Langsung ke konten utama

KEKACAUAN SEKOLAH INTERNASIONAL

OLEH: DARMANINGTYAS
KETUA DEPARTEMEN PENDIDIKAN DAN PEMBUDAYAAN NILAI-NILAI KEJUANGAN 45 DEWAN HARIAN NASIONAL (DHN) 45
Dimuat di Harian Sore Suara Pembaruan April 2014

Keberadaan sekolah-sekolah internasional tiba-tiba digugat dengan munculnya kasus kejahatan seksual yang terjadi di Jakarta Internasional School (JIS). Saya merasa lebih pas menggunakan istilah kejahatan, bukan sekedar pelecehan seks karena kalau pelecehan itu sebatas ungkapan verbal dan/atau sentuhan fisik yang menimbulkan rasa jijik kepada korban, sementara yang terjadi pada anak-anak JIS itu bukan sekedar ungkapan verbal/sentuhan fisik, melainkan sudah sampai menyakiti dan menimbulkan trauma pada korban.

Dibalik pengungkapan kasus kejahatan seksual di JIS tersebut mengungkap ketidak-beresan sekolah internasional yang ada di Jakarta, tidak tertutup kemungkinan terjadi di sekolah-sekolah internasional lainnya. Salah satu ketidak-beresan di sekolah itu adalah infrastruktur untuk anak usia TK yang semestinya dapat terpantau dari tempat lain. Juga proses pembelajarannya yang tampaknya kurang intens sehingga apa yang terjadi pada anak tidak termonitor. Ketidak-beresan lain adalah segi administratif. Menurut pejabat Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) TK JIS itu tidak berijin sehingga terpaksa harus ditutup untuk sementara, tidak boleh menerima murid baru pada Tahun Ajaran 2014/2015, tapi murid yang ada sekarang tetap diajar sampai tutup tahun ajaran baru. 

Hanya saja, menurut penulis, persoalan ijin itu debatable mengingat TK tersebut diresmikan oleh Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah Hasan Walinono (1992). Mustahil Dirjen bersedia meresmikan sekolah tanpa izin. Jadi, penulis berkeyakinan JIS itu memiliki izin, dasar pemberian izinnya adalah UU No. 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas). Dalam perjalanannya, UU No. 2/1989 direvisi menjadi UU No. 20/2003 dan UU ini melahirkan berbagai PP termasuk PP No. 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan. PP ini sendiri setelah pembatalan UU BHP (Badan Hukum Pendidikan) pada tanggal 31 Maret 2010 direvisi menjadi PP No. 66/2010.

Pasal 217 PP butir (d) menyebutkan bahwa “Satuan pendidikan yang dinyatakan oleh pendirinya sebagai sekolah internasional sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah ini, paling lambat 3 (tiga) tahun sejak Peraturan Pemerintah ini berlaku, wajib menyesuaikan menjadi satuan pendidikan yang diselenggarakan atas dasar kerja sama satuan pendidikan asing dengan satuan pendidikan negara Indonesia”.

Boleh jadi pernyataan pejabat Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan bahwa JIS itu tidak berijin dasarnya adalah PP No. 17 Tahun 2010 tersebut. Tapi pertanyaannya adalah apakah Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) telah mensosialisasikan keberadaan PP tersebut kepada sekolah-sekolah internasional, termasuk JIS sebagai bagian dari tugas pengawasan dan pembinaan?  Bila belum, tentu kesalahannya tidak bisa dibebankan kepada JIS saja, tapi juga kepada Kemendikbud yang tidak mensosialisasikan regulasi baru tersebut. Kemendikbud tidak bisa berasumsi bahwa “sekarang sudah zamannya internet sehingga seharusnya JIS dapat mengakses informasi dari internet”. Bagaimana pun Kemendikbud tetap memiliki peran besar dalam pengawasan dan pembinaan.

JIS itu bukan sekolah ecek-ecek yang lokasinya jauh di pedalaman, tapi berada di pusat kota dan murid-muridnya dari golongan menengah ke atas, selayaknya Kemendikbud intens melakukan pengawasan dan pembinaan terhadap sekolah tersebut, sehingga bila melanggar aturan yang berlaku dapat terpantau sejak dini, bukan baru dinyatakan setelah muncul ketidak-beresan di sekolah itu. Dengan kata lain, penutupan JIS oleh pemerintah dengan alasan tidak berijin itu sesungguhnya Pemerintah menuding diri sendiri yang tidak bekerja maksimal dalam pengawasan dan pembinaan.

Kerancuan Regulasi

            Penulis sendiri memandang munculnya pasal 217 dalam PP No. 17/2010 tersebut sesungguhnya merupakan kerancuan regulasi yang dibuat oleh pemerintah. Sepemahaman penulis, sekolah internasional itu merupakan sekolah yang didirikan untuk menampung anak-anak orang asing, baik itu yang bekerja di kedutaan, lembaga-lembaga internasional, maupun swasta yang ada di Indonesia. Dengan demikian, corak sekolah tersebut semestinya mengikuti corak atau model pendidikan Negara pendirinya tapi disesuaikan dengan kebutuhan murid yang berasal dari banyak Negara. Sekolah-sekolah internasional mestinya tertutup untuk warga Indonesia yang tinggal di Indonesia. Jadi sekolah tersebut khusus untuk orang asing yang bekerja di Indonesia dan ingin menyekolahkan anaknya, yang seandainya sewaktu-waktu mereka balik ke Negara masing-masing atau berpindah tugas ke Negara lain, pendidikan yang diperoleh di sekolah internasional yang ada Indonesia itu dapat dengan mudah dilanjutkan ke Negara asal atau tempat tugas barunya karena modelnya sama. Peran Pemerintah RI adalah melakukan pengawasan dan pembinaan agar sekolah tersebut tidak menerima warga Indonesia sebagai muridnya, bukan lalu memaksakan regulasi yang ada untuk diterapkan mereka.

            Namun apa yang terjadi di JIS dan mungkin sekolah-sekolah internasional lainnya tidak demikian. Sekolah tersebut ternyata terbuka untuk warga Indonesia. Keberadaan JIS maupun sekolah-sekolah internasional lainnya itu tidak seperti sekolah internasional yang penulis persepsikan di atas, yaitu khusus menerima murid warga asing saja. Yang membedakan JIS, Jakarta Japanese School, British International School, Australian International School, dan lainnya dengan sekolah-sekolah internasional yang didirikan oleh warga Indonesia, seperti Sekolah Global Jaya, Global Jaya International School, Global Prestasi School, Harapan Bangsa School, High Schope Indonesia, PSKD Mandiri, dan lainnnya pada akhirnya hanya nama dan pendirinya saja. Baris pertama didirikan oleh orang asing, sedangkan baris kedua didirikan oleh bangsa warga Indonesia, tapi peran keduanya sama, yaitu sama-sama terbuka bagi siapa saja, termasuk orang Indonesia yang tinggal di Indonesia. Konsekuensi dari model sekolah yang seperti adalah mau tidak mau sekolah-sekolah internasional itu mengikuti aturan yang berlaku secara nasional. Sebab seandainya saya jadi Presiden RI pun, saya tidak merelakan warga saya tidak belajar tentang Pancasila dan Bahasa Indonesia. Tapi seandainya sekolah-sekolah internasional yang berkembang di Jakarta dan kota-kota besar lainnya itu seperti sekolah-sekolah internasional dalam persepsi penulis di atas, tentu terasa ganjil juga bila mereka harus mengikuti UU Sisdiknas.  

Bila kita telisik lebih jauh, kekacauan di sekolah-sekolah internasional itu bersumber pada pemerintah sendiri yang membuat regulasi serba abu-abu. Regulasi yang serba abu-abu itu disebabkan oleh ketidak-pahaman mereka terhadap konsep sekolah internasional. Sekolah internasional dipahami sebagai sekolahnya orang dari berbagai macam Negara, termasuk warga Indonesia, bukan dari maksud dan tujuan pendirian sekolah internasional, yaitu untuk memfasilitasi warga asing yang bekerja di Indonesia dan memerlukan pelayanan pendidikan yang standarnya sama dengan banyak Negara sehingga saat mereka balik ke negaranya atau pindah ke Negara lain tidak mengalami kesulitan melanjutkan sekolah.

Mengingat sumber kekacauan di sekolah internasional itu ada pada pemerintah, maka yang perlu ditertibkan lebih dulu bukan sekolah internasionalnya, tapi mindset birokrasi. Mereka harus clear memahami konsep sekolah internasional agar bijak dalam melakukan pengawasan dan pembinaan. Bagaimana dengan sekolah-sekolah internasional yang didirikan oleh bangsa Indonesia sendiri? Kalau itu tujuannya adalah untuk menampung orang-orang kaya di Indonesia agar tidak harus sekolah keluar negeri, namanya bukan sekolah internasional, tapi sekolah nasional. Nilai jual mereka bukan pada nama, melainkan pada kualitas.  Nama Sekolah Pelita Harapan tidak disertai dengan kata “internasional” tapi orang tau sekolah tersebut memiliki kualitas tinggi sehingga menjadi pilihan orang berduit untuk menyekolahkan anaknya ke sana, tapi pemerintah juga punya dasar mengatur melalui regulasi yang ada.  


Komentar

  1. Assalamu Alaikum wr-wb, perkenalkan nama saya ibu Rosnida zainab asal Kalimantan Timur, saya ingin mempublikasikan KISAH KESUKSESAN saya menjadi seorang PNS. saya ingin berbagi kesuksesan keseluruh pegawai honorer di instansi pemerintahan manapun, saya mengabdikan diri sebagai guru disebuah desa terpencil, dan disini daerah tempat saya mengajar hanya dialiri listrik tenaga surya, saya melakukan ini demi kepentingan anak murid saya yang ingin menggapai cita-cita, Sudah 9 tahun saya jadi tenaga honor belum diangkat jadi PNS Bahkan saya sudah 4 kali mengikuti ujian, dan membayar 70 jt namun hailnya nol uang pun tidak kembali, bahkan saya sempat putus asah, pada suatu hari sekolah tempat saya mengajar mendapat tamu istimewa dari salah seorang pejabat tinggi dari kantor BKN pusat karena saya sendiri mendapat penghargaan pengawai honorer teladan, disinilah awal perkenalan saya dengan beliau, dan secara kebetulan beliau menitipkan nomor hp pribadinya dan 3 bln kemudian saya pun coba menghubungi beliau dan beliau menyuruh saya mengirim berkas saya melalui email, Satu minggu kemudian saya sudah ada panggilan ke jakarta untuk ujian, alhamdulillah berkat bantuan beliau saya pun bisa lulus dan SK saya akhirnya bisa keluar,dan saya sangat berterimah kasih ke pada beliau dan sudah mau membantu saya, itu adalah kisah nyata dari saya, jika anda ingin seperti saya, anda bisa Hubungi Bpk Drs Tauhid SH Msi No Hp 0853-1144-2258. siapa tau beliau masih bisa membantu anda, Wassalamu Alaikum Wr Wr ..

    BalasHapus
  2. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  3. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

BIODATA DARMANINGTYAS

BIODATA DARMANINGTYAS, menggeluti pendidikan sejak mulai menjadi mahasiswa baru di UGM, Agustus 1982 dengan menjadi guru di SMP Binamuda dan SMA Muhammadiyah Panggang, Gunungkidul, DIY. Pendidikan formalnya cukup Sarjana Filsafat Universitas Gadjah Mada (UGM) dan selebihnya otodidak. Gelar “Profesor Doktor” diperoleh dari undangan, sertifikat, piagam, spanduk, dan sejenisnya; sebagai bentuk pengakuan nyata dari masyarakat.

Masyarakat Diajak Adaptasi

Pemerintah, melalui lembaga dan kementerian, mengeluarkan peraturan dan edaran perihal protokol atau pedoman kesehatan. Protokol itu berlaku di tempat masyarakat, industri, sektor jasa, dan perdagangan.

REFLEKSI DARI PELATIHAN GURU SASARAN DI LAMPUNG

Berikut saya sampaikan refleksi saya tatkala mendapat tugas untuk membuka dan kasih pengarahan pada pelatihan guru sasaran di Lampung tanggal 9 Juli lalu. Semoga refleksi in dapat menjadi bahaperbaikan proses pelatihan guru yang akan dating sehingga menjadi lebih baik.