Langsung ke konten utama

DESAIN BARU UJIAN NASIONAL

OLEH: DARMANINGTYAS
AKTIVIS PENDIDIKAN DI TAMANSISWA, YOGYAKARTA
Dimuat di Koran Media Indonesia, Tanggal 28 Januari 2015

Udara segar bertiup dari Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), tatkala Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Anies Baswedan dalam rapat terbatas di Kantor BSNP pada tanggal 16 Januari menjelaskan mengenai paradigma pendididkan nasional ke depan, termasuk desain baru Ujian Nasional (UN) yang tidak lagi sebagai penentu kelulusan, melainkan sebagai sarana pemetaan kualitas pendidikan dan sekaligus kepentingan diri murid untuk melihat perkembangan dirinya dalam belajar. Selama ini UN mempunyai banyak fungsi, yaitu pemetaan kualitas pendidikan, sarana masuk ke pendidikan yang lebih tinggi, dan penentu kelulusan. Namun fungsi yang cukup menghebohkan adalah sebagai penentu kelulusan karena melalui UN itulah nasib seseorang murid: lulus atau tidak ditentukan. Dan karena semua sekolah dan Pemkab/Pemkot berharap muridnya lulus seratus persen, maka segala upaya dilakukan untuk mencapai target tersebut.


Pemandangan yang selalu muncul setiap tahun, terutama saat menghadapi UN adalah murid, orang tua, guru, dan Pemda/Pemkot disibukkan dengan persiapan UN. Murid harus belajar ekstra melalui bimbingan belajar (bimbel), orang tua harus keluar uang ekstra untuk mengikutkan anaknya ke bimbel, sekolah sibuk dengan memberikan materi tambahan yang bersifat drilling, dan Pemkab/Pemkot pun sibuk membentuk tim sukses agar UN dapat sukses dengan indicator semua sekolah dapat lulus 100% serta meraih nilai UN tertinggi. Akhirnya, setiap kali menjelang pelaksanaan UN muncul perilaku yang berlebih, seperti misalnya murid menginap di sekolah dan melakukan doa bersama, murid membasuh kaki gurunya, mandi pakai bunga, menangis histeris, dan sebagainya. Perilaku-perilaku menjelang pelaksanaan UN itu sering terlihat irasional, padahal UN mestinya memerlukan pendekatan rasional. Kemendikbud pun turut bertindak secara irasional dengan membuat soal mencapai 20 tipe dengan maksud agar tidak mudah bocor dan tidak mudah untuk nyontek karena soal temannya belum tentu sama dengan soal dirinya.

            Para Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) sebelumnya selalu mencoba mengubah formula kelulusan dengan mendasarkan pada hasil UN tersebut, seperti misalnya dari penggunaan hasil UN sebagai penentu kelulusan 100%, kemudian turun menjadi 60%, dan sekarang tinggal 50%. Mendikbud Mohammad NUH justru memasukkan hasil UN sebagai salah satu syarat penerimaan mahasiswa di PTN. Semuanya itu tidak secara otomatis mengakhiri kontroversi UN, tapi justru semakin marak, karena sejumlah pimpinan PTN merasa keberatan dengan dicantumkannya UN sebagai syarat penerimaan mahasiswa baru. Diharapkan, dengan kebijakan atau desain baru mengenai UN tersebut dapat mengakhiri kontroversi yang tidak produktif selama ini menyangkut UN.

Implikasi Teknis

Apa implikasi teknis dari desain baru mengenai UN bukan sebagai penentu kelulusan, tapi sebagai alat pemetaan kualiat pendidikan nasional? Pertama, UN tidak harus dilaksanakan di ujung kelas (Kelas VI, IX, dan XII), tapi bisa dilaksanakan di tengah (Kelas IV, VIII, dan XI). Bisa saja dilaksanakan di ujung kelas, tapi misalnya di akhir Semester Ganjil, atau Semester Ganjil Kelas VI, IX, dan XII. Kedua, hasil UN tidak berpengaruh terhadap lulus tidaknya murid, tapi hanya untuk mengetahui daya serap murid, guru, sekolah, dan daerah sebagai dasar bagi Pemerintah untuk melakukan pembinaan terhadap sekolah maupun Pemkab/Pemkot yang memiliki daya serap rendah. Kelulusan sepenuhnya menjadi otonomi sekolah. Ketiga, berdasarkan hasil UN tersebut Pemerintah/Pemda dapat melakukan pembinaan secara khusus kepada sekolah-sekolah yang memiliki nilai UN rendah agar dalam UN berikutnya dapat meningkat sehingga terjadi pemerataan kualitas pendidikan antar sekolah dan daerah. Tentu saja, karena fungsinya tidak menentukan lulus/tidaknya seorang murid, maka namanya pun bukan ujian lagi, tapi evaluasi. Evaluasi, seperti halnya evaluasi suatu program tertentu, akan menghasilkan kesimpulan baik, tidak tidak, atau kurang baik, dan sejenisnya. Tapi ujian akan menghasilkan kesimpulan lulus/tidak lulus.

Desain baru UN yang bukan lagi sebagai penentu kelulusan, tapi sebagai alat evaluasi itu tertuju untuk institusi maupun individu. Baik sekolah sebagai institusi maupun murid secara individual bisa mengikuti ujian itu sesuai dengan kebutuhan dan Negara wajib memfasilitasinya. Oleh karena itu, dalam desain baru tersebut, dimungkinkan seorang murid mengulang ujian lebih dari satu kali. Tapi minimal satu kali dalam satu tingkatan pendidikan dapat mengikuti UN bila ingin mengetahui perkembangan belajarnya, persis seperti halnya tes TOEFL atau IELTS. Tes pertama biasanya ingin mengetahui posisi awal skor TOEFL atau IELTS-nya. Ketika mengetahui skornya ternyata rendah, maka kemudian belajar lebih giat dan berkinginan mengikuti tes lagi untuk mengetahui skor barunya. Mereka dapat mengikuti tes TOEFL atau IELTS secara periodik sesuai dengan kebutuhannya.

Hal yang sama itu akan terjadi pada desain baru UN, sehingga diharapkan dapat mendorong murid untuk belajar lebih giat, bukan sebagai suatu paksaan agar lulus sekolah, melainkan sebagai kesadaran diri agar kemampuannya meningkat. Dengan kata lain, desain baru UN tersebut tidak perlu dikhawatirkan akan melemahkan semangat belajar murid hanya karena tidak sebagai penentu kelulusan. Sebaliknya, semangat belajar itu justru akan tumbuh dari dalam diri murid, karena mereka sendirilah yang didorong untuk menguji kemampuannya melalui model-model tes secara berkala. Bagi murid SMK, UN bahkan tidak diperlukan sama sekali, karena yang menentukan mereka diterima oleh pasar tenaga kerja atau tidak itu bukan hasil UN, melainkan kompetensi yang dimilikinya, sehingga yang diperlukan SMK bukan menyiapkan mereka untuk menghadapi UN, tapi pemagangan kerja yang lebih banyak.

Selama ini, para pembela UN berusaha mempertahankan UN sebagai penentu kelulusan dengan alasan bahwa murid malas belajar bila tidak ada UN. Argumen ini dianut oleh mereka yang meyakini bahwa mengajar untuk ujian/tes saja (teaching to the test). Paradigma seperti itu sudah ditinggalkan oleh Negara-negara maju yang lebih memilih mengajar untuk mendorong tumbuhnya semangat belajar pada murid, bahkan lebih luas lagi pada masyarakat. Finlandia, Negara kecil dengan jumlah penduduk yang hanya sekitar 4,5 juta jiwa, namun pendidikan mereka menjadi kiblat dunia, termasuk Indonesia, bukan karena menerapkan UN, tapi justru karena tidak ada UN. Sekolah mendorong agar murid lebih banyak belajar, sedangkan kelulusan diserahkan pada sekolah.

Kebijakan Mendikbud Anies Baswedan yang menjadikan UN sebagai kebutuhan sekolah dan murid untuk mengukur kemampuan diri, seperti halnya tes TOEFL atau IELTS, bukan sebagai penentu kelulusan ini patut diapresiasi karena akan mengakhiri kontroversi UN selama 13 tahun berturut-turut. Dengan berakhirnya kontroversi yang penuh kesia-siaan itu, harapan Mendikbud bahwa pendidikan sebagai gerakan akan dapat terwujud, karena energi masyarakat tidak lagi tercurah untuk silang pendapat tentang UN, melainkan dapat diarahkan untuk menumbuhkan suasana lingkungan belajar yang kondusif, membangun budaya literasi di masyarakat, serta melakukan pengembangan model-model pembelajaran yang menarik agar anak-anak tetap antusias bersekolah, justru karena tidak ada UN yang selama ini membuat mereka takut, cemas, dan seperti terteror setiap saat. Bersekolah hendaknya menjadi aktivitas yang menggairahkan, dan institusi sekolah mestinya menjadi tempat yang menyenangkan bagi anak.



Komentar

  1. Saya kira Indonesia jangan dibandingkan Finlandia dan negara maju lainnya yang wilayahnya tidak luas karena disana dengan wilayah yang sempit jangkauan dan akses pendidikan mudah didapat.Indonesia sudah maju menurut saya dengan seringnya juara olimpiade dunia.Menurutku cuma pemerataan akses fasilitas yang belum merata yang ditingkatkembangkan berciri khas indonesia.

    BalasHapus
  2. Assalamu Alaikum wr-wb, perkenalkan nama saya ibu Rosnida zainab asal Kalimantan Timur, saya ingin mempublikasikan KISAH KESUKSESAN saya menjadi seorang PNS. saya ingin berbagi kesuksesan keseluruh pegawai honorer di instansi pemerintahan manapun, saya mengabdikan diri sebagai guru disebuah desa terpencil, dan disini daerah tempat saya mengajar hanya dialiri listrik tenaga surya, saya melakukan ini demi kepentingan anak murid saya yang ingin menggapai cita-cita, Sudah 9 tahun saya jadi tenaga honor belum diangkat jadi PNS Bahkan saya sudah 4 kali mengikuti ujian, dan membayar 70 jt namun hailnya nol uang pun tidak kembali, bahkan saya sempat putus asah, pada suatu hari sekolah tempat saya mengajar mendapat tamu istimewa dari salah seorang pejabat tinggi dari kantor BKN pusat karena saya sendiri mendapat penghargaan pengawai honorer teladan, disinilah awal perkenalan saya dengan beliau, dan secara kebetulan beliau menitipkan nomor hp pribadinya dan 3 bln kemudian saya pun coba menghubungi beliau dan beliau menyuruh saya mengirim berkas saya melalui email, Satu minggu kemudian saya sudah ada panggilan ke jakarta untuk ujian, alhamdulillah berkat bantuan beliau saya pun bisa lulus dan SK saya akhirnya bisa keluar,dan saya sangat berterimah kasih ke pada beliau dan sudah mau membantu saya, itu adalah kisah nyata dari saya, jika anda ingin seperti saya, anda bisa Hubungi Bpk Drs Tauhid SH Msi No Hp 0853-1144-2258. siapa tau beliau masih bisa membantu anda, Wassalamu Alaikum Wr Wr ..

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

BIODATA DARMANINGTYAS

BIODATA DARMANINGTYAS, menggeluti pendidikan sejak mulai menjadi mahasiswa baru di UGM, Agustus 1982 dengan menjadi guru di SMP Binamuda dan SMA Muhammadiyah Panggang, Gunungkidul, DIY. Pendidikan formalnya cukup Sarjana Filsafat Universitas Gadjah Mada (UGM) dan selebihnya otodidak. Gelar “Profesor Doktor” diperoleh dari undangan, sertifikat, piagam, spanduk, dan sejenisnya; sebagai bentuk pengakuan nyata dari masyarakat.

Masyarakat Diajak Adaptasi

Pemerintah, melalui lembaga dan kementerian, mengeluarkan peraturan dan edaran perihal protokol atau pedoman kesehatan. Protokol itu berlaku di tempat masyarakat, industri, sektor jasa, dan perdagangan.

REFLEKSI DARI PELATIHAN GURU SASARAN DI LAMPUNG

Berikut saya sampaikan refleksi saya tatkala mendapat tugas untuk membuka dan kasih pengarahan pada pelatihan guru sasaran di Lampung tanggal 9 Juli lalu. Semoga refleksi in dapat menjadi bahaperbaikan proses pelatihan guru yang akan dating sehingga menjadi lebih baik.