Langsung ke konten utama

KELEMBAGAAN PENDIDIKAN, KEBUDAYAAN, DAN RISTEK

OLEH: DARMANINGTYAS
PENGAMAT PENDIDIKAN DARI TAMANSISWA

Menyambut pemerintahan baru dibawah kepemimpinan Joko Widodo (Jokowi) dan Jusuf Kalla (Jokowi-JK) muncul beberapa gagasan dalam bidang pendidikan, budaya, serta riset dan teknologi (Ristek). Sejumlah seniman dan budayawan mengusulkan agar dibentuk Kementrian Kebudayaan yang khusus mengurusi kebudayaan agar kebudayaan dapat berkembang secara maksimal. Mereka berharap dengan disahkannya RUU Kebudayaan menjadi UU Kebudayaan kelak ada kementrian khusus yang mengawal implementasinya. Sedangkan mereka yang memiliki concerndalam bidang Ristek mengusulkan agar dilakukan pemisahan antara kementrian yang mengurusi pendidikan dasar dan menengah (Dikdasmen) dengan kementrian yang mengurusi pendidikan tinggi (PT). PT diusulkan digabung menjadi satu dengan kementrian yang mengurusi Ristek, yaitu BPPT dengan alasan agar riset-riset di PT dapat diimplementasikan dan tidak hanya menjadi dokumen di laci saja. 

Semua argumen mengenai pentingnya pembentukan Kementrian Kebudayaan maupun pemisahan kelembagaan antara Dikdasmen dengan PT itu cukup rasional. Artinya, berdasarkan nalar empiris, usulan-usulan tersebut dapat diterima oleh akal sehat. Namun tidak berarti usulan tersebut layak untuk diimplementasikan karena memiliki implikasi yang amat luas, baik secara ekonomi, politik, sosial, maupun budaya; sehingga calon Presiden terpilih Jokowi-JK perlu ekstra hati-hati mengakomodasi semua gagasan konstruktif tersebut.

Secara ekonomis, keberadaan kementrian baru, seperti Kementrian Kebudayaan serta Kementrian Pendidikan Tinggi dan Ristek tentu akan berimplikasi pada peningkatan anggaran Negara. Pembentukan kementrian baru pasti akan berdampak pada pembengkaan anggaran Negara, sementara hasilnya belum tentu memuaskan seperti yang diharapkan. Secara politis, keberadaan Kementrian Kebudayaan juga belum tentu memiliki leverage yang tinggi dan punya pengaruh luas bila tidak didukung oleh penganggaran yang besar dan tupoksi (tugas, pokok, dan fungsi) yang jelas. Kita juga dapat bercermin pada pembentukan Kementrian Pemuda dan Olah Raga, Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, serta Kementrian Daerah Tertinggal. Secara kelembagaan, ketiganya itu berbentuk kementrian khusus, tapi dengan anggaran yang minim, menjadikan ketiganya itu bukan sebagai kementrian yang prestisius karena tidak bisa melaksanakan program secara maksimal. Meskipun berbentuk direktorat jendral, tapi bila anggarannya cukup besar, seperti Direktorat Jendral Binamarga yang anggarannya melebihi satu kementrian (Perhubungan), keberadaannya tetap diperhitungkan oleh publik.

Kita sudah memiliki pengalaman selama satu dekade yang dapat dipakai sebagai bahan refleksi untuk mengambil keputusan, yaitu tatkala Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) memisahkan kebudayaan dari pendidikan. Pada periode 1999-2009 itu kebudayaan melekat menjadi satu dengan Kementrian Pariwisata, selengkapnya bernama Kementrian Budaya dan Pariwisata (Budpar), sedangkan pendidikan tanpa budaya dan bernama Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas). Ternyata pemisahan tersebut menimbulkan persoalan yang amat luas baik terhadap kebudayaan sendiri maupun pada  pendidikannya. Kebudayaan ternyata tidak berkembang seperti yang diharapkan, bahkan cenderung diperlakukan sebagai komoditas semata. Sedangkan praksis pendidikan menjadi amat kering dan terjebak pada persoalan managerial, sehingga kehilangan rohnya.

Menyadari pemisahan pendidikan dengan kebudayaan yang ternyata menimbulkan persoalan baru, akhirnya muncul desakan agar kebudayaan dikembalikan lagi ke pendidikan. Desakan itu kemudian direspon oleh Presiden Susilo Bambang Yudoyono (SBY) dengan mengembalikan kebudayaan ke pendidikan. Dan sejak Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) II, nomenklaturnya pun berubah menjadi Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan.   

Persoalan yang sama juga akan terjadi pada pemisahan Dikdasmen dengan PT. Nalar empirisnya memang diyakini penggabungan PT dengan Ristek akan lebih produktif. Tapi kita juga bisa meragukan asumsi tersebut ketika menyaksikan kinerja Ristek kita yang diperankan oleh BPPT (Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi). Hasil-hasil kajian dan inovasi BPPT tidak secara otomatis dapat diproduksi secara massal, sehingga tidak berkontribusi langsung terhadap pengembangan industri nasional. Masih saja tetap terjadi, Ristek dan industri berjalan sendiri-sendiri. Hal yang sama akan terjadi dalam hal penggabungan PT dengan Ristek, bahwa harapan ideal itu tidak akan tercapai, sementara praksis PT sudah terlanjur pragmatis. Padahal, PT didirikan bukan hanya memproduksi tenaga kerja dan melakukan inovasi untuk industri saja, melainkan juga untuk perubahan masyarakat secara luas, termasuk aspek Ipoleksosbud (ideologi, politik, ekonomi, sosial dan budaya). Sementara penggabungan PT dengan Ristek itu hanya menjawab kebutuhan industri saja dan atau pemasaran hasil-hasil riset dari perguruan tinggi samata. 

Persoalan PT dan Ristek kita bukan ada pada kelembagaannya, melainkan pada pendanaan yang terbatas dan kultur birokrasi yang kurang mendukung. Oleh karena dana terbatas, riset di PT dan Ristek hanya sekedar memenuhi persyaratan formal saja, tidak optimal, akhirnya industri pun tidak minat mengembangkannya. Dengan demikian, solusinya bukan menggabungkan keduanya, tapi menambah anggaran untuk PT dan riset serta menciptakan kultur birokrasi yang mendukung interelasi antara PT, Ristek, dan industri.

Berdasarkan pengalaman pemisahan kelembagaan antara pendidikan dengan kebudayaan serta pembentukan beberapa kementrian baru namun tidak disertai dengan pendanaan yang cukup, jelas sekali bahwa pembentukan kementrian baru tidak selalu mampu memenuhi keinginan dari para pengusulnya, dan akhirnya menimbulkan kekecewaan. Oleh karena itu sebelum terlanjur, gagasan pembentukan Kementrian Kebudayaan serta penggabungan PT dengan Ristek pun perlu hati-hati. Jangan sampai kelembagaan masing-masing sektor sudah berantakan dan kehilangan ruhnya, tapi kementrian baru itu pun tidak mampu menjawab persoalan, sebaliknya justru  melahirkan persoalan yang lebih kompleks.

Komentar

  1. Assalamu Alaikum wr-wb, perkenalkan nama saya ibu Rosnida zainab asal Kalimantan Timur, saya ingin mempublikasikan KISAH KESUKSESAN saya menjadi seorang PNS. saya ingin berbagi kesuksesan keseluruh pegawai honorer di instansi pemerintahan manapun, saya mengabdikan diri sebagai guru disebuah desa terpencil, dan disini daerah tempat saya mengajar hanya dialiri listrik tenaga surya, saya melakukan ini demi kepentingan anak murid saya yang ingin menggapai cita-cita, Sudah 9 tahun saya jadi tenaga honor belum diangkat jadi PNS Bahkan saya sudah 4 kali mengikuti ujian, dan membayar 70 jt namun hailnya nol uang pun tidak kembali, bahkan saya sempat putus asah, pada suatu hari sekolah tempat saya mengajar mendapat tamu istimewa dari salah seorang pejabat tinggi dari kantor BKN pusat karena saya sendiri mendapat penghargaan pengawai honorer teladan, disinilah awal perkenalan saya dengan beliau, dan secara kebetulan beliau menitipkan nomor hp pribadinya dan 3 bln kemudian saya pun coba menghubungi beliau dan beliau menyuruh saya mengirim berkas saya melalui email, Satu minggu kemudian saya sudah ada panggilan ke jakarta untuk ujian, alhamdulillah berkat bantuan beliau saya pun bisa lulus dan SK saya akhirnya bisa keluar,dan saya sangat berterimah kasih ke pada beliau dan sudah mau membantu saya, itu adalah kisah nyata dari saya, jika anda ingin seperti saya, anda bisa Hubungi Bpk Drs Tauhid SH Msi No Hp 0853-1144-2258. siapa tau beliau masih bisa membantu anda, Wassalamu Alaikum Wr Wr ..

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

BIODATA DARMANINGTYAS

BIODATA DARMANINGTYAS, menggeluti pendidikan sejak mulai menjadi mahasiswa baru di UGM, Agustus 1982 dengan menjadi guru di SMP Binamuda dan SMA Muhammadiyah Panggang, Gunungkidul, DIY. Pendidikan formalnya cukup Sarjana Filsafat Universitas Gadjah Mada (UGM) dan selebihnya otodidak. Gelar “Profesor Doktor” diperoleh dari undangan, sertifikat, piagam, spanduk, dan sejenisnya; sebagai bentuk pengakuan nyata dari masyarakat.

Masyarakat Diajak Adaptasi

Pemerintah, melalui lembaga dan kementerian, mengeluarkan peraturan dan edaran perihal protokol atau pedoman kesehatan. Protokol itu berlaku di tempat masyarakat, industri, sektor jasa, dan perdagangan.

REFLEKSI DARI PELATIHAN GURU SASARAN DI LAMPUNG

Berikut saya sampaikan refleksi saya tatkala mendapat tugas untuk membuka dan kasih pengarahan pada pelatihan guru sasaran di Lampung tanggal 9 Juli lalu. Semoga refleksi in dapat menjadi bahaperbaikan proses pelatihan guru yang akan dating sehingga menjadi lebih baik.