Langsung ke konten utama

MENANTI AYAH BUNDA

OLEH: DARMANINGTYAS

Ayah Bunda merupakan sebutan yang amat khas di kalangan kelas menengah terdidik. Jarang sekali anak-anak dari orang kebanyakan menyebut kedua orang tua mereka dengan sebutan “ayah bunda”. Sebutan “ayah bunda” itu memperlihatkan kelekatan emosional relasi antara relasi anak dengan orang tuanya (bapak dan ibu). Para ibu dari kalangan terdidik yang care terhadap anaknya akan selalu membahasakan anaknya dengan “bunda”.  Tidak aneh bila sebutan “ayah bunda” itu kemudian menjadi nama majalah keluarga. Pilihan nama tersebut, bukan tanpa pertimbangan yang masak, tapi didasarkan pada makna filosofis dan semantic. Itulah sebabnya namanya “ayah bunda”, bukan “bapak ibu” atau “papa mama”.


Ayah bunda itu memiliki peran amat penting dalam pendidikan. Karakter anak terbentuk berawal dari rumah berdasarkan nilai-nilai yang ditanamkan oleh ayah bunda. Ajaran agar tidak merokok, tidak minum minuman keras, kalau makan mulutnya tidak bersuara,  sopan santun, ramah, respek terhadap orang lain, dll. itu semua ajaran yang diberikan ayah bunda di rumah. Ayah bunda pula yang akan mengontrol dan mengawasi perilaku anaknya di rumah maupun lingkungan sekitar, apakah anak-anak berperilaku seperti yang diajarkan atau tidak. Sekolah tidak mampu mengawasinya. Ayah bunda pula yang mengarahkan anak-anak untuk memilih teman yang tepat, khawatir anaknya akan ikut rusak bila salah memilih kawan. Ini sejalan dengan pernyataan sastrawan Victor Hugo bahwa “dosa anak dosa orang tua”. Artinya, kerusakan yang terjadi pada anak, sesungguhnya andil besar orang tua juga.

Peran sentral ayah bunda menjadi yang pertama dan terpenting dalam meletakkan dasar-dasar karakter pada anak itu disadari sepenuhnya oleh sastrawan dari India Rabindranath Tagore yang mendirikan Shanti Niketan dan Ki Hadjar Dewantara yang mendirikan Tamansiswa, bahwa keluarga (rumah) menjadi tempat awal tumbuh berkembangnya anak. Menurut Ki Hadjar Dewantara, “di dalam hidupnya anak-anak adalah tiga tempat pergaulan yang menjadi pusat pendidikan yang amat penting baginya, yaitu alam keluarga, alam perguruan, dan alam pergerakan pemuda” (Majalah Wasita Tahun ke 1 No. 4 Juni 1935).

Berdasarkan keyakinan itulah Ki Hadjar Dewantara memperkenalkan konsep Tripusat Pendidikan (tiga pusat pendidikan), yaitu rumah (keluarga), perguruan (sekolah), dan alam pemuda (lingkungan sekitar). Ketiganya merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan karena saling melengkapi satu dan lainnya. Alam keluarga adalah pusat pendidikan yang pertama dan yang terpenting, oleh karena sejak timbulnya adab kemanusiaan hingga kini, hidup keluarga itu selalu mempengaruhi bertumbuhnya budi pekerti dari tiap-tiap manusia. Alam perguruan adalah pusat pendidikan, yang teristimewa berkewajiban mengusahakan kecerdasan pikiran (perkembangan intelektual) beserta pemberian ilmu pengetahuan (balai wiyata). Sedangkan alam pemuda, yaitu pergerakannya pemuda-pemuda yang pada zaman kini terlihat sudah tetap adanya (geconsolideerd), harus kita akui dan kita pergunakan untuk menyokong Pendidikan.

Menyadari bahwa peran ayah bunda itu hilang dari pendidikan nasional, terutama dalam membangun karakter anak, itulah muncul gagasan baru dari Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Anies Baswedan untuk membentuk direktorat baru bernama Direktorat Keayahbundaan. Salah satu fokus perhatian dari direktorat baru itu adalah peningkatan kemampuan orang tua agar orang tua lebih real (nyata) bagi anak. Orang tua itu terpenting dalam pembentukan watak anak, tapi selama ini terlewatkan, tapi tidak tersiapkan.

Sepintas, gagasan Direktorat Keayahbundaan itu aneh, lucu, dan mengada-ada. Tapi bila mengacu pada konsep tripusat pendidikan Rabendranath Tagore dan Ki Hadjar Dewantara, gagasan Menteri Anies ini adalah terobosan dari berfikir tentang pencerdasan bangsa yang tidak terjebak pada sistem persekolahan (schooling) saja. Pendidikan luar sekolah, terutama keluarga selama ini terabaikan karena terlalu terjebak pada sistem persekolahan.

Direktorat Keayahbundaan ini tepat di bawah Kemendikbud, bukan di bawah BKKBN mengingat tugas pokok dan fungsinya untuk mendidik orang tua, bukan untuk perencanaan keluarga. Justru tidak tepat bila dibawah BKKBN. Bentuk kelembagaan direktorat ini bukan setingkat Dirjen (Eselon I), tapi Direktur (Eselon II), mengingat pendidikan keluarga itu masuk domain Dirjen Pendidikan Luar Sekolah (PLS). Dengan eselonisasi yang jelas itu tidak akan terjadi tumpang tindih dalam menjalankan peran. Jika selama ini PLS hanya mengurusi Kejar Paket (A, B, dan C) serta kursus-kursus, maka ke depan termasuk mengedukasi para orang tua agar lebih care terhadap pendidikan anaknya. Lebih dari 23 juta kepala keluar (KK) hanya tamat SD. Orang tua perlu diedukasi, agar apa yang diajarkan di sekolah nyambung ke rumah. Selama ini, di sekolah anak-anak diberitahu bahaya merokok, tapi di rumah melihat ayahnya merokok. Atau orang tua menyuruh anaknya belajar, tapi dirinya justru nonton teve dengan suara keras.
             

Komentar

  1. Assalamu Alaikum wr-wb, perkenalkan nama saya ibu Rosnida zainab asal Kalimantan Timur, saya ingin mempublikasikan KISAH KESUKSESAN saya menjadi seorang PNS. saya ingin berbagi kesuksesan keseluruh pegawai honorer di instansi pemerintahan manapun, saya mengabdikan diri sebagai guru disebuah desa terpencil, dan disini daerah tempat saya mengajar hanya dialiri listrik tenaga surya, saya melakukan ini demi kepentingan anak murid saya yang ingin menggapai cita-cita, Sudah 9 tahun saya jadi tenaga honor belum diangkat jadi PNS Bahkan saya sudah 4 kali mengikuti ujian, dan membayar 70 jt namun hailnya nol uang pun tidak kembali, bahkan saya sempat putus asah, pada suatu hari sekolah tempat saya mengajar mendapat tamu istimewa dari salah seorang pejabat tinggi dari kantor BKN pusat karena saya sendiri mendapat penghargaan pengawai honorer teladan, disinilah awal perkenalan saya dengan beliau, dan secara kebetulan beliau menitipkan nomor hp pribadinya dan 3 bln kemudian saya pun coba menghubungi beliau dan beliau menyuruh saya mengirim berkas saya melalui email, Satu minggu kemudian saya sudah ada panggilan ke jakarta untuk ujian, alhamdulillah berkat bantuan beliau saya pun bisa lulus dan SK saya akhirnya bisa keluar,dan saya sangat berterimah kasih ke pada beliau dan sudah mau membantu saya, itu adalah kisah nyata dari saya, jika anda ingin seperti saya, anda bisa Hubungi Bpk Drs Tauhid SH Msi No Hp 0853-1144-2258. siapa tau beliau masih bisa membantu anda, Wassalamu Alaikum Wr Wr ..

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

BIODATA DARMANINGTYAS

BIODATA DARMANINGTYAS, menggeluti pendidikan sejak mulai menjadi mahasiswa baru di UGM, Agustus 1982 dengan menjadi guru di SMP Binamuda dan SMA Muhammadiyah Panggang, Gunungkidul, DIY. Pendidikan formalnya cukup Sarjana Filsafat Universitas Gadjah Mada (UGM) dan selebihnya otodidak. Gelar “Profesor Doktor” diperoleh dari undangan, sertifikat, piagam, spanduk, dan sejenisnya; sebagai bentuk pengakuan nyata dari masyarakat.

Masyarakat Diajak Adaptasi

Pemerintah, melalui lembaga dan kementerian, mengeluarkan peraturan dan edaran perihal protokol atau pedoman kesehatan. Protokol itu berlaku di tempat masyarakat, industri, sektor jasa, dan perdagangan.

REFLEKSI DARI PELATIHAN GURU SASARAN DI LAMPUNG

Berikut saya sampaikan refleksi saya tatkala mendapat tugas untuk membuka dan kasih pengarahan pada pelatihan guru sasaran di Lampung tanggal 9 Juli lalu. Semoga refleksi in dapat menjadi bahaperbaikan proses pelatihan guru yang akan dating sehingga menjadi lebih baik.