Langsung ke konten utama

MENGURANGI KESENJANGAN AKSES DAN KUALITAS PENDIDIKAN

OLEH: DARMANINGTYAS
KETUA DEPARTEMEN DAN PEMBUDAYAAN NILAI-NILAI KEJUANGAN 45 DEWAN HARIAN NASIONAL (DHN) 45 
Dimuat Di Harian Sore Suara Pembaruan, Tanggal 2 Mei 2014

Persoalan kesenjangan akses dan mutu pendidikan antara Jawa versur luar Jawa, serta antara kota versus desa, saat ini masih sangat terasa. Jawa dengan infrastruktur transportasi dan telekomunikasi yang bagus realtif tidak ada lagi masalah akses, karena sejak Orde Baru melalui Program Inpres (Instruksi Presiden) telah berhasil membangun SD-SD baru sampai di tingkat desa. Setiap desa minimum ada satu SD, sejak 1990-an setiap kecamatan minimum ada satu SMPN, dan di kecamatan yang dianggap ramai (jumlah penduduknya) didirikan SMAN/SMKN. Setiap kabupaten/kota di Jawa telah memiliki perguruan tinggi swasta (PTS). Empat puluh persen PTN yang ada di Indonesia berada di Jawa.


Namun di luar Jawa, terlebih di daerah-daerah 3T (tertinggal, terluar, dan terluar), akses pendidikan dasar itu menjadi persoalan besar, karena tidak setiap desa memiliki sekolah meskipun hanya SD. Sementara infrastruktur transportasi amat jelek sehingga tidak mendukung warga untuk bersekolah. Gambaran mengenai akses pendidikan yang buruk di daerah 3T itu dapat disimak pada beberapa buku yang ditulis dari lapangan, semuanya terbit tahun 2013 sehingga informasinya masih up to date. Buku tersebut antara lain Fajar Kebangkitan Pendidikan Daerah Tertinggal yang ditulis oleh Dr.Ir. Herman Malik, Bupati Kaur, Provinsi Bengkulu; Berbagi di Ujung Negeri yang ditulis oleh Prof.Dr. Luthfiyah Nurlaila, Guru Besar UNESA Surabaya yang merupakan catatan monitoring terhadap program SM3T (Sarjana Mengajar di Daerah Tertinggal, Terluar, dan Terdepan) yang diadakan oleh Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud); serta buku berjudul  Pertaruhan Siri Kami untuk Bumi Sirih Pinang yang merupakan kumpulan pengalaman dari para para peserta SM3T.

Ketiga buku tersebut memberikan gambaran jelas mengenai buruknya akses pendidikan di daerah 3T. Bupati Kaur Herman Malik menggambarkan terbatasnya akses pendidikan di Kapubaten Kaur yang dipimpinnya sejak 2011. Saya sungguh termangu ketika mengetahui bahwa hingga detik ini sebagian warga yang tinggal di beberapa kecamatan Kabupaten Kaur Provinsi Bengkulu masih dihadapkan pada masalah akses pendidikan yang amat terbatas. Lokasi SD dengan tempat tinggalnya berjarak sampai delapan kilometer, sementara jalan menuju ke sekolah tersebut buruk dan melalui kawasan hutan belantara yang masih banyak binatang buas (harimau dan ular) sehingga amat membahayakan bagi anak-anak usia SD. Tidak ada orang tua yang merelakan anaknya berjalan sendiri untuk pergi ke sekolah, sehingga mereka memilih tidak menyekolahkan anaknya, mengingat orang tua yang petani itu juga tidak mungkin mengantar anaknya ke sekolah. Sebab mengantar berarti secara otomatis menunggu sampai pelajaran selesai, dan itu berarti tidak bisa bertani.

Lokasi tempat tinggal yang terpencar-pencar dan jarak rumah satu dengan rumah lainnya yang cukup jauh, sementara infrastruktur transportasinya buruk, merupakan salah satu sebab buruknya akses pendidikan di Kaur. Di sisi lain, kebijakan pemerintah yang menetapkan daerah yang dihuni sebagian warganya itu sebagai kawasan hutan lindung, menyebabkan Pemerintah Daerah tidak bisa membangun gedung sekolah yang dekat dengan tempat tinggal warganya. Masalah akses itu kemudian dipecahkan dengan melakukan sistem guru kunjung. Tapi, sesuai dengan namanya tentu ini memiliki banyak keterbatasan: jumlah guru yang berkunjung terbatas, dan fasilitas maupun jam mengajar juga terbatas sehingga otomatis kualitasnya terbatas.

Sedangkan buku berjudul Berbagi di Ujung Negeri dan Pertaruhan Siri Kami untuk Bumi Sirih Pinang memberikan gambaran buruknya kondisi pendidikan di daeah 3T, khususnya di Indonesia bagian Timur, yang sungguh jauh tertinggal 50 tahun bila dibandingkan dengan kondisi dan kualitas pendidikan di Jawa. Hal itu tergambar dari informasi yang mereka berikan mengenai kondisi fisik sekolah, fasilitas pendidikan yang tersedia, jumlah guru, latar belakang pendidikan guru, dan lainnya. Kondisi tersebut di kota-kota di Jawa terjadi pada dekade 1950-an pada saat awal masa kemerdekaan.

Dicotnohkan oleh Prof.Dr. Luthfiyah Nurlaila tentang kondisi SMPN 6 Ahanari, Pulau Barbar Timur, Maluku Barat Daya (MBD) yang hanya memiliki empat guru (semuanya PNS), tapi yang berijazah S1 hanya satu orang dari Prodi PAK (Pendidikan Agama Kristen). Guru ini selain mengajar Agama Kristen, juga mengajar PPKN. Kondisi yang sama buruk terjadi di SMAN Letwurung di pulau yang sama (Barbar Timur). SMAN ini hanya memiliki tujuh guru PNS: satu orang S1 matematika murni, satu guru sosiologi, dan S1 Geografi FKIP, yang sekaligus menjabat kepala sekolah. Selebihnya adalah guru Agama Kristen, Sejarah, BK, dan Matematika tamatan PGSLP (Pendidikan Guru Sekolah Lanjutan Pertama), tapi mereka mengajar di SMA.

Hesty Anggraeni, seorang peserta SM3T memberikan gambaran pendidikan di daerah Sumba Timur, NTT. SMPN Satap Matawai Kurang di Kecamatan Lewa itu hanya punya dua ruang kelas saja dari kebutuhan tiga kelas, tidak ada ruang kepala sekolah, guru, perpustakaan dan lainnya. Hanya kepala sekolah saja yang memiliki status guru PNS. Daerah itu juga belum dialiri listrik, jadi tentu komputer belum masuk ke sana. Kondisi yang sama buruk terdapat di SDN Kilimbatu, juga di Kabupaten Sumba Timur yang bangunan fisiknya terbuat dari papan, atap rumbai, dan lantai tanah (mirip kandang ayam) hasil dari gotong royong masyarakat setempat. Jumlah muridnya mencapai 60 anak, tapi hanya memiliki satu guru PNS yang sekaligus kepala sekolah, sedangkan selebihnya guru honorer lulusan SMA.

Gambaran buruk mengenai kondisi fisik dan non fisik sekolah-sekolah di luar Jawa dari berbagai wilayah yang berbeda tersebut menunjukkan bahwa masalah kesenjangan akses dan mutu pendidikan di Indonesia, terutama antara Jawa dan luar Jawa maupun antara desa dan kota, merupakan persoalan serius yang perlu dipecahkan oleh pemerintah mendatang. Kesenjangan akses dan mutu pendidikan yang melebar bisa berdampak buruk pada tatanan kehidupan yang lain, seperti urbanisasi, memudarnya nasionalisme, serta keinginan untuk keluar dari NKRI karena merasa kurang diperhatikan.

Kesenjangan akses dan mutu itu bukan semata-mata bersumber pada kebijakan internal Kemendikbud saja, melainkan juga bersumber pada kebijakan Kementrian/Lembaga (K/L) lain, seperti Pekerjaan Umum (PU), Perhubungan, ESDM, Daerah Tertinggal, Perikanan dan Kelautan, Pertanian, serta Kementrian Kehutanan karena masing-masing membuat kebijakan tanpa memperhatikan nasib masyarakat yang tinggal di daerah 3T.

Semua daerah yang mengalami hambatan akses dan kualitas pendidikan tersebut karena infrastruktur dan sarana transportasi maupun komunikasi buruk sehingga akses untuk masuk ke daerah tersebut terbatas. Akibatnya, orang luar sulit masuk ke sana, demikian pula anak-anak muda asli enggan tinggal di desa karena terisolir dari dunia luar. Dengan kata lain, upaya membangun pendidikan di sana perlu diawali dengan membangun infrastruktur dan penyediaan sarana transportasi yang baik, jaringan listrik, serta mengembangkan pertanian dan periknannya sebagai penopang hidup masyarakat. Peran Kementrian Daerah Tertinggal semestinya menonjol di daerah-daerah 3T tersebut untuk memajukan pendidikan. Sayang, kesannya selama ini Kementrian tersebut justru terkesan sebagai buangan.

Kesenjangan pendidikan yang terlalu lebar ini tidak boleh didiamkan saja demi keutuhan NKRI. Oleh karena itu dibutuhkan kebijakan terobosan, seperti mengangkat guru-guru baru khusus ditempatkan di daerah 3T, menyekolahkan warga lokal untuk dipersiapkan menjadi guru di daerahnya, membanun infrastruktur transportasi dan menyediakan sarananya, membangun jaringan listrik dan telekomunikasi agar tidak menjadi daerah terisolir. Kementrian Daerah Tertinggal perlu mengambil peran aktif untuk merajut kerja sama antara lembaga tersebut agar bekerja secara kewilayahan, tidak sektoral. Sulit berharap pendidikan di daerah 3T maju bila pendekatannya sektoral, dari Kemendikbud saja. Justru yang harus ambil peran besar adalah PU, Perhubungan, ESDM, Telekomunikasi, dan Kementrian Daerah Tertinggal. Bila infrastruktur transportasi dan telekomunikasi tersedia baik, tentu banyak orang akan betah tinggal di sana, termasuk para guru muda.



Komentar

  1. Assalamu Alaikum wr-wb, perkenalkan nama saya ibu Rosnida zainab asal Kalimantan Timur, saya ingin mempublikasikan KISAH KESUKSESAN saya menjadi seorang PNS. saya ingin berbagi kesuksesan keseluruh pegawai honorer di instansi pemerintahan manapun, saya mengabdikan diri sebagai guru disebuah desa terpencil, dan disini daerah tempat saya mengajar hanya dialiri listrik tenaga surya, saya melakukan ini demi kepentingan anak murid saya yang ingin menggapai cita-cita, Sudah 9 tahun saya jadi tenaga honor belum diangkat jadi PNS Bahkan saya sudah 4 kali mengikuti ujian, dan membayar 70 jt namun hailnya nol uang pun tidak kembali, bahkan saya sempat putus asah, pada suatu hari sekolah tempat saya mengajar mendapat tamu istimewa dari salah seorang pejabat tinggi dari kantor BKN pusat karena saya sendiri mendapat penghargaan pengawai honorer teladan, disinilah awal perkenalan saya dengan beliau, dan secara kebetulan beliau menitipkan nomor hp pribadinya dan 3 bln kemudian saya pun coba menghubungi beliau dan beliau menyuruh saya mengirim berkas saya melalui email, Satu minggu kemudian saya sudah ada panggilan ke jakarta untuk ujian, alhamdulillah berkat bantuan beliau saya pun bisa lulus dan SK saya akhirnya bisa keluar,dan saya sangat berterimah kasih ke pada beliau dan sudah mau membantu saya, itu adalah kisah nyata dari saya, jika anda ingin seperti saya, anda bisa Hubungi Bpk Drs Tauhid SH Msi No Hp 0853-1144-2258. siapa tau beliau masih bisa membantu anda, Wassalamu Alaikum Wr Wr ..

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

BIODATA DARMANINGTYAS

BIODATA DARMANINGTYAS, menggeluti pendidikan sejak mulai menjadi mahasiswa baru di UGM, Agustus 1982 dengan menjadi guru di SMP Binamuda dan SMA Muhammadiyah Panggang, Gunungkidul, DIY. Pendidikan formalnya cukup Sarjana Filsafat Universitas Gadjah Mada (UGM) dan selebihnya otodidak. Gelar “Profesor Doktor” diperoleh dari undangan, sertifikat, piagam, spanduk, dan sejenisnya; sebagai bentuk pengakuan nyata dari masyarakat.

Masyarakat Diajak Adaptasi

Pemerintah, melalui lembaga dan kementerian, mengeluarkan peraturan dan edaran perihal protokol atau pedoman kesehatan. Protokol itu berlaku di tempat masyarakat, industri, sektor jasa, dan perdagangan.

REFLEKSI DARI PELATIHAN GURU SASARAN DI LAMPUNG

Berikut saya sampaikan refleksi saya tatkala mendapat tugas untuk membuka dan kasih pengarahan pada pelatihan guru sasaran di Lampung tanggal 9 Juli lalu. Semoga refleksi in dapat menjadi bahaperbaikan proses pelatihan guru yang akan dating sehingga menjadi lebih baik.