Langsung ke konten utama

TINJAUAN KRITIS TERHADAP KURIKULUM 2013

(Mimpi Melahirkan Generasi Emas)[1]
DARMANINGTYAS[2]

Panitia menyodorkan materi kepada saya mengenai KURIKULUM DAN KEMAJUAN BANGSA MENUJU GENERASI EMAS (Tinjauan Kritis atas Kurikulum 2013), tapi izinkan saya mengubahkan seperti judul di atas dengan pertimbangan, tekanan justru pada tinjauan kritis terhadap Kurikulum 2013, bukan melahirkan generasi emas itu sendiri. Hal itu mengingat tinjauang kritis terhadap Kurikulum 2013 itu amat mendesak, sebelum diimplementasikan secara sempurna. Judul yang penulis sodorkan di atas justru  untuk menjawab tujuan kedua, yaitu  memberikan pemahaman mengenai implikasi pelaksanaan Kurikulum 2013 terutama kepada para guru, murid, dan orang tua murid; serta memberikan pandangan kepada pengambil kebijakan untuk menentukan sikap terhadap Kurikulum 2013.

Penulis sesungguhnya merupakan salah seorang yang melihat proses lahirnya Kurikulum 2013 dari dekat, sehingga mengetahui persis dinamika yang ada di dalamnya. Meskipun demikian, sejak awal penulis telah bersikap kritis, tidak larut begitu saja. Hal itu karena penulis ingin menjaga indepensi sehingga terhindar dari sinisme bahwa setelah masuk ke dalam sistem tidak kritis lagi. Melalui blog pribadi (www.darmaningtyas.blogspot.com) dapat ditemukan sejumlah tulisan saya dalam kurun waktu 2012-2014 pada saat Kurikulum 2013 itu masih dalam proses penggodokan. Hampir semua tulisan tersebut mengkritisi proses kelahiran maupun keberadaan Kurikulum 2013 itu sendiri. Sebetulnya suara penulis itu tidak hanya disampaikan di luar saja (melalui media massa), tapi juga disampaikan dalam rapat-rapat internal dengan tim penyusun lainnya. Tapi mengingat bahwa proses penyusunan kurikulum itu tidak terlepas dari dinamika politik, maka keberatan-keberatan yang ada tidak selalu dapat diakomodasi dalam rapat, seperti misalnya keberatan penulis terhadap keberadaan Kompetensi Inti (KI), terhadap penambahan jam pelajaran (termasuk penambahan jam pelajaran agama), serta terhadap penerapan Ujian Nasional (UN) sebagai penentu kelulusan.

Mengapa Harus Berubah?
            Pertanyaan, mengapa kurikulum berubah, merupakan pertanyaan dasar, termasuk yang penulis kemukakan ketika pertama kali diundang untuk terlibat dalam kegiatan penyempurnaan kurikulum pada Juni 2012 dan ketika di penghujung September 2012 diminta oleh Wakil Menteri Pendidikan dan Kebudayaan bidang Pendidikan, Prof.Dr. Musliar Kasim untuk terlibat dalam tim penyempurnaan kurikulum. Sebagai seseorang yang selama ini mengkriti kebijakan pendidikan, saya menyadari penuh bahwa KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan) belum genap usia sepuluh tahun, bila harus diubah –bahasa halusnya disempurnakan—terasa sangat cepat dan pasti itu menimbulkan gejolak di masyarakat. Pomeo bahwa “ganti menteri ganti kurikulum” tidak dapat terelakkan.

Justifikasi akademik yang muncul pada saat itu dalah di mana pun di dunia ini, kurikulum selalu mengalami penyesuaian dengan perkembangan masyarakat. Maka perubahan kurikulum bukan seuatu yang haram, melainkan itu sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Justifikasi akademik lainnya adalah melihat tantangan ke depan yang lebih keras lagi, baik untuk masalah lingkungan hidup, kemajuan teknologi informasi, globalisasi ekonomi, serta kebangkitan industri kreatif dan budaya. Kesemuanya itu membutuhkan kemampuan (kompetensi) dalam berkomunikasi, berpikir jernih dan kritis, mempertimbangkan segi moral dalam menghadapi suatu permasalahan, serta toleran terhadap  pandangan yang berbeda, dan memiliki minat luas dalam kehidupan, maupun memiliki kesiapan untuk bekerja  sama dalam suatu tim.

Namun sesungguhnya, penulis tidak merasa puas atas jawaban tersebut karena perubahan dari Kurikulum 2004 yang dikenal dengan sebutan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) –yang baru dalam tarap uji coba—menjadi Kurikulum 2006 atau dikenal dengan sebutan KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan), juga memakai justitifikasi yang sama.  Penulis baru menemukan jawaban yang sesungguhnya setelah membaca wawancara Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Mohammad Nuh (M. Nuh) dengan Majalah TEMPO, edisi 18 November 2012, hal. 164-167. Dalam wawancara tersebut M. Nuh menyatakan: “Salah satu butir kontrak kerja saya sebagai menteri adalah penyempurnaan kurikulum”. Jawaban Menteri M. Nuh itu adalah jawaban yang jujur, tidak mengada-ada. Artinya, kurikulum itu berubah karena memang bagian dari kontrak politiknya dengan Presiden Susilo Bambang Yudoyono (SBY) pada saat akan menjadi Menteri Pendidikan. Sebagai kontrak politik, mau tidak mau harus diwujudkan, kecuali ingin mendapatkan penilaian bahwa dia tidak mampu memenuhi kontrak politiknya.

Meskipun M. Nuh lebih suka memakai istilah “penataan atau penyempurnaan”, tetap saja implikasinya adalah perubahan kurikulum. Sebab, begitu Kompetensi Dasar (KD) salah satu pelajaran berubah saja, maka dengan sendirinya akan berpengaruh terhadap perubahan materi pembelajaran dan proses penyampaian materi tersebut kepada para murid, serta diikuti dengan perubahan buku pelajaran. Di masyarakat, pengertian yang mudah diterima adalah ganti kurikulum itu berarti ganti buku. Artinya, soal istilah boleh dipakai yang halus, seperti “penataan atau penyempurnaan”, tapi implikasinya di lapangan tetap sama, yaitu perubahan buku pelajaran yang harus dipakai/dibeli oleh murid/orang tua.

Banyak orang mempertanyakan, betulkan perubahan kurikulum tersebut dipicu oleh tulisan Wakil Presiden Boediono di Harian Kompas, 27 Agustsu 2012. Mereka yang percaya pada teori konspirasi akan mengatakan seperti itu. Namun bila kita mengetahui pembentukan tim di dalam proses perubahan kurikulum tersebut tidal. Setidaknya ada tiga tim yang terdapat pada proses penyusunan Kurikulum 2013 ini, yaitu Tim Narasumber yang terdiri dari orang-orang yang memiliki kaliber internasional, seperti Dr. Anies Baswedan, Prof.Dr. Yonahes Surya, Dr. Ratna Megawangi (IPB), Dr. Muchlis dan Prof.Dr. Soeparno (ITB), Prof.Dr. Taufik Abdullah ((LIPI), dan Goenawan Mohamad (TEMPO). Semula terdaftar pula Prof.Dr. Frans Fon Magnis Suseno, tapi menurut penuturan personal ke penulis, memilih mundur tidak terlibat aktif. Tim narasumber ini sudah terbentuk pada Juli 2012, jauh hari sebelum tulisan Wakil Presiden Boediono muncul di Kompas. Menurut hemat penulis, tulisan Wakil Presiden Boediono itu justru bagian dari membangun public opinion tentang mendesaknya perubahan kurikulum, sehingga ini memperkuat landasan bagi Kemendikbud untuk bekerja merubah kurikulum. Bukan sebaliknya, bahwa kurikulum berubah karena tulisan Boediono tsb. 

Tim kedua adalah Tim Pengarah yang terdiri dari para pejabat Eselon 1 Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), yaitu para Wakil Menteri, Dirjen, Kepala Badan, serta para staf ahli.  Tim Pengarah inilah yang menurut penulis justru yang paling menentukan karena mereka lah pengampu utama kebijakan pendidikan nasional. Dan yang ketiga adalah Tim Inti atau Tim Pelaksana yang tugasnya ibarat seperti koki, mereka antara lain: Prof.Dr. Hamid Hasan (UPI, Ketua Tim), Prof.Dr. Udin (Universitas Terbuka), Prof.Dr. Eko Indrajit (BSNP), Prof.Dr. Anna Suhaenah (UNJ), Prof.Dr. Anita Lie, dan Dr. Wahono (Unessa). Tugas Tim Inti ini adalah memasak semua gagasan yang masuk untuk dirumuskan menjadi hasil pemikiran, lalu hasil masakan pertama disodorkan kepada Tim Pengarah untuk mendapatkan penyempurnaan. Setelah mendapatkan masukan dari Tim Pengarah, Tim Inti memasak lagi agar menjadi lebih baik untuk disodorkan kepada Tim Narasumber. Sebagai koki, maka posisi Tim Inti itu sebetulnya lemah, karena sangat tergantung pada Tim Pengarah. Masakan yang enak sekalipun kalau disodorkan kepada Tim Pengaruh dan dirasakan tidak sedap, tentu saja masakan tersebut minta untuk dimasak kembali agar sesuai dengan selera Tim Pengarah. Demikian pula Tim Narasumber, seperti narasumber di mana pun berada, selalu akan didengar kalau bicara mengenai hal yang manis-manis. Tapi kalau bicara hal-hal yang pahit tentu akan dilewatkan.  Jadi kuncinya justru ada pada Tim Pengarah, karena hanya Tim Pengarah inilah yang dapat mengambil keputusan. Mayoritas Tim Inti (kecuali penulis) mungkin menguasai segala macam resep atau menu makanan yang lezat-lezat, tapi kalau kalau menu tersebut tidak sesuai dengan selera Tim Pengarah, maka resep yang lezat-lezat tersebut belum tentu dimasak. Jadi kunci utama perubahan kurikulum tersebut bukan ada pada Tim Narasumber maupun Tim Inti, tapi pada Tim Pengarah, merekalah yang menentukan hijau merahnya kurikulum baru.

Nama Kurikulum 2013 muncul pertama kali pada saat rapat di Hotel Jayakarta Medio Oktober 2012 pada saat merumuskan Standar Kompetensi Lulusan. Penulis ingat betul bahwa nama itu dipilih sekadar sebagai pengganti nama Kurikulum Baru yang selalu dipakai dalam setiap rapat pembahasan perubahan kurikulum, dengan harapan nanti akan dicarikan nama yang pas. Namun tampaknya semua sudah menerima nama tersebut dan tidak ada prootes tentang nama sehingga sampai sekarang disebut sebagai Kurikulum 2013. Artinya, penamaan Kurikulum 2013 itu bukan politis, tapi teknis saja untuk mempermudah penyebutan kurikulum yang sedang dibahas.

Dalam dokumen mengenai Rasional, Kerangka Dasar, Struktur, Implementasi, dan Evaluasi Kurikulum[3], dijelaskan bahwa pengembangan kurikulum perlu dilakukan karena adanya berbagai tantangan yang dihadapi, baik tantangan internal maupun tantangan eksternal. Disamping itu, di dalam menghadapi tuntutan perkembangan zaman, dirasa perlu adanya penyempurnaan pola pikir dan penguatan tata kelola kurikulum serta pendalaman dan perluasan materi. Dan hal pembelajaran yang tidak kalah pentingnya adalah perlunya penguatan proses pembelajaran dan penyesuaian beban belajar agar dapat menjamin kesesuaian antara apa yang diinginkan dengan apa yang dihasilkan.

Pengembangan Kurikulum 2013 ini melanjutkan Pengembangan Kurikulum Berbasis Kompetensi yang telah dirintis pada tahun 2004 dengan mencakup kompetensi sikap, pengetahuan, dan ketrampilan. Kurikulum 2013 dirumuskan dan dikembangkan dengan suatu optimisme yang tinggi untuk menghasilkan lulusan sekolah yang lebih cerdas, kreatif, inovatif, memiliki kepercayaan diri yang tinggi sebagai individu maupun sebagai bangsa, serta toleran terhadap segala perbedaan yang ada. Semuanya itu dimaksudkan untuk mencapai tujuan pendidikan nasional seperti yang diamanatkan dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yaitu “berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”.

Respon Publik
Perubahan Kurikulum sebetulnya suatu kewajaran dalam sistem pendidikan di mana pun di dunia ini. Para mahasiswa LPTK mengetahui bahwa kurikulum perlu disesuaikan dengan perkembangan zaman. Artinya, perubahan kurikulum itu bukan hal yang istimewa. Bahkan perubahan dari KBK ke KTSP dulu juga berlangsung amat singkat, dari KBK yang disosialisasikan, menjadi KTSP yang dilaksanakan. Secara prinsip keduanya itu memang sama-sama berbasis kompetensi, tapi ketika diumumkan yang berlaku secara nasional adalah KTSP, maka semua buku yang berlabel “KBK” ditarik dan tidak berlaku lagi. Saat itu tidak muncul resistensi yang kuat dari kalangan pendidikan terhadap perubahan kurikulum yang diuji-cobakan dan bernama KBK menjadi kurikulum yang dilaksanakan dan bernama KTSP. Tapi mengapa perubahan dari Kurikulum 2006 menjadi Kurikulum 2013 ini cukup heboh? Ada banyak yang dapat menjelaskannya.

Pertama, Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) pada saat itu memang sedang diuji-cobakan, belum ditetapkan sebagai kurikulum resmi.  Baru beberapa sekolah terkemuka saja yang mencoba menerapkan KBK, selebihnya 95% sekolah belum melaksanakan KBK, sehingga ketika tidak jadi diterapkan oleh Menteri Pendidikan yang baru (Bambang Sudibyo), orang kaget tapi tidak gaduh. Sedangkan kelahiran Kurikulum 2013 ini terjadi pada saat KTSP tengah dilaksanakan dan sebagian besar baru mulai memahami KTSP, tapi pada saat baru mulai memahami, tiba-tiba sudah diganti dengan kurikulum yang lain sama sekali coraknya.

Kedua, kelahiran KTSP itu sendiri belum lama, pada tahun 2012 saat Kurikulum 2013 digodok, usia KTSP baru enam tahun berjalan, belum ada evaluasi yang komprehensif, tapi tiba-tiba sudah harus diganti dengan kurikulum baru. Sebelumnya, pergantian kurikulum hamper mendekati usia 10 tahun, misalnya dari Kurikulum 1975 ke Kurikulum 1984, dari Kurikulum 1984 ke Kurikulum 1994, dan kemudian rencana berubah menjadi Kurikulum 2004, tapi batal dan menjadi Kurikulum 2006. Semuanya itu berkurun waktu sepuluh tahun. Jadi siklusnya tetap, tidak terlalu jauh, tapi juga tidak terlalu dekat. Tapi dari Kurikulum 2006 ke Kurikulum 2013 tentu amat dekat karena baru tujuh tahun. Ini yang membuat orang kaget dan sekaligus menggerutu.

Ketiga, dalam Kurikulum 2013 ini ada penghapusan mata pelajaran TIK di tingkat SMP dan pelajaran Bahasa Daerah di SD-SMP. Dasar penghapusan pelajaran TIK  adalah karena TIK menjadi  basis pembelajaran, bukan sebagai bidang yang dipelajari  lagi, melainkan sebagai media untuk mempelajari lainnya. Logikanya betul, tapi realitasnya belum tentu klob di lapangan, mengingat kondisi Indonesia yang amat beragam, bahkan sampai saat ini masih banyak wilayah Indonesia yang belum dialiri listrik sehingga belum mengenal komputer. Bagaimana mungkin mereka akan menjadikan komputer sebagai basis pembelajaran, sementara  komputer saja mereka belum kenal? Para guru di daerah mengingatkan bahwa penghapusan pelajaran TIK itu menunjukkan bahwa Kurikulum 2013 disusun dengan berorientasi Jawa saja yang sudah lengkap dengan infrastruktur transportasi dan telekomunikasi. Kecuali itu, penghapusan pelajaran TIK juga menimbulkan persoalan baru bagi pada guru TIK dan LPTK yang memiliki jurusan TIK. Para guru TIK akhirnya diserahi tugas di luar kompetensinya, dan ini juga menimbulkan persoalan kecemburuan sosial di lapangan, karena tidak mengajar di depan kelas tapi mendapatkan tunjangan professional.

Kasus serupa terjadi pada penghapusan mata pelajaran Bahasa Daerah. Penghapusan pelajaran Bahasa Daerah  telah menimbulkan masalah ketenagaan dan budaya. Ketenagaan itu terkait dengan nasib para Guru Bahasa Daerah yang akan semakin tersingkir dari dunia pendidikan formal, karena akan semakin sulit mengikuti sertifikasi. Menurut penuturan beberapa guru, keberadaan Bahasa Daerah yang hanya didasarkan pada Pergub (Peraturan Gubernur) ternyata tidak kuat karena tidak masuk dalam Dapodik (Data Pokok Pendidikan), sehinggga mengalami kesulitan saat akan mengurus sertifikasi. Sedangkan masalah kultural, dengan ditinggalkannya pelajaran Bahasa Daerah dari struktur kurikulum nasional, secara otomatis tidak ada pengenalan kultur lokal melalui dunia pendidikan nasional secara sistematis dan berjenjang, karena semua amat tergantung pada komitmen pemerintah daerah.

Alasan tidak dicantumkannya pelajaran Bahasa Daerah dalam Struktur Kurikulum 2013 adalah karena itu menjadi domain daerah. Artinya, kurikulum yang dikembangkan oleh Kemendikbud itu adalah kurikulum nasional, sehingga strukturnya pun struktur kurikulum yang berlaku secara nasional. Bila Bahasa Daerah dicantumkan ke dalam struktur kurikulum nasional, maka itu berarti wajib dilaksanakan oleh seluruh sekolah di Indonesia, padahal wilayah DKI Jakarta atau Bekasi dan Tangerang, merasa tidak tepat memberikan mata pelajaran Bahasa Daerah, lebih tepat pelajaran bahasa asing. Logika tersebut betul, dengan catatan ada sinkronisasi kebijakan antara Kemendikbud dengan daerah, baik itu menyangkut soal isi kurikulum maupun manegemen guru.  Persoalannya di lapangan adalah, selain menyangkut posisi guru Bahasa Daerah yang semakin lemah, juga tidak tersedia ruang lagi bagi daerah untuk mengembangkan kurikulum daerah mengingat kurikulum nasionalnya sudah amat padat.

Hal keempat yang menjadi dasar penolakan Kurikulum 2014 ini adalah terkait dengan beban guru yang semakin berat. Dalam berbagai forum sosialisasi Kurikulum 2013, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Mohammad Nuh saat itu, menjelaskan bahwa Kurikulum 2013 meringankan beban guru karena Silabus sudah dibuatkan oleh Pemerintah, guru tinggal melaksanakan. Tapi pada implementasinya, beban guru ternyata jauh lebih berat, terutama dalam proses penilaian. Hal itu mengingat penilaian sikap, pengetahuan, dan ketrampilan dideskripsikan satu per satu. Bila hanya mengajar satu kelas dengan jumlah murid maksimal 40murid, seperti guru SD, mungkin itu masih menjangkau. Tapi bila mengajar per bidang studi dan murid yang diajar mencapai di atas 200 orang, apalagi 400 orang (kenyataannya banyak guru mengajar sampai 400 murid), tentu saja penilaian deskriptif tersebut amat membebani guru. Banyak guru sekarang mengeluhkan, kalau tidak mungkin tugasnya akan selesai bila hanya dikerjakan di sekolah saja, terpaksa di rumah pun harus nglembur.   

         Kelima, Kurikulum 2013 ini menambah kerepotan pada orang tua murid. Dengan pembelajaran yang berbasis IT, banyak guru di perkotaan memberikan tugas kepada murid-muridnya, termasuk yang masih di SD, untuk mencari bahan pembelajaran melalui internet. Oleh karena kepemilikan internet di rumah tangga masih terbatas, maka banyak orang tua yang harus mendampingi anak-anaknya yang masih SD untuk mengakses internet di warung internet (warnet). Betul bahwa orang tua mendampingi anak mencari informasi di warnet itu bagus. Tapi bagi orang yang kondisi perekonomiannya pas-pasan dan bekerja di sector informal, tugas mendampingi itu menjadi beban ekonomis yang amat besar.
Keenam, Kurikulum 2013 tidak siap diimplementasikan di lapangan. Sampai akhir November, menjelang berakhirnya Semester Pertama Tahun Ajaran 2014/2015 ini, banyak sekolah di Jawa yang belum menerima buku Kurikulum 2013 sehingga mereka tetap memakai buku Kurikulum 2016. Bila di wilayah Jawa saja, yang infrastruktur transportasinya bagus masih banyak sekolah yang belum menerima buku Kurikulum 2013, apalagi daerah-daerah di luar Jawa, tentu lebih banyak sekolah yang belum terima buku daripada yang sudah menerima.  Bagaimana mungkin Kurikulum 2013 dapat diimplementasikan secara baik, bila bukunya saja belum diterima sekolah?
            Ketujuh, tentang konsep Kurikulum 2013 yang tidak jelas dengan ditandai adanya Keberadaan Kompetensi Inti (KI) yang kemudian diturunkan ke dalam Kompetensi Dasar (KD) pada semua bidang pelajaran dan aspek (sikap, pengetahuan, dan ketrampilan). Pada beberapa bidang studi yang relevan, rumusan KI dan KD itu memang pas. Tapi pada beberapa bidang studi yang tidak relevan, terasa lucu, tidak logis, dan dipaksakan. Di bawah ini beberapa contoh rumusan KI 1 yang kemudian diturunkan dalam KD 1:   

1.      Kompetensi Inti Dan Kompetensi Dasar Biologi Sekolah Menengah Atas (SMA)/Madrasah Aliyah (MA) Kelas X.  KI 1: Menghayati dan mengamalkan  ajaran agama yang dianutnya. Rumusan KI 1 ini kemudian diturunkan ke KD 1 menjadi ”Mengagumi, menjaga, melestarikan keteraturan dan kompleksitas ciptaan Tuhan tentang ruang lingkup, objek dan permasalahan  Biologi menurut agama yang dianutnya”.

2.      Kompetensi Inti Dan Kompetensi Dasar Kimia Sekolah Menengah Atas (SMA)/Madrasah Aliyah (MA), Kelas  X: KI 1: Menghayati dan mengamalkan ajaran agama yang dianutnya, kemudian diturunkan ke KD 1.1. ”Menyadari keteraturan dan kompleksitas konfigurasi elektron dalam atom sebagai wujud kebesaran Tuhan YME” dan KD 1.2. ”Mensyukuri kekayaan alam Indonesia berupa minyak bumi, batubara dan gas alam serta berbagai bahan tambang lainnya sebagai anugrah Tuhan YME dan dapat dipergunakan untuk kemakmuran rakyat Indonesia”.

3.      Kompetensi Inti dan Kompetensi Dasar Sejarah (Peminatan ) Sekolah Menengah Atas (SMA)/Madrasah Aliyah (MA), Kelas X. KI 1 : Menghayati dan mengamalkan  ajaran agama yang dianutnya, diturunkan ke dalam KD 1.1. Menghayati proses kelahiran manusia Indonesia dengan rasa bersyukur dan 1.2. Menghayati keteladanan para pemimpin dalam mengamalkan ajaran agamanya.


  1. Kompetensi Inti dan Kompetensi Dasar Matematika Kelas VII (Kelas 1 SMP). KI 1 pelajaran Matematika itu berbunyi : “Menghargai dan menghayati ajaran agama yang dianutnya”.  Kompetensi Inti  tersebut kemudian diturunkan dalam KD 1 yang berbunyi sama: “Menghargai dan menghayati ajaran agama yang dianutnya”.

Beberapa contoh rumusan KI dan KD seperti contoh di atas itulah yang sering menimbulkan kritik mengenai ketidak-jelasan dan kelucuan konsep Kurikulum 2013, antara KD pelajaran agama dengan KD pelajaran non agama kok hampir sama, sehingga orang bisa kacau membaca antara KD pelajaran agama dengan pelajaran umum. Terlalu mencampuradukkan antara konsep ilmu umum dengan ilmu agama. Ini adalah bagian dari proses agamanisasi ilmu pengetahuan melalui pendidikan formal dari SD sampai PT. Alih-alih melahirkan pendidikan yang bermutu, justru ketidak-jelasan yang diperoleh, yaitu yang serba bukan-bukan: agama bukan, ilmu pengetahuan tidak dapat. Akhirnya, Kurikulum 2013 dengan konsep seperti ini, bila dilanjutkan secara penuh akan melahirkan ketidak-jelasan mutu pendidikan: bermoral belum tentu, tapi tidak menguasai konsep ilmu pengetahuan sudah pasti.   

Sejak awal konsep KI dikemukakan oleh Prof. Dr. Alkaf sebagai staf ahli Menteri Pendidikan dan Kebudayaan M. Nuh saat itu, penulis telah keberatan. Pada waktu itu penulis terlibat dalam penyusunan K1 dan KD untuk Bidang Seni dan Budaya. Oleh karena hasilnya terasa lucu, maka penulis pun menyampaikan keberatan. Pada saat itu (rapat di Putri Duyung Ancol) dijawab bahwa tidak perlu dipaksakan, yang cocok saja. Tapi entah bagaimana dalam perjalanan berikutnya (karena satu meeting berikutnya penulis tidak ikutan), yang jelas, begitu bergabung kembali, penulis sudah menemukan bahwa semua kolom harus terisi, karena lucu bila banyak yang bolong. Memang ada yang bolong seperti rumusan KD 1 untuk Matematika SMA/MA, tapi sedikit yang bolong, selebihnya terisi semua meskipun rumusannya setelah dibaca, jelas sekali memperlihatkan ketidak-jelasannya. Betul bahwa para konseptor selalu mengingatkan bahwa KI 1 dan KI 2 tidak diajarkan secara verbalistik. Tapi ternyata, sampai di lapangan, tetap saja dipertanyakan oleh para guru peserta pelatihan. Dan begitu dipertanyakan mengenai bagaimana mengajarkan KI 1 dan KI 2, perlu penjelasan sebagai jawaban.

            Munculnya konsep KI itu sendiri semestinya tidak diperlukan bila kita konsisten sebagai Negara yang berdasarkan Pancasila, di mana nilai-nilai dalam Pancasila itu menjadi dasar, bukan hanya dasar bagi konstitusi, tapi juga dasar perilaku kehidupan individu, kelompok, maupun bangsa. Sukarno, dalam pidatonya di BPUPKI tanggal 1 Juni 1945 jelas sekali menekankan bahwa kita sebagai bangsa yang religious, oleh karena itu, dalam setiap tindakan kita mendasarkan pada kesadaran akan keberadaan Sang Pencipta. Kesadaran untuk bersyukur kepada yang Illahi itu menjiwai seluruh masyarakat, baik yang sudah mengenal agama maupun yang belum mengenal agama-agama Samawi. Dengan demikian, setiap belajar apa pun secara otomatis sudah muncul kesadaran inheren dari masyarakat Indonesia mengenai pentingnya ilmu itu sebagai bagian dari ibadah kepada yang Illahi; sehingga tanpa harus dirumuskan ke dalam kurikulum formal pun kesadaran akan kebesaran Sang Illahi itu merasuki diri bangsa Indonesia. Secara filosofis, bangsa Indonesia menyadari bahwa ilmu pengetahuan itu tidak bebas nilai, sebaliknya sarat dengan nilai, termasuk nilai-nilai agama. Keberadaan pelajaran matematika, fisika, kimia, biologi, dan ilmu pengetahuan lain bukan sekadar untuk membuat manusia Indonesia pintar, tapi sekaligus untuk semakin menyadari kebesaran Allah.  Sejak lahir di dunia, bayi-bayi di Indonesia sudah diperkenalkan dengan kesadaran religious ini. Sebab begitu bayi seorang Muslim lahir di dunia, maka di telinga mereka dikumandangkan suara adzan. Hal yang sama dilakukan orang orang Hindu, ketika bayi lahir dari seorang bapak/ibu yang bergama Hindu, maka kepadanya akan dibisiki mantra Gayatri. Semuanya itu merupakan peletak dasar dari sikap religious anak-anak kita. Jadi tidak perlu dirumuskan ke dalam kurikulum pendidikan formal yang akhirnya justru membebani guru maupun murid pun mestinya masyarakat kita sudah menjadi manusia yang regilius. Sebaiknya sekolah tidak terlalu dibebani banyak pesan, yang sebetulnya pesan tersebut dapat disampaikan melalui bidang-bidang lain lain (agama). Pendidikan yang terlalu banyak pesan moral belum tentu melahirkan manusia yang bermoral, tapi penguasaan ilmu pengetahuannya lemah. Menurut penulis, hal serius dalam Kurikulum 2013 itu justru terletak pada proses agamanisasi ilmu pengetahuan tersebut yang akhirnya hanya akan melahirkan manusia mogol (tidak jadi apa-apa).

Kedelapan, konsep implementasi Kurikulum 2013 yang tidak jelas. Pengalaman selama ini, implementasi kurikulum baru itu dimulai dari kelas awal, misalnya kelas 1, 4, 7, dan 10. Tapi implementasi Kurikulum 2013 ini tidak mengikuti tradisi tersebut. Murid-murid SMA yang pada saat Kelas 1 (X) memakai Kurikulum 2006 (KTSP), begitu naik Kelas 2 (XI) memakai Kurikulum 2013, sehingga memerlukan matrikulasi. Tentu saja konsep implementasi yang kacau ini amat merepotkan guru di lapangan, apalagi model pengisian rapornya juga memiliki karakter yang amat berbeda.

Problem Lapangan
Problem lapangan baru dapat diketahui pada saat Kurikulum 2013 dicoba untuk diimplementasikan dalam cakupan terbatas (2013) dan kemudian nasional (2014).

Pertama, problem pemahaman. Kurikulum 2013 ini menawarkan konsep tematik integratif, sebelumnya per mata pelajaran atau parsial. Sementara pengalaman guru selama berpuluh tahun adalah mengajar secara parsial. Tidak mudah bagi guru untuk shifting paradigm dari parsial menjadi tematik integrative. Shifting paradigm yang agak radikal justru terjadi pada tingkat SD, sementara problem kualitas guru yang terbesar jjustru ada di tingkat SD. Di sisi lain, banyak Instruk Nasional (IN) Kurikulum 2013 yang tidak mampu menjelaskan ruh Kurikulum 2013 sehingga membuat guru justru bingung. Diakui atau tidak, model kurikulum tematik integrative itu cocok untuk sekolah-sekolah maju dan guru-gurunya berkualitas, tapi bila diterapkan pada masyarakat Indonesia dari Merauke sampai Sabang, belum tentu cocok. Boleh jadi, sebagian besar masyarakat kita, terutama yang tinggal di pelosok daerah lebih tepat menggunakan kurikulum parsial.

Kedua, problem pada penyiapan guru. Para penyusun Kurikulum 2013 pada saat-saat rapat membahas masalah implementasi selalu mengingatkan bahwa hanya guru yang terlatih yang berhak melaksanakan Kurikulum 2013. Tapi defacto, belum semua guru mengikuti pelatihan Kurikulum 2013; dan mereka yang telah mengikuti pun tidak selalu memahami kurikulumnya, karena seperti diterangkan di atas, IN yang memberikan materi kepada guru sasaran kurang menguasai materi, sehingga informasi yang diterima guru terdistorsi dan akhirnya guru justru bingung. Bila konsisten pada pedoman yang dibuat sendiri oleh para penyusun, maka Kurikulum 2013 memang belum dapat diterapkan pada semua sekolah karena tidak semua guru sudah mengikuti pelatihan. Bila memaksakan Kurikulum 2013 diterapkan di seluruh wilayah Indonesia, maka berarti mereka tidak konsisten dengan aturan yang mereka buat sendiri.

Ketiga, masalah keterlambatan buku. Sampai hari ini (30/11 2014) belum semua sekolah, termasuk di Jawa menerima buku Kurikulum 2013, sehingga sekolah-sekolah tersebut masih mempergunakan buku Kurikulum 2006 (KTSP). Bila di Jawa saja –yang infrastruktur transportasi dan telekomunikasinya bagu—banyak banyak sekolah belum menerima buku pelajaran, apalagi di luar Jawa, utamanya di pulau-pulau kecil yang akses transportasinya amat terbatas (kapal dari luar daerah baru dating satu bulan kemudian), tentu makin parah lagi, boleh jadi sebagian besar sekolah belum menerima buku Kurikulum 2013. Keterlambatan ini terjadi lantaran pengadaan buku dilakukan secara sentralistik. Bila buku tersebut dibeli dengan menggunakan dana BOS (Bantuan Operasional Sekolah), semestinya pencetakan buku diserahkan ke masing-masing daerah sehingga memperpendek arus distribusi, Pemerintah Daerah lah yang paham dengan karakter daerahnya masing-masing, sehingga dapat memprioritaskan daerah mana yang perlu didistribusikan lebih dulu agar pada saat tahun ajaran baru buku telah siap.

Keempat, keterbatasan infrastruktur telekomunikasi. Pelaksanaan Kurikulum 2013 ini mengandaikan proses pembelajaran akan lebih banyak memanfaatkan berbagai media yang ada, termasuk jaringan internet. Namun perlu diakui bahwa jaringan internet yang bagus itu baru ada di Jawa, sementara luar Jawa baru terjadi di wilayah perkotaan. Banyak desa belum dialiri listrik sehingga jangankan internet, komputer pun tidak bisa nyala di sana. Akhirnya, Kurikulum 2013 yang selalu dipromosikan sebagai kurikulum yang menyenangkan itu hanya cocok untuk sekolah-sekolah yang suah maju di perkotaan, tapi untuk sebagian besar sekolah di Indonesia belum pas.

Kelima, penambahan jam pelajaran telah menimbulkan persoalan baru pada sekolah-sekolah yang menempati gedung yang sama tapi penyelenggaraannya pagi dan sore. Karena sekolah yang masuk pagi pulangnya lebih sore, otomatis yang sore memulai pelajaran lebih sore lagi dan pulangnya lebih malam. Ini menyulitkan anak-anak yang tinggal di daerah yang infrastruktur transportasinya jelek. Pengalaman Jumat (28/11) di Kota Wonosari, Gunungkidul, DIY dapat menjadi bahan refleksi bersama. Hari itu ada ekstra kurikuler Pramuka hingga jam 16.00 WIB. Kita tahu, dalam Kurikulum 2013, Pramuka merupakan kegiatan ekstra wajib. Tapi ketika mau pulang, angkutan umum tidak tersedia. Maka ketika ada angkutan umum yang lewat (mini bus), mereka memaksakan diri untuk ikut, sehingga mengabaikan keselamatan karena bergelantungan di pintu. Ketika penulis yang kebetulan ada di bus tersebut bertanya, mengapa mereka memaksakan diri, maka sejumlah pelajar menjelaskan bahwa sudah menunggu lebih dari 30 menit belum ada bus, masih tersedia bus besar menuju ke Kota Yogya, tapi katanya baru setelah magrib. Persoalan teknis di lapangan seperti ini perlu diperhatikan agar tidak mengorbankan anak-anak itu sendiri.

            Keenam, penjuruan di SMA yang dimulai sejak semester awal pada saat anak masuk ke SMA akan menimbulkan persoalan teknis di lapangan. Banyak anak yang memilih jurusan sering tidak didasarkan pada kemampuan, tapi keinginan. Akhirnya, di tengah jalan terpaksa harus pindah ke jurusan yang sesuai dengan kemampuan dan minat. Kurikulum 2013 mengakomodasi kemungkinan pindah jurusan tersebut, tapi ini sesungguhnya merepotkan sekolah terutama dalam kaitannya mempersiapkan ruang dan guru; sehingga muncul usulan agar penjurusan itu dilakukan mulai semester dua di kelas 1, seperti yang terjadi sampai dengan decade 1980-an dulu (Kurikulum 1975).

            Ketujuh, seorang Kepala SMA di Kuta, Bali, Nyoman Tingkat menulis SMS kepada penulis tanggal 25/9 lalu: Kurikulum 2013 administrative centris, penilaian rumit, guru sibuk dengan administrasi penilaian, siswa sibuk dengan tugas berjubel. Peminatan dan lintas minat dirasakan terlalu ribet. Proses penilaian yang terlalu ribet itu dikeluhkan oleh semua guru karena harus menilai setiap item yang ada pada masing-masing ranah (sikap, pengetahuan, dan ketrampilan. Penilaian model deskriptif itu bagus karena dapat menjelaskan perkembangan murid, tapi itu hanya cocok untuk guru SD yang mengajar per kelas dengan jumlah murid maksimal 40 murid saja. Bagi guru bidang studi di SMP-SMTA dengan jumlah murid lebih dari 100 orang, tidak mungkin hafal murid satu per satu, sehingga tidak mungkin dapat membuat deskripsi penilaian secara akurat, akhirnya ya asal-asalan.

Penuh Kontradiktif

Kelemahan Kurikulum 2013 ini adalah penuh kontradiktif sehingga perlu direvisi. Pertama, ingin melahirkan manusia yang kreatif, inovatif, dan komunikatif untuk menghadapi kehidupan abad ke-21, tapi pelajaran-pelajaran yang bersifat normative-dogmatis (Agama, PPKN, dan Sejarah) justru lebih dominan; padahal mestinya seni dan olah raga itulah yang perlu ditonjolkan di kelas rendah (SD) agar fisiknya berkembang sempurna dan kreativitasnya terasah baik. Apalagi dengan adanya Kompetensi Inti 1 (KI 1), semakin memperkuat sikap normative dogmatis, karena semua akan selesai jawabannya kalau sudah dikembalikan kepada Sang Maha Pencipta. Manusia tidak perlu mengembangkan kreativitasnya untuk memperoleh jawaban karena semua itu berkat Allah. Sekali lagi, sikap religious itu wajib dikembangkan agar orang tidak pongah terhadap dirinya sendiri sebagai orang yang hebat dan menyelesaikan semua persoalan, tapi substansi pendidikan yang terlalu religious juga belum tentu menyelesaikan persoalan. Artinya, perlu ada keseimbangan. Biarlah materi pelajaran seperti matematika, fisika, kimia, biologi, dan ilmu bumi itu memberikan dasar-dasar berfikir logis, sistematis, teliti, akurat, komprehensif, dan empiris; tanpa harus dipaksakan untuk bersifat agamis. Kita tidak perlu takut orang yang ahli dalam matematika, fisika, kimia, biologi, dan ilmu bumi itu menjadi sekuler, asalkan pendidikan agama diberikan secara benar, bukan bagian dari reproduksi kekuasaan untuk membentuk Negara agama. Bentuk Negara kita sudah final, yaitu NKRI berasaskan Pancasila. Pendidikan agama mestinya focus pada pendidikan karakter untuk melahirkan manusia yang cakap, susila, dan bertanggung jawab terhadap bangsa, Negara, dan sesame.

Kontradiktisi yang kedua terlihat dari filosofinya. Kurikulum 2013 ingin manusia pembelajar, tapi justru menambah jam pelajaran. Bila menjadikan Finlandia sebagai acuannya, mestinya ya meniru sana, yaitu mengurangi jam pelajaran dan memperbanyak belajar. Argumen penambahan jam pelajaran lantaran kita masih kalah dengan jam pelajaran beberapa Negara OECD jelas bukan argument akademis, oleh karena itu tidak bisa dijadikan sebagai dasar penambahan jam pelajaran. Argumentasinya itu semestinya didasarkan pada pemaknaan jam pelajaran itu sendiri. Meskipun lebih singkat jam pelajarannya, kalau jam belajarnya lebih banyak, seperti di Finlandia, maka yang lebih sedikit tadi tidak perlu ditambah.

Kontradiksi ketiga terlihat dari elemen perubahan. Dijelaskan bahwa ada empat elemen perubahan yang ada pada Kurikulum 2006 menjadi Kurikulum 2013, yaitu Standar Kompetensi Lulusan, Standar Isi, Standar Proses, dan Standar Penilaian. Standar Kompetensi Lulusan, Standar Isi, dan Standar Proses berubah, tapi Standar Penilaian berubah setengah hati, yaitu hariannya memakai penilaian portofolio, tapi penilaian akhir menggunakan Ujian Nasional (UN), alias tidak berubah. Ini jelas inkonsisten. Bagaimana mungkin pendidikan akan melahirkan manusia-manusia yang berfikir dan bersikap secara konsisten, sementara kurikulumnya sendiri tidak konsisten?

Keempat, Kurikulum 2013 ini ingin melahirkan masyarakat ilmiah, tapi pendekatan ilmiahnya justru lemah karena cenderung langsung ke problem solving. Padahal, bagaiman pun, untuk anak usia Kelas 1-3 SD, penanaman konsep itu penting. Misalnya konsep Pipalanda (Ping, para, lan, suda = perkalian, pembagian, penambahan, dan pengurangan) dalam matematika amat diperlukan bagi anak-anak Kelas 1-3 SD, karena tanpa memiliki konsep tersebut pemahaman mereka terhadap cara berfikir matematis lemah, meski bisa berhitung. Pendekatan problem solving cocok untuk masyarakat yang sudah memiliki kultur belajar tinggi sehingga apa yang dipelajari di sekolah itu tinggal mensismatisasi apa-apa yang dipelajari di rumah dan masyarakat. Tapi banyak masyarakat di pedalaman yang mengenal buku pun belum, bila mereka sudah diajak berfikir model problem solving jelas sulit.

            Kontradiksi yang amat menonjol dalam Kurikulum 2013 ini adalah terlalu sentralistik di tengah sistem politik yang desentralistik, sehingga tidak memberikan ruang kepada daerah untuk mengembangkan kurikulum daerah atau muatan lokal seperti yang ada pada Kurikulum 1984 dan 1994 lalu. Padahal salah satu visi misi Presiden Jokowi adalah ingin memberikan keseimbangan antara aspek nasional dan lokalitas (kedaerahan) untuk mengembangkan potensi dan keragaman yang ada. Dengan penambahan jam pelajaran pada struktur kurikulum nasional, praktis tidak ada ruang lagi bagi daerah atau sekolah untuk mengembangkan potensi lokalnya.

Moratorium untuk Evaluasi

Berdasarkan uraian panjang di atas, dengan melihat banyaknya kelemahan yang ada pada Kurikulum 2013, maka tidak ada salahnya bila Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Anies Baswedan mengambil sikap untuk mengevaluasi filosofi dan konsep Kurikulium 2013 ini, sekaligus merumuskan tahapan implementasinya secara benar agar visi misi Presiden Jokowi itu dapat diwujudkan dalam kurikulum nasional. Tentu saja, agar dapat mengevaluasi secara leluasa, maka implementasi Kurikulum 2013 itu dihentikan sementara (moratorium). Sebab sering dianalogikan, kurikulum ini adalah kendaraan sedangkan guru adalah sopirnya. Tidak mungkin bisa melakukan perbaikan kendaraan yang sedang berjalan. Bila kendaraan itu akan dievaluasi, mau tidak mau harus dihentikan dulu jalannya. Dengan kata lain, penghentian sementara (moratorium) itu mutlak diperlukan untuk dapat mengevaluasi Kurikulum 2013.

Menteri Anies tidak perlu takut atas kritik ganti menteri ganti kebijakan, karena: 1). De facto yang berlaku saat ini sebagian besar masih Kurikulum 2016 atau KTSP mengingat guru banyak yang belum dilatih dan banyak sekolah belum terima bukunya. 2). Suara mayoritas guru justru mengusulkan untuk kembali ke KTSP dengan mengakomodasikan model pendekatan scientific yang ditawarkan dalam Kurikulum 2013. Artinya, ketika Menteri Anies mengambil putusan menghentikan sementara Implementasi Kurikulum 2013 ini, tidak akan menimbulkan kehebohan di masyarakat, tapi akan disambut sorak gembira oleh para guru, murid, dan orang tua murid yang merasa terbebani. 

Evaluasi tersebut termasuk pula evaluasi beberapa Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan yang penuh kontradiktif dan menyesatkan, seperti misalnya Permendikbud No.57 Tahun 2014 tentang Kurikulum 2013 SD/MI. Dalam Permendikbud ini diamanatkan untuk menjadikan Silabus sebagai acuan, sementara Silabusnya sendiri keliru karena mendasarkan pada buku yang telah ada. Padahal, seharusnya, buku itu disusun berdasarkan silabus, bukan sebaliknya.

Perlu diakui bahwa semangat Kurikulum 2013 ini sesungguhnya agus, karena mencoba mengadopsi kurikulum yang dikembangkan oleh sekolah-sekolah internasional. Konsep tematik integratif sesungguhnya konsep yang bagus. Konsep ini sudah dikembangkan oleh sekolah-sekolah altarnatif di Indonesia dengan tujuan untuk mengkontekskan materi pembelajaran dengan kehidupan riil dan sekaligus mengurangi beban anak, terutama murid SD pada saat pergi ke sekolah. Karena dalam konsep tematik integratif itu beberapa materi pelajaran digabung menjadi satu, seperti misalnya Bahasa Indonesia, Matematika, IPA, dan IPS yang semula sendiri-sendiri kemudian digabung menjadi satu sehingga anak yang semula memerlukan tiga buku, sekarang cuma memerlukan satu buku saja. Dari aspek pembelajaran, penggabungan ini pun menjadi lebih bermakna. Ambil contoh misalnya, pelajaran Bahasa Indonesia yang semula tidak memiliki konteks dalam kehidupan riil, karena sekedar mengajarkan baca-tulis semata, tapi dengan tematik integratif, pembelajaran Bahasa Indonesia menjadi lebih bermakna karena menjadi alat komunikasi untuk pelajaran lainnya.

Kurikulum 2013 ini dibuat dengan semangat untuk mengaplikasikan proses pembelajaran dalam kehidupan nyata. Dengan konsep berbasis masalah, dan menjadikan murid sebagai penanya maupun sebagai periset, sebetulnya berusaha menjawab kritik-kritik terhadap proses pembelajaran ala bank, yang menjadikan murid sebagai obyek saja. Dalam Kurikulum 2013 ini murid menjadi subyek utama dalam proses pembelajaran. Oleh karena itu, dari segi semangat penyusunan, ini merupakan kurikulum yang bagus.

Namun perlu disadari bahwa kurikulum tersebut hanya akan jalan atau cocok diterapkan di sekolah-sekolah yang prasarana dan sarana lengkap, guru memiliki kualifikasi akademis (formal) maupun keilmuwan yang cukup, dan muridnya memiliki tingkat kecerdasan maupun dukungan fasilitas belajar di rumah secara cukup. Di daerah-daerah pedesaan atau di sekolah-sekolah pinggiran perkotaan yang prasarana dan sarana pendidikan terbatas, lingkungan fisik sekolah terbatas, gurunya tidak memiliki rasa ingin tahu yang tinggi dan semangat belajar yang tinggi, serta murid-murid hanya mengenal buku di sekolah saja; kurikulum ini tidak mungkin jalan. Pasti yang terjadi seperti sekarang ini: guru bingung, murid bingung, dan orang tua murid pun bingun; akhirnya pendidikan malah tidak karu-karuan. Oleh karena itu, agar arah pendidikan makin jelas, Menteri Anies Baswedan tidak perlu ragu mengambil putusan: Moratorium untuk dievaluasi. Agar tidak ada pihak yang dipermalukan, maka nomenklatur Kurikulum 2013 tetap dipakai, tapi evaluasi tetap diperlukan agar tidak menyesatkan bangsa.


***




[1] Materi untuk diskusi pada Seminar Nasional Pendidikan di UPI Kampus Sumedang dengan tema “Membedah Anatomi Kurikulum 2013 Untuk Membangun Masa Depan Pendidikan Yang Lebih Baik”, tanggal 30 November 2014
[2] DARMANINGTYAS, aktivis Pendidikan dari Tamansiswa dan Ketua Departemen Pembudayaan dan Pendidikan Nilai-nilai Kejuangan 45, Dewan Harian Nasional (DHN) 45.
[3] Dokumen ini dibuat dengan maksud sebagai penjelasan kepada public mengenai alasan rasional perubahan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) menjadi Kurikulum 2013.

Komentar

  1. Saya mengenal bapak melalui buku pendidikan yg memiskinkan klo tidak salah...salut.untuk bs belajar tajam dan lugas.

    BalasHapus
  2. Assalamu Alaikum wr-wb, perkenalkan nama saya ibu Rosnida zainab asal Kalimantan Timur, saya ingin mempublikasikan KISAH KESUKSESAN saya menjadi seorang PNS. saya ingin berbagi kesuksesan keseluruh pegawai honorer di instansi pemerintahan manapun, saya mengabdikan diri sebagai guru disebuah desa terpencil, dan disini daerah tempat saya mengajar hanya dialiri listrik tenaga surya, saya melakukan ini demi kepentingan anak murid saya yang ingin menggapai cita-cita, Sudah 9 tahun saya jadi tenaga honor belum diangkat jadi PNS Bahkan saya sudah 4 kali mengikuti ujian, dan membayar 70 jt namun hailnya nol uang pun tidak kembali, bahkan saya sempat putus asah, pada suatu hari sekolah tempat saya mengajar mendapat tamu istimewa dari salah seorang pejabat tinggi dari kantor BKN pusat karena saya sendiri mendapat penghargaan pengawai honorer teladan, disinilah awal perkenalan saya dengan beliau, dan secara kebetulan beliau menitipkan nomor hp pribadinya dan 3 bln kemudian saya pun coba menghubungi beliau dan beliau menyuruh saya mengirim berkas saya melalui email, Satu minggu kemudian saya sudah ada panggilan ke jakarta untuk ujian, alhamdulillah berkat bantuan beliau saya pun bisa lulus dan SK saya akhirnya bisa keluar,dan saya sangat berterimah kasih ke pada beliau dan sudah mau membantu saya, itu adalah kisah nyata dari saya, jika anda ingin seperti saya, anda bisa Hubungi Bpk Drs Tauhid SH Msi No Hp 0853-1144-2258. siapa tau beliau masih bisa membantu anda, Wassalamu Alaikum Wr Wr ..

    BalasHapus
    Balasan
    1. KAMI SEKELUARGA MENGUCAPKAN BANYAK TERIMA KASIH ATAS BANTUANNYA MBAH , NOMOR YANG MBAH BERIKAN/ 4D SGP& HK SAYA DAPAT (350) JUTA ALHAMDULILLAH TEMBUS, SELURUH HUTANG2 SAYA SUDAH SAYA LUNAS DAN KAMI BISAH USAHA LAGI. JIKA ANDA INGIN SEPERTI SAYA HUB MBAH_PURO _085_342_734_904_ terima kasih.

      KAMI SEKELUARGA MENGUCAPKAN BANYAK TERIMA KASIH ATAS BANTUANNYA MBAH , NOMOR YANG MBAH BERIKAN/ 4D SGP& HK SAYA DAPAT (350) JUTA ALHAMDULILLAH TEMBUS, SELURUH HUTANG2 SAYA SUDAH SAYA LUNAS DAN KAMI BISAH USAHA LAGI. JIKA ANDA INGIN SEPERTI SAYA HUB MBAH_PURO _085_342_734_904_ terima kasih.


      KAMI SEKELUARGA MENGUCAPKAN BANYAK TERIMA KASIH ATAS BANTUANNYA MBAH , NOMOR YANG MBAH BERIKAN/ 4D SGP& HK SAYA DAPAT (350) JUTA ALHAMDULILLAH TEMBUS, SELURUH HUTANG2 SAYA SUDAH SAYA LUNAS DAN KAMI BISAH USAHA LAGI. JIKA ANDA INGIN SEPERTI SAYA HUB MBAH_PURO _085_342_734_904_ terima kasih.


      Hapus
  3. very very good reading,sir. critical thinking

    BalasHapus
  4. terimakasih, pandangan tentang bahasa daerah. jangan dinamakan muatan lokal (sebab semua mapel wajib ikut mempertahankan budaya lokal dlm pembelajaran).. tetapi kolom baru di raport: mata pelajaran pilihan wajib.bahasa daerah...
    bagi daerah yg tdk memiliki bahasa daerah (?) materi berbasis keunggulan lokal...
    mhn maaf, terimakasih ilmunya barokah manfaat..

    BalasHapus
  5. Saya Queen Chahaya dari Gang plamboyan 1 kec kembangan, Jakarta barat, Indonesia, saya menggunakan waktu ini untuk memperingatkan semua rekan saya INDONESIA yang telah berkeliling mencari pinjaman, Anda hanya harus berhati-hati, saya menghabiskan hampir 12 juta dalam tangan pemberi pinjaman palsu.
    Satu-satunya tempat dan perusahaan yang dapat menawarkan pinjaman Anda adalah PERUSAHAAN RIKA ANDERSON LOAN. Saya mendapat pinjaman Bisnis online saya sebesar Rp50.000.000 dari mereka. Mereka adalah satu-satunya pemberi pinjaman yang sah di internet. Yang lain semua pembohong, Tapi PERUSAHAAN RIKA ANDERSON LOAN memberi saya mimpi dan kebahagiaan saya kembali.
    alamat email: rikaandersonloancompany@gmail.com
    Hubungi / Whatsapp: +15183602491
    Email pribadi saya sendiri: queenchahaya@gmail.com. Anda dapat berbicara dengan saya kapan saja Anda mau. Terima kasih semua untuk mendengarkan permintaan saya untuk saran. Hati-hati

    BalasHapus
  6. KABAR BAIK!!!

    Nama saya Rahim Teimuri Kemala dari Surabaya di Indonesia, saya seorang perancang busana dan saya ingin menggunakan media ini untuk memberitahu semua orang agar berhati-hati dalam mendapatkan pinjaman di internet, begitu banyak pemberi pinjaman di sini adalah penipuan dan mereka ada di sini. menipu Anda dengan uang hasil jerih payah Anda, saya mengajukan pinjaman sekitar Rp900.000.000 wanita di Italia dan saya kehilangan sekitar 29 juta tanpa mengambil pinjaman, saya membayar hampir 29 juta masih saya tidak mendapatkan pinjaman dan bisnis saya Tentang jatuh karena hutang.

    Saat saya mencari perusahaan pinjaman pribadi yang andal, saya melihat iklan online lainnya dan nama perusahaannya adalah GLOBAL LOANS COMPANY. Saya kehilangan 15 juta dengan mereka dan sampai hari ini, saya tidak pernah menerima pinjaman.

    Alhamdulillah, teman-teman yang mengajukan pinjaman juga menerima pinjaman tersebut, memperkenalkan saya kepada Perusahaan Pinjaman Rebacca Alma yang terpercaya di mana Ibu Alma bekerja sebagai manajer cabang, dan saya mengajukan pinjaman sebesar Rp900.000.000 dan mereka meminta kredensial saya , Dan setelah mereka selesai memverifikasi detail saya, pinjaman disetujui untuk saya dan saya pikir itu adalah lelucon, dan mungkin ini adalah salah satu tindakan curang yang membuat saya kehilangan uang, tetapi saya tertegun. Saat saya mendapatkan pinjaman dalam waktu kurang dari 6 jam dengan suku bunga rendah 2% tanpa agunan.

    Saya sangat senang bahwa Tuhan menggunakan teman saya yang menghubungi mereka dan memperkenalkan saya kepada mereka dan karena saya diselamatkan dari membuat bisnis saya melonjak dan dilikuidasi dan sekarang bisnis saya terbang tinggi dalam bahasa Indonesia dan tidak ada yang akan mengatakan Dia tidak tahu tentang perusahaan fashion.

    Jadi saya menasihati setiap orang yang tinggal di Indonesia dan negara lain yang membutuhkan pinjaman untuk satu tujuan atau lainnya untuk menghubungi
    Ibu Rebacca Alma via email: (rebaccaalmaloancompany@gmail.com)

    Anda masih dapat menghubungi saya jika Anda membutuhkan informasi lebih lanjut melalui email: (rahimteimuri97@gmail.com). Ini ibu baik Ibu Alma WhatsApp Nomor +14052595662

    Terima kasih sekali lagi telah membaca kesaksian saya, dan semoga Tuhan terus memberkati kami /

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

BIODATA DARMANINGTYAS

BIODATA DARMANINGTYAS, menggeluti pendidikan sejak mulai menjadi mahasiswa baru di UGM, Agustus 1982 dengan menjadi guru di SMP Binamuda dan SMA Muhammadiyah Panggang, Gunungkidul, DIY. Pendidikan formalnya cukup Sarjana Filsafat Universitas Gadjah Mada (UGM) dan selebihnya otodidak. Gelar “Profesor Doktor” diperoleh dari undangan, sertifikat, piagam, spanduk, dan sejenisnya; sebagai bentuk pengakuan nyata dari masyarakat.

Masyarakat Diajak Adaptasi

Pemerintah, melalui lembaga dan kementerian, mengeluarkan peraturan dan edaran perihal protokol atau pedoman kesehatan. Protokol itu berlaku di tempat masyarakat, industri, sektor jasa, dan perdagangan.

REFLEKSI DARI PELATIHAN GURU SASARAN DI LAMPUNG

Berikut saya sampaikan refleksi saya tatkala mendapat tugas untuk membuka dan kasih pengarahan pada pelatihan guru sasaran di Lampung tanggal 9 Juli lalu. Semoga refleksi in dapat menjadi bahaperbaikan proses pelatihan guru yang akan dating sehingga menjadi lebih baik.