Langsung ke konten utama

PENDIDIKAN BERBASIS BUDAYA[1]

OLEH: DARMANINGTYAS
Pengantar:

Subtema Seminar Nasional mengenai “Kembali Budaya Bangsaku” yang merupakan rangkaian acara dari “Festival Pendidikan 2015” tingkat Jawa Tengah dengan tema “Menggali Nilai-Nilai Budaya dalam Pendidikan” ini mengingatkan kita terhadap arah pendidikan nasional yang seakan tercerabut dari akar budaya bangsa, sehingga budaya bangsaku itu sendiri hilang karena pendidikan yang seharusnya menjadi penyemai budaya bangsa tidak berakar lagi pada budaya, melainkn berakar pada paham pragmatisme kehidupan.


Tercerabutnya pendidikan dari akar-akar budaya sehingga menyebabkan hilangnya budaya bangsaku itu terutama terjadi ketika globalisasi dalam segala bidang mulai menggempur sektor pendidikan dan budaya. Gempuran ke dalam sektor pendidikan dimulai dengan masuknya kapital ke dalam pendidikan dan penciptaan standar tunggal, seperti standarisasi dan sertifikasi dalam segala hal. Sedangkan gempuran terhadap kebudayaan terjadi melalui konsumarisme, hedonisme, dan pragmatisme dalam banyak hal.

Tulisan di bawah ini mencoba ingin membahas relasi antara pendidikan dan kebudayaan yang merupakan dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan satu dan lainnya, melainkan saling melengkapi. Pendidikan nasional berbasis pada kebudayaan bangsa dan sekaligus mendukung pengembangan budaya bangsa.

Dasar Pendidikan

Dasar pendidikan yang dimaksudkan di sini adalah suatu landasan yang menjadi pijakan bagi praksis pendidikan nasional. Seluruh kebijakan pendidikan nasional dibuat berdasarkan pada landasan tersebut. Guna mengetahui dasar pendidikan nasional ini kita dapat melacak pada dokumen mengenai Risalah rapat-rapat BPUPKI (Badan Perjuangan dan Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia). Risalah tersebut berisi tentang catatan-catatan penting mengenai rapat-rapat yang dilaksanakan oleh para pendiri bangsa dalam rangka persiapan kemerdekaan Indonesia. Salah satu risalah yang dapat ditemukan adalah risalah tentang rencana pembentukan UUD (Undang-undang Dasar) yang kemudian dikenal dengan sebutan UUD 1945.

Menurut Ki Hadjar Dewantara, bersamaan dengan disiapkannya Kemerdekaan Indonesia dengan rencana Undang-Undang Dasarnya yang lengkap, diselesaikan juga rencana-rencana yang mengenai usaha-usaha Keekonomian, Keuangan, Pertahanan, dan Pendidikan pengajaran, sekalipun dalam maksudnya hanya bersifat “peninjauan”, yaitu garis-garis besar untuk menjadi dasar Undang-Undang Pengajaran di kemudian hari.

Pada waktu itu, Ki Hadjar Dewantara adalah Ketua “Sub-Panitia Pendidikan dan Pengajaran” bersama-sama dengan anggota-anggotanya, yaitu Prof. Dr. Husein Djajadiningrat, Prof. Dr. Asikin, Prof. Ir. Rooseno, Ki Bagus Hadji Hadikusumo, dan Kyai Hadji Masykur. Mereka inilah yang merencanakan atau membuat konsep mengenai cita-cita pendidikan dan pengajaran nasional, yang kemudian dengan sedikit perubahan disahkan oleh Panitia Pusat di bawah pimpinan Bung Karno, dan kemudian juga menjadi dasar perumusan naskah UUD 1945 untuk bidang agama, pendidikan, dan kebudayaan (pasal 29 – 32 dan 36). 

Beberapa butir pemikiran mengenai pendidikan pengajaran dan kebudayaan yang disusun oleh para pendiri bangsa itu antara lain:

1 .   Dengan `undang-undang kewajiban belajar' atau peraturan lain jika keadaan di sesuatu daerah memaksanya, pemerintah memelihara pendidikan kecerdasan akal budi untuk segenap rakyat dengan cukup dan sebaik-­baiknya, seperti ditetapkan dalam Undang-Undang Dasar pasal 3 1.

2.    Dalam garis-garis adab perikemanusian, seperti terkandung dalam segala pengajaran agama, maka pendidikan dan pengajaran nasional bersendi agama dan kebudayaan bangsa serta menuju ke arah `keselamatan' dan `kebahagiaan' masyarakat.

3.    Kebudayaan bangsa ialah kebudayaan yang timbul sebagai buah usaha budidaya rakyat Indonesia seluruhnya- Kebudayaan lama dan asli yang terdapat sebagai puncak-puncak kebudayaan di daerah-daerah di seluruh Indonesia, terhitung sebagai `kebudayaan bangsa'. Usaha kebudayaan harus menuju ke arah kemajuan adab, budaya dan persatuan bangsa, dengan tidak menolak bahan-bahan baru dari kebudayaan asing, yang dapat memperkembang atau memperkaya kebudayaan bangsa sendiri, serta mempertinggi derajat kemanusiaan bangsa Indonesia.'

4.    Untuk dapat memperhatikan serta memelihara kepentingan-kepentingan khusus dengan sebaik-baiknya, teristimewa yang berdasarkan agama dan atau kebudayaan, maka pihak rakyat diberi kesempatan yang cukup luas untuk mendirikan sekolah-sekolah partikelir, yang penyelenggaraan- nya sebagian atau sepenuhnya boleh dibiayai oleh pemerintah.

5     Tentang susunan pelajaran pengetahuan dan kepandaian umum harus ditetapkan suatu daftar pelajaran sedikit-dikitnya (minimum leerplan), yang menetapkan luas tingginya pelajaran pengetahuan dan kepandaian umum, serta pula pendidikan budi pekerti, teristimewa pendidikan semangat bekerja, kekeluargaan, cinta tanah air serta keprajuritan. Syarat-syarat itu diwajibkan untuk semua sekolah, baik kepunyaan negeri maupun partikelir.

6.    Susunan sekolah diatur sebagai berikut:

    Mulai tingkatan sekolah rakyat sampai tingkatan sekolah menengah tinggi diadakan sekolah-sekolah `pengetahuan umum' dan `kepandaian khusus' (vakschonl).
    Untuk murid-murid yang tidak meneruskan pelajarannya, maka di tiap-tiap sekolah rakyat diadakan kelas-sambungan, yaitu `kelas masyarakat' untuk mengajarkan permulaan kepandaian khusus, yang sesuai dengan alam dan masyarakat di tempat kedudukan sekolah masing-masing (pertanian di desa-desa, pertukangan dan perdagangan di kota-kota, pelajaran dan perikanan di keliling pantai-pantai, dan sebagainya); pula pelajaran ilmu kemasyarakatan yang praktis.
    Tiap-tiap `sekolah pengetahuan umum' mempunyai hubungan lanjutan dengan `sekolah kepandaian khusus'.
    Sekolah-sekolah menengah dan menengah tinggi menjadi bagian A (Alam) dan bagian B (Budaya) untuk menyesuaikan pengajaran dengan bakat anak-anak murid. Pada sekolah menengah atau menengah tinggi puteri, daftar pelajaran yang mengenai `pengetahuan umum' sama dengan daftar pelajaran sekolah yang sejenis untuk anak laki-laki.
    Lamanya pelajaran pada masing-masing tingkatan sekolah (pertama, rakyat, menengah, dan menengah tinggi) ialah 3 tahun.
    Tentang sekolah-sekolah khusus, yakni sekolah kepandaian, maka untuk segala kepentingan masyarakat dan kebudayaan harus diadakan `sekolah-sekolah khusus' yang cukup. Misalnya: sekolah-sekolah tani, pertukangan, teknik, dagang, pelayaran, perikanan, kesehatan, rumah tangga, dan sebagainya; juga sekolah-sekolah kesusastraan, musik; ukir-ukiran, dan sebagainya.
    Sekolah-sekolah untuk mendidik guru harus dipentingkan; bahkan untuk pengeluasan pengajaran dan pendidikan yang sehebat-hebatnya harus diadakan usaha mendidik guru dengan secara kilat. Baik untuk penyelenggaraan sekolah-sekolah guru biasa maupun untuk pendidikan guru secara kilat, maka kegiatan rakyat dengan sekolah-sekolahnya partikelir harus dipergunakan sebaik-baiknya.
    Untuk dapat tenaga-tenaga pemimpin penyelenggara segala kewajiban negeri dan masyarakat yang penting-penting, maka harus diadakan universitas dan atau sekolah-sekolah tinggi yang cukup; jangan dilupakan sekolah-sekolah tinggi untuk keprajuritan.
    Biaya belajar harus serendah-rendahnya dengan pembebasan uang belajar untuk mereka yang tidak mampu.

7.   Tentang pelajaran Bahasa dan Kebudayaan, maka dengan mengingat pasal 32 dan 36 UUD dan pasal ke-3 dalam garis-garis besar adalah sebagai berikut:

a.    Bahasa Indonesia diajarkan dengan cukup di segala sekolah di seluruh Indonesia dan dipakai sebagai `bahasa pengantar' mulai di sekolah-­sekolah rakyat sampai di sekolah-sekolah tinggi.

b.    Di daerah-daerah yang mempunyai bahasa sendiri, yang dipelihara oleh rakyatnya dengan sebaik-baiknya, diwajibkan mengadakan `bahasa persatuan' mulai Kelas III pada sekolah pertama, dengan jaminan akan cukup pandainya anak-anak dalam Bahasa Indonesia bila mereka tamat belajar di sekolah-sekolah rakyat.

c.       Di sekolah-sekolah menengah tinggi bagian Budaya dipelajarkan bahasa Arab dan Sanskerta.

    Bahasa-bahasa asing yang perlu untuk menuntut pelajaran penting, baik yang terdapat dalam kitab-kitab yang berbahasa asing maupun yang harus didapat dengan melalui sekolah-sekolah di luar negeri, dipelajarkan di sekolah-sekolah menengah atau menengah tinggi.

8.   Selain di dalam sekolah-sekolah harus dipentingkan juga pendidikan rakyat dengan jalan sebagai yang berikut:

a.      latihan keprajuritan untuk pemuda-pemuda dan pemudi-pemudi

b.      pendidikan yang ditujukan kepada orang-orang dewasa;

c.       pendidikan khusus kepada kaum ibu;

    memperbanyak bacaan dengan memajukan perpustakaan, penerbitan surat-surat kabar, dan majalah-majalah.

 9.  Mendirikan `Balai Bahasa Indonesia'.

10. Mengirimkan pelajar-pelajar ke seluruh dunia.



Rumusan “Sub-Panitia Pendidikan dan Pengajaran” yang dibuat pada saat menjelang masa kemerdekaan itu merupakan penjabaran lebih lengkap bunyi pasal 29 tentang agama, pasal 31 tentang pendidikan, pasal 32 tentang kebudayaan, dan pasal 36 tentang bahasa. Hal itu mengingat yang tercantum dalam pasal-pasal UUD 1946 adalah pokok-pokok saja, tapi kita dapat memperoleh penjelasan panjang dari yang pokok-pokok tersebut dalam risalah BPUPKI. Berdasarkan risalah tersebut kita mengetahui secara jelas bahwa masalah agama, pendidikan, kebudayaan, dan bahasa bukan merupakan bidang-bidang yang terpisah, tapi satu kesatuan yang utuh. Agama dan budaya menjadi dasar sistem pendidikan nasional, sedangkan bahasa menjadi media pendidikan dan sekaligus hal yang memperkaya khasanah pendidikan. Itulah sebabnya di daerah-daerah yang memiliki bahasa ibu (bahasa daerah) pengajaran di tingkat bawah dilaksanakan dengan menggunakan bahasa ibu. Selain untuk mempermudah penyampaian materi pelajaran sesuai dengan tingkat usia anak, juga untuk memperkokoh karakter murid, mengingat penanaman nilai-nilai dalam kehidupan akan lebih mudah disampaikan dengan menggunakan bahasa ibu.


Belajar dari Tamansiswa

Rumusan dasar-dasar pendidikan nasional yang berlandaskan pada agama dan budaya itu tidak terlepas dari peran Ki Hadjar Dewantara (KHD) sebagai peletak dasar sistem pendidikan nasional. Kita semua mengetahui bahwa Ki Hadjar Dewantara jauh sebelum kemerdekaan telah mendirikan perguruan (sekolah), yaitu Perguruan Tamansiswa yang berbasis pada kebudayaan, kebangsaan, dan kerakyatan. Pengalaman mengembangkan Tamansiswa itulah yang kemudian menjadi dasar untuk merumuskan landasan pendidikan nasional. Dan saya kira, perjalanan praksis pendidikan nasional pada masa awal kemerdekaan itu masih amat kental dengan dasar-dasar agama dan kebudayaan tanpa harus terjebak pada agamanisasi ilmu pengetahuan sebagaimana diperkenalkan oleh Kurikulum 2013.   

Kentalnya aspek budaya dalam sistem pendidikan yang dikembangkan oleh KHD bukan hanya tercermin pada metodologi pembelajaran yang memakai seni sebagai medianya, tapi konsep pendidikan itu sendiri berbasis budaya. Konsep “sekolah” yang diganti dengan “perguruan” sudah mencerminkan ciri tertentu. Perguruan adalah tempat para guru berada sehari-hari atau tinggal di sana. Sedangkan itilah guru sendiri disebut “pamong” yang mempunyai tugas “ngemong”, sehingga maknanya bukan hanya sekadar menyampaikan materi pelajaran saja, tapi juga menuntun, membimbing, mengarahkan,  dan melindungi anak yang dimong agar tidak jatuh ke jurang atau ke dalam lumpur.

Sekolah itu menurut KDH adalah taman bermain bagi anak-anak untuk dapat tumbuh dewasa dan menjadi orang yang mandiri, serta bertanggung jawab. Oleh karena itulah bermain bukan sekadar permainan yang penuh dengan kesia-siakan, tapi bermain yang selalu memberikan nilai-nilai filosofis kepada anak. Nilai-nilai tersebut baru akan disadari setelah dewasa. Pada tingkat taman kanak-kanak (TK) atau yang dikenal dengan sebutan Taman Indria, yang ditekankan adalah pelajaran ditujukan untuk olah raga dan olah jiwa. Oleh karena itu, pelajaran gerak badan dan seni menjadi penting dan utama karena keduanya berfungsi menyeimbangkan pertumbuhan/kesehatan fisik dengan pertumbuhan/kesehatan jiwa. Itulah sebabnya pelajaran di Taman Indria  pada saat itu lebih banyak bermain atau dolanan. Dolanan, yang merupakan salah satu budaya bangsa itu bukan sekadar bermain menghabiskan waktu, tapi juga mengajarkan ketrampilan, kecermatan, kecerdikan, disiplin, tanggung jawab, kekompakan, kebersamaan, tenggang rasa, solidaritas, kesetaraan, dan membangun strategi.

Kegiatan dolanan akan bubar berantakan bila aspek-aspek yang harus ada dalam dolanan tersebut hilang. Misalnya saja, dalam dolanan bareng itu yang dominan adalah ego diri yang terlalu kuat, dapat dipastikan dolanannya tidak bisa gayeng (ramai) tapi akan penuh manipulatif demi melayani anak yang dominan tersebut. Demikian pula bila dalam dolanan (gobak sodor, kasti, gatrik, ular naga, dsb) tidak  memakai strategi pasti akan kalah terus. Dengan kata lain, dolanan itu mempunyai multi fungsi untuk pendidikan, sehingga dipilih sebagai media pembelajaran di lingkungan Tamansiswa pada masa-masa awal pendiriannya dulu hingga berakhirnya Pemerintahan Soekarno (1965). Paskah 1965 sistem pendidikan di Tamansiswa sepenuhnya tunduk pada sistem pendidikan nasional sehingga tidak menawarkan alternative apa pun, menjadi sekolah biasa saja. Sayang, pada saat ini berbagai jenis permainan anak-anak yang ada di Indonesia, seperti misalnya benteng, congklak, kelereng, galasin (gobak sodor), gasing, kasti, laying-layang, petak umpet, kitiran, yoyo, balap karung, benthic (gatrik), egrang, lompat tali, ular naga, engklek, bekel, dan lain sebagainya sudah tidak dikenal lagi oleh anak-anak maupun remaja.

Tergusurnya berbagai jenis permainan yang bermakna kultural edukatif itu disebabkan oleh berbagai factor: hadirnya pesawat televise ke rumah-rumah warga dengan berbagai atraksi yang menarik, hilangnya ruang-ruang bermain karena untuk kegiatan komersial, serta perubahan aktivitas anak dari bermain ke kursus-kursus atau les privat. Hilangnya ruang-ruang bermain itu tidak hanya ada di kota-kota besar akibat komersialisasi lahan, tapi juga di kampung-kampung sejak diperkenalkannya konsep warung hidup dan apotik hidup pada awal decade 1970-an sehingga ruang-ruang kosong yang dulunya untuk bermain anak-anak pada saat sore atau malam hari, tidak bisa lagi untuk bermain karena ada banyak tumbuh-tumbuhan. Sekolah sendiri sudah tidak memiliki ruang special dan waktu untuk mengajarkan permainan kepada anak-anak karena telah mengalami perubahan arah, paradigm, metode pembelajaran, maupun indicator keberhasilannya. Praksis pendidikan nasional kemudian terjebak pada pragmatisme karena hanya mengabdi pada indikator-indikator yang dibuat oleh pemerintah saja, tidak lagi melakukan eksperimen dan elaborasi untuk mengembangkan suatu sistem pendidikan yang berbasis budaya seperti yang dikembangkan oleh Perguruan Tamansiswa pada masa-masa awal pendiriannya dulu. Indikator-indikator keberhasilan yang ditetapkan oleh pemerintah itu sifatnya baku sehingga mau tidak mau harus ditaati oleh semua sekolah.

Munculnya kesadaran untuk kembali pada budaya bangsaku dalam praksis pendidikan itu merupakan hal yang menggembirakan, meskipun juga tidak mudah karena tantangan yang dihadapi terlalu kompleks. Tapi ini langkah yang perlu diapresiasi. Hanya saja perlu diingatkan bahwa kebudayaan itu tidak hanya mencakup karya seni saja, tapi seluruh seluruh produk yang merupakan hasil olah akal atau budi manusia, termasuk juga budaya maritim, agraris, perairan, perdagangan, dan lainnya. Seluruh karya budaya bangsa ini perlu menjadi rujukan kita dalam mengembangkan sistem pendidikan nasional maupun tatanan kehidupan sehari-hari agar kita mampu berdiri di atas jati diri bangsa sehingga tidak terombang-ambing oleh tatanan yang dibuat oleh bangsa-bangsa lain melalui berbagai mekanisme.

Bangsa Jepang, Cina, Thailand, dan India merupakan bangsa-bangsa di dunia yang dapat kita jadikan rujukan yang dapat mengembangkan sistem pendidikan nasional maupun tatanan kehidupan sehari-hari. Bangsa Jepang maju dalam segala bidang teknologi, tapi mereka tetap berpijak pada akar budaya bangsanya. Pernah pada suatu masa (abad ke-16-17) bangsa Jepang sempat mengalami perubahan tata nilai dengan masuknya para misioneris Agama Katolik dari Eropa.  Antara pertengahan abad ke-16 sampai dasawarsa awal abad ke-17 kebudayaan Eropa maupun orang-orang Eropa deras masuk ke Jepang. Bangsa-bangsa Eropa itu datang ke Jepang tidak secara pasif, tapi aktif, percaya diri, dan meyakinkan sehingga mampu mengubah struktur masyarakat Jepang menjadi sesuai dengan kebudayaan mereka (Robert S. Ozaki, 1992:27-28).  Namun pengaruh budaya barat itu kemudian dihancurkan oleh Tokugawa Ieyasu (1542-1616) yang melarang penyebaran Agama Katolik dan semua warga yang tidak mau balik ke agama asli dikenakan hukuman. Pengusiran terhadap orang-orang Eropa pun terjadi dan klimaksnya adalah pada tahun 1639 sewaktu diproklamirkan politik isolasi, dengan larangan mutlak terhadap masuknya kapal-kapal Portugis ke pelabuhan-pelabuhan Jepang (Ibid, hal.27). Sejak itu, Jepang sepenuhnya berdiri berdasar nilai budaya bangsanya.

Hal serupa terjadi pada Cina dan India yang memiliki penduduk terbesar di dunia namun dalam dua decade terakhir pertumbuhan ekonominya amat menggembirakan dan mampu menghidupi warganya tanpa harus melakukan impor produk pangan. Kedua Negara ini berpegang teguh pada budaya bangsanya sehingga meskipun secara ekonomi mereka maju, tapi tetap maju sebagai bangsa Cina dan India. Hal yang sama terjadi pada Thailand. Kita mengenal Negara ini amat kuat pada sektor agrarisnya, produk pertanian mereka menguasai pangsa pasar di Indonesia dan merambah ke seluruh penjuru dunia, tapi kita juga mengetahui bahwa mereka tetap berpegang teguh pada kebudayaan bangsanya. Sampai saat ini papan-papan nama kantor, termasuk kantor pemerintah masih ditulis dalam Bahasa Thai sehingga bagi orang asing tidak mudah mengenalinya. Meskipun penggunaan hurup Thai masih dominan, wisatawan asing yang datang ke Thailand jauh lebih tinggi dibandingkan yang datang ke Indonesia. Jika wisatawan asing yang datang ke Indonesia rata-rata hanya tujuh juta jiwa setahun, tapi wisatawan asing yang datang ke Thailand rata-rata 17 juta jiwa. Padahal, kekayaan alam dan budaya yang dapat dijadikan obyek wisata di Thailand itu kalah jauh dibandingkan dengan kekayaan alam dan budaya di Indonesa. 

Perkembangan beberapa Negara (Asia) yang menunjukkan kemajuan mereka dalam bidang pertanian, ekonomi, dan teknologi di satu sisi, tapi di sisi lain mereka tetap teguh pada nilai-nilai budaya bangsa itu memperlihatkan kepada kita semua bahwa tidak ada kontradiksi antara budaya dan kemajuan teknologi atau ekonomi, yang terjadi justru saling menunjang. Boleh jadi, kreativitas masyarakat Indonesia akan semakin berkembang dan produktivitasnya meningkat tatkala mereka berpijak dan terus menggali budaya bangsa yang selalu memberikan inspirasi terhadap munculnya gagasan-gagasan baru. Kemandirian kita sebagai bangsa juga akan terbangun tatkala kita kembali pada budaya bangsaku sebagai Negara maritime-agraris, karena segala potensi sumber daya alam yang ada dapat diolah dan dikembangkan sendiri, sehingga tidak perlu impor terhadap produk-produk pertanian, peternakan, perkebunan, dan perikanan.

Kembali kepada budaya bangsaku, yang tidak hanya seni, tapi juga budaya maritim, agraris, perairan, tenun, dan lain sebagainya; selain akan meningkatkan perekonomian dan kemandirian bangsa, juga akan membuka lapangan kerja baru karena sector-sektor seperti pertanian, perairan, maritime, dan industri kreatif merupakan sektor yang padat karya; tinggal meningkatkan nilai tambahnya saja agar keluasan dalam daya serap tenaga kerja tersebut berkorelasi positip dengan tingginya upah yang diberikan, sehingga mampu menjadi daya tarik bagi kalang muda terdidik untuk memasuki sector-sektor tersebut. Selama ini, sektor-sektor agraris, maritime, perairan, dan perdagangan itu tidak mampu menarik kalangan mudah untuk masuk ke dalamnya sehingga terjadi kelangkaan tenaga kerja dalam sector-sektor tersebut, tapi pada sisi lain terjadi peningkatan angka pengangguran kaum terdidik. Semoga dengan kembali ke budaya bangsaku, akan mengubah mentalitas anak muda juga untuk berani fight di budaya maritime, agraris, dan perairan sehingga tidak hanya menunggu di sector formal saja. Jadi kita kembali ke budaya bangsaku bukan dalam badan wadag, tapi yang utama adalah ruhnya.

[1] Materi untuk diskusi tentang Kembali Budaya Bangsaku yang diselenggarakan oleh Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Muria Kudus, tanggal 24 Februari 2015.

Komentar

  1. Assalamu Alaikum wr-wb, perkenalkan nama saya ibu Rosnida zainab asal Kalimantan Timur, saya ingin mempublikasikan KISAH KESUKSESAN saya menjadi seorang PNS. saya ingin berbagi kesuksesan keseluruh pegawai honorer di instansi pemerintahan manapun, saya mengabdikan diri sebagai guru disebuah desa terpencil, dan disini daerah tempat saya mengajar hanya dialiri listrik tenaga surya, saya melakukan ini demi kepentingan anak murid saya yang ingin menggapai cita-cita, Sudah 9 tahun saya jadi tenaga honor belum diangkat jadi PNS Bahkan saya sudah 4 kali mengikuti ujian, dan membayar 70 jt namun hailnya nol uang pun tidak kembali, bahkan saya sempat putus asah, pada suatu hari sekolah tempat saya mengajar mendapat tamu istimewa dari salah seorang pejabat tinggi dari kantor BKN pusat karena saya sendiri mendapat penghargaan pengawai honorer teladan, disinilah awal perkenalan saya dengan beliau, dan secara kebetulan beliau menitipkan nomor hp pribadinya dan 3 bln kemudian saya pun coba menghubungi beliau dan beliau menyuruh saya mengirim berkas saya melalui email, Satu minggu kemudian saya sudah ada panggilan ke jakarta untuk ujian, alhamdulillah berkat bantuan beliau saya pun bisa lulus dan SK saya akhirnya bisa keluar,dan saya sangat berterimah kasih ke pada beliau dan sudah mau membantu saya, itu adalah kisah nyata dari saya, jika anda ingin seperti saya, anda bisa Hubungi Bpk Drs Tauhid SH Msi No Hp 0853-1144-2258. siapa tau beliau masih bisa membantu anda, Wassalamu Alaikum Wr Wr ..

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

BIODATA DARMANINGTYAS

BIODATA DARMANINGTYAS, menggeluti pendidikan sejak mulai menjadi mahasiswa baru di UGM, Agustus 1982 dengan menjadi guru di SMP Binamuda dan SMA Muhammadiyah Panggang, Gunungkidul, DIY. Pendidikan formalnya cukup Sarjana Filsafat Universitas Gadjah Mada (UGM) dan selebihnya otodidak. Gelar “Profesor Doktor” diperoleh dari undangan, sertifikat, piagam, spanduk, dan sejenisnya; sebagai bentuk pengakuan nyata dari masyarakat.

Masyarakat Diajak Adaptasi

Pemerintah, melalui lembaga dan kementerian, mengeluarkan peraturan dan edaran perihal protokol atau pedoman kesehatan. Protokol itu berlaku di tempat masyarakat, industri, sektor jasa, dan perdagangan.

REFLEKSI DARI PELATIHAN GURU SASARAN DI LAMPUNG

Berikut saya sampaikan refleksi saya tatkala mendapat tugas untuk membuka dan kasih pengarahan pada pelatihan guru sasaran di Lampung tanggal 9 Juli lalu. Semoga refleksi in dapat menjadi bahaperbaikan proses pelatihan guru yang akan dating sehingga menjadi lebih baik.