Langsung ke konten utama

BILA PENDIDIKAN TANPA KEBUDAYAAN

OLEH: DARMANINGTYAS 
KETUA DEPARTEMEN PENDIDIKAN DAN PEMBUDAYAAN NILAI-NILAI KEJUANGAN 45, DEWAN HARIAN NASIONAL (DHN) 45, JAKARTA 

“Revolusi mental” merupakan istilah yang amat populer sejak menjelang Pilihan Presiden (Pilpres) tanggal 9 Juli lalu. Hal itu karena calon presiden terpilih Joko Widodo (Jokowi) mengusung tema kampanye revolusi mental.  Meskipun dalam visi-misinya tidak dijelaskan secara detail apa yang dimaksudkan dengan konsep revolusi mental, publik seakan menangkap substansinya dan kemudian masing-masing menginterpretasikan maknanya sesuai dengan tingkat pemahaman masing-masing pihak. Pemahaman yang hampir sama memaknai revolusi mental itu sebagai perubahan cara pandang (mindset) masyarakat terhadap suatu hal dengan berpijak pada nilai budaya yang dimiliki oleh bangsanya. Dengan kata lain, kebudayaan menjadi instrumen penting untuk melakukan revolusi mental. Kebudayaan, berkembang dan dikembangkan, salah satunya melalui pendidikan. Itulah sebabnya pendidikan dan kebudayaan merupakan dua hal yang tidak terpisahkan, seperti dua keping mata uang yang keduanya saling memaknai.


Bila kita menengok dokumen sejarah proses pendirian NKRI ini, maka kita akan mengetahui bahwa “Sub-Panitia Pendidikan dan Pengajaran” BPUPKI yang pada waktu itu diketuai oleh Ki Hadjar Dewantara dengan para anggotanya, yaitu Prof. Dr. Husein Djajadiningrat, Prof. Dr. Asikin, Prof. Ir. Rooseno, Ki Bagus Hadji Hadikusumo, dan Kyai Hadji Masykur telah menghasilkan rumusan mengenai cita-cita pendidikan dan pengajaran nasional, yang kemudian menjadi dasar perumusan pasal 29 (agama), 31 (pendidikan), dan pasal 32 (kebudayaan) UUD 1945 yang asli. Salah satu rumusan Sub-Panitia Pendidikan dan Pengajaran tersebut adalah “dalam garis-garis adab perikemanusian, seperti terkandung dalam segala pengajaran agama, pendidikan dan pengajaran nasional bersendi agama dan kebudayaan bangsa serta menuju ke arah `keselamatan' dan `kebahagiaan' masyarakat. Usaha kebudayaan harus menuju ke arah kemajuan adab, budaya, dan persatuan bangsa, dengan tidak menolak bahan-bahan baru dari kebudayaan asing, yang dapat memperkembang atau memperkaya kebudayaan bangsa sendiri, serta mempertinggi derajat kemanusiaan bangsa Indonesia.”

Para pendiri bangsa ini juga mengingatkan adanya proses yang berkesinambungan antara pendidikan rendah (SD), menengah, dan tinggi. Guna memenuhi kebutuhan masyarakat, maka sekolah-sekolah khusus, yakni sekolah kepandaian, untuk segala kepentingan masyarakat dan kebudayaan harus diadakan, misalnya: sekolah-sekolah tani, pertukangan, teknik, dagang, pelayaran, perikanan, kesehatan, rumah tangga, dan sebagainya; juga sekolah-sekolah kesusastraan, musik; ukir-ukiran, dan sebagainya.

Kiranya amanat para pendiri bangsa tersebut amat jelas, bahwa kebudayaan merupakan bagian integral dari pendidikan. Pendidikan, menurut Ki Hadjar Dewantara, berarti daya upaya untuk memajukan bertumbuhnya budi pekerti (kekuatan batin, karakter), pikiran (intellect), dan tubuh anak; ketiganya itu tidak dapat dipisah-pisahkan demi tercapainya kesempurnaan hidup, yakni kehidupan dan penghidupan anak-anak yang kita didik selaras dengan dunianya.

Pendidikan nasional menurut paham Taman Siswa adalah pendidikan yang beralaskan garis hidup dari bangsanya (cultureel-nationaal) dan ditujukan untuk keperluan perikehidupan (maatschappelijk) yang dapat mengangkat derajat Negara dan rakyatnya, agar dapat bekerja bersama-sama dengan lain-lain bangsa untuk kemuliaan segenap manusia ke seluruh dunia.

            Kebudayaan, dalam pendidikan itu sendiri dapat menjadi dasar, bagaimana nilai-nilai dalam pendidikan dibangun dan dikembangkan, seperti rasa sukur kepada Yang Illahi, rasa hormat kepada sesama, semangat gotong royong, musyawarah dan mufakat, serta empati terhadap sesamanya. Tapi kebudayaan juga dapat menjadi orientasi dari pendidikan itu sendiri, bahwa pendidikan semestinya mengembangkan nilai-nilai budaya yang dimiliki oleh bangsa tersebut agar jangan sampai nilai-nilai budaya yang dimiliki oleh bangsa tersebut punah. Adalah kegagalan proses pendidikan itu sendiri bila nilai-nilai budaya bangsa tersebut sampai punah.

Jebakan Managerial

Dapat dibayangkan betapa kering dan gersangnya pendidikan nasional tanpa kebudayaan, ibarat petani yang menanam biji-bijian tanpa melihat musim, sehingga biji tanamannya tidak tumbuh karena ditanam pada saat musim kemarau. Pendidikan tanpa kebudayaan adalah suatu aktivitas pertukaran informasi yang bersifat teknis-mekanis belaka, tidak memiliki ruh kebudayaan sama sekali. Praksis pendidikan yang semacam itu tidak mampu menumbuhkan manusia yang berkarakter, tapi hanya mencetak manusia-manusia yang taat pada instrumen teknis belaka. Mereka pun tidak tahu, hasil akhir apa yang akan dicapai melalui instrumen itu.

Pengalaman telah menunjukkan, ketika kebudayaan dilepaskan dari pendidikan (dimulai oleh Presiden Gus Dur tahun 1999 sampai tahun 2009), praksis pendidikan nasional kita terjebak pada urusan-urusan managerial belaka. Berbagai standar tunggal atau sertifikasi yang seharusnya hanya cocok diterapkan di industri/perushaan, kemudian diterapkan di lembaga pendidikan, bahkan dijadikan instrumen untuk menilai mutu lembaga pendidikan (sekolah/kampus). Penilaian kemajuan suatu sekolah dari dimilikinya sertifikat ISO (International Standard Organization), sehingga sekolah pun berburu sertifikat ISO agar dapat dikatergorikan sebagai sekolah bagus. Celakanya, Kementrian Pendidikan Nasional pada saat itu pun merancang programnya adalah seberapa banyak sekolah-sekolah (semua tingkatan) bersertifikat ISO dalam lima tahun kepemimpinannya. 

            Kita tidak meragukan keandalan sertikasi ISO untuk menilai kemajuan suatu rganisasi (kerja). Tapi persoalan pendidikan bukan sekadar persoalan managerial, melainkan menyangkut ideologi, politik, ekonomi, sosial, dan budaya (Ipoleksosbud). Yang dihadapi di sekolah/kampus bukan mesin-mesin yang tidak tergerak, tapi anak-anak manusia yang memiliki keragaman cita, rasa, dan cita-cita. Mereka tidak bisa diproses dengan cara yang sama, perlu sentuhan yang berbeda. Sebagai contoh, penyampaian suatu materi yang sama ke beberapa kelas tidak bisa memakan waktu yang sama pula, semua amat tergantung dinamika kelas. Dalam pendidik, baik yang cepat, tepat waktu, atau lambat sama-sama tidak dapat dibenarkan/disalahkan, semua sifatnya kondisional. Sementara dari persepktif ISO hal itu tidak dapat dibenarkan.

            Revolusi mental itu hanya dapat dilakukan melalui kebudayaan, dan kebudayaan dikembangkan maupun menjadi dasar pendidikan. Oleh karena itu, sangat tidak mungkin melakukan revolusi mental dengan pendidikan yang tanpa berbudaya. Dan proses pendidikan itu sendiri berkesinambungan dari pendidikan dasar, menengah, sampai tinggi. Oleh karena itu, bila Presiden terpilih Jokowi ingin melakukan revolusi mental, maka tidak bisa melepaskan kebudayaan dari pendidikan. Baik pendidikan dasar, menengah, maupun tinggi harus didasarkan dan berorientasi pada pengembangan budaya bangsa. Ironis sekali bila melakukan revolusi mental tapi justru membuang kebudayaan dari pendidikan, itu ibarat mau mencangkul tapi tidak memiliki cangkulnya.

            Melekatkan kebudayaan dalam pendidikan itu bukan hanya terkait dengan masalah penganggaran saja, tapi yang lebih utama adalah menjadikan kebudayaan sebagai ruh bagi pendidikan nasional. Perubahan mentalitas manusia dari yang malas, konsumtif, boros, munafik, egois, tidak care terhadap penderitaan sesama, dan tidak menghargai lingkungan; menjadi rajin, hemat, produktif, bersahaja, peduli dan hormat terhadap sesama, dan sejenisnya; hanya mungkin dapat dilakukan melalui pendidikan yang berkebudayaan. Pendidikan  tanpa kebudayaan itu ibarat macan ompong saja, tidak bertaji.



Komentar

  1. Assalamu Alaikum wr-wb, perkenalkan nama saya ibu Rosnida zainab asal Kalimantan Timur, saya ingin mempublikasikan KISAH KESUKSESAN saya menjadi seorang PNS. saya ingin berbagi kesuksesan keseluruh pegawai honorer di instansi pemerintahan manapun, saya mengabdikan diri sebagai guru disebuah desa terpencil, dan disini daerah tempat saya mengajar hanya dialiri listrik tenaga surya, saya melakukan ini demi kepentingan anak murid saya yang ingin menggapai cita-cita, Sudah 9 tahun saya jadi tenaga honor belum diangkat jadi PNS Bahkan saya sudah 4 kali mengikuti ujian, dan membayar 70 jt namun hailnya nol uang pun tidak kembali, bahkan saya sempat putus asah, pada suatu hari sekolah tempat saya mengajar mendapat tamu istimewa dari salah seorang pejabat tinggi dari kantor BKN pusat karena saya sendiri mendapat penghargaan pengawai honorer teladan, disinilah awal perkenalan saya dengan beliau, dan secara kebetulan beliau menitipkan nomor hp pribadinya dan 3 bln kemudian saya pun coba menghubungi beliau dan beliau menyuruh saya mengirim berkas saya melalui email, Satu minggu kemudian saya sudah ada panggilan ke jakarta untuk ujian, alhamdulillah berkat bantuan beliau saya pun bisa lulus dan SK saya akhirnya bisa keluar,dan saya sangat berterimah kasih ke pada beliau dan sudah mau membantu saya, itu adalah kisah nyata dari saya, jika anda ingin seperti saya, anda bisa Hubungi Bpk Drs Tauhid SH Msi No Hp 0853-1144-2258. siapa tau beliau masih bisa membantu anda, Wassalamu Alaikum Wr Wr ..

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

BIODATA DARMANINGTYAS

BIODATA DARMANINGTYAS, menggeluti pendidikan sejak mulai menjadi mahasiswa baru di UGM, Agustus 1982 dengan menjadi guru di SMP Binamuda dan SMA Muhammadiyah Panggang, Gunungkidul, DIY. Pendidikan formalnya cukup Sarjana Filsafat Universitas Gadjah Mada (UGM) dan selebihnya otodidak. Gelar “Profesor Doktor” diperoleh dari undangan, sertifikat, piagam, spanduk, dan sejenisnya; sebagai bentuk pengakuan nyata dari masyarakat.

Masyarakat Diajak Adaptasi

Pemerintah, melalui lembaga dan kementerian, mengeluarkan peraturan dan edaran perihal protokol atau pedoman kesehatan. Protokol itu berlaku di tempat masyarakat, industri, sektor jasa, dan perdagangan.

REFLEKSI DARI PELATIHAN GURU SASARAN DI LAMPUNG

Berikut saya sampaikan refleksi saya tatkala mendapat tugas untuk membuka dan kasih pengarahan pada pelatihan guru sasaran di Lampung tanggal 9 Juli lalu. Semoga refleksi in dapat menjadi bahaperbaikan proses pelatihan guru yang akan dating sehingga menjadi lebih baik.