Langsung ke konten utama

MEMPERTIMBANGKAN PEMBUBARAN KOPERTIS

Oleh: Darmaningtyas
Penulis Buku Melawan Liberalisasi Pendidikan (2014)

Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Menristek Dikti) M. Nasir mewacanakan penghapusan dikotomi antara PTN (Perguruan Tinggi Negeri) dengan PTS (Perguruan Tinggi Swasta)  dan akan mendirikan Lembaga Layanan Pendidikan Tinggi  (LLPT) untuk menggantikan keberadaan Koordinator Perguruan Tinggi Swasta (Kopertis) yang selama ini menyebar di 12 wilayah di seluruh Indonesia. Pegawai Kopertis adalah PNS dari Direktorat Pendidikan Tinggi atau dari PTN di wilayah masing-masing.


Tentu saja gagasan Menristek Dikti itu merupakan gagasan bagus mengingat secara kuantitatif, jumlah PTS dan mahasiswa di PTS lebih banyak dibandingkan jumlah PTN dan mahasiswa PTN. Sebagai contoh, data 2013 menunjukkan bahwa jumlah PT secara keseluruhan mencapai 3.219, tapi jumlah PTN-nya hanya 99 (3%) saja, sedangkan PTS mencapai 3.120 (97%). Sedangkan jumlah total mahasiswa sebanyak 5.616.670, terdiri dari mahasiswa PTN ada 1.816.391 (32,33%) dan jumlah mahasiswa PTS mencapai 3.800.271 orang (67,66). Memang tahun 2014 ada penambahan beberapa PTN baru sehingga akhir 2014 jumlah PTN bertambah menjadi 120, tapi tetap jauh di bawah jumlah PTS.

Data di atas memang memperlihatkan adanya kesenjangan produktivitas antara PTN dengan PTS. PTN yang hanya tiga persen memiliki mahasiswa 32% lebih, sedangkan PTS yang 97% memiliki mahasiswa hanya 67,66%. Jika tingkat produktivitas PTS tinggi, maka paling tidak PTS memiliki mahasiswa sepuluh kali lipat dari jumlah mahasiswa di PTN. Dengan demikian, data ini selain memperlihatkan besarnya peran PTS dalam meningkatkan angka partisipasi pendidikan tinggi, juga memperlihatkan lemahnya manajemen di PTS sehingga rendah produktivitasnya.   Data yang pernah dilansir oleh ABP PTSI (Asosiasi Badan Penyelenggara Perguruan Tinggi Swasta Indonesia) Desember 2014 lalu menunjukkan bahwa dari 340 PTS di suatu Kopertis, hanya 20,83% saja yang dinyatakan sehat murni, 2,38% sehat, 4,17% hampir sehat, sedangkan selebihnya 64,88% belum sehat alias sakit. Meskipun populasi PTS yang diidentifikasi hanya 11% dari total PTS yang di Indonesia, tapi dapat menggambarkan kondisi obyektif PTS di Indonesia, yang sebagian besar dalam kondisi sakit; orang sakit tidak bisa produktif.

            Sakitnya mayoritas PTS kita itu lebih banyak disebabkan faktor internal, pengurus yayasan sebagai penyelenggara. Banyak yayasan penyelenggara PTS dalam kondisi sakit, dalam pengertian mereka mendirikan  PTS tidak didukung dengan pendanaan yang cukup  dan infrastruktur yang memadai, mereka hanya membaca peluang bisnis saja. Oleh karena itu, meskipun hanya bermodalkan gedung setingkat gedung SD dengan lahan sempit dan tenaga pengajar yang pas-pasan, berani mendirikan PTS. Jadilah kemudian PTS yang kampusnya di ruko-ruko kecil atau di perkampungan padat tanpa dukungan fasilitas laboratorium dan perpustakaan yang memadai, sehingga tidak layak disebut kampus. PTS-PTS yang masuk kategori sehat maupun sehat murni pada umumnya didirikan dengan visi-misi yang jelas, entah itu bagian dari misi agama atau misi nasionalisme; yang pasti mereka memiliki dasar ideologi yang jelas, bukan sekadar menangkap peluang bisnis saja. Dan justru karena adanya misi non ekonomis itulah maka mereka berusaha untuk mengelola PTS-nya secara profesional agar diperhitungkan oleh masyarakat.

            Faktor eksternal, terutama Pemerintah tidak bisa dipersalahkan atas sakitnya mayoritas PTS, mengingat Pemerintah sendiri tentu kebingungan untuk menentukan pilihan PTS-PTS mana saja yang perlu mendapatkan bantuan, di tengah keterbatasan anggaran Negara, sementara jumlah PTS mencapai ribuan. Akhirnya, tidak terelakkan bahwa keberadaan PTS-PTS yang sehat serta kedekatan relasional dengan pengambil kkebijakan akan menjadi dasar penentuan pemberian bantuan. Resikonya, PTS-PTS yang tidak memperoleh bantuan akan berteriak, bahwa pemerintah diskriminatif. Tapi pemerintah tidak perlu risau terhadap hal ini.  

Fungsi Pembinaan

            Keberadaan Kopertis di 12 wilayah di seluruh Indonesia, selain dimaksudkan untuk melakukan koordinasi, juga yang utama adalah melaksanakan fungsi pembinaan terhadap PTS-PTS yang ada di wilayahnya agar sehat semua. Tapi karena fungsi pembinaan itu tidak disertai dengan alokasi anggaran yang cukup, dengan sendirinya Kopertis tidak bisa maksimal. Kopertis tidak bisa memberikan suntikan dana kepada PTS-PTS yang menjelang sekarat. Kopertis hanya dapat memberikan rekomendasi saja kepada Dirjen Pendidikan Tinggi mengenai PTS-PTS yang perlu ditutup, digabung (merger) dengan PTS lain, atau didukung.

Meskipun Kopertis bukan pengambil keputusan, keberadaannya sangat penting bagi PTS, karena bila ada persoalan yang terkait dengan managemen dan birokrasi, para penyelenggara PTS memiliki jujugan(arah tujuan yang jelas) untuk mengadukan persoalannya. Bila tidak ada Kopertis, kemana mereka dapat mengadukan persoalannya, mengingat jalur hirarkhinya itu setelah Kopertis langsung ke Jakarta (Dirjen Dikti)? Berbeda dengan sekolah dasar hingga menengah yang memiliki perwakilan di Dinas Pendidikan; keberadaan PT itu langsung diatur dari Pusat (Jakarta) sehingga tidak memiliki perwakilan di daerah. Ini tentu saja amat menyulitkan pagi PTS-PTS di luar Jawa, karena bila setiap ada persoalan harus mengadu langsung ke Dirjen Dikti di Jakarta, selain biayanya amat mahal, juga memerlukan waktu yang lebih panjang. Dengan kata lain, keberadaan Kopertis di daerah-daerah itu dapat menjadi penyambung aspirasi PTS ke Pemerintah dengan jangkauan yang lebih mudah.

            Apabila keberadaan Kopertis itu justru dinilai sebagai bentuk dikhotomi antara PTN dengan PTS, sehingga perlu dibubarkan, itu amat tergantung pada cara pandang saja. Saya justru khawatir kalau Kopertis itu dibubarkan, PTS-PTS yang jumlahnya mencapai 3.000-an itu tidak punya induk yang jelas. Pembubabaran direktorat Sekolah Swasta di Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan dapat dijadikan sebagai pelajaran berharga. Paska reformasi politik 1998, Direktur Sekolah Swasta itu dihilangkan karena inginnya tidak ada dikhotomi lagi antara sekolah negeri dengan sekolah swasta. Faktanya, diskriminasi itu masih terus ada dan sekarang sekolah-sekolah swasta tidak memiliki induk semang lagi untuk mengadukan nasibnya. Hal yang sama dapat terjadi pada PTS ketika Kopertis dibubarkan, sementara keberadaan Lembaga Layanan Pendidikan Tinggi (LLPT) tidak mampu menampung semua aspirasi PTS. Bila komposisi mereka yang duduk di LLPT pun diatur 50:50 antara PTN dan PTS, belum tentu menyelesaikan masalah, sebaliknya akan melahirkan masalah baru di internal PTS terkait dengan siapa yang akan duduk di LLPT mewakili swasta? Alih-alih memberikan layanan yang lebih baik kepada PTN dan PTS, lembaga baru tersebut justru berpotensi konflik.

            Kesimpulannya, daripada membubarkan Kopartis yang sudah jelas struktur organisasi, kemudian membentuk lembaga baru (LPPT) yang belum jelas fungsi dan peranan, mending mempertahankan Kopertis yang sudah mapan dan jelas. Yang penting adalah lembaga tersebut diperkuat peranannya, termasuk mengeksekusi PTS-PTS yang layak ditutup, demerger, atau perlu bantuan, tidak harus menunggu keputusan Jakarta. Bila Kopertis lemah dalam pengawasan dan kontrol, sehingga masih banyak PTS yang sakit, Kopetisnya yang diberikan sanksi. Jadi keberadaan Kopertis itu betul-betul menjadi kaki tangan pusat untuk melakukan pembinaan terhadap PTS demi terjaganya kualitas PTS. PTS yang terbukti tidak dapat dibina ya dibinasakan.



Komentar

  1. Assalamu Alaikum wr-wb, perkenalkan nama saya ibu Rosnida zainab asal Kalimantan Timur, saya ingin mempublikasikan KISAH KESUKSESAN saya menjadi seorang PNS. saya ingin berbagi kesuksesan keseluruh pegawai honorer di instansi pemerintahan manapun, saya mengabdikan diri sebagai guru disebuah desa terpencil, dan disini daerah tempat saya mengajar hanya dialiri listrik tenaga surya, saya melakukan ini demi kepentingan anak murid saya yang ingin menggapai cita-cita, Sudah 9 tahun saya jadi tenaga honor belum diangkat jadi PNS Bahkan saya sudah 4 kali mengikuti ujian, dan membayar 70 jt namun hailnya nol uang pun tidak kembali, bahkan saya sempat putus asah, pada suatu hari sekolah tempat saya mengajar mendapat tamu istimewa dari salah seorang pejabat tinggi dari kantor BKN pusat karena saya sendiri mendapat penghargaan pengawai honorer teladan, disinilah awal perkenalan saya dengan beliau, dan secara kebetulan beliau menitipkan nomor hp pribadinya dan 3 bln kemudian saya pun coba menghubungi beliau dan beliau menyuruh saya mengirim berkas saya melalui email, Satu minggu kemudian saya sudah ada panggilan ke jakarta untuk ujian, alhamdulillah berkat bantuan beliau saya pun bisa lulus dan SK saya akhirnya bisa keluar,dan saya sangat berterimah kasih ke pada beliau dan sudah mau membantu saya, itu adalah kisah nyata dari saya, jika anda ingin seperti saya, anda bisa Hubungi Bpk Drs Tauhid SH Msi No Hp 0853-1144-2258. siapa tau beliau masih bisa membantu anda, Wassalamu Alaikum Wr Wr ..

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

BIODATA DARMANINGTYAS

BIODATA DARMANINGTYAS, menggeluti pendidikan sejak mulai menjadi mahasiswa baru di UGM, Agustus 1982 dengan menjadi guru di SMP Binamuda dan SMA Muhammadiyah Panggang, Gunungkidul, DIY. Pendidikan formalnya cukup Sarjana Filsafat Universitas Gadjah Mada (UGM) dan selebihnya otodidak. Gelar “Profesor Doktor” diperoleh dari undangan, sertifikat, piagam, spanduk, dan sejenisnya; sebagai bentuk pengakuan nyata dari masyarakat.

Masyarakat Diajak Adaptasi

Pemerintah, melalui lembaga dan kementerian, mengeluarkan peraturan dan edaran perihal protokol atau pedoman kesehatan. Protokol itu berlaku di tempat masyarakat, industri, sektor jasa, dan perdagangan.

REFLEKSI DARI PELATIHAN GURU SASARAN DI LAMPUNG

Berikut saya sampaikan refleksi saya tatkala mendapat tugas untuk membuka dan kasih pengarahan pada pelatihan guru sasaran di Lampung tanggal 9 Juli lalu. Semoga refleksi in dapat menjadi bahaperbaikan proses pelatihan guru yang akan dating sehingga menjadi lebih baik.