Langsung ke konten utama

MENUNDA DAN EVALUASI KURIKULUM 2013

Oleh: Darmaningtyas, Ketua Departemen Pendidikan dan Pembudayaan Nilai-nilai Kejuangan 1945, Dewan Harian Nasional 45 (DHN 45) Jakarta
Dimuat di Harian Sore Suara Pembaruan, Tanggal 21 Agustus 2014

Kurikulum 2013 baru diimplementasikan secara merata di seluruh wilayah Indonesia mulai Tahun Ajaran 2014/2015, setelah sebelumnya (Tahun Ajaran 2013/2014) diimplementasikan secara terbatas. Namun rencana implementasi secara merata pada tahun 2014 ini pun tampaknya gagal karena hingga minggu ketiga Agustus banyak sekolah, termasuk di Jakarta yang belum menerima buku dan gurunya belum semua terlatih. Padahal, buku dan  guru merupakan kunci utama implementasi Kurikulum 2013. Bila keduanya itu tidak ada, maka tidak bisa diimplementasikan dan lebih baik kembali ke kurikulum sebelumnya, yaitu Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP).


Kembali ke KTSP itu bukan dosa  pada saat kurikulum baru tidak siap dilaksanakan, sementara proses pembelajaran di lapangan tidak boleh terhenti. Dalam kondisi seperti itu, pilihan paling tepat dan bijak adalah melaksanakan kurikulum dan buku yang siap, yaitu KTSP. Itu bukan kesalahan guru, melainkan salah pemerintah yang tidak siap melaksanakan Kurikulum 2013. Apapun argumentasi Pemerintah (Kemendikbud) mengenai keterlambatan buku pelajaran dan belum dilatihnya semua guru, yang pasti keterlambatan itu menjadi bukti konkrit bahwa Kemendikbud tidak siap melaksanakan Kurikulum 2013.

Namun keterlambatan implementasi Kurikulum 2013 ini juga dapat menjadi rahmat tersembunyi bagi pemerintahan baru bila ingin merevisi kurikulum sesuai dengan visi misinya, karena dengan kondisi seperti itu tingkat resistensi di lapangan tidak tinggi. Yang akan dirasakan oleh guru dan murid di daerah-daerah adalah perubahan dari KTSP ke kurikulum sesuai dengan visi misi Presiden baru. Masa Pemerintahan Kabinet Indonesia Bersatu II (KIB II) yang tinggal dua bula, sulit sekali menuntaskan implementasi Kurikulum 2013 secara merata di seluruh Indonesia. Mungkin hanya mampu menjangkau 50% saja dari seluruh sekolah yang ada di Indonesia dan itu pun dengan praktek di lapangan yang setengah-setengah karena guru masih belajar memahami kurikulumnya.

Aspek Lokalitas

Salah satu visi misi calon Presiden Jokowi dalam bidang pendidikan adalah akan melakukan evaluasi terhadap model penyeragaman dalam sistem pendidikan nasional, termasuk ujian nasional dan membentuk kurikulum yang menjaga aspek keseimbangan aspek muatan lokal (daerah) dan aspek nasional dalam rangka membangun pemahaman yang hakiki terhadap Ke-Bhineka-an yang Tunggal Ika. Jokowi ingin menata kembali kurikulum pendidikan nasional dengan mengedepankan aspek kewarganegaraan (civic education) yang menempatkan secara proporsional aspek pendidikan, seperti: pengajaran sejarah pembentukan bangsa, nilai-nilai patriotisme dan cinta tanah air, semangat bela Negara dan budi pekerti dengan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di dalam kurikulum pendidikan Indonesia.    

Masa pemerintahan lima tahun itu terlalu pendek untuk melakukan perubahan. Oleh karena itu perubahan perlu segera dilakukan begitu kabinet baru terbentuk. Dan salah satu agenda perubahan yang mendesak dilakukan adalah merevisi Kurikulum 2013 disesuaikan dengan visi misi yang telah disusun agar visi misi tersebut dapat diwujudkan dalam lima tahun pemerintahan Jokowi-JK. Oleh karena sifatnya merevisi, tidak harus membongkar seluruh konsep Kurikulum 2013, melainkan yang dipandang penting saja, sehingga dana Negara yang besar untuk penyusunan Kurikulum 2013 tidak sia-sia karena sebagian masih dapat dipakai. Hal-hal yang dapat direvisi itu antara lain:

Pertama, soal sifat Kurikulum 2013 yang terlalu sentralistik dapat diimbangi dengan aspek lokalitas, seperti yang tersusun dalam visi misi Jokowi.  Kurikulum Nasional (Kurnas) untuk SD cukup memuat Pendidikan Agama, Pancasila, Bahasa Indonesia, Matematika, IPA, dan Sejarah Nasional. Sedangkan Pendidikan Seni dan Prakarya, Olah Raga, serta Geografi untuk Kelas I-IV itu domain daerah (Provinsi). Tapi pelajaran Geografi untuk Kelas V-VI sudah bersifat nasional. Sementara Kurnas di SMP mencakup Pendidikan Agama, Pancasila, Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Matematika, IPA, serta Sejarah dan Geografi Nasional. Selebihnya itu menjadi domain Pemprov (bukan kabupaten/kota). Bahkan kalau perlu seperti dalam Kurikulum 1994, di SD-SMP ada Kurikulum Muatan Lokal (Mulok), waktu itu sebanyak empat jam pelajaran dan diisi dengan materi pelajaran yang terkait dengan potensi lokal (daerah). Bahasa Inggris, Bahasa Arab, dan Bahasa Mandarin bukan termasuk muatan lokal, tapi itu dapat dimasukkan ke dalam Kurikulum Pengembangan Diri.

Pelajaran Bahasa Inggris di SD tidak dilarang, tapi bukan domain Kurnas, karena kalau masuk dalam struktur Kurnas berarti wajib diberikan ke semua murid SD di seluruh Indonesia, termasuk yang ada di ujung negeri. Biarkan itu menjadi domain Pemerintah Provinsi (Pemprov). Bisa saja Pemprov DKI Jakarta, Bali, dll. sebagai wilayah yang mengglobal memandang penting pelajaran Bahasa Inggris di SD, tapi mungkin daerah lain tidak. Hal itu tidak masalah karena Kurnas hanya mengatur standar kompetensi minimal saja. Setiap daerah/sekolah berhak mengembangkan standar kompetensi maksimal. Dalam Kurikulum 2013, ruang untuk daerah itu tidak ada lagi, meski ada petunjuk bahwa daerah dapat menambahkan materi pelajaran sesuai dengan kondisi daerah, tapi karena jam pelajaran ditambah, maka penambahan itu muskil terjadi.

Kedua, Kurikulum 2013 ini penuh ambivalensi/kontradiktif. Karena tujuannya untuk menumbuhkan manusia yang kritis, kreatif, dan inovatif, tapi pelajaran yang bersifat normatif (Pendidikan Agama, Pancasila, dan Sejarah) untuk SD lebih dominan, komposisinya terlalu jomplang bila dibandingkan dengan seni dan olah raga. Ini karena adanya paradigma yang keliru, bahwa moralitas hanya dapat ditumbuhkan melalui pelajaran agama saja, sehingga pelajaran agama perlu ditambah. Padahal, moralitas dapat ditumbuhkan melalui olah tubuh (olah raga) dan olah rasa dan kreasi (seni). Akhirnya, yang akan lahir dari Kurikulum 2013 bukan generasi yang kritis, kreatif, dan inovatif; tapi justru kaum penurut saja.

Ketiga, para pejabat di Kemendikbud selalu menyatakan bahwa Kurikulum 2013 ini memberikan keseimbangan antara aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik. Tapi dengan adanya konsep Kompetensi Inti (KI), terutama KI 1 (hubungan vertikal dengan Sang Pencipta) dan KI 2 (hubungan horisontal dengan sesama) yang kemudian diturunkan ke dalam Kompetensi Dasar (KD), bisa jadi aspek kognitif itu justru hilang. Ambil contoh rumusan KI dan KD pelajaran Matematika Kelas VII (Kelas 1 SMP). KI 1 pelajaran Matematika itu berbunyi : “Menghargai dan menghayati ajaran agama yang dianutnya”.  Ini kemudian diturunkan dalam KD 1 yang berbunyi sama: “Menghargai dan menghayati ajaran agama yang dianutnya”. Tentu saja rumusan KD di atas terasa lucu, karena pelajaran Matematika, tapi rumusan Kompetensi Dasarnya pelajaran agama. Jelas aspek kognitifnya tidak tercapai dan menimbulkan kelucuan, sehingga mutlak untuk direvisi.

Keempat, soal penambahan jam pelajaran yang tidak sesuai dengan kondisi setiap daerah, kecuali bias kota-kota di Jawa. Sampai hari ini di pelosok-pelosok pedesaan anak-anak masih banyak yang harus jalan 5-15 km untuk pergi pulang sekolah dengan melewati hutan, nyebrang sungai, atau bahkan selat; dan tidak ada sarana transportasi publik. Bila mereka harus pulang lebih sore, sampai di rumah jam berapa? Belum lagi, banyak sekolah yang proses pembelajarannya dua shift (pagi sore). Dengan ditambah jam pembelajarannya, yang pagi akan pulang jam berapa dan yang masuk siang akan memulai pelajaran jam berapa dan pulang jam berapa pula? Oleh karena itulah tidak ada salahnya bila Kurikulum 2013 ini direvisi sebelum diimplementasikan secara penuh ke seluruh wilayah Indonesia demi kebaikan bersama. Memaksakan Kurikulum 2013 diimplementasikan secara penuh tanpa melihat kondisi daerah sangat tidak realistis, selain merupakan bukti kesewenang-wenangan.

Komentar

  1. sepertinya pemerintah gengsi untuk menarik kurikulum 2013 ini. artikel saya rasa mewakili ribuan guru lainnya. andai saja pemerintah mau mendengar..!

    BalasHapus
  2. Assalamu Alaikum wr-wb, perkenalkan nama saya ibu Rosnida zainab asal Kalimantan Timur, saya ingin mempublikasikan KISAH KESUKSESAN saya menjadi seorang PNS. saya ingin berbagi kesuksesan keseluruh pegawai honorer di instansi pemerintahan manapun, saya mengabdikan diri sebagai guru disebuah desa terpencil, dan disini daerah tempat saya mengajar hanya dialiri listrik tenaga surya, saya melakukan ini demi kepentingan anak murid saya yang ingin menggapai cita-cita, Sudah 9 tahun saya jadi tenaga honor belum diangkat jadi PNS Bahkan saya sudah 4 kali mengikuti ujian, dan membayar 70 jt namun hailnya nol uang pun tidak kembali, bahkan saya sempat putus asah, pada suatu hari sekolah tempat saya mengajar mendapat tamu istimewa dari salah seorang pejabat tinggi dari kantor BKN pusat karena saya sendiri mendapat penghargaan pengawai honorer teladan, disinilah awal perkenalan saya dengan beliau, dan secara kebetulan beliau menitipkan nomor hp pribadinya dan 3 bln kemudian saya pun coba menghubungi beliau dan beliau menyuruh saya mengirim berkas saya melalui email, Satu minggu kemudian saya sudah ada panggilan ke jakarta untuk ujian, alhamdulillah berkat bantuan beliau saya pun bisa lulus dan SK saya akhirnya bisa keluar,dan saya sangat berterimah kasih ke pada beliau dan sudah mau membantu saya, itu adalah kisah nyata dari saya, jika anda ingin seperti saya, anda bisa Hubungi Bpk Drs Tauhid SH Msi No Hp 0853-1144-2258. siapa tau beliau masih bisa membantu anda, Wassalamu Alaikum Wr Wr ..

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

BIODATA DARMANINGTYAS

BIODATA DARMANINGTYAS, menggeluti pendidikan sejak mulai menjadi mahasiswa baru di UGM, Agustus 1982 dengan menjadi guru di SMP Binamuda dan SMA Muhammadiyah Panggang, Gunungkidul, DIY. Pendidikan formalnya cukup Sarjana Filsafat Universitas Gadjah Mada (UGM) dan selebihnya otodidak. Gelar “Profesor Doktor” diperoleh dari undangan, sertifikat, piagam, spanduk, dan sejenisnya; sebagai bentuk pengakuan nyata dari masyarakat.

Masyarakat Diajak Adaptasi

Pemerintah, melalui lembaga dan kementerian, mengeluarkan peraturan dan edaran perihal protokol atau pedoman kesehatan. Protokol itu berlaku di tempat masyarakat, industri, sektor jasa, dan perdagangan.

REFLEKSI DARI PELATIHAN GURU SASARAN DI LAMPUNG

Berikut saya sampaikan refleksi saya tatkala mendapat tugas untuk membuka dan kasih pengarahan pada pelatihan guru sasaran di Lampung tanggal 9 Juli lalu. Semoga refleksi in dapat menjadi bahaperbaikan proses pelatihan guru yang akan dating sehingga menjadi lebih baik.