semacam ini juga dilakukan oleh Pondok Pesantren di Kalibening, Kabupaten Semarang yang sekarang berhasil mengembangkan pendidikan alternative Qoriyah Toyibah .
Jadi, selain memberikan PBSB untuk anak-anak pondok yang miskin tapi berprestasi, perlu dibarengi pula program pemberdayaan masyarakat agar para orang tua penerima besiswa maupun yang tidak itu juga menjadi terberdaya sehingga mereka bisa lepas dari belenggu kemiskinan, kebodohan, dan keterbelakangan, seiring dengan meningkatnya pendidikan si anak yang terselamatkan melalui PBSB.
Meskipun Program Beasiswa Santri Berprestasi (PBSB) itu sendiri amat bermanfaat bagi golongan miskin, tapi ijinkan sayaa menyampaikan perbaikan program sebagai berikut;
1. PBSB itu sebaiknya dioptimalkan untuk mengantarkan lebih banyak para santri mengambil bidang ilmu-ilmu umum dan sain yang memiliki keterkaitan langsung dengan peningkatan ekonomi masyarakat sehingga dampak pemberdayaannya pada masyarakat jauh lebih luas. Hal ini mengingat salah satu problem besar umat Islam di Indonesia adalah ketertinggalannya dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Kita bisa belajar pada Cina dan India yang maju pesat ekonominya karena menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi. Mengapa? Karena pengembangan pengetahuan agama bisa tetap diperankan oleh pondok pesantren.
2. Sebaiknya para penerima PBSB itu setelah lulus tidak didorong untuk kembali ke daerahnya tetapi dapat bekerja dimana saja justru pada sektor-sektor atau institusi yang mampu mengantarkan mereka untuk melakukan mobilitas vertical sehingga mereka dan keluarganya dapat keluar dari kemiskinan. Keterikatan mereka dengan pondok pesantren yang membesarkannya bukan dengan kembali mengabdi kepada pondok pesantrennya tetapi dengan memberikan donasi, kaderisasi pada yunior membuka akses pada jaringan kerja dan atau permodalan. Mewajibkan mereka kembali ke pondok pesantren asal sesungguhnya membosai mereka dan juga pondoknya sendiri ke dalam kehidupan yang stagnan. Mengapa? Karena ketika kembali ke pesantren si sarjana penerima PBSB itu sendiri masih dihadapkan pada problem ekonomi dirinya sendiri maupun keluarga. Akhirnya menjadikan pondok pesantren itu sebagai tumpuan mencari nafkah atau berkarir bukan sebaliknya membesarkan pondok pesantren.
3. Berdasarkan kisah-kisah para penerima PBSB yang mengetahui adanya PBSB baru setelah duduk di MA maka sebaiknya sosialisasi PBSB dimulai sejak dini, sejak mereka duduk di MTs sehingga mereka termotivasi untuk bisa kuliah di PTN terkemuka tanpa baying-bayang kesulitan ekonomi.
4. Mengingat para penerima PBSB adalah orang yang betul-betul miskin dan lokasi tes tidak selalu berdekatan dengan rumahnya apalagi yang di luar Jawa bisa antar pulau maka sebaiknya (a) bebas uang pendaftaran, (b) perlu dukungan biaya transportasi dan akomodasi agar mereka yang punya kesempatan mengikuti tes PBSB itu bisa ikut tes tanpa mengalami hambatan. Sebab ada beasiswa, tapi kalau tidak ada sarana untuk mendapatkannya (transportasi), beasiswa tersebut tidak bisa diraih. Pada kenyataannya ada seorang penerima beasiswa yang untuk mendaftar dengan biaya Rp. 150.000, saja sulitnya bukan main. Mereka juga memerlukan biaya transportasi yang mahal.
5. Kalau kita lihat stratifikasi masyarakat berdasarkan strata ekonomi penerima PBSB ini adalah kelompok C yang jumlahnya di masyarakat kira-kira 20% dari total populasi masyarakat; sementara yang 40% masyarakat itu berada dalam kelompok D, yaitu masyarakat yang secara ekonomi miskin dan kemampuan intelegensianya rendah. Kelompok D ini yang belum tersentuh melalui program-program beasiswa. Oleh karena itu ke depan sembari menyempurnakan PBSB, Kemenag juga perlu merancang program penyelamatan untuk kelompok D ini sebagai bukti bahwa Negara hadir di sana.
Mendidik Tanpa Pamrih
Buku Mendidik Tanpa Pamrih, Kisah Para Pejuang Pendidikan Islam menggambarkan semangat juang para orang tua/dewasa yang terpanggil untuk mencerahkan masyarakat sekitarnya agar melek pada ajaran-ajaran Islam guna menuju ke arah kebaikan bersama. Meskipun mereka tidak saling mengenal karena jarak yang berjauhan dan profesi mereka beragam, tapi mereka memiliki jiwa dan semangat yang sama, yaitu melaksanakan pendidikan tanpa pamrih untuk masyarakat sekitarnya yang dirasakan amat membutuhkan. Baik mereka yang tinggal di pedesaan miskin (Nur Husin); yang tinggal di perkotaan miskin (Mukhlis), yang melayani para narapidana (Meirina Wanti), hingga mereka yang melakukan pendidikan di sekitar lokalisasi Saritem, Bandung (Mamad).
Semangat mengabdi kepada sesame itu tidak hanya dimiliki oleh yang muda-muda karena sesuai dengan jiwanya yang masih perlu menancapkan identitas dirinya, tapi juga bagi yang tua dan dijalaninya sudah sejak muda, seperti yang dijalani oleh Najiah, guru ngaji dari Banjar, Irham Asmani (Pati), H. Anwar Tholhan (Cirebon), Ag.H.Abdul Latif Busyrah (Sulawesi Selatan), Salmi (Banyuwangi), dan Siti Hindun (Sawangan); dengan motivasi yang beragam, seperti yang dilakukan oleh Mustofa untuk memberi semangat agar para korban lumpur Lapindo bangkit; atau bagi Ismail Asso, yang mendirikan pesantren di atas tanah pemberian pendeta, karena ingin membawa generasinya di Papua maju. Ini sekadar menyebut beberapa contoh saja dari banyak kisah menarik yang ada dalam buku tersebut.
Semua kisah tersebut menginspirasi kita mengenai semangat para orang tua maupun dewasa yang terpanggil untuk memberikan pendidikan kepada sesamanya dengan penuh sukarela dan perjuangan. Semuanya mereka jalani tanpa dorongan orang lain dan tanpa motivasi untuk memperoleh nilai rupiah. Bahkan orang seperti Nur Husin di Bojonegoro, Jawa Timur, yang sudah hidup miskin hanya sebagai penjual es keliling itu justru sering berkorban untuk para muridnya. Dan orang seperti Asmani (Pati), menyadari sepenuhnya bahwa baginya, mengajar di madrasah itu sebagai perjuangan melanjutkan misi kenabian, menebarkan ilmu agama, kedamaian, dan kebagiaan bagi manusia lain (hal.103).
Bagi para guru pada umumnnya, bila kita membaca seluruh kisah perjuangan para pendidik Islam yang termuat dalam buku Mendidik Tanpa Pamrih, Kisah Para Pejuang Pendidikan Islam tentu akan merasa malu sekali, karena mereka melaksanakan pendidikan itu dengan tulus iklas, tanpa motif-motif ekonomi kecuali mencerahkan bagi sesama, atau menyakan lilin terang di tengah kegelapan, tidak pernah mempersoalkan honorarium yang mereka terima, atau tunjangan sertifikasi. Sementara para guru kita, terutama paska adanya tunjangan profesi, hampir setiap hari yang mereka persoalkan itu masalah pembayaran tunjangan profesi yang terlambat datang atau belum memperoleh kesempatan mengikuti program sertifikasi. Tapi mereka yang sudah memperoleh tunjangan profesi, tidak secara otomatis kualitasnya meningkat. Beberapa suvey di beberapa daerah justru menunjukkan adanya korelasi positip antara penerimaan tunjangan profesi dengan tingkat selingkuh guru dan antrean membeli mobil yang dilakukan oleh guru.
Beasiswa sebagai Penyelamat
Sedangkan membaca buku berjudul Mutiara Terpendam, Profil Para Penerima Beasiswa Pendidikan Islam yang memuat kisah-kisah para penerima Program Beasiswa Santri Berprestasi (PBSB), kita akan dapatkan kisah-kisah para anak keluarga miskin yang memiliki semangat tinggi untuk bersekolah sampai pendidikan tinggi di tengah keterbatsan ekonominya. Ada yang motivasi belajarnya tetap menyala dan penuh optimisme dapat bersekolah sampai pendidikan tinggi meskipun belum tahu jalan untuk dapat sampai ke ujung sana, karena belum tahu informasi mengenai PBSB, tapi ada juga yang sempat kendor semangatnya lantaran tidak membaca adanya harapan sama sekali. Tapi baik mereka yang terus menyalakan semangat optimisme maupun mereka yang sempat kendor itu akhirnya terselamatkan oleh keberadaan PBSB. PBSB itu bagi mereka adalah dewa penyelamat, karena berkat PBSB itu mereka dapat mewujudkan impiannya untuk melanjutkan sampai ke jenjang pendidikan tinggi di PTN terkemuka di negeri ini. Meskipun ada beberapa kisah yang sebetulnya latar belakang keluarnya tidak terlalu sengsara, tapi keberadaan PBSP menjadi semakin memacu semangatnya.
Membaca kisah para penerima PBSB ini tidak semata-mata membaca profil diri mereka sendiri, tapi juga keluarga, bahwa mayoritas keluarga yang anaknya menerima PBSB itu betul-betul miskin secara ekonomis. Kalau kita mengacu pada pembagian stratifikasi masyarakat berbasis ekonomi, maka mereka berada dalam Kelompok C, yaitu secara ekonomi miskin, tapi mereka pintar sehingga memudahkan Negara untuk hadir melalui program beasiswa. Yang membuat saya sempat merenung panjang adalah ada beberapa profil penerima PBSB yang memiliki saudara kandung lebih dari tiga orang, bahkan ada yang tujuh, 10, hingga 11 orang. Saya tercenung karena usia orang tua mereka mungkin sekitar 50-60 tahunan, tapi mereka memiliki anak lebih dari tiga orang. Orang tua mereka sesungguhnya sudah hidup pada zaman keluarga berencana (KB) yang mulai gencar dikampanyekan sejak pertengahan dekade 1970-an, tapi mengapa mereka masih memiliki banyak anak? Apakah itu terkait dengan keyakinan bahwa setiap anak membaca rejeki atau anak itu sebagai amanah, ataukah karena ketidak-tahuan saja?
Kondisi orang tua para penerima PBSB yang miskin dan banyak anak itu sesungguhnya menantang peran pondok pesantren yang lebih luas lagi, bukan hanya melakukan pendidikan agama saja atau mendidik yang muda-muda saja, tapi juga perlu melakukan pemberdayaan masyarakat, agar masyarakat sekitar pondok selain fasih dalam hal pengetahuan dan pengamalan agama, juga terberdaya sehingga terbebas dari belenggu kemiskinan, kebodohan, dan keterpurukan. Pengalaman pemberdayaan masyarakat yang dilakukan oleh para Kyai/Nyai di Pondok Pesantren Annuqayah, Sumenep Madura sejak decade 1970-an misalnya, merupakan contoh kongkrit Pondok Pesantren (PP) itu melakukan perannya yang luas, selain menjadi pusat pendidikan (agama), juga menjadi wahana untuk pemberdayaan masyarakat sekitar. Bahkan melalui peran pemberdayaan yang dilakukan oleh PP ini, kesulitan air bersih warga dapat teratasi dengan menggali sumber-sumber air baru dan mengalirkannya kepada masyarakat di sekitar PP. Mereka juga berhasil mengembangkan program KB dengan memanfaatkan potensi alam (pohon pinang) yang ada di sana. Ini hanya salah satu contoh saja dari peran luas PP. Pada sektor pendidikan masa kini, peran semacam ini juga dilakukan oleh Pondok Pesantren di Kalibening, Kabupaten Semarang yang sekarang berhasil mengembangkan pendidikan alternative Qoriyah Toyibah .
Jadi, selain memberikan PBSB untuk anak-anak pondok yang miskin tapi berprestasi, perlu dibarengi pula program pemberdayaan masyarakat agar para orang tua penerima besiswa maupun yang tidak itu juga menjadi terberdaya sehingga mereka bisa lepas dari belenggu kemiskinan, kebodohan, dan keterbelakangan, seiring dengan meningkatnya pendidikan si anak yang terselamatkan melalui PBSB.
Meskipun Program Beasiswa Santri Berprestasi (PBSB) itu sendiri amat bermanfaat bagi golongan miskin, tapi ijinkan sayaa menyampaikan perbaikan program sebagai berikut;
1. PBSB itu sebaiknya dioptimalkan untuk mengantarkan lebih banyak para santri mengambil bidang ilmu-ilmu umum dan sain yang memiliki keterkaitan langsung dengan peningkatan ekonomi masyarakat sehingga dampak pemberdayaannya pada masyarakat jauh lebih luas. Hal ini mengingat salah satu problem besar umat Islam di Indonesia adalah ketertinggalannya dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Kita bisa belajar pada Cina dan India yang maju pesat ekonominya karena menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi. Mengapa? Karena pengembangan pengetahuan agama bisa tetap diperankan oleh pondok pesantren.
2. Sebaiknya para penerima PBSB itu setelah lulus tidak didorong untuk kembali ke daerahnya tetapi dapat bekerja dimana saja justru pada sektor-sektor atau institusi yang mampu mengantarkan mereka untuk melakukan mobilitas vertical sehingga mereka dan keluarganya dapat keluar dari kemiskinan. Keterikatan mereka dengan pondok pesantren yang membesarkannya bukan dengan kembali mengabdi kepada pondok pesantrennya tetapi dengan memberikan donasi, kaderisasi pada yunior membuka akses pada jaringan kerja dan atau permodalan. Mewajibkan mereka kembali ke pondok pesantren asal sesungguhnya membosai mereka dan juga pondoknya sendiri ke dalam kehidupan yang stagnan. Mengapa? Karena ketika kembali ke pesantren si sarjana penerima PBSB itu sendiri masih dihadapkan pada problem ekonomi dirinya sendiri maupun keluarga. Akhirnya menjadikan pondok pesantren itu sebagai tumpuan mencari nafkah atau berkarir bukan sebaliknya membesarkan pondok pesantren.
3. Berdasarkan kisah-kisah para penerima PBSB yang mengetahui adanya PBSB baru setelah duduk di MA maka sebaiknya sosialisasi PBSB dimulai sejak dini, sejak mereka duduk di MTs sehingga mereka termotivasi untuk bisa kuliah di PTN terkemuka tanpa baying-bayang kesulitan ekonomi.
4. Mengingat para penerima PBSB adalah orang yang betul-betul miskin dan lokasi tes tidak selalu berdekatan dengan rumahnya apalagi yang di luar Jawa bisa antar pulau maka sebaiknya (a) bebas uang pendaftaran, (b) perlu dukungan biaya transportasi dan akomodasi agar mereka yang punya kesempatan mengikuti tes PBSB itu bisa ikut tes tanpa mengalami hambatan. Sebab ada beasiswa, tapi kalau tidak ada sarana untuk mendapatkannya (transportasi), beasiswa tersebut tidak bisa diraih. Pada kenyataannya ada seorang penerima beasiswa yang untuk mendaftar dengan biaya Rp. 150.000, saja sulitnya bukan main. Mereka juga memerlukan biaya transportasi yang mahal.
5. Kalau kita lihat stratifikasi masyarakat berdasarkan strata ekonomi penerima PBSB ini adalah kelompok C yang jumlahnya di masyarakat kira-kira 20% dari total populasi masyarakat; sementara yang 40% masyarakat itu berada dalam kelompok D, yaitu masyarakat yang secara ekonomi miskin dan kemampuan intelegensianya rendah. Kelompok D ini yang belum tersentuh melalui program-program beasiswa. Oleh karena itu ke depan sembari menyempurnakan PBSB, Kemenag juga perlu merancang program penyelamatan untuk kelompok D ini sebagai bukti bahwa Negara hadir di sana.
Assalamu Alaikum wr-wb, perkenalkan nama saya ibu Rosnida zainab asal Kalimantan Timur, saya ingin mempublikasikan KISAH KESUKSESAN saya menjadi seorang PNS. saya ingin berbagi kesuksesan keseluruh pegawai honorer di instansi pemerintahan manapun, saya mengabdikan diri sebagai guru disebuah desa terpencil, dan disini daerah tempat saya mengajar hanya dialiri listrik tenaga surya, saya melakukan ini demi kepentingan anak murid saya yang ingin menggapai cita-cita, Sudah 9 tahun saya jadi tenaga honor belum diangkat jadi PNS Bahkan saya sudah 4 kali mengikuti ujian, dan membayar 70 jt namun hailnya nol uang pun tidak kembali, bahkan saya sempat putus asah, pada suatu hari sekolah tempat saya mengajar mendapat tamu istimewa dari salah seorang pejabat tinggi dari kantor BKN pusat karena saya sendiri mendapat penghargaan pengawai honorer teladan, disinilah awal perkenalan saya dengan beliau, dan secara kebetulan beliau menitipkan nomor hp pribadinya dan 3 bln kemudian saya pun coba menghubungi beliau dan beliau menyuruh saya mengirim berkas saya melalui email, Satu minggu kemudian saya sudah ada panggilan ke jakarta untuk ujian, alhamdulillah berkat bantuan beliau saya pun bisa lulus dan SK saya akhirnya bisa keluar,dan saya sangat berterimah kasih ke pada beliau dan sudah mau membantu saya, itu adalah kisah nyata dari saya, jika anda ingin seperti saya, anda bisa Hubungi Bpk Drs Tauhid SH Msi No Hp 0853-1144-2258. siapa tau beliau masih bisa membantu anda, Wassalamu Alaikum Wr Wr ..
BalasHapus