Langsung ke konten utama

UNDANG-UNDANG PENDIDIKAN DARI MASA KE MASA (Bagian I)

OLEH: DARMANINGTYAS 
PENULIS ADALAH KETUA DEPARTEMEN PENDIDIKAN DAN PEMBUDAYAAN NILAI-NILAI KEJUANGAN 45, DEWAN HARIAN NASIONAL 45, JAKARTA
Dimuat di Harian Sore Suara Pembaruan, Senin 7 April 2014

Pendidikan nasional kembali disorot ketika Direktur Program, Abdullah Darras mempublikasikan hasil penelitian yang dilakukan oleh Maarif Institute pada tahun 2011 lalu. Salah satu hasil penelitian tersebut sebanyak 60% lebih murid SMP dan SMA Negeri di Jabodetabek tidak percaya lagi terhadap nilai-nilai Pancasila, sehingga mereka pun menolak ikut upacara bendera.
Tulisan di bawah ini bermaksud melengkapi pemberiataan di Suara Pembaruan (3/4 2014 hal. A18) yang berjudul “Kurikulum 2013 Jangan Abaikan Munculnya Radikalisme”, dengan salah satu narasumber penulis sendiri. Sebagai bagian dari berita, tentu pernyataan penulis yang termuat dalam berita tersebut singkat dan mungkin banyak pembaca yang tidak memahami konteknya sulit untuk memahami apa yang penulis katakana dan dimuat dalam berita tersebut, misalkan dengan istilah “agamanisasi di sekolah” atau bagaimana substansi Kurikulum 2013 kaitannya dengan penumbuhan nasionalisme, dan sebagainya. Melalui opini yang ruangnya lebih lebar ini ijinkan penulis menyampaikan penjelasan atas pernyataan yang singkat tersebut dengan maksud pembaca dapat memahami konteks permasalahannya, sehingga menangkap apa yang penulis maksudkan. Sebagai dasar pijakan penulis berbicara berdasarkan Undang-Undang Pendidikan dari masa ke masa. Semoga tulisan ini dapat membantu memperjelas pembaca memahami perkembangan pendidikan pada saat ini.

Berpijak pada Undang-Undang

Sebetulnya apa yang terjadi pada dunia pendidikan kita saat ini tidak terlepas dari Undang-Undang Pendidikan sebagai pedomannya. Seperti kita ketahui, sejak kemerdekaan 1945 hingga 2014 ini kita telah mengalami tiga kali UU yang mengatur masalah pendidikan dasar dan menengah, dan dua UU yang mengatur tentang Pendidikan Tinggi (PT), yaitu UU No. 22 Tahun 1961 dan UU No. 12 Tahun 2012. Namun fokus tulisan ini lebih membahas pada UU Pendidikan secara umum, bukan yang PT mengingat yang memiliki dampak sosial, politik, dan budaya amat luas pada UU Pendidikan secara umum.

Undang-undang Pendidikan yang pertama adalah Undang-Undang No. 4 Tahun 1950 tentang Dasar-dasar Pendidikan Pengajaran di Sekolahan,  Junto UU No. 12 Tahun 1954 yang merupakan pelaksanaan terhadap UU No. 4 Tahun 1950. Undang-undang ini disusun oleh para pendiri bangsa yang tidak banyak memiliki interest pribadi, kecuali lahirnya bangsa yang merdeka dan berjiwa kebangsaan. Oleh karena itu, corak pendidikannya kebangsaan. Hal itu tercermin dari rumusan dalam pasal-pasal. Rumusan mengenai tujuan pendidikan nasional misalnya, jelas dan tidak banyak beban, yaitu membentuk manusia susila jang cakap dan warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab tentang kesejahteraan masyarakat dan tanah air (pasal 3). Rumusan ini bersifat universal tidak mengacu pada nilai-nilai agama tertentu, tapi pada keuniversalan sifat dan sikap manusia sebagai individu maupun warga masyarakat dan bangsa. Implikasi teknis dari rumusan pasal tersebut adalah munculnya kebijakan-kebijakan pendidikan yang bersifat universal pula.

Paham kebangsaan itu juga terlihat dalam pasal 13 ayat (1) yang mengatur keberadaan sekolah-sekolah swasta yang didirikan oleh yayasan-yayasan keagamaan dan mempunyai misi keagamaan juga, termasuk yang didirikan oleh yayasan-yayasan Kristen-Katolik. Pasal tersebut berbunyi: “Atas dasar kebebasan tiap-tiap warga Negara menganut sesuatu agama untuk kejakinan hidup, maka kesempatan leluasa diberikan untuk mendirikan dan menyelenggarakan sekolah-sekolah partikulir.”

Pasal inilah yang menjadi landasan kuat bagi pendirian sekolah-sekolah swasta oleh masyarakat, termasuk sekolah-sekolah Kristen Katolik, yang selain untuk mencerdaskan warga, juga memiliki misi keagamaan. Oleh karena UU amat jelas, maka selama kurun waktu pelaksanaan UU No. 4/1950 tidak ada ganjalan maupun gejolak di sekolah-sekolah swasta berbasis agama. Negara memang menjamin hak dan keberadaan sekolah-sekolah swasta tersebut secara penuh tanpa adanya intervensi. Sikap para pemimpin Negara yang demikian itu memperlihatkan kedewasaan mereka dalam bersikap. Meskipun secara individu mereka adalah penganut agama mereka masing-masing secara taat, tapi tapi dalam konteks berbangsa dan bernegara, mereka tidak memaksakan kehendaknya kepada orang lain.

Peran Pemerintah terhadap pengembangan sekolah-sekolah swasta tersebut bukan hanya menjamin secara legal perizinan saja, tapi pasal 14 ayat (1) jelas sekali bunyinya: “Sekolah-sekolah partikulir yang memenuhi syarat-syarat, dapat menerima subsidi pemerintah untuk pembiayaannya.” Pasal ini memperlihatkan adanya tanggung jawab Negara dalam turut serta membiayai keberadaan sekolah-sekolah swasta yang didirikan oleh masyarakat berdasarkan nilai-nilai agama tertentu. Para pendiri bangsa pada saat itu memandang bahwa pilihan sekolah di negeri atau swasta itu adalah hak individu, di mana Negara wajib menghargai dan memfasilitasinya dengan memberikan subsidi. Tidak aneh bila pada saat itu banyak sekolah Kristen-Katolik yang dibiayai penuh oleh Negara dengan sebutan Sekolah Bersubsidi. Meskipun Negara membiayai penuh, tapi Negara tidak intervensi ke dalamnya.

Mengenai pendidikan agama, yang diatur dalam UU No. 4/1950 ini hanya pengajaran agama disekolah-sekolah negeri, karena pendidikan agama di sekolah-sekolah swasta urusan masing-masing sekolah seperti diatur dalam pasal 13 ayat (1) di atas. Pasal 20 yang mengatur tentang pendidikan agama di sekolah-sekolah negeri itu berbunyi: (1) Dalam sekolah-sekolah Negeri diadakan pelajaran agama, orang tua murid menetapkan apakah anaknya akan mengikuti pelajaran tersebut. Ayat (2) Cara menyelenggarakan pengajaran agama di sekolah-sekolah Negeri diatur dalam peraturan yang ditetapkan oleh Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan bersama-sama dengan Menteri Agama.

Berdasarkan pasal 20 ayat (1) di atas jelas sekali bahwa pendidikan agama pada saat itu bersifat opsional bagi setiap murid. Dan keputusan untuk mengikuti pendidikan agama atau tidak di sekolah itu menjadi domain orang tua, bukan sekolah, apalagi negara dengan cara-cara memaksa. Guru pun  “di dalam sekolah harus menghormati tiap-tiap aliran agama atau keyakinan hidup” (pasal 16 ayat 2).

Istilah “keyakinan hidup” penulis cetak tebal karena menjelaskan betapa tolerannya para pemimpin kita pada saat itu, bukan hanya terhadap mereka yang berbeda agama, tapi juga terhadap mereka yang memiliki keyakinan lain di luar agama-agama samawi, seperti misalnya adanya aliran kepercayaan, kebatinan, kejawen, meratus, kaharingan, dan sejenisnya. Semua itu memperoleh tempat dan diakomodasi dalam sistema pendidikan pada saat itu. Puncaknya adalah masuknya paham kepercayaan di dalam GBHN tahun 1978.

Implikasi teknis dari regulasi semacam itu adalah praksis pendidikan di sekolah pun menjadi toleran. Dalam mengucapkan salam perjumpaan atau perpisahan misalnya, mengacu pada dimensi waktu yang ada, misalnya “selamat pagi/siang/sore”, tidak memakai salam salah satu agama mayoritas di masing-masing daerah. Pada saat berdoa memulai/mengakhirir pelajaran atau pada saat upacara bendara, pasti bersifat universal, yaitu “mari kita berdoa menurut agama dan keyakinan kita masing-masing”, sehingga tidak ada satu murid pun yang merasa tereksklusikan di dalam kelas atau halaman sekolah karena semua akan dapat menjawab salamnya dan berdoa menurut agama dan keyakinan masing-masing. “Agama dan Keyakinan” merupakan dua sebutan yang selalu melekat, yang menunjukkan pengakuan Negara bahwa selain ada orang yang beragama (samawi), juga ada orang yang mengakui Tuhan Yang Maha Esa melalui caranya sendiri, yaitu kepercayaan atau keyakinan tertentu. Hasil dari regulasi pendidikan semacam itu adalah orang-orang yang toleran.

Doktor Daoed Joesoef merupakan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI terakhir yang melaksanakan UU No. 4/1950 secara konsisten, meski mendapat tentangan berat dari tokoh-tokoh Muslim pada saat itu. Namanya yang merupakan gabungan dari nama dua nabi dan asalnya (dari Aceh) membuat orang tidak ragu akan ke-Islaman-nya, tapi sekaligus seorang nasionalis sejati. Itu yang membuat beliau tetap kokoh pada pendiriannya.


Komentar

  1. Menarik sekali pak, mohon ijin menyimak dan belajar..menunggu kelanjutannya. Salam sukses

    BalasHapus
  2. Assalamu Alaikum wr-wb, perkenalkan nama saya ibu Rosnida zainab asal Kalimantan Timur, saya ingin mempublikasikan KISAH KESUKSESAN saya menjadi seorang PNS. saya ingin berbagi kesuksesan keseluruh pegawai honorer di instansi pemerintahan manapun, saya mengabdikan diri sebagai guru disebuah desa terpencil, dan disini daerah tempat saya mengajar hanya dialiri listrik tenaga surya, saya melakukan ini demi kepentingan anak murid saya yang ingin menggapai cita-cita, Sudah 9 tahun saya jadi tenaga honor belum diangkat jadi PNS Bahkan saya sudah 4 kali mengikuti ujian, dan membayar 70 jt namun hailnya nol uang pun tidak kembali, bahkan saya sempat putus asah, pada suatu hari sekolah tempat saya mengajar mendapat tamu istimewa dari salah seorang pejabat tinggi dari kantor BKN pusat karena saya sendiri mendapat penghargaan pengawai honorer teladan, disinilah awal perkenalan saya dengan beliau, dan secara kebetulan beliau menitipkan nomor hp pribadinya dan 3 bln kemudian saya pun coba menghubungi beliau dan beliau menyuruh saya mengirim berkas saya melalui email, Satu minggu kemudian saya sudah ada panggilan ke jakarta untuk ujian, alhamdulillah berkat bantuan beliau saya pun bisa lulus dan SK saya akhirnya bisa keluar,dan saya sangat berterimah kasih ke pada beliau dan sudah mau membantu saya, itu adalah kisah nyata dari saya, jika anda ingin seperti saya, anda bisa Hubungi Bpk Drs Tauhid SH Msi No Hp 0853-1144-2258. siapa tau beliau masih bisa membantu anda, Wassalamu Alaikum Wr Wr ..

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

BIODATA DARMANINGTYAS

BIODATA DARMANINGTYAS, menggeluti pendidikan sejak mulai menjadi mahasiswa baru di UGM, Agustus 1982 dengan menjadi guru di SMP Binamuda dan SMA Muhammadiyah Panggang, Gunungkidul, DIY. Pendidikan formalnya cukup Sarjana Filsafat Universitas Gadjah Mada (UGM) dan selebihnya otodidak. Gelar “Profesor Doktor” diperoleh dari undangan, sertifikat, piagam, spanduk, dan sejenisnya; sebagai bentuk pengakuan nyata dari masyarakat.

Masyarakat Diajak Adaptasi

Pemerintah, melalui lembaga dan kementerian, mengeluarkan peraturan dan edaran perihal protokol atau pedoman kesehatan. Protokol itu berlaku di tempat masyarakat, industri, sektor jasa, dan perdagangan.

REFLEKSI DARI PELATIHAN GURU SASARAN DI LAMPUNG

Berikut saya sampaikan refleksi saya tatkala mendapat tugas untuk membuka dan kasih pengarahan pada pelatihan guru sasaran di Lampung tanggal 9 Juli lalu. Semoga refleksi in dapat menjadi bahaperbaikan proses pelatihan guru yang akan dating sehingga menjadi lebih baik.