Langsung ke konten utama

PENGANTAR DISKUSI BUKU MELAWAN LIBERALISASI PENDIDIKAN

Diskusi Buku "Melawan Liberalisasi Pendidikan"
Cikini, 23 Oktober 2014

1. Rumusan Masalah

Pendidikan nasional dari tingkat dasar sampai perguruan tinggi tiba-tiba mengalami gejala kapitalisasi, privatisasi, dan liberalisasi paska reformasi politik dimulai 21 Mei 1998 bersamaan dengan kejatuhan rezim Soeharto. Tapi karena cara kerja dari tangan-tangan yang tidak kelihatan itu sangat halus, maka kecenderungan tersebut tidak mudah terbaca oleh masyarakat umum. Tahu-tahu masyarakat berada dalam satu perangkap yang membuat dirinya tidak dapat lagi mengakses pendidikan, baik dari pendidikan dasar sampai pendidikan tinggi secara mudah seperti sebelumnya. Perguruan Tinggi Negeri (PTN), seperti Universitas Gadjah Mada (UGM) yang pada tahun 1982 dapat diakses oleh anak orang miskin karena hanya membayar Rp.18.000,- per semester untuk jurusan sosial dan Rp. 24.000,- untuk jurusan  eksakta (US$1 = Rp. 900), tiba-tiba di awal abad ke-21 tidak dapat diakses lagi oleh orang seperti kami dalam kondisi 1982, karena mahalnya uang kuliah.

Kasus yang sama terjadi di Universitas Indonesia (UI), Institut Teknologi Bandung (ITB), Institut Pertanian Bogor (IPB), Universitas Airlangga (UNAIR), dan Universitas Sumatera Utara (USU) yang sudah diprivatisasi dalam bentuk Badan Hukum Milik Negara (BHMN), terutama sampai dengan disahkannya RUU BHP (Rancangan Undang-undang Badan Hukum Pendidikan) menjadi UU BHP (Undang-undang Badan Hukum Pendidikan) pada tanggal 17 Desember 2008. Masyarakat tidak tahu kronologisnya, tiba-tiba mereka hanya merasakan bahwa uang sekolah dan kuliah menjadi amat sangat mahal sekali (perlu tekanan dengan bahasa hiperbola), dan tidak terjangkau bagi golongan menengah ke bawah.
            Gerakan ke arah kapitalisasi, privatisasi, dan liberalisasi pendidikan itu tidak mudah terbaca oleh publik karena menumpang pada gerakan demokratisasi yang sedang diusung oleh para aktivis pro-demokrasi, sehingga kesannya selalu baik. Bahwa berkurangnya campur tangan pemerintah dalam pendidikan itu akan menumbuhkan otonomi, demokrasi, dan kemandirian lembaga-lembaga pendidikan. Tapi implikasi negatif dari berkurangnya campur tangan pemerintah tersebut tidak pernah disebutkan kepada publik, padahal, dampak negatifnya jauh lebih buruk karena pendidikan tidak lagi ditempatkan sebagai hak dasar yang dimiliki oleh setiap warga dan negara wajib memenuhinya, melainkan menjadi barang komoditas. Itu bukan tanpa kesengajaan, melain dilakukan dengan penuh kesadaran oleh kaki tangan WTO (World Trade Organization) dan Bretton Woods, seperti Bank Dunia serta IMF (International Monetary Fund). Mereka memanfaatkan momentum penjadwalan ulang utang luar negeri yang telah jatuh tempo. Bahwa penjadwalan ulang utang luar negeri tersebut hanya dapat dilakukan dengan syarat negara yang bersangkutan harus menerapkan kebijakan penyesuaian struktural (SAP=Structural Adjustmen Policies) yang disusun oleh institusi-institusi di Washington. SAP mencakup kebijakan-kebijjakan ekonomi makro dan belakangan mencakup juga berbagai kebijakan sosial dan persoalan-persoalan struktural seperti privatisasi, kebijakan monoter, hukum-hukum usaha, dan pengelolaannya. [1]
            Pada tingkat perguruan tinggi, awal liberalisasi pendidikan itu dimulai dengan privatisasi[2] empat PTN terkemuka, yaitu UI, UGM, ITB, dan IPB menjadi PT BHMN (Perguruan Tinggi Badan Hukum Milik Negara) pada tahun 2000. Pembentukan BHMN ini diterima oleh para senat guru besar atau kalangan akademisi di PTN masing-masing karena dibungkus dengan istilah otonomi kampus. Semua tidak menyadari (atau memang betul-betul tidak tahu meskipun bergelar profesor doktor) bahwa yang diotonomikan hanya sebatas pada pencarian dana dan pengelolaan keuangan saja, sedangkan otonomi kampus secara keseluruhan tidak diberikan. Terbukti, dalam hal pemilihan pimpinan (Rektor) di PTN-PTN yang di-BHMN-kan itu Menteri Pendidikan Nasional memegang 35% suara sendiri. Ini jumlah suara yang sangat signifikan karena sangat menentukan seseorang dapat terpilih atau tidak sebagai calon rektor, mengingat anggota Majelis Wali Amanah (MWA) lainnya hanya memiliki satu suara saja.
            Sikap kritis dan terbuka terhadap tindakan privatisasi itu dikemukakan oleh hanya sedikit mahasiswa yang peduli pada nasib bangsanya. Tapi mahasiswa yang menolak secara tegas kenaikan biaya pendidikan sebagai bagian dari privatisasi PTN selalu dilakukan oleh hanya sedikit mahasiswa dan tidak punya daya dobrak untuk membatalkan kenaikkan. Sedangkan penolakan secara terbuka dari kalangan dosen, dilakukan oleh sejumlah dosen muda di UGM melalui polemik di media lokal (Kedaulatan Rakyat) yang kemudian dibukukan dengan judul Macdonalisasi Pendidikan Tinggi dan diterbitkan oleh Center for Critical Social Studies dan Penerbit Kanisius (2002). Penolakan yang dilakukan oleh mahasiswa itu, karena mereka merasakan dampak langsung dari privatisasi, bahwa uang SPP tiba-tiba naik cukup signifikan. Kami berikan tekanan pada “hanya sedikit mahasiswa” karena sebagian besar lainnya yang tidak merasakan kesulitan membayar biaya kuliah, tidak peduli dengan privatisasi. Sebaliknya mereka justru menikmatinya karena keinginan untuk dapat kuliah di UI, UGM, IPB, dan ITB dapat terpenuhi berkat dukungan kemampuan ekonomi mereka. Sebelumnya mereka tidak dapat masuk ke sana, karena tidak lolos tes, meskipun secara ekonomis mampu.
            Jadi privatisasi beberapa PTN dalam bentuk BHMN tersebut membawa perubahan persepsi masyarakat terhadap keberadaan PTN-PTN yang bersangkutan. Sebelum ada privatisasi, masyarakat akan memberikan apresiasi pada mereka yang diterima di UI, UGM, ITB, dan IPB sebagai orang pintar/cerdas. Tapi paska privatisasi, masyarakat akan memberikan apresiasi atas dasar kemampuan ekonomi orang tua si mahasiswa. Sederhananya, sebelum diprivatisasi dalam bentuk BHMN, orang akan memberikan apresiasi kepada mereka yang diterima di UI, UGM, IPB, ITB dengan berkomentar: “wah hebat ya!”. Tapi setelah diprivatisasi, akan berkomentar: “berapa bayarnya?”, ketika mendengar seorang lulusan SMA diterima di UI, UGM, ITB, IPB, dan PTN-PTN lain yang diprivatisasi. Apresiasi yang diungkapkan secara spontan oleh masyarakat itu menunjukkan bahwa memang telah terjadi pergeseran pola penerimaan mahasiswa baru di beberapa PTN terkemuka yang di-BHKM-kan yang dipengaruhi oleh besaran uang yang harus dibayarkan oleh si calon mahasiswa. Pergeseran persepsi itu secara perlahan juga membentuk watak baru bagi PT BHMN yang bersangkutan, yaitu watak bisnis.
            Perubahan persepsi tersebut tidak bersifat individual, melainkan kolektif. Sebagai contoh, hal itu terlihat dari hasil jajak pendapat Kompas edisi DIY mengenai persepsi masyarakat Yogja dan sekitarnya terhadap keberadaan UGM. UGM yang dulu sangat dikenal sebagai kampus ndeso atau kerakyatan, ternyata sudah mengalami pergeseran. Hanya 47,03% saja dari 489 responden yang menjawab bahwa UGM masih layak disebut sebagai universitas yang berpihak pada rakyat, dan 74,85% menilai bahwa biaya pendidikan di UGM saat ini mahal. Perubahan itu dirasakan mulai tahun akademik 2003/2004, ketika diberlakukan Sumbangan Peningkatan Mutu Akademik (SPMA).[3]
            Mengapa perubahan status dari PTN ke PT BHMN itu menjadikan BHMN mahal? Hal itu tidak lepas dari dorongan ke arah otonomi dan kemandirian BHMN. Menurut Satryo Soemantri Brodjonegoro (Dirjen Pendidikan Tinggi 1998 – 2007), dalam wawancaranya dengan Koran TEMPO mengatakan bahwa, BHMN adalah status yang dalam hal ini perguruan tinggi bisa mengelola diri sendiri secara mandiri. Mereka mempunyai kewenangan untuk membuat keputusan dan mengambil kebijakan sendiri. Mereka hanya mengawasi rambu-rambu yang berlaku, sedangkan pembiayaan tetap oleh pemerintah, sebagian lagi mereka bisa mencari sendiri. Targetnya adalah efisiensi pengelolaan perguruan tinggi negeri. Efisien di sini dalam segi sumber daya manusia, fasilitas, cara kerja yang efektif dan akhirnya peningkatatan mutu. Kalau dia punya kewenangan, maka dia dapat berbuat banyak untuk meningkatkan mutu.[4]
            Konsekuensi dari privatisasi itu adalah subsidi untuk PT BHMN berkurang atau tetap, tapi perguruan tinggi (PT) yang bersangkutan dituntut untuk meningkatkan kualitas dan pelayanannya kepada mahasiswa. Akibatnya, mau tidak mau pimpinan PT yang bersangkutan memobilisasi pencarian dana dari banyak sumber, dan salah satunya yang paling mudah adalah dari mahasiswa. Maka sejak muncul kebijakan BHMN, SPP di semua PTN terkemuka itu terus naik secara signifikan setiap tahunnya (rata-rata di atas 25%) dan dikembangkanlah teknik-teknik penerimaan mahasiswa baru yang melegitimasi pungutan besar. Di UI misalnya, ada PPMM (Program Prestasi Minat Mandiri), di UGM ada Ujian Masuk (UM), di IPB ada MUD (Mahasiswa Utusan Daerah) dan MUA (Mahasiswa Utusan Alumni), sedangkan di ITB ada PMBP (Penelusuran Minat, Bakat, dan Potensi). PPMM, UM, PMBP, MUD, atau MUA itu semua adalah saringan calon mahasiswa baru yang lebih banyak didasarkan pada besaran uang yang sanggup dibayarkan oleh si calon mahasiswa. Semuanya itu di luar SPMB yang merupakan saringan calon mahasiswa yang dilakukan secara reguler bersama-sama PTN lain di seluruh Indonesia, tapi kuotanya semakin mengecil.
            Kecenderungan negara melepas tanggung jawab untuk membiayai pendidikan tinggi itu telah berdampak makin sulitnya orang miskin untuk mengakses pendidikan tinggi karena tidak mampu membayar uang masuk maupun uang semesteran yang amat dan makin mahal. PT BHMN akhirnya hanya menampung orang-orang kaya saja. Jumlah golongan miskin di PTN semakin mengecil, sebaliknya jumlah golongan terkaya makin membesar. Padahal, negara Indonesia adalah negara yang sedang berkembang dan memerlukan orang-orang pintar dari seluruh pelosok tanah serta dari seluruh lapisan masyarakat (kaya – miskin). Orang-orang (kaya – miskin) dari seluruh penjuru tanah air mestinya difasilitasi agar dapat kuliah di PTN-PTN terkemuka sehingga mereka dapat berkembang dan memajukan daerah masing-masing. Adalah menjadi tugas negara untuk memfasilitasi warganya agar dapat bersekolah tinggi di PTN-PTN terkemuka dengan biaya terjangkau. Bukan membuat regulasi yang menyebabkan layanan pendidikan tinggi bermutu justru semakin tidak terjangkau oleh segenap lapisan masyarakat di seluruh penjuru tanah air.
            Keberadaan PT BHMN itu sendiri baru didasarkan pada Peraturan Pemerintah (PP No. 152 – 155 Tahun 2000. Tapi lahirnya UU No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU SPN) yang dalam Pasal 53 UU SPN mengamanatkan pembentukan badan hukum, maka hal itu dapat dipakai sebagai payung hukumnya. Pasal 53 UU SPN itu menyatakan:
  1. Penyelenggara dan/atau satuan pendidikan formal yang didirikan oleh Pemerintah atau masyarakat berbentuk badan hukum pendidikan.
  2. Badan hukum pendidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berfungsi memberikan pelayanan pendidikan kepada peserta didik.
  3. Badan hukum pendidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berprinsip nirlaba dan dapat mengelola dana secara mandiri untuk memajukan pendidikan.
  4. Ketentuan tentang badan hukum pendidikan diatur dengan undang-undang tersendiri.

Keberadaan pasal 53 UU Sisdiknas itulah yang menjadi dasar bagi pemerintah untuk membuat UU BHP yang dimaksudkan dapat menjadi payung hukum yang kuat bagi penyelenggaraan PT BHMN, sehingga semua PTN diharapkan dapat dikembangkan menjadi PTN otonom seperti halnya dengan PT BHMN-PT BHMN yang telah ada tersebut.
            Substansi yang menonjol dari UU BHP adalah pengelolaan pendidikan oleh suatu badan hukum pendidikan (BHP) atau dengan kata lain diprivatisasi, karena negara tidak lagi bertanggung jawab sepenuhnya pada pendanaan pendidikan. Padahal, Pembukaan UUD 1945 menyatakan bahwa salah satu tugas negara adalah mencerdaskan kehidupan bangsa dan pendidikan merupakan salah satu alat untuk mencerdaskan bangsa.
            Mengingat penulis tahu dan menyadari bahaya dari UU BHP terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara di masa mendatang, terutama dalam meliberalisasi pendidikan, maka perlu menuliskannya dalam bentuk buku sebagai alat untuk melakukan pendidikan publik. Dengan mengetahui bahaya dari liberalisasi pendidikan tersebut, diharapkan masyarakat akan ramai-ramai menolak praktek-praktek liberalisasi pendidikan. Penolakan dapat dilakukan melakukan berbagai cara, seperti misalnya pembangkangan sipil dengan tidak mau melaksanakan aturan yang liberalistik, uji materi (judicial review) ke Mahkamah Konstitusi (MK), maupun memilih keluar dari sistem.  
Kita harus katakan secara jujur bahwa dalam hal akses pendidikan, Rezim Orde Baru justru lebih peduli, karena Rezim Orde Baru sudah membuat perencanaan agar angka partisipasi pendidikan tinggi (orang berusia 19 – 24 tahun kuliah) pada tahun 2010 mencapai 25%. Banyak orang seperti kami beruntung dapat kuliah di PTN terkemuka karena biaya pendidikannya amat murah. Banyak pejabat negara sekarang ini juga dapat kuliah di UI, UGM, IPB, ITB, dan PT BHMN lainnya karena biaya kuliahnya terjangkau pada saat itu. Seandainya kami lulus SMA di atas tahun 2000 dengan kondisi ekonomi kami pada saat itu, jelas kami tidak dapat kuliah di UGM, UI, ITB, atau IPB. Pada masa Orde Baru tersebut tidak muncul regulasi yang mencoba memprivatisasi PTN-PTN terkemuka.
            Oleh karena PTN-PTN terkemuka itu dalam kurun waktu tertentu tidak dapat diakses oleh orang miskin, maka PTN-PTN tersebut sebetulnya dalam kurun waktu tertentu juga (paling tidak dalam satu dekade) hanya mereproduksi kelas elit yang eksklusif di satu pihak dan mereproduksi kemiskinan di pihak lain, serta melahirkan kesenjangan yang makin lebar antara si kaya yang dapat kuliah di PT-PT ber-BHMN dengan si miskin yang tidak dapat mengakses pendidikan sama sekali. Si kaya akan semakin kaya karena setelah lulus kuliah akan memperoleh posisi yang mapan dengan gaji dan fasilitas yang mapan pula, sedangkan si miskin akan semakin miskin karena tidak mampu bersekolah sampai tinggi di lembaga pendidikan yang bermutu, maka akhirnya tidak mampu mengakses sumber daya ekonomi yang dapat meningkatkan taraf hidupnya. Padahal, pendidikan semestinya memperpendek jurang ketidak-adilan antara yang kaya dan yang miskin, sehingga sistem pendidikan itu tidak menciptakan disintegrasi sosial maupun disintegrasi bangsa.
           Bersyukur bahwa pada perjalanan berikutnya, setelah berlangsung satu dekade praktek swastanisasi PTN itu terkoreksi, meskipun tidak sepenuhnya pulih seperti sebelumnya. Koreksi itu tidak lepas dari pembatalan UU BHP (Undang-undang Badan Hukum Pendidikan) oleh Mahkamah Konstusi (MK) pada tanggal 31 Maret 2010. Paskah disahkannya UU BHP oleh DPR pada tanggal 17 Desember 2008 Pemerintah mengeluarkan PP No. 17 Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan dan Pengelolaan Pendidikan yang merupakan turunan dari UU BHP. Tapi setelah UU BHP dibatalkan oleh MK, PP tersebut kemudian direvisi dengan PP No. 66 Tahun 2010. Salah satu substansi revisi yang cukup penting adalah mekanisme penerimaan mahasiswa baru di PTN/PT BHMN yang diamanatkan 60% calon mahasiswa baru diterima melalui jalur seleksi bersama secara nasional. Ini artinya, kuota jumlah mahasiswa yang diterima melalui jalur mandiri oleh masing-masing PTN/PT BHMN semakin kecil.  Pemerintah pun mengendalikan besaran pungutan bagi calon mahasiswa baru dan memperkenalkan program beasiswa bidik misi yang diperuntukkan bagi anak-anak yang pintar tapi miskin agar mereka tetap dapat kuliah.Keduanya itu dapat meredakan keriuhan di masyarakat mengenai keluhan terhadap mahalnya biaya kuliah di PTN/PT BHMN.
Namun koreksi kebijakan tersebut tidak bisa sepenuhnya, karena paska pembatalan UU BHP kemudian muncul UU No. 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi (UU PT), yang secara substantif tidak jauh berbeda dengan isi UU BHP hanya saja ini khusus mengatur pendidikan tinggi saja, sedangkan UU BHP mengatur seluruh jenjang pendidikan. Pemerintah juga telah mengeluarkan PP No. 58 Tahun 2013 tentang Bentuk dan Mekanisme Pendanaan Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum. Keberadaan PP No. 58 Tahun 2013 ini seakan merupakan isyarat bahwa model pengembangan PTN dalam bentuk PT BHMN itu masih tetap dapat dilanjutkan hanya bajunya saja yang ganti, yaitu dari PT BHMN menjadi PTN Badan Hukum, tapi keduanya bermakna pemberian otonomi kepada PTN yang bersangkutan. Dengan kata lain, hilangnya UU BHP digantikan oleh UU PT, sedangkan hilangnya PT BHMN digantikan oleh PTN Badan Hukum (tidak disingkat PTN BH barangkali karena dikhawatirkan menimbulkan lelucon saja).
***
            Pada tingkat SD-SMTA, kecenderungan liberalisasi itu ditandai dengan pelaksanaan MBS (Manajemen Berbasis Sekolah) yang implementasi di lapangannya ditandai dengan pembentukan Komite Sekolah di mana peranan yang ditonjolkan adalah pada fungsi pencarian dana untuk mengganti genteng yang bocor atau tembok yang rusak, seperti yang diperlihatkan dalam iklan sosialisasi di televisi saat menjelang pembentukkan Komite Sekolah tahun 2002. Padahal, bila meniru negara-negara lain yang telah menjalankan MBS, tekanannya adalah pada demokratisasi praksis pendidikan dan sama sekali tidak berkaitan dengan penggalian sumber-sumber pendanaan. Di Amerika Serikat, Australia, atau Selandia Baru yang kita tiru MBS-nya, peran Komite Sekolah adalah untuk mendorong terjadinya demokratisasi penyelenggaraan pendidikan di tingkat sekolah, seperti misalnya pemilihan kepala sekolah, penentuan seragam sekolah, kurikulum, buku pelajaran, dan tata tertib di sekolah. Pada tingkat provinsi dan kabupaten/kota dibentuklah Dewan Pendidikan yang fungsinya hampir sama dengan Komite Sekolah, yaitu memberikan nasehat kepada pemerintah provinsi maupun kabupaten/kota dalam pengembangan pendidikan. Baik pembentukan Komite Sekolah maupun Dewan Pendidikan, awalnya dibiayai dengan menggunakan dana hutangan dari Bank Dunia.
            Fungsi Komite Sekolah sebagai support pendanaan sekolah itu memang tidak secara langsung, tapi dapat terlihat dari peranannya. Sebagai contoh, dalam setiap kali bicara mengenai anggaran atau dana selalu diminta melibatkan Komite Sekolah, tapi ketika berbicara tentang kurikulum, buku pelajaran, seragam sekolah, sistem evaluasi, serta peraturan-peraturan lainnya tetap dari pusat, tidak melibatkan Komite Sekolah untuk mengambil keputusan. Demikian pula pengangkatan jabatan kepala sekolah negeri menjadi otoritas (sewenang-wenang) bupati/walikota. Jadi ada inkonsistensi atau ambiguitas di dalam pelaksanaan MBS di Indonesia, yaitu bila menyangkut hak dan otoritas selalu diklaim milik Pemerintah/Pemda, tapi setiap hal yang menyangkut kewajiban (pendanaan), tugas Komite Sekolah.
            Realitas di lapangannya, Komite Sekolah lebih banyak dijadikan tameng bagi Pemerintah/Pemda untuk menghadapi tuntutan masyarakat terhadap perbaikan layanan pendidikan. Setiap ada tuntutan perbaikan pendidikan dan menyangkut besaran pungutan dana, Pemerintah/Pemda dengan mudah mengatakan bahwa “Lho, sekarang kan sudah ada Komite Sekolah, jadi dibicarakan bersama mereka dong!”. Atau kalau ada protes terhadap besarnya pungutan selalu dimentahkan dengan mengatakan: ”Itu sudah disetujui oleh Komite Sekolah”. Tapi ketika ada tuntutan untuk melaksanakan Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 162 tahun 2003 tentang masa jabatan kepala sekolah hanya empat tahun dan dapat diperpanjang maksimal dua tahun, bupati/walikota akan dengan tangkas menyatakan bahwa ”pengangkatan kepala sekolah menjadi wewenang bupati/walikota”.


Keberadaan MBS tersebut kemudian mendapatkan payung hukum yang kuat dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas). Pasal 54 UU SPN yang mengatur mengenai partisipasi masyarakat menyatakan:
  1. Peran serta masyarakat dalam pendidikan meliputi peran serta perseorangan, kelompok, keluarga, organisasi profesi, pengusaha, dan organisasi kemasyarakatan dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu pelayanan pendidikan.
  2. Masyarakat dapat berperan serta sebagai sumber, pelaksana, dan pengguna hasil pendidikan
  3. Ketentuan mengenai peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Berdasarkan bunyi pasal 54 tersebut pemerintah kemudian menyusun PP No. 48 Tahun 2008 tentang Pendanaan Pendidikan yang di dalamnya mengatur peran serta masyarakat di dalam pendanaan pendidikan.
Liberalisasi pendidikan di tingkat SD-SMTA itu juga ditandai dengan munculnya konsep RSBI (Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional). RSBI sebetulnya merupakan suatu embrio dari Sekolah Bertaraf Internasional sebagaimana diamanatkan dala UU Sisdiknas pasal 50 ayat (3) yang berbunyi: ”Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan pada semua jenjang pendidikan untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan yang bertaraf internasional”. Hanya saja, karena belum ada satu pun memenuhi kriteria sekolah bertaraf internasional, maka disebut baru dalam taraf “rintisan”.
RSBI dapat dikatakan merupakan bentuk dari liberalisasi pendidikan tercermin dari Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) No. 78 Tahun 2009 tentang Penyelenggaraan Sekolah Bertaraf Internasional pada Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah. Di Permendiknas tersebut jelas sekali bahwa yang dimaksudkan dengan Sekolah Bertaraf Internasional selanjutnya disingkat SBI adalah sekolah yang memenuhi standar nasional pendidikan dan diperkaya dengan mutu tertentu yang berasal dari negara-negara OECD (Organization for Economic Cooperation and Development) atau negara maju lainnya. Tujuannya adalah untuk meningkatkan daya saing, salah satunya dibuktikan dengan perolehan medali emas, perak, perunggu, dan bentuk penghargaan internasional lainnya. Terkait dengan soal pembiayaan, pemerintah memberikan kebebasan kepada SBI untuk dapat memungut biaya pendidikan untuk menutupi kekurangan biaya di atas standar pembiayaan yang didasarkan pada RP/RKS dan RKAS. Ini jelas bertentangan dengan konstitusi pasal 31 ayat (2) yang menyatakan: “Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya”; mengingat SBI itu juga dikembangkan ditingkat pendidikan dasar (SD-SMP).
Permendiknas No. 78/2009 termasuk dalam kategori regulasi yang liberalistik karena seluruh peraturan mengenai SBI mengacu pada standar yang berlaku di negara-negara OECD, dan tujuan penyelenggaraan dari SBI bukan untuk pencerdasan bangsa, tapi sekedar untuk meningkatkan daya saing bangsa. Ini tidak sejalan dengan nilai-nilai Pancasila yang menekankan kerjasama (gotong royong). Berdasarkan pemahaman dari nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945 itulah akhirnya konsep SBI itu pun diuji materi di Mahkamah Konstitusi (MK) dan dikabulkan oleh MK pada tanggal 8 Januari 2013, sehingga SBI yang perjalanannya baru sampai pada tahap rintisan (RSBI) itu pun dihentikan di tengah jalan.
Usaha meliberalisasi Pendidikan dilakukan dengan berbagai cara, termasuk membuat regulasi yang seharusnya untuk kegiatan bisnis pun akhirnya menyasar ke sektor pendidikan, seperti terlihat dalam UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal (UU PM). Sesuai dengan namanya, UU  PM ini mestinya mengatur masalah kegiatan bisnis. Tapi ternyata, produk turunannya yang dibuat oleh Presiden Susilo Bambang Yudoyono dalm bentuk Perpres (Peraturan Presiden) menyasar ke sektor pendidikan pula, yaitu melalui Perpres No. 76 tahun 2007 tentang Kriteria dan Persyaratan Penyusunan Bidang Usaha yang Tertutup dan Bidang Usaha yang Terbuka dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal dan Perpres No. 77 tahun 2007 tentang Daftar Bidang Usaha yang Tertutup dan Bidang Usaha yang Terbuka dengan Persyaratan Penanaman Modal, yang dalam lampirannya menyebutkan bahwa pendidikan merupakan sektor yang terbuka untuk penanaman modal asing (PMA) dengan besaran prosentase 49%. Kedua Perpres tersebut telah direvisi menjadi Peraturan Presiden Nomor 111 Tahun 2007 dan Perpres Nomor. 36 tahun 2010 tentang Daftar Bidang Usaha yang Tertutup dan Bidang Usaha yang Terbuka dengan Persyaratan di bidang penanaman modal asing. Perpress tersebut merupakan turunan dari UU No.  25/2007 pasal 12 yang menyatakan:

(1)  Semua bidang usaha atau jenis usaha terbuka bagi kegiatan penanaman modal, kecuali bidang usaha atau jenis usaha yang dinyatakan tertutup dan terbuka dengan persyaratan.
(2)   Bidang usaha yang tertutup bagi penanam modal asing adalah:
    1. produksi senjata, mesiu, alat peledak, dan peralatan perang; dan
    2. bidang usaha yang secara eksplisit dinyatakan tertutup berdasarkan undang-undang.
(3) Pemerintah berdasarkan Peraturan Presiden menetapkan bidang usaha yang tertutup untuk penanaman modal, baik asing maupun dalam negeri, dengan berdasarkan kriteria kesehatan, moral, kebudayaan, lingkungan hidup, pertahanan dan keamanan nasional, serta kepentingan nasional lainnya.
(4)   Kriteria dan persyaratan bidang usaha yang tertutup dan yang terbuka dengan persyaratan serta daftar bidang usaha yang tertutup dan yang terbuka dengan persyaratan masing-masing akan diatur dengan Peraturan Presiden.
(5) Pemerintah menetapkan bidang usaha yang terbuka dengan persyaratan berdasarkan kriteria kepentingan nasional, yaitu perlindungan sumber daya alam, perlindungan, pengembangan usaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi, pengawasan produksi dan distribusi, peningkatan kapasitas teknologi, partisipasi modal dalam negeri, serta kerja sama dengan badan usaha yang ditunjuk Pemerintah.

Semua regulasi yang liberalistik tersebut tidak lepas dari tentangan masyarakat. Meskipun sedikit warga masyarakat yang memiliki kesadaran kritis akan hal tersebut, tapi adanya akses terhadap media massa, menyebabkan gemanya besar dan akhirnya menjadi salah satu kekuatan perlawanan.
Munculnya perlawanan-perlawanan rakyat terhadap berbagai regulasi yang liberalistik terhadap pendidikan nasional tersebut selayaknya dapat diketahui oleh publik yang lebih luas dan oleh generasi yang akan datang sebagai bahan refleksi agar mereka tidak melakukan kebodohan yang sama. Penulisan buku dengan judul Melawan Liberalisasi Pendidikan ini adalah salah satu langkah untuk merekam sejarah pendidikan nasional yang dalam kurun waktu tertentu menjauh dari visi para pendiri bangsa. Buku ini merupakan laporan pandangan mata dari seorang aktivis pendidikan yang terlibat langsung dalam gerakan-gerakan melawan privatisasi dan liberalisasi pendidikan.


2. Tujuan Penulisan

Penulisan buku ini bertujuan untuk mendokomentasikan perjuangan melawan privatisasi dan liberalisasi pendidikan yang diwujudkan dalam pembuatan UU BHP (Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan) dan penciptaan standar internasional melalui RSBI (Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional).  Buku ini sekaligus dapat menjadi bahan kampanye anti privatisasi dan liberalisasi pendidikan yang digulirkan oleh pemerintah melalui berbagai regulasi yang liberalistik. Dibatalkannya UU BHP dan RSBI tidak otomatis hilangnya regulasi yang liberalistik, karena kebijakan-kebijakan lainnya masih tetap eksis. Oleh karena itu, buku ini dapat menjadi media untuk melakukan pendidikan publik agar masyarakat paham akan hak-haknya sebagai warga Negara untuk memperoleh layanan pendidikan gratis, dan sekaligus menghindarkan mereka dari korban kebijakan pemerintah yang keliru dalam bidang pendidikan. Masyarakat berhak tahu bahwa beberapa kebijakan pemerintah dalam bidang pendidikan itu akan merugikan masyarakat sendiri, terutama golongan menengah ke bawah yang tidak dapat memperoleh akses pendidikan dasar hingga tinggi.

3. Sasaran dan Sistematika Penulisan

Sasaran penulisan buku ini adalah pembuat kebijakan pendidikan (eksekutif maupun legislatif agar mau mendengar aspirasi warga, akademisi agar tidak mandul, guru dan mahasiswa agar berani bersikap (dan) kritis, aktivis agar tidak partisan, ibu rumah tangga agar tidak terlena oleh tayangan sinetron yang tidak bermutu, maupun warga pada umumnya agar cerdas.
            Buku ini terdiri dari lima bab, yaitu Bab I Pendahuluan yang sifatnya normatif memberikan gambaran singkat mengenai permasalahan yang ditulis. Bab II, membahas kerangka teoritik yang melatarbelakangi terjadinya privatisasi dalam sektor pendidikan. Bab III berbicara praktek privatisasi di beberapa PT BHMN maupun di sekolah-sekolah dari SD – SMTA, terlebih pada SMA-SMA Negeri yang mendapat label Sekolah Bertaraf Internasional (SBI). Sedangkan Bab IV merupakan analisis terhadap persoalan, yang melihat sisi gelap dan terang dari kebijakan privatisasi dan liberalisasi pendidikan sekaligus juga menunjukkan posisi penulis dalam menghadapi privatisasi pendidikan. Sedangkan pada Bab V membahas mengenai strategi perlawanan terhadap kapitalisasi, privatisasi, dan liberalisasi pendidikan yang digulirkan oleh Pemerintah RI melalui berbagai kebijakan yang liberalistik.


Jakarta, 23 Oktober 2014

Darmaningtyas
Penulis Buku
HP 0818-463020



[1] Martin Khor, 2001, Globalisasi Perangkap Negara-negara Selatan, Cindelaras Pustaka Rakyat Cerdas, hal.13-14
[2] Pemerintah selalu menolak istilah privatisasi yang kami kembangkan, misalnya yang sering dikemukakan oleh Dirjen Pendidikan Tinggi (1998-2007), Dr. Sumantri Satryo Brojonegoro (Kompas, 26/10 2004, Dirjen Dikti:BHMN Tak Berarti Privatisasi). Namun demikian, seperti yang akan kami ulas di bab-bab selanjutnya di buku ini, fakta di lapangan menujukan bahwa Badan Hukum Milik Negara (BHMN) secara nyata menjalankan praktek privatisasi dan liberalisasi pendidikan. Privatisasi di sini adalah istilah yang kami kembangkan sendiri dengan mengacu pada pengertian dalam bidang perekonomian, yaitu menyerahkan pengelolaan (pendidikan) kepada pihak swasta, bukan pemerintah sebagai pelaku utamanya. Privatisasi juga dipahami sebagai proses gradual untuk mentransformasikan metode pengelolaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan kekayaan publik lainnya agar dapat secara sehat berkompetisi dengan sektor swasta. Lihat Revrisond Baswir, “Strategi Penyehatan BUMN”, dalam Dilema Kapitalisme Perkoncoan,Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999; Untuk pembahasan khusus mengenai privatisasi di bidang pendidikan, lihat Darmaningtyas, “Stop Privatisasi PTN”, Kompas, 2 Agustus 2003, dan “Dari BHMN ke RUU BHP” dalam jurnal WACANA, Edisi 19 Tahun VI, 2005, Insist Press, hal 149-168.  Sedangkan liberalisasi yang dimaksudkan di sini adalah dalam pengertian menyerahkan pelayanan pendidikan pada mekanisme pasar.
[3] Bima Baskara, 2005, KOMPAS edisi DIY, 16 Mei
[4] Koran TEMPO, 6 Juni 2003

Komentar

  1. Assalamu Alaikum wr-wb, perkenalkan nama saya ibu Rosnida zainab asal Kalimantan Timur, saya ingin mempublikasikan KISAH KESUKSESAN saya menjadi seorang PNS. saya ingin berbagi kesuksesan keseluruh pegawai honorer di instansi pemerintahan manapun, saya mengabdikan diri sebagai guru disebuah desa terpencil, dan disini daerah tempat saya mengajar hanya dialiri listrik tenaga surya, saya melakukan ini demi kepentingan anak murid saya yang ingin menggapai cita-cita, Sudah 9 tahun saya jadi tenaga honor belum diangkat jadi PNS Bahkan saya sudah 4 kali mengikuti ujian, dan membayar 70 jt namun hailnya nol uang pun tidak kembali, bahkan saya sempat putus asah, pada suatu hari sekolah tempat saya mengajar mendapat tamu istimewa dari salah seorang pejabat tinggi dari kantor BKN pusat karena saya sendiri mendapat penghargaan pengawai honorer teladan, disinilah awal perkenalan saya dengan beliau, dan secara kebetulan beliau menitipkan nomor hp pribadinya dan 3 bln kemudian saya pun coba menghubungi beliau dan beliau menyuruh saya mengirim berkas saya melalui email, Satu minggu kemudian saya sudah ada panggilan ke jakarta untuk ujian, alhamdulillah berkat bantuan beliau saya pun bisa lulus dan SK saya akhirnya bisa keluar,dan saya sangat berterimah kasih ke pada beliau dan sudah mau membantu saya, itu adalah kisah nyata dari saya, jika anda ingin seperti saya, anda bisa Hubungi Bpk Drs Tauhid SH Msi No Hp 0853-1144-2258. siapa tau beliau masih bisa membantu anda, Wassalamu Alaikum Wr Wr ..

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

BIODATA DARMANINGTYAS

BIODATA DARMANINGTYAS, menggeluti pendidikan sejak mulai menjadi mahasiswa baru di UGM, Agustus 1982 dengan menjadi guru di SMP Binamuda dan SMA Muhammadiyah Panggang, Gunungkidul, DIY. Pendidikan formalnya cukup Sarjana Filsafat Universitas Gadjah Mada (UGM) dan selebihnya otodidak. Gelar “Profesor Doktor” diperoleh dari undangan, sertifikat, piagam, spanduk, dan sejenisnya; sebagai bentuk pengakuan nyata dari masyarakat.

Masyarakat Diajak Adaptasi

Pemerintah, melalui lembaga dan kementerian, mengeluarkan peraturan dan edaran perihal protokol atau pedoman kesehatan. Protokol itu berlaku di tempat masyarakat, industri, sektor jasa, dan perdagangan.

REFLEKSI DARI PELATIHAN GURU SASARAN DI LAMPUNG

Berikut saya sampaikan refleksi saya tatkala mendapat tugas untuk membuka dan kasih pengarahan pada pelatihan guru sasaran di Lampung tanggal 9 Juli lalu. Semoga refleksi in dapat menjadi bahaperbaikan proses pelatihan guru yang akan dating sehingga menjadi lebih baik.