Langsung ke konten utama

PARADOK PORAKSIS PENDIDIKAN NASIONAL

OLEH: DARMANINGTYAS, AKTIVIS PENDIDIKAN DI TAMANSISWA

Dunia pendidikan nasional, dikagetkan dengan beredarnya video mesum yang pelakunya adalah murid SMP dan dilakukan di sekolah serta disaksikan oleh beberapa teman, laki maupun perempuan. Konon tindakan sejenis sudah terjadi lebih dari sekali di tempat yang sama. Muncul perdebatan mengenai latar belakang kejadian tersebut, ada yang menilai itu merupakan bagian dari bullying, sedangkan menurut pihak kepolisian, dilakukan suka sama suka. Tulisan ini tidak ingin ikut membahas motif tindakan, tapi mengajak pembaca merefleksikan prasis pendidikan nasional yang terasa amat paradog antara jargon yang diusung dengan realitas yang terjadi di lapangan. 


Merefleksikan kembali praksis pendidikan yang penuh paradok itu penting untuk menghindarkan pengulangan kasus serupa yang membuat gaduh masyarakat namun tidak mencerdaskan sama sekali. Kita teringat pada salah satu penggalan syair Jalaluddin Rumi, penyair sufi asal Persia yang seperti pesan kepada kita agar “…hindarilah hilir mudik pikiran yang seperti kebisingan pasar, temukan kekuatan dirimu”. Kasus-kasus serupa selalu silih berganti muncul di masyarakat, dari kota metropolitan seperti Jakarta sampai dengan kota kecil di Kediri atau Probolinggo Jawa Timur. Perbedaannya hanya terletak pada lokasi dan situasi saja. Apa yang terjadi pada murid-murid SMPN 4 Jakarta itu di lingkungan sekolah dan disaksikan oleh beberapa teman. Sedangkkan di Kediri, Probolinggo, atau lainnya, meski pelakunya sama-sama pelajar, dilakukan di luar sekolah dan tersembunyi. Tapi bila kita hanya berkutat bicara kasus saja, maka tidak menyelesaikan persoalan, peristiwa sejenis akan kembali muncul berganti di tempat lain dengan aktor dan setting yang berbeda pula. Semua itu akan memenuhi pikiran kita menjadi hilir mudik seperti kebisingan pasar.

Masyarakat awam yang melihat praksis pendidikan secara hitam putih langsung akan memvonis bahwa pelajar atau sekolah (institusi) telah bobrok, sehingga apa yang tidak boleh dilakukan oleh pelajar di sekolah justru dipertontonkan secara vulgar melalui pemanfaatan kecanggihan teknologi. Tapi vonis itu tidak akan mengubah keadaan, juga tidak menyelesaikan persoalan, mengingat persoalannya amat kompleks dan saling berkelindan satu sama lain. Antara sistem yang dibangun, praksis yang dijalankan, kondisisi sosial serta budaya yang berkembang di masyarakat saling mempengaruhi satu sama lain, tapi ironisnya tidak saling mendukung. 

Sistem pendidikan (mencakup seluruh komponen: kurikulum, guru, metode, prasarana dan sarana, dll) yang dibuat oleh pemerintah diarahkan untuk tercapainya suasana belajar dan proses pembelajaran peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara (UU Sisdiknas No.20/2003), praksisnya di lapangan juga amat agamis, dan managemennya mengikuti standar baku yang terjadi di industri-industri manufaktur maupun jasa. Namun karena perkembangan budaya masyarakat yang lebih lamban dibandingkan dengan perkembangan teknologi, akibatnya, teknologi yang oleh penciptanya dimaksudkan untuk mempermudah kerja-kerja manusia, berubah fungsi menjadi media pamer perilaku primitif bagi anak-anak usia remaja. Dalam istilah Alvin Toffler, anak-anak mengalami cultural shock karena melompat secara tajam, dari masyarakat Gelombang I (dari pemburu menjadi agraris) tiba-tiba masuk ke Gelombang III (dari industri ke informasi). Mereka tidak pernah masuk ke Gelombang II (masyarakat industri) yang memberikan dasar berfikir dan bertindak lebih rasional, efektif, efisien, kreatif, dan produktif. Belum mengenal budaya baca-tulis secara baik, tiba-tiba telah masuk pada gelombang teknologi informasi yang amat pesat dan dahsyat, akhirnya yang terjadi adalah tindakan-tindakan yang kontraproduktif tersebut.  

Paradok

Maraknya fenomena video mesum yang melibatkan pelajar di berbagai wilayah tanah air sebagai pelakunya, dan terlebih tindakan tersebut terjadi di lingkungan sekolah, sungguh merupakan suatu paradok dalam praksis pendidikan nasional. Sebab, praksis pendidikan nasional sejak reformasi, khususnya sejak satu dekade lalu amat agamis (dari berbagai aspek: salam, pakaian, kegiatan, maupun jumlah jam pelajaran agama yang bertambah) serta penuh dengan standar-standar baku yang merupakan penjelmaan dari standar-standar baku di industri manufaktur maupun industri jasa komersial; tapi yang dihasilkan justru bertolak belakang dengan sistem yang dibuat dan standar yang ditetapkan, sehingga dapat dikatakan bahwa ini adalah bentuk penyimpangan (anomali) dari praksis pendidikan. 

Bila kita mengikuti alur berfikir secara linier, seharusnya, praksis pendidikan nasional yang ada pada saat ini mampu melahirkan orang-orang yang paripurna, sempurna secara nalar maupun mental spiritualnya, terbebas dari segala bentuk kecacatan. Sebab dalam proses produksi manufaktur, bila standarnya sudah dibuat baku tapi ada produk yang jelek, maka kemungkinan besar terjadi kesalahan prosedur, ada standar prosedur operasional yang tidak ditepati, sehingga kesalahannya ditimpakan kepada manager produksi, bukan pada sistem produksi yang dianut. Analogi yang sama dapat diterapkan di sini. Bila sistem pendidikan yang dikembangkan sudah dinilai bagus dan praksisnya juga sudah agamis, maka terjadi penyimpangan (moral) di lingkungan sekolah, kesalahannya akan ditimpakan pada manager di lapangan, yaitu kepala sekolah. Boleh jadi, kepala sekolah terlalu lemah melakukan pengawasan dan kontrol, sehingga tatkala ada prosedur yang dilanggar tidak secepatnya diketahui. Mengapa suatu tindakan (amoral) yang sama bisa terjadi di sekolah secara berulang, tentu karena lemahnya pengawasan. 

Di sekolah-sekolah yang managemennya bagus, kepala sekolah dengan dibantu oleh wali kelas dan petugas keamanan, akan selalu melakukan kontrol terhadap ruang-ruang kelas, begitu kegiatan sekolah usai. Jika alibinya adlah tindakan tersebut terjadi pada saat kondisi istirahat atau saat menjalankan ibadah, maka tentu tidak semua unsur sekolah (kepala sekolah, guru, tata usaha, petugas keamanan) beristirahat atau beribadah secara serentak, selalu ada pengaturan waktu istirahat dan beribadah secara bergiliran untuk mengantisipasi kalau ada tamu atau kejadian di luar dugaan. Salah satu fungsi kepala sekolah adalah mengatur jam-jam piket dan istirahat bagi guru, tata usaha, murid, maupun petugas keamanan, serta menjelaskan apa saja yang harus dilakukan saat melaksanakan piket.  

 Jadi jelas sekali di sini bahwa segala peristiwa di lingkungan sekolah itu menjadi domain managemen sekolah, tapi mengapa tindakan tersebut terjadi, bukan sepenuhnya dalam kendali managemen sekolah. Tanggung jawab managemen sekolah hanya menyangkut hal-hal yang berada di lingkungan sekolah. Pembentukan perilaku murid secara sempurna menjadi tanggung jawab bersama dengan orang tua dan lingkungan, sebab Tri Pusat Pendidikan itu ada di rumah, lingkungan sosiak, dan sekolah. Sekolah hanya bagian terkecil saja, sehingga tidak fair bila seluruh permasalahan yang ada pada murid ditimpakan pada sekolah saja, sistem yang lebih besar juga turut bertanggung jawab; karena dari sistem besar itulah praksis pendidikan dijalankan. Bila hasilnya menimbulkan paradog, maka sistemnya juga perlu dikaji kembali. ***








Komentar

  1. Assalamu Alaikum wr-wb, perkenalkan nama saya ibu Rosnida zainab asal Kalimantan Timur, saya ingin mempublikasikan KISAH KESUKSESAN saya menjadi seorang PNS. saya ingin berbagi kesuksesan keseluruh pegawai honorer di instansi pemerintahan manapun, saya mengabdikan diri sebagai guru disebuah desa terpencil, dan disini daerah tempat saya mengajar hanya dialiri listrik tenaga surya, saya melakukan ini demi kepentingan anak murid saya yang ingin menggapai cita-cita, Sudah 9 tahun saya jadi tenaga honor belum diangkat jadi PNS Bahkan saya sudah 4 kali mengikuti ujian, dan membayar 70 jt namun hailnya nol uang pun tidak kembali, bahkan saya sempat putus asah, pada suatu hari sekolah tempat saya mengajar mendapat tamu istimewa dari salah seorang pejabat tinggi dari kantor BKN pusat karena saya sendiri mendapat penghargaan pengawai honorer teladan, disinilah awal perkenalan saya dengan beliau, dan secara kebetulan beliau menitipkan nomor hp pribadinya dan 3 bln kemudian saya pun coba menghubungi beliau dan beliau menyuruh saya mengirim berkas saya melalui email, Satu minggu kemudian saya sudah ada panggilan ke jakarta untuk ujian, alhamdulillah berkat bantuan beliau saya pun bisa lulus dan SK saya akhirnya bisa keluar,dan saya sangat berterimah kasih ke pada beliau dan sudah mau membantu saya, itu adalah kisah nyata dari saya, jika anda ingin seperti saya, anda bisa Hubungi Bpk Drs Tauhid SH Msi No Hp 0853-1144-2258. siapa tau beliau masih bisa membantu anda, Wassalamu Alaikum Wr Wr ..

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

BIODATA DARMANINGTYAS

BIODATA DARMANINGTYAS, menggeluti pendidikan sejak mulai menjadi mahasiswa baru di UGM, Agustus 1982 dengan menjadi guru di SMP Binamuda dan SMA Muhammadiyah Panggang, Gunungkidul, DIY. Pendidikan formalnya cukup Sarjana Filsafat Universitas Gadjah Mada (UGM) dan selebihnya otodidak. Gelar “Profesor Doktor” diperoleh dari undangan, sertifikat, piagam, spanduk, dan sejenisnya; sebagai bentuk pengakuan nyata dari masyarakat.

Masyarakat Diajak Adaptasi

Pemerintah, melalui lembaga dan kementerian, mengeluarkan peraturan dan edaran perihal protokol atau pedoman kesehatan. Protokol itu berlaku di tempat masyarakat, industri, sektor jasa, dan perdagangan.

REFLEKSI DARI PELATIHAN GURU SASARAN DI LAMPUNG

Berikut saya sampaikan refleksi saya tatkala mendapat tugas untuk membuka dan kasih pengarahan pada pelatihan guru sasaran di Lampung tanggal 9 Juli lalu. Semoga refleksi in dapat menjadi bahaperbaikan proses pelatihan guru yang akan dating sehingga menjadi lebih baik.