Langsung ke konten utama

SUBSIDI BAGI PENUMPANG KERETA API

OLEH: DARMANINGTYAS
 KETUA INSTRAN (INSTITUT STUDI TRANSPORTASI) 
DI JAKARTA
Dimuat di Harian Sore Suara Pembaruan, Jumat 10 Oktober 2014


PT KAI awal Oktober 2014 ini mulai memasarkan tiket kereta api (KA) ekonomi jarak jauh dan menengah (selanjutnya disebut KA Ekonomi) tanpa subsidi.  Tiket itu mulai berlaku untuk perjalanan per 1 Januari 2015. Langkah ini dilakukan terkait dengan wacana untuk menghapuskan subsidi KA Ekonomi dan kemudian akan mengalihkan dua pertiga subsidi tersebut untuk mensubsidi kereta rel listrik (KRL) Jabodetabek, sedangkan sepertiganya diberikan ke KA lokal.  Alasannya adalah karena pengguna KRL Jabodetabek  dan lokal naik setiap hari, sedangkan pengguna KA Ekonomi penggunanya tidak rutin. Konsekuensi dari penghapusan itu akan terjadi kenaikan tarif KA Ekonomi. Sebagai contoh, tiket KA Kertajaya (Tanjung Priok – Pasar Turi Surabaya) dari Rp. 50.000,- akan menjadi Rp. 135.000,- dan KA Matramaja (Pasar Senen – Malang) dari Rp. 65.000,- menjadi Rp.150.000,-. Ini tentu amat memberatkan bagi orang kecil.


Rencana penghapusan subsidi KA Ekonomi itu jelas kabar buruk bagi pengguna KA Ekonomi, tapi kabar gembira bagi penumpang KRL Jabodetabek dan KA lokal lain. Dengan kata lain, enaknya penumpang KRL Jabodetabek dan KA lokal dibayar mahal oleh penumpanng KA Ekonomi. Ini tindakan diskriminatif yang tidak dibenarkan. Oleh karena itu, tulisan ini mau menegaskan bahwa subsidi untuk KA Ekonomi itu masih sangat diperlukan demi menjamin hak mobilitas setiap warga.
UUD 1945 hasil amandemen, pasal 28H ayat (2) menyatakan: “Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan”. Dan Pasal 34 ayat (3): “Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak”.

Kedua pasal tersebut jelas sekali memberikan hak konstitusi kepada setiap warga Negara untuk     mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan, serta memperoleh pelayanan umum yang layak. Salah satu bentuk layanan umum itu adalah transportasi. Artinya, warga berhak complain terhadap pemerintah sebagai representasi Negara bila tidak memperoleh layanan transportasi yang layak. Bentuk penyelenggaraan transportasi umum oleh Negara itu secara langsung direpresentasikan oleh BUMN dan UPT (Unit Pelaksana Teknis) bidang perhubungan, sedangkan yang tidak langsung melalui pemberian izin kepada operator swasta. Pemberian subsidi kepada BUMN yang mengoperasikan moda transportasi umum, termasuk KA Ekonomi itu adalah wujud tanggung jawab Negara dalam menyediakan sarana angkutan umum bagi warganya. Dengan kata lain, subsidi untuk angkutan umum itu bukan dosa, tapi itu amanat konstitusi, dan warga berhak untuk memperolehnya agar dapat melakukan mobilitas geografis secara lancar.

Urgensi Subsidi KA

Ada beberapa argumen yang dapat menjelaskan pentingnya subsidi untuk KA Ekonomi tersebut. Pertama, subsidi untuk KA Ekonomi itu adalah satu-satunya manfaat langsung yang diterima oleh rakyat kecil yang suaranya selalu diperebutkan pada setiap Pemilu dan Pilpres. Dengan frekuensi kepergian yang tidak setiap minggu sekali, nominal subsidi yang mereka terima tidak mencapai lima juta rupiah setahun. Bandingkan dengan besarnya subsidi yang diterima oleh golongan menengah ke atas melalui BBM yang mereka konsumsi. Golongan menengah juga menerima banyak manfaat dari APBN/APBD, entah terlibat dalam pelaksanaan program atau lainnya. Mengapa bantuan untuk orang kecil yang jumlahnya amat kecil itu harus dicabut, sementara subsidi untuk kelas menengah justru dipertahakan? Ini ironis sekali!

Kedua, alasan bahwa pengguna KA Ekonomi tidak tiap hari itu betul. Tapi apakah hak mobilitas mereka setiap minggu/dua minggu sekali/sebulan sekali tidak dijamin oleh Negara? Bila kita melihat profil penumpang KA Ekonomi itu jelas sekali bahwa profil mereka adalah pertama, para buruh bangunan, buruh pabrik, buruh toko, pedagang asongan, sopir bajai, sopir taxi, dan karyawan swasta lainnya yang keluarga mereka tinggal di Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, atau Banten sana. Mereka mencari nafkah di Jakarta, tapi keluarga mereka tinggal di kampung karena pendapatan tidak cukup untuk tinggal di Jakarta. Mereka bisa menengok keluarga karena ada fasilitas tarif KA murah (Rp. 50.000 – Rp. 65.000,- sudah bisa pulang ke Jawa Tengah dan Jawa Timur). Bila subsidi tersebut dicabut, berarti Negara merampas hak mobilitas mereka untuk hidup bersama keluarganya. Mengapa kita tidak rela mereka turut berbahagia bertemu keluarganya dengan difasilitasi oleh APBN?

Profil kedua penumpang KA Ekonomi adalah mahasiswa yang kuliah di lain daerah dan mereka perlu pulang kampung atau mereka akan mengikuti kegiatan di luar kota yang ada jaringan KA. Ambil Contoh, KA Serayu (Kota – Kroya) antara Bandung – Kroya dan sebaliknya banyak dinaiki mahasiswa. Demikian pula KA Progo (Lempuyangan Yogyakarta – Pasar Senen) banyak penumpangnya adalah mahasiswa yang akan mencari data, magang,  atau mengikuti kegiatan di Jakarta. Dengan posisi sebagai mahasiswa, mereka berat bila naik KA Bisnis yang tarifnya di atas Rp. 200.000,-; apalagi naik KA Eksekutif yang tarifnya di atas Rp. 300.000,-. Mahasiswa tersebut memang tidak rutin, tapi mereka punya hak untuk melakukan mobilitas yang dijamin oleh Negara. Tidak setiap mahasiswa mampu, sehingga mereka hanya mungkin bisa mengikuti kegiatan lantaran tarif KA-nya terjangkau. Profil ketiga adalah para karyawan yang sebetulnya tidak tergolong miskin, tapi mereka terdegradasi dari pengguna KA Bisnis/Eksekutif menjadi pengguna KA Ekonomi karena tiket KA Bisnis/Eksekutif tidak terjangkau lagi pada saat weekend. Ibaratnya mereka bunuh diri sosial. Ini terutama dialami oleh komunitas PJKA (Pulang Jumat Kembali Ahad). Mereka bukan orang miskin, tapi tidak mampu bila harus membeli tiket KA Bisnis yang rata-rata Rp.250.000,- atau KA Eksekutif yang di atas Rp. 300.000,-.

Ketiga, argumen bahwa subsidi itu tidak tepat, mengingat saat ke/dari stasiun naik taxi yang tarifnya lebih mahal daripada tarif KA, dan HP mereka bagus-bagus, jelas argumen yang lemah. Mereka naik taxi bukan karena uang berlebih, tapi boleh jadi satu-satunya moda transportasi yang dapat diakses ke/dari stasiun. Angkutan umum lain yang lebih murah tidak ada, atau bila ada harus pindah-pindah dan tidak praktis bila membawa barang atau pergi bersama keluarga, lebih efisien naik taxi. Mereka juga bisa naik taxi justru karena tiket KA-nya murah. Bila tiket KA-nya mahal, mereka tidak bisa naik taxi dan tidak bisa naik KA sekaligus, sehingga tidak bisa melakukan mobilitas geografis sama sekali. Bahwa HP mereka bagus-bagus, bisa jadi, itulah satu-satunya harta yang cukup bagus dan mereka miliki. Tapi logika yang sama mestinya juga diterapkan kepada para pemilik mobil dan motor. Dijamin bahwa mereka memiliki kekayaan yang jauh lebih mahal daripada harga HP penumpang KA Ekonomi, tapi mengapa mereka diberikan BBM? Mereka jelas tidak layak menerima subsidi BBM, tapi Negara tetap memberikannya ratusan triliun rupiah setiap tahunnya.

Bahwa penumpang KRL Jabodetabek dan KA lokal lainnya juga perlu disubsidi agar mereka tidak menggunakan kendaraan pribadi, itu juga jelas sekali, tapi subsidi mereka tidak harus mengorbankan subsidi untuk penumpang KA Ekonomi. Kedua jenis penumpang KA tersebut perlu disubsidi dengan alasan yang berbeda. KA Ekonomi perlu disubsidi dengan alasan menjamin mobilitas geografis orang kecil, sedangkan KRL Jabodetabek dan KA lokal perlu disubsidi dalam rangka untuk mengurangi penggunaan kendaraan bermotor. Pemerintah dapat mensubsidi keduanya itu dengan cara melakukan efisiensi penggunaan anggaran, termasuk mengurangi subsidi untuk BBM.

Kita perlu membedakan antara yang prinsip dan teknis. Subsidi untuk penumpang KA Ekonomi itu tetap perlu adalah persoalan prinsip. Sedangkan masalah pembayaran subsidi dari Pemerintah ke operator yang sering terlambat dan mengganggu kinerja operator itu adalah masalah teknis. Masalah teknis ini perlu dipecahkan, tapi jangan sampai menghilangkan hal yang prinsip tadi, sebaliknya justru untuk dapat memperkuat hal prinsip tadi. Jangan dibalik: demi penyelesaian masalah teknis, hal prinsip dikorbankan. Mengelola Negara berbeda dengan mengelola perusahaan. Aspek keadilan perlu diperhatikan dalam mengelola Negara.




Komentar

  1. Terimakasih atas tulisannya yang cukup bagus.Subsidi adalah hak untuk rakyat termasuk subsdi KA nagi kelas ekonomi tersebut...Mayoritas rakyat Indonesia ini sebenanrnya adalah rakyat miskin,sekalipun statistik pemerintah selalu mengatakan jumlah orang miskin menurun...kalau boleh saya singgung juga soal BBM : bagi saya,subsidi BBM itu harus ada.Alasan menaikkan harga BBM hingga mencabut subsidi BBM adalah alasan "semu".Misalnya karena APBN hampir jebol,tidak tepat sasaran dll...Padahal semuanya hasil resep IMF,WB,WTO yang tertuang jelas dalam LoI...(Kudeta Putih)...Prinsip ekonomi Neoliberal adalah : TIDAK BOLEH ADA SUBSIDI,YANG ADA ADALAH HARUS DISERAHKAN PADA MEKANISME PASAR...semoga pemimpin bangsa ini menyadari hal ini...

    BalasHapus
  2. Assalamu Alaikum wr-wb, perkenalkan nama saya ibu Rosnida zainab asal Kalimantan Timur, saya ingin mempublikasikan KISAH KESUKSESAN saya menjadi seorang PNS. saya ingin berbagi kesuksesan keseluruh pegawai honorer di instansi pemerintahan manapun, saya mengabdikan diri sebagai guru disebuah desa terpencil, dan disini daerah tempat saya mengajar hanya dialiri listrik tenaga surya, saya melakukan ini demi kepentingan anak murid saya yang ingin menggapai cita-cita, Sudah 9 tahun saya jadi tenaga honor belum diangkat jadi PNS Bahkan saya sudah 4 kali mengikuti ujian, dan membayar 70 jt namun hailnya nol uang pun tidak kembali, bahkan saya sempat putus asah, pada suatu hari sekolah tempat saya mengajar mendapat tamu istimewa dari salah seorang pejabat tinggi dari kantor BKN pusat karena saya sendiri mendapat penghargaan pengawai honorer teladan, disinilah awal perkenalan saya dengan beliau, dan secara kebetulan beliau menitipkan nomor hp pribadinya dan 3 bln kemudian saya pun coba menghubungi beliau dan beliau menyuruh saya mengirim berkas saya melalui email, Satu minggu kemudian saya sudah ada panggilan ke jakarta untuk ujian, alhamdulillah berkat bantuan beliau saya pun bisa lulus dan SK saya akhirnya bisa keluar,dan saya sangat berterimah kasih ke pada beliau dan sudah mau membantu saya, itu adalah kisah nyata dari saya, jika anda ingin seperti saya, anda bisa Hubungi Bpk Drs Tauhid SH Msi No Hp 0853-1144-2258. siapa tau beliau masih bisa membantu anda, Wassalamu Alaikum Wr Wr ..

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

BIODATA DARMANINGTYAS

BIODATA DARMANINGTYAS, menggeluti pendidikan sejak mulai menjadi mahasiswa baru di UGM, Agustus 1982 dengan menjadi guru di SMP Binamuda dan SMA Muhammadiyah Panggang, Gunungkidul, DIY. Pendidikan formalnya cukup Sarjana Filsafat Universitas Gadjah Mada (UGM) dan selebihnya otodidak. Gelar “Profesor Doktor” diperoleh dari undangan, sertifikat, piagam, spanduk, dan sejenisnya; sebagai bentuk pengakuan nyata dari masyarakat.

Masyarakat Diajak Adaptasi

Pemerintah, melalui lembaga dan kementerian, mengeluarkan peraturan dan edaran perihal protokol atau pedoman kesehatan. Protokol itu berlaku di tempat masyarakat, industri, sektor jasa, dan perdagangan.

REFLEKSI DARI PELATIHAN GURU SASARAN DI LAMPUNG

Berikut saya sampaikan refleksi saya tatkala mendapat tugas untuk membuka dan kasih pengarahan pada pelatihan guru sasaran di Lampung tanggal 9 Juli lalu. Semoga refleksi in dapat menjadi bahaperbaikan proses pelatihan guru yang akan dating sehingga menjadi lebih baik.