Almarhum Mochtar Lubis mengatakkan bahwa korupsi telah membudaya pada bangsa kita, karena telah merambah semua sector kehidupan, tidak terkecuali dunia pendidikan kita. Meskipun jumlah pejabat pendidikan di tingkat nasional maupun daerah yang dibui karena tuduhan korupsi itu masih terbatas, tidak berarti bahwa hanya sedikit pejabat pendidikan yang korupsi.
Praktek korupsi itu sudah ada sejak masa Orde Baru. Pada tahun 1987 misalnya, sekolah tempat saya mengajar di Gunungkidul mendapat surat dari Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (Depdikbud), yang memberitahukan akan adanya bantuan operasional. Untuk proses pencairannya, ketua yayasan diminta ketemu seseorang dari Depdikbud di sebuah hotel di kawasan Malioboro. Tatkala datang ke hotel, ternyata bukan hanya ketua yayasan dari SMP saya yang bertemu pejabat tersebut, tapi juga pengurus yayasan dari SMA swasta di Sleman, DIY dengan tujuan yang sama. Pada saat meeting itulah oknum dari Depdikbud tersebut menjelaskan bahwa sekolah kami memperoleh bantuan dana sebesar satu juta rupiah, hanya saja setelah diterima sebesar Rp. 100.000,- harus dikembalikan melalui alamatnya. Tapi kuitansi yang harus diserahkan pada saat itu adalah sebesar satu juta rupiah.
Modus tersebut masih berlangsung setelah reformasi dan hingga sekarang, termasuk untuk dana BOS. Banyak kepala sekolah di daerah yang menyatakan bahwa dana BOS memang mereka terima utuh dari Pusat, tapi setelah sampai di rekening kepala sekolah, sebagian dikirim ke rekening pejabat dinas pendidikan setempat (besarannya amat variatif), tergantung pada kondisi masing-masing daerah.
Memang sulit membuktikan korupsi, tapi adanya isu bahwa Dinas Pendidikan kabupaten/kota perlu memberikan uang sogok atau suap untuk mendapatkan block grant pendirian USB (Unit Sekolah Baru) misalnya, mengindikasikan bahwa praktek korupsi itu masih tetap ada. Isu itu tidak mungkin ada tanpa sebab. Berita bahwa seorang Direktur Pembinaan SMK Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan memiliki nilai total transaksi mencapai Rp. 23 miliar (Koran Tempo, 6/12 2013 hal.7), mengundang tanda tanya kita: dari mana sumber dananya tersebut? Apa dampak korupsi dalam sektor pendidikan?
1. Jika yang dikorup adalah dana pembangunan gedung, maka kualitas bangunan pasti tidak kokoh. Boleh jadi, sedang proses pembangunan roboh. Atau belum ada satu tahun dibangun tapi atap sudah roboh dan menimpa murid.
2. Jika yang dikorup dana BOS dan atau BOP, maka itu berarti mengurangi biaya operasional sekolah, sehingga kualitas pendidikan jelek.
3. Jika yang dikorup itu adalah dana untuk pendirian unit sekolah baru, maka hasilnya sekolah yang baru didirikan tersebut buruk karena tidak semua dana dialokasikan untuk mewujudkan unit sekolah baru.
4. Jika yang dikorup itu adalah tunjangan professional guru, maka akan berdampak pada semangat guru dan akhirnya berpengaruh terhadap kualitas pendidikan nasional.
5. Jika yang dikorup itu adalah dana pengadaan buku, maka kualitas bukunya menjadi jelek sehingga kurang menarik bagi anak-anak
6. Jika yang dikorup itu adalah dana UN (Ujian Nasional), maka kertas soal bisa jelek dan menyulitkan pelajar untuk mengerjakannya, atau bahkan pelaksanaan UN-nya jadi mundur karena ada ketidak-beresan di dalam pengadaan soalnya.
7. Jika yang dikorup itu adalah dana pelatihan untuk guru, maka program pelatihan tidak bisa berlangsung optimal, sehingga kualitas guru tidak bisa ditingkatkan dan akhirnya kualitas pendidikan pun rendah dan murid sebagai korbannya
Korupsi di sector pendidikan, apa pun yang dikorup dan siapa pun yang mengkorup, kerugian terbesarnya selalu akan dirasakan oleh murid, karena dampak langsungnya akan mengena pada proses pembelajaran.
Sekolah sebagai institusi pendidikan tidak terlepas dari korupsi. Hal itu karena kepala sekolah atau yayasan (sekolah swasta) merupakan unit terkecil yang menjalankan kegiatan pembelajaran dan di dalamnya ada dana yang diputar. Di mana ada dana terputar itulah ada peluang untuk korupsi. Hanya saja, karena jumlah yang dikorupsi setiap tahunnya tidak besar, maka masyarakat cenderung cuek, tapi hal itu sangat mempengaruhi kinerja pelayanan sekolah. Di sekolah-sekolah swasta, karena yayasan dan atau kepala sekolah melakukan korupsi, maka kesejahteraan para guru tidak dapat terpenuhi. Sedangkan korupsi di sekolah-sekolah negeri, korupsi telah merusak mekanisme kerja karena satu sama lain saling iri. Bentuk korupsi di sekolah bermacam-macam dari mencari keuntungan dari penjualan buku-buku pelajaran, kain seragam, program study tour, kemah, kegiatan ekstra yang diada-adain, memasukkan bimbel ke sekolah, pemaksaan anak untuk menabung tapi penggunaannya ditentukan oleh sekolah, korupsi uang jatah makanan tambahan gizi, sampai dengan korupsi bantuan biaya operasional sekolah.
Semula orang memaklumi kalau korupsi di sekolah itu sebagai bagian dari pola survival para guru dan kepala sekolah tatkala gaji mereka tidak mencukupi untuk hidup satu bulan. Tapi ketika gaji mereka telah dinaikkan melalui tunjangan professional dan tetap korupsi, maka pemakluman tersebut tidak bisa diterima lagi, karena bukan lagi sebagai bagian dari pola survival tapi sebagai bagian perwujudan gaya hidup hedonis.
Rasional dan Hidup Sederhana
Bagaimana menghilangkan korupsi, termasuk di dunia pendidikan? Banyak teori mengenai pola korupsi dan sekaligus penanggulangannya. Tapi berdasarkan teori-teori yang saya baca, ada faktor utama yang sering terlewatkan, yaitu berfikir rasional dan hidup bersahaja. Dengan mengembangkan kebiasaan berfikir rasional, maka kita akan bertindak secara rasional pula. Wujud dari perilaku yang rasional itu adalah pengeluaran akan selalu disesuaikan dengan pendapatan. Jika pendapatannya hanya Rp. 5 juta sebulan, maka orang yang rasional akan membuat pengeluaran kurang dari Rp. 5 juta agar masih ada yang bisa ditabung. Bila pengeluaran lebih dari pendapatan, itu jelas tidak rasional. Ketidak-rasionalan yang terulang setiap bulan itulah yang akan mendorong seseorang untuk korupsi guna menutup kekurangannya.
Orang yang berfikir dan bertindak rasional, akan memilih hidup bersahaja, sederhana, tidak mengada-ada. Kalau bisanya membeli kendaraan sepeda onthel, ya beli sepeda onthel saja, jangan beli sepeda motor atau mobil. Kalo bisanya membeli baju tidak bermerek, ya beli saja baju tidak bermerek, daripada memaksakan beli baju bermerek, tapi ternyata uang yang untuk membeli adalah hasil korupsi (baca tentang gaya hidup para politisi muda kita yang sekarang terjerat korupsi, bajunya mahal-mahal, berharga jutaan rupiah, tidak taunya itu hasil korupsi).
Belajar berfikir rasional dan hidup sederhana itu kuncinya pada keluarga. Saya beruntung punya kedua orang tua yang mengajarkan berfikir rasional dan hidup sederhana. Mereka selalu wanti-wanti (berpesan) untuk hidup prasojo (bersahaja). Pesannya itu disertai tindakan. Ibu saya sampai sekarang (usia 84 tahun) tidak pernah sekalipun minta uang kepada anak-anaknya. Bukan karena kaya, tapi dia tidak ingin membebani anak-anaknya, yang kalau tidak mampu akhirnya bisa korupsi. Dia memilih tidak punya uang daripada punya uang tapi membebani anaknya. Mereka juga tidak pernah melontarkan pertanyaan yang dapat menjadi beban psikologis bagi anak-anaknya, seperti misalnya: “Kapan beli motor/mobil?”. Kalau ada anaknya yang dapat membeli barang agak mahal, mereka akan bertanya: “uang dari mana? Sukur kalau tidak korupsi!”. Oleh karena mereka tidak memberikan beban psikologis kepada anak-anaknya, maka kami para anaknya juga santai saja bila tidak punya motor atau mobil. Juga tidak perlu berupaya pura-pura berpendapatan tinggi dengan membangun rumah mewah dan atau mobil banyak. Kami coba hidup sederhana saja yang penting bisa makan sehat bergizi, tinggal di rumah yang teduh, bisa bersekolah, dan bisa berekreasi. Buah dari kesederhanaan kedua orang tua saya itu adalah hingga meninggal pada usia 87 tahun, ayah saya sekali dirawat di rumah sakit pada usia ke-82 tahun karena sakit prostat (penyakit lelaki pada usia senja), sedangkan ibu saya yang berusia 84 tahun belum pernah sakit sampe dirawat di rumah sakit. Jadi, tidak punya uang, tapi juga tidak sakit.
Sikap arif yang diperlihatkan oleh kedua orang tua saya itu adalah sikap anti korupsi yang sejati, bukan dengan kata-kata, tapi dengan tindakan. Sayang, sikap seperti itu kurang dikembangkan oleh masyarakat maupun Negara, kita terjebak pada teori-teori dari barat, yang belum tentu cocok kita terapkan di sini, seperti misalnya melawan korupsi dengan melakukan pendidikan anti korupsi di sekolah-sekolah/kampus. Pengetahuan korupsi itu memang penting bagi anak-anak, tapi jauh lebih penting mengajarkan anak berfikir dan bertindak rasional serta hidup sederhana. Bila anak-anak terbiasa tidak rasional dan hidup mewah/hedonis, maka pengetahuan anti korupsi yang mereka miliki tidak akan berdampak pada perilakunya yang tidak korup. Karena itulah, menurut saya pendidikan anti korupsi di sekolah-sekolah dan kampus itu sia-sia saja kalau sekolah dan kampus sendiri mengembangkan kehidupan yang glamour dan hedonis. Jauh lebih tepat tidak ada pelajaran anti korupsi, tapi orang diajarkan untuk berfikir dan bertindak rasional serta hidup sederhana. Melawan korupsi dengan pendidikan anti korupsi itu sekedar menyenangkan para donor saja, tapi jangan diharapkan banyak hasilnya akan dapat memberantas korupsi, karena pelaksanaannya problematic (siapa yang memberikan pendidikan?)
Pola pikirnya yang rasional dan sikapnya yang sederhana itulah yang akan menghapus budaya korupsi. Perlu disadari bahwa kultur kita (bangsa Indonesia itu korup). Sebagai contoh, kalau kita bepergian bersama bos misalnya, pada umumnya kita semua berharap bos lah yang mentraktir kita. Sementara bos selalu pergi dengan berganti-ganti orang dan setiap kali bepergian, semua berharap ditraktir oleh bos. Padahal, gaji dan tunjangan bos itu terbatas, akhirnya, karena bos pun tidak mau rugi, maka cari akal bagaimana agar uang-uang yang dipakai untuk mentraktir staf tersebut balik, maka potong sana potong sini yang penting balik. Demikian pula pada saat kondangan pada orang yang punya hajat, kalau ada lurah, camat, bupati/walikota, atau pejabat lain memberikan sumbangan yang rata-rata, maka akan dikomentari: “Ah..masak lurah nyumbangnya sama dengan kita-kita?”. Semua kelompok masyarakat yang biasa tidak berfikir rasional akan berkomentar begitu. Padahal, yang disumbang oleh para pejabat public itu juga di banyak tempat. Kalau semua berkomentar hal yang sama, maka sebetulnya kita memelihara kultur korup mengingat gaji para pejabat public itu juga terbatas. Kalau kita berharap mereka memberikan yang lebih, berarti kita berharap mereka untuk korupsi.
Kebiasaan kita meminta sumbangan untuk peringatan-peringatan hari besar keagamaan atau pendirian tempat ibadah kepada para pejabat publik dan berharap mereka memberikan sumbangan lebih besar daripada yang lain, sesungguhnya memupuk kultur korup di masyarakat, sebab dari mana mereka punya uang untuk disumbangkan, kecuali nguntet sana nguntet sini? Orang-orang yang berfikir rasional dan hidup sederhana tidak akan melakukan itu semua. Mereka cukup banyak pertimbangan kalau berharap ditraktir oleh bos, berharap bos memberikan amplop yang lebih tebal dibandingkan yang lain, atau meminta sumbangan untuk ini-itu, pasti akan dihindari karena hanya mendorong bos untuk korup saja. Dengan kata lain, korupsi itu produk budaya masyarakat, bukan sekedar persoalan birokrasi semata. Oleh karena korupsi itu produk budaya masyarakat, maka memberantas korupsi berarti memberantas budaya korup di masyarakat. Penciptaan system yang macem-macem untuk mengatasi korupsi tidak akan efektif karena masih bisa diakali dengan berbagai cara, selama budaya korup tersebut masih dominan. Sebaliknya, tanpa ada system asalkan tidak ada budaya korup, karena masyarakat berfikir rasional dan hidup sederhana, maka korupsi akan hilang dengan sendirinya.
Kunci menumbuhkan berfikir rasional, hidup sederhana, dan menghilangkan budaya korup tersebut ada pada keluarga. Oleh karena itulah, pendidikan di keluarga itu menjadi amat penting. Bila salah didik, keluarga bisa menjadi sumber korupsi. Tapi bila mendidik secara tepat, keluarga dapat menjadi benteng anti korupsi.
Usulan Saja untuk Pemprov DKI Jakarta
Guna meminimalisir perilaku koruptif di lingkungan sekolah pada khususnya dan dunia pendidikan pada umumnya, maka saya menguusulkan dua hal saja:
1. Mengingat gaji di lingkungan Pemprov DKI Jakarta sudah cukup untuk hidup layak, termasuk bagi para guru, maka harus berani mewujudkan sekolah yang bebas dari korupsi. Peluang korupsi itu dapat diminimalisir bila tidak ada transaksi uang tunai antara murid dengan kepala sekolah/guru/tata usaha, semua kebutuhan anggaran dicukupi dari APBD. Pemprov DKI Jakarta mending menaikkan pajak tapi pendidikan tidak dipungut sama sekali, sehingga meminimalisir perilaku korupsi, daripada menghindari kenaikkan pajak tapi pendidikan tidak gratis sepenuhnya karena masih ada pungutan ini-itu.
2. Dengan APBD yang cukup besar, maka tidak ada salahnya bila anggaran pendidikan di Jakarta juga untuk memfasilitasi guru-guru melalukan rekreasi ke luar Jawa (Bali, Lombok, Maluku, NTT, Papua, dll.) atau luar negeri demi menambah wawasan para guru. Hal itu penting untuk meningkatkan martabat guru di depan murid-muridnya yang sudah sering pergi ke luar negeri dan sekaligus juga mempunyai perspektif yang luas dalam mengajar. Harap dibedakan cara perlakuan terhadap PNS guru dan PNS non guru. PNS guru kalau tidak punya wawasan luas paling-paling akan terhambat kariernya. Tapi kalau PNS guru tidak punya wawasan luas, akan menyesatkan murid. Dengan rekreasi difasilitasi oleh Pemprov, maka tidak ada alasan lagi bagi sekolah untuk mengadakan program study tour yang menambah berat beban orang tua tapi tidak mempunyai dampak langsung terhadap kualitas pendidikan, sebaliknya bisa menjadi peluang korupsi bagi guru/kepala sekolah.
[1] Catatan untuk bahan Dialog interaktif Peringatan Hari Anti Korupsi se Dunia, di Taman Surapati, Jakarta tanggal 9 Desember 2013.
[2] DARMANINGTYAS, aktivis pendidikan yang berjuang untuk Pendidikan Gratis, Pembatalan UU BHP, dan Pembubaran RSBI, yang konsisten sampai sekarang ke mana-mana menggunakan angkutan umum.
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusAssalamu Alaikum wr-wb, perkenalkan nama saya ibu Rosnida zainab asal Kalimantan Timur, saya ingin mempublikasikan KISAH KESUKSESAN saya menjadi seorang PNS. saya ingin berbagi kesuksesan keseluruh pegawai honorer di instansi pemerintahan manapun, saya mengabdikan diri sebagai guru disebuah desa terpencil, dan disini daerah tempat saya mengajar hanya dialiri listrik tenaga surya, saya melakukan ini demi kepentingan anak murid saya yang ingin menggapai cita-cita, Sudah 9 tahun saya jadi tenaga honor belum diangkat jadi PNS Bahkan saya sudah 4 kali mengikuti ujian, dan membayar 70 jt namun hailnya nol uang pun tidak kembali, bahkan saya sempat putus asah, pada suatu hari sekolah tempat saya mengajar mendapat tamu istimewa dari salah seorang pejabat tinggi dari kantor BKN pusat karena saya sendiri mendapat penghargaan pengawai honorer teladan, disinilah awal perkenalan saya dengan beliau, dan secara kebetulan beliau menitipkan nomor hp pribadinya dan 3 bln kemudian saya pun coba menghubungi beliau dan beliau menyuruh saya mengirim berkas saya melalui email, Satu minggu kemudian saya sudah ada panggilan ke jakarta untuk ujian, alhamdulillah berkat bantuan beliau saya pun bisa lulus dan SK saya akhirnya bisa keluar,dan saya sangat berterimah kasih ke pada beliau dan sudah mau membantu saya, itu adalah kisah nyata dari saya, jika anda ingin seperti saya, anda bisa Hubungi Bpk Drs Tauhid SH Msi No Hp 0853-1144-2258. siapa tau beliau masih bisa membantu anda, Wassalamu Alaikum Wr Wr ..
BalasHapus