Langsung ke konten utama

MENYELAMATKAN PEJALAN KAKI DI YOGYAKARTA


Oleh: Darmaningtyas, Ketua Bidang Advokasi MTI (Masyarakat Transportasi Indonesia) di Jakarta 
Dimuat di Koran Kedaulatan Rakyat, tanggal 29 September 2014


Kota Yogykarta sebagai kota pariwisata, pelajar, dan budaya sesungguhnya mengandung paradok karena tidak ada tempat bagi para wisatawan, pelajar, dan warga untuk berjalan secara santai menikmati suasana kota. Tidak ada ada satu ruas jalan pun yang nyaman untuk pejalan kaki. Bandingkan dengan Jakarta yang memiliki fasilitas pejalan kaki sepanjang Sudirman – Thamrin hingga Medan Merdeka Barat dan Merdeka Selatan. Trotoar di sana selain lebar, juga dilindungi oleh pepohonan yang rindang, meski sedang dalam tahap pertumbuhan. Begitu juga Kota Surabaya memiliki fasilitas pejalan kaki  di sepanjang Jl Tunjungan, Pemuda, Sudirman, Dharmo, Urip Sumoharjo, dan Diponegoro. Bahkan Kota Semarang pun memiliki fasilitas pejalan kaki yang cukup nyaman di sekitar Simpang Lima maupun Balai Kota.
Kota Surakarta (Solo) juga punya fasilitas pedestrian yang cukup baik,  dari Jl Slamet Riyadi (depan stasiun Purwosari) sampai Gladak. Jalur sepanjang tiga kilometer itu selain untuk pedestrian juga untuk kendaraan tidak bermotor (gerobak, becak, dan sepeda). Tapi di Kota Yogyakarta orang sulit mendapatkan fasilitas pejalan kaki yang aman, nyaman, dan selamat. Atau paling tidak bisa berjalan kaki tanpa khawatir akan menabrak barang dagangan atau kendaraan. Ini sungguh suatu ironi mengingat daerah tujuan wisata semestinya memberikan kenyamanan kepada pengunjungnya untuk menikmati suasana kota secara santai.

Sebetulnya, keberadaan trotoar dari Tugu – Malioboro- hingga depan Gedung Agung atau dari Jl. Mangkubumi hingga Jl. Malioboro itu dulunya oleh Sri Sultan Hamengku Buwono IX dimaksudkan sebagai area pejalan kaki. Pada saat trotoar di Jl Mangkubumi – Malioboro dibangun (1983)–berdasarkan hasil sayembara pembuatan desain—Kota Yogyakarta akan menjadi tuan rumah penyelenggaraan FFI (Festival Film Indonesia, 1984), sehingga hampir semua artis ibu kota datang ke Yogya, dan mereka pun kagum dengan kondisi fasilitas pedestrian di Malioboro. Kekaguman mereka itu sekaligus promosi gratis bagi industri wisata Yogyakarta.

Namun ruang yang nyaman itu bagi mereka yang memiliki insting bisnis dipandang sebagai peluang untuk membuka usaha. Satu persatu PKL membuka lapak di sana, dan karena tidak ada penindakan terhadap PKL yang berjualan di trotoar, maka diikuti oleh PKL-PKL lainnya, dan akhirnya kondisinya seperti saat ini: penuh dengan PKL, dan hanya tersedia ruang yang sempit untuk pejalan kaki.

Keberadaan PKL itu mengundang pembeli. Umumnya pembeli membawa kendaraan sendiri terutama sepeda motor, padahal tidak tersedia lahan parkir khusus. Bahkan took-toko di kawasan Malioboro itu pun tidak menyediakan lahar parkir khusus, akhirnya kendaraan bermotor diparkir di trotoar. Lengkap sudah disfungsi trotoar di sepanjang jalan Mangkubumi hingga Melioboro itu, yaitu untuk PKL dan parkir kendaraan bermotor. Bila di Jl. Mangkubumi trotoar tersebut banyak dipakai untuk parkir mobil pribadi, maka sepanjang jalan Malioboro trotoar sisi barat penuh PKL, sedangkan trotoar sisi timur penuh dengan PKL dan parkir sepeda motor. Celakanya, trotoar yang bertanda khusus untuk mereka yang menggunakan tongkat (orang buta pun) dan yang memakai kursi roda pun diokupasi untuk parkir kendaraan bermotor, sehingga mereka tidak dapat menggunakan haknya berjalan di trotoar yang sudah disediakan.

Penataan Demi Penyelamatan

Penataan ulang kawasan Mangkubumi hingga Kantor Po situ dirasakan amat mendesak demi penyelamatan hak-hak pejalan kaki maupun industri pariwisata di Yogyakarta. Sebetulnya, upaya penataan itu pernah dilakukan pada awal 2000-an yang menghasilkan perubahan arus Jl Pasar Kembang dari satu arah menjadi dua arah serta adanya tempat parkir bus di Abu Bakar Ali. Namun itu sesungguhnya juga mengalami kecelakaan. Karena dalam perencanaan awal, keberadaan parkir di Abu Bakar Ali itu semula dirancang untuk memindahkan parkir motor yang ada di sepanjang trotoar Malioboro, sehingga trotoar dapat berfungsi maksimal untuk pejalan kaki. Sedangkan parkir bus wisata dirancang di Ngabean dan JEC lalu ke Malioboro dibawa oleh shuttle bus. Sedangkan perubahan arus lalu lintas di Jl Pasar kembang dari satu menjadi dua arah dimaksudkan untuk mengurangi beban Jl. Malioboro karena orang yang dari arah Kota Baru atau Lempuyangan akan menuju ke Dagen atau Pathuk dan sebaliknya tidak perlu lewat Malioboro, tapi bisa langsung lewat Jl. Pasarkembang.

Penulis tidak mengetahui perjalanan berikutnya, tiba-tiba saja lokasi parkir di Abu Bakar Ali itu tidak untuk memindahkan sepeda motor yang parkir di sepanjang Malioboro, tapi justru untuk parkir bus wisata. Dan trotoar di utara Hotel Garuda justru dipotong untuk kendaraan bermotor sehingga tidak bisa lagi untuk berjalan berpapasan. Padahal, keberadaan fasilitas pedestrian di Yogya yang aman, nyaman, dan selamat akan dapat menarik wisatawan lebih banyak lagi untuk datang ke Yogya. Banyaknya wisatawan yang datang ke Yogya akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Sebaliknya menyusutnya wisatawan ke Yogya akan membuat perekonomian di Yogya lesu

Sekarang ini adalah saat yang tepat untuk membenahi Kota Yogyakarta, mengingat kota-kota lain sedang sibuk mempercantik diri untuk menarik wisatawan lokal dan asing. Bahkan kabupaten Jember dan Banyuwangi pun sekarang berbenah diri untuk menarik wisawan asing dan lokal. Selain membuka bandara baru, juga mengembangkan berbagai produk kerajinan dan atraksi budaya; semuanya dapat menjadi daya tarik wisatawan untuk datang ke sana.  Bila Pemkot dan Pemprov DIY tidak segera berbenah diri, banyak wisatawan akan lari ke daerah lain yang merupakan tujuan wisata baru tersebut.

Penataan kawasan Malioboro sebagai area pejalan kaki merupakan keniscayaan yang tidak bisa ditawar lagi. Pekerjaan Pemkot dan Pemprov sebetulnya tidak terlalu berat, yaitu tinggal merealisasikan gagasan awal tahun 2000-an itu: memindahkan parkir dari Malioboro ke Abu Bakar Ali, sedangkan parkir bus wisata diletakkan di pinggiran seperti, seperti JEC, Gamping, Jombor, dan sebagainya lalu ke dalam kota dibawa oleh shuttle bus. Itulah sebabnya perlu sinergi antara Pemkot Yogya dan Pemprov DIY.

Persoalan keterbatasan anggaran untuk pengadaan shuttle bus tidak boleh jadi hambatan, karena bila ada kemauan, terbuka jalan keluar yang lebar. Demikian pula persoalan sosial terkait dengan penguasaan lahan parkir, dapat diatasi dengan berembug bersama untuk membagi jatah. Tanpa adanya keberanian untuk bertindak, dikhawatirkan keselamatan pejalan kaki di Yogya semakin tidak terjamin dan efeknya wisatawan pun enggan dating ke Yogyakarta. Akhirnya, ekonomi Yogya mati suri dan semua warga dirugikan. Pilihan bagi seorang pemimpin adalah bertindak dengan adanya resiko atau diem saja dengan resiko tidak langsung masyarakat secara luas yang dirugikan.



Komentar

  1. Assalamu Alaikum wr-wb, perkenalkan nama saya ibu Rosnida zainab asal Kalimantan Timur, saya ingin mempublikasikan KISAH KESUKSESAN saya menjadi seorang PNS. saya ingin berbagi kesuksesan keseluruh pegawai honorer di instansi pemerintahan manapun, saya mengabdikan diri sebagai guru disebuah desa terpencil, dan disini daerah tempat saya mengajar hanya dialiri listrik tenaga surya, saya melakukan ini demi kepentingan anak murid saya yang ingin menggapai cita-cita, Sudah 9 tahun saya jadi tenaga honor belum diangkat jadi PNS Bahkan saya sudah 4 kali mengikuti ujian, dan membayar 70 jt namun hailnya nol uang pun tidak kembali, bahkan saya sempat putus asah, pada suatu hari sekolah tempat saya mengajar mendapat tamu istimewa dari salah seorang pejabat tinggi dari kantor BKN pusat karena saya sendiri mendapat penghargaan pengawai honorer teladan, disinilah awal perkenalan saya dengan beliau, dan secara kebetulan beliau menitipkan nomor hp pribadinya dan 3 bln kemudian saya pun coba menghubungi beliau dan beliau menyuruh saya mengirim berkas saya melalui email, Satu minggu kemudian saya sudah ada panggilan ke jakarta untuk ujian, alhamdulillah berkat bantuan beliau saya pun bisa lulus dan SK saya akhirnya bisa keluar,dan saya sangat berterimah kasih ke pada beliau dan sudah mau membantu saya, itu adalah kisah nyata dari saya, jika anda ingin seperti saya, anda bisa Hubungi Bpk Drs Tauhid SH Msi No Hp 0853-1144-2258. siapa tau beliau masih bisa membantu anda, Wassalamu Alaikum Wr Wr ..

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

BIODATA DARMANINGTYAS

BIODATA DARMANINGTYAS, menggeluti pendidikan sejak mulai menjadi mahasiswa baru di UGM, Agustus 1982 dengan menjadi guru di SMP Binamuda dan SMA Muhammadiyah Panggang, Gunungkidul, DIY. Pendidikan formalnya cukup Sarjana Filsafat Universitas Gadjah Mada (UGM) dan selebihnya otodidak. Gelar “Profesor Doktor” diperoleh dari undangan, sertifikat, piagam, spanduk, dan sejenisnya; sebagai bentuk pengakuan nyata dari masyarakat.

Masyarakat Diajak Adaptasi

Pemerintah, melalui lembaga dan kementerian, mengeluarkan peraturan dan edaran perihal protokol atau pedoman kesehatan. Protokol itu berlaku di tempat masyarakat, industri, sektor jasa, dan perdagangan.

REFLEKSI DARI PELATIHAN GURU SASARAN DI LAMPUNG

Berikut saya sampaikan refleksi saya tatkala mendapat tugas untuk membuka dan kasih pengarahan pada pelatihan guru sasaran di Lampung tanggal 9 Juli lalu. Semoga refleksi in dapat menjadi bahaperbaikan proses pelatihan guru yang akan dating sehingga menjadi lebih baik.